Anda di halaman 1dari 24

JURNAL READING

MANAGEMENT GANGREN FOURNIER














Oleh :


Pembimbing:






KEPANITRAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BAGIAN BEDAH RSUD TASIKMALAYA
2013

1
BAB I
JURNAL I
Menejemen Gangren Fornier

Abstrak
Gangrene Fornier adalah infeksi langka yang ditandai dengan cepat
berkembangnya myonecrosis, yang mempengaruhi daerah-daerah seperti perineum,
alat kelamin dan perianal. Studi retrospektif ini menyajikan pengalaman penulis dan
prinsip mereka dalam mendiagnosis dini dan mengobati gangrene Fornier ini. Tujuan
dari makalah ini adalah untuk menunjukkan berbagai diagnosis dan kesulitan dalam
menterapi yang sampai mengarah pada tingginya angka kematian jika tidak
memperhatikan waktu. Kami disini menggambarkan tujuh pasien laki-laki dengan
myonecrosis dan necrotizing fasciitis di daerah skrotum, perianal dan perineum.
Rata-rata usia yang didapatkan adalah 61 tahun (dari usia 57 sampai 66 tahun), dan
rata-rata lama perawatan adalah 25,8 hari (dari 14 sampai 38 hari), dengan angka
kematian 14% (satu kasus). Yang telah kami akui bahwa diabetes mellitus sebagai
factor resiko, bersamaan dengan uretrostenosis dan penyakit lain yang berada pada
daerah perianal (hemoroid, fisura anus, dan abses). Hipotesis kami adalah bahwa kunci
dari keberhasilan pengobatan adalah memenejemen sesegera mungkin setelah onset
gejala, tahap dini dan necrectomy yang aggressive serta diberikan perlindungan
antibiotic
spectrum luas.
Pendahuluan
Gangrene Fornier adalah infeksi langka yang ditandai dengan perkembangan
myonecrosis secara cepat, yang mempengaruhi daerah-daerah seperti perineum, alat
kelamin dan perianal. Hal ini lebih umum pada pria, antara usia 40 dan 70 tahun, dan
jarang terjadi pada wanita, tetapi juga telah dijelaskan dapat terjadi pada anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun. Namun keadaan ini ditandai dengan angka kematian
yang tinggi, terutama apabila didiagnosis pada tahap akhir dari penyakit ini.
2
Ada dua jalur dalam penyebaran penyakit ini. Pertama dari saluran cerna, biasanya dari
daerah anorektal (abses) setelah dilakukan operasi hemoroid, trauma pada rectum dan
lain sebagainya. Yang kedua adalah dari saluran urogenital setelah penggunaan kateter
jangka panjang, periueretritis, dilatasi dengan alat pada stenosis uretra. Factor-faktor
yang mempengaruhi onset perbaikan pada semua varian dari penyakit ini adalah
diabetes mellitus, alkoholisme, defisiensi imunologi, penyakit keganasan, insufisiensi
ginjal dan hati. Pathogenesis dari penyakit ini masih belum diketahui secara pasti.
Infeksi dapat terjadi pada fasia genitalia (Buck dan Dartos), fasia perineum (Colles),
serta fasia dinding abdomen (Scarpa), dari segala arah, bahkan bisa mencapai hingga
ketiak. Meskipun terbukti bahwa sinergisme dari adanya mokroorganisme dalam
perkembangan infeksi ini, biasanya dilakukan hemokultural yang bernilai negative.
Bakteri yang umum ada yaitu E. coli, pseudomonas aeroginosa, streptococcus putridis,
staphylococcus, klabsiela, tetapi juga beberapa bakteri anaerob seperti Bakteriodes,
Clostridium perfringens dan Bacillus fragilis. Infeksi dimulai dari tampakan di bawah
kulit yang normal. Meskipun gejalanya adalah kemerahan, dan edema dari kulit
skrotum dan perineum (dan kadang-kadang dari penis), gejalanya juga dapat menjadi
berlainan. Hal ini lebih sering pada kasus dimana terdapat abses yang sangat
tersembunyi (seperti abses iskhiolateral) yang dapat diamati. Suspek diagnosis dapat
berdasarkan gejala klinis yang tejadi hingga 80% dari kasus.







Ada dua jalur dalam penyebaran penyakit ini. Pertama dari saluran cerna, biasanya dari
daerah anorektal (abses) setelah dilakukan operasi hemoroid, trauma pada rectum dan lain
sebagainya. Yang kedua adalah dari saluran urogenital setelah penggunaan kateter jangka panjang,
periueretritis, dilatasi dengan alat pada stenosis uretra. Factor-faktor yang mempengaruhi onset
perbaikan pada semua varian dari penyakit ini adalah diabetes mellitus, alkoholisme, defisiensi
imunologi, penyakit keganasan, insufisiensi ginjal dan hati. Pathogenesis dari penyakit ini masih
belum diketahui secara pasti. Infeksi dapat terjadi pada fasia genitalia (Buck dan Dartos), fasia
perineum (Colles), serta fasia dinding abdomen (Scarpa), dari segala arah, bahkan bisa mencapai
hingga ketiak. Meskipun terbukti bahwa sinergisme dari adanya mokroorganisme dalam
perkembangan infeksi ini, biasanya dilakukan hemokultural yang bernilai negative. Bakteri yang
umum ada yaitu E. coli, pseudomonas aeroginosa, streptococcus putridis, staphylococcus,
klabsiela, tetapi juga beberapa bakteri anaerob seperti Bakteriodes, Clostridium perfringens dan
Bacillus fragilis.

Infeksi dimulai dari tampakan di bawah kulit yang normal. Meskipun gejalanya adalah
kemerahan, dan edema dari kulit skrotum dan perineum (dan kadang-kadang dari penis), gejalanya
juga dapat menjadi berlainan. Hal ini lebih sering pada kasus dimana terdapat abses yang sangat
tersembunyi (seperti abses iskhiolateral) yang dapat diamati. Suspek diagnosis dapat berdasarkan
gejala klinis yang tejadi hingga 80% dari kasus.




Pasien dan Metode

Dari periode tahun 1997 sampai 2000, ditemukan total 7 pasien. Mereka berusia antara 57
dan 66 tahun (rata-rata 61 tahun). Semua pasien adalah laki-laki. Tiga diantaranya memiliki
diabetes mellitus. Pada tiga pasien ditemukan nekrosis pada daerah skrotum, dan empat didaerah
perianal. Selain diabetes, kami juga mencatat factor resiko lain: uretrostenosis (2 pasien), hemoroid
(1 pasien), abses iskiorektal (1 pasien), sementara pada satu pasien tidak ditemukan factor resiko.

Hasil

Pada pasien dengan penyebaran penyakit perianal, kami mendapatkan yang disebut
nekrosis anular hitam (Black Spot) dimana pada peradangan telah menyebar cepat sampai lebih

3







dalam lapisan jaringan. Diantara agen penular didapatkan Streptokokus -hemolitikus,
Enterococus Faecalis, Pseudomonas Erogenosa dan Proteus yang terisolasi, tetapi juga ditemukan
campuran flora bakteri. Dari bakteri anaerob, kami juga menemukan Basilus Fragilis dan
Clostridium Perfringens secara umum.

Lamanya gejala sebelum masuk itu mulai dari 3 sampai 9 hari (rata-rata 5,4). Beberapa
pasien harus diobati dengan necrectomy luas yang pada umumnya anestesi diulang setiap hari,
sampai tercapainya keadaan yang memusakan tanpa infeksi yang nyata. Dari tiga pasien kami
menggunakan insisi dan drainase pada fase awal pengobatan, dan kemudian pada proses
pengobatan kami juga menggunakan necrectomy. Kami biasanya menggunakan terapi antibiotic
gabungan, menggunakan beberapa antibiotic, karena mixed infeksi.

Dari empat pasien yang kami lakukan rekonstruksi dengan menghancurkan jaringan pada
skrotum dan perineum (menggunakan jahitan sekunder) tanpa transplantasi, sedangkan dua kasus
yang lain pada seluruh area mengalami re-epitelisasi secara spontan. Penutupan dari kecacatan
dengan menggunakan kulit besar yang dapat dipindahkan tidak perlu dilakukan. Pengobatan
berlangsung rata-rata 25,8 hari, mulai dari 14 sampai 36 hari. Kami harus melakukan orkidektomi
pada satu pasien, karena peradangan yang dimiliki mencapai testis. Pada pasien dengan
peradangan daerah perianal dan perineal, dilakukan insisi yang luas, eksisi jaringan nekrotik yang
preformed, dan kami berhasil mempertahankan fungsi sfingter. Satu pasien meninggal, sementara
enam pasien dipulangkan dalam keadaan sembuh. Oksigenasi hiperbarik tidak dipertimbangkan.
Pada satu pasien kami harus melakukan kolostomi, dan pada suatu kolostomi suprapubik lainnya
terkadang dibutuhkan.



















4




























































Diskusi

Penyakit ini merupakan penyakit langka yang ditandai dengan angka kematian yang tinggi,
bekisar antara 7 sampai 75%. Pada kali ini, hanya satu pasien (14,3%) meninggal pada kondisi ini.
Di lain studi, diabetes mellitus adalah kondisi paling umum yang terkait dengan gangrene Fournier,
sampai dengan 55,6% kasus. Meskipun sangat jarang, telah dijelaskan dapat terjadi pada wanita
dan anak-anak.



5















Meskipun teori yang telah dikenal dan diterima penyebaran infeksi dari intravaskuler
dengan melenyapkan endarteritis hipoksia pada sekitar pengembangan pembentukan nekrosis
dengan kuman anaerob, gangrene Fournier masih memiliki entitas yang jelas. Dari semua studi
yang tersedia secara deskriptif didapatkan mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi yang
paling banyak berupa mikroorganisme anaerob, hal ini mengakibatkan meningkatnya penggunaan
antibiotic dalam pengobatan. Pande dan Mewara mencatat terdapat penurunan frekuensi infeksi
perineum pada periode tahun 1938-1975, yang disebabkan oleh penggunaan antibiotic secara luas,
dan perawat rumah sakit yang lebih baik.
















































6







Rea dan Wyrick menekankan pentingnya periode waktu, antara terjadinya infeksi dan
pengobatan secara dini, didapatkan bahwa dengan hal tersebut banyak pasien terselamatkan,
setelah diberikan pengobatan dalam waktu 4 hari sejak awal infeksi, sedangkan pada pasien yang
telah meninggal pengobatan dimulai pada hari ke-7 dari infeksi. Hasil yang sama didapatkan juga
oleh penulis yang lainnya. Pasien kami mengakui pada hari ke-5 (rata-rata) sejak awal infeksi.
Semua pasien mengeluhkan nyeri yang sangat, hal ini juga diamati oleh penulis yang lainnya.

Prosedur diagnosis yang berguna bagi kami untuk memberikan informasi adalah USG dan
computed tomography, sedangkan nekrosis dan infeksi supuratif didiagnosis dengan biopsy
aspirasi. Hasil positif dari terapi pada enam pasien adalah efek dari terapi bedah secara agresif,
menggunakan sayatan, drainase dan necrectomy yang disertai dengan pengobatan antibiotic.

Pada waktu Fournier, penyakit ini dianggap menjadi idiopatik. Sampai saat ini kita
mengetahui penyebabnya, dan biasanya dengan cepat dapat dibedakan apakah asal infeksi adalah
saluran pencernaan atau urogenital. Sebagai contoh dari pasien terakhir kami menunjukkan
kemungkinan perkembangan penyakit ini yang jarang dan berat yaitu dari fisura anus yang
sederhana. Ini menunjukkan, bahwa pemeriksaan klinis awal pada pasien dengan nyeri dan tanda-
tanda infeksi pada daerah perineum adalah sangat penting, dan bahkan walaupun tampakan
inflamasi yang tidak mengkhawatirkan.

Kami juga ingin menyebutkan bahwa dari beberapa makalah menggambarkan penerapan
obat-obatan dan zat aditif lainnya, sebagai kemungkinan penyebab infeksi yang mengarahkan ke
gangren Fournier, dan juga pasien dengan hepatitis yang diinduksi alcohol dapat mempengaruhi.
Berbagai penulis melaporkan factor resiko tambahan yang mempercepat perjalanan penyakit ini
serta mempersulit terapi, seperti diabetes mellitus, penyalahgunaan alcohol dan obat-obatan,
oligophrenie, pasien dengan adanya dekubitus dan defisiensi imunologi.

Sepanjang literature yang telah dicatat, bahwa semua penulis menyarankan pengobatan
secara dini dan agresif. Menggunakan pendekatan seperti pada sebagian besar pasien kami, yang
harus kami berikan terapi rata-rata selama 25,8 hari. Morgan, dkk. Menekankan bahwa aplikasi
antigen serum, diantara efek lainnya, dapat menghilangkan bau yang tak enak dari jaringan
nekrotik, seperti yang didapatkan dari satu pasien yang diperoleh dari gangrene Fournier berupa
dekubitus sacrum.

7







Masalah seperti penurunan urine dari cystostomi, atau tinja dari kolostomi, merupakan
suatu yang controversial dan ditangani secara berbeda dari beberapa protocol pengobatan, dan
kami menemukan bahwa hal ini harus diaplikasikan sesuai dengan kondisi dari individu pasien
tersebut.

Sejak adanya pasien kami yang meninggal diakui terjadi keterlambatan dalam perjalanan
penyakit, 9 hari dari onset infeksi, pembentukan abses iskiorektalis, kami mendapatkan bahwa
keterlambatan dalam terapi pembedahan adalah penyebab utama dari kematian. Kasimpulan ini
didasarkan atas beberapa kasus serupa yang telah dilaporkan dalam literature dimana hasil
pengobatan dari gangrene Fourien akan lebih buruk pada pasien yang lebih tua, persentasinya naik
hingga 60%. Kemungkinan kekambuhan dari kondisi ini bahkan beberapa tahun setelah
pengobatan dapat terjadi.



































BAB II



8







JURNAL II


Penanganan Fourniers Gangrene dengan Teknik

Bebat Tertutup Tekanan Negatif (Bebat VAC)





Kepada Editor,

FG adalah kondisi gawat darurat bedah.Tatalaksana terdiri atas pemberian resusitasi cairan,
antibiotic spectrum luas secara IV, dan konsultasi bedah segera untuk dilakukan debridement dan
drainase.

Masalah yang sering timbul pada FG adalah timbulnya defect/lesi yang luas setelah
dilakukan operasi debridement dan drainase. Umumnya lesi ini ditangani dengan pemasangan
bebat/kompres luka yang diganti setiap hari dan luka/lesi dibiarkan sembuh sendiri. Kondisi ini
menyebabkan lamanya perawatan di rumah sakit memanjang hingga beberapa minggu untuk
menunggu penutupan luka sekunder. Pada beberapa pasien, penutupan lesi/luka dengan cara donor
kulit pernah coba dilakukan, tetapi teknik inipun tidak cukup praktis karena membutuhkan
beberapa kali operasi dan selain itu juga memiliki resiko terjadinya kegagalan donor.

Berikut ini laporan kasus pasien dengan FG yang telah menjalani operasi drainase dan
debridement dengan lesi sisa yang cukup besar dan ditangani dengan Bebat/kompres tertutup
bertekanan negatif (VAC dressing).




Presentasi Kasus dan Penjelasan Klinis

Pasien laki-laki, usia 30 tahun, penderita DM dan dirujuk oleh dokter umum yang
merawatnya dengan keluhan berupa bengkak dengan masa kenyal/empuk pada daerah skrotum dan
region perianal sinistra sejak dua hari lalu disertai demam yang tidak membaik dengan terapi
Atibiotik oral.

9







Dari hasil pemeriksaan fisik didapat pasien sadar baik tetapi tampak septik dan febris.
Pemeriksaan abdomen dalam batas normal. Terdapat area luas indurasi yang teraba lunak
didaeraah sekitar perineum dan skrotum sinistra yang melebar hingga ke bagian bawah dinding
abdomen sinistra. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan peningkatan jumlah hitung leukosit
(14,38 x 10^9/L) dengan peningkatan hitung neutrophil (10,78x10^9/L). Protein serum C reactive
juga mengalami peningkatan (279mg/L).pemeriksaan elektrolit dan urine lengkap dalam batas
normal.

Dari hasil diatas, ditegakan diagnosis FG. Setelah itu, pasien mulai diberikan terapi
Antibiotik sistemik yang diberikan IV dan segera dilakukan operasi debridement dan dainase.
Penemuan intraoperative menunjukan adanya abses pada daerah ischiorectal seluas 15x10cm yang
meluas hingga skrotum dan dasar penis serta subfacial plane dan region fossa iliaka sinistra. Insisi
dan drainase abses dilakukan dan bagian yang nekrotik didebridement. Hasil postoperasi
menyisakan lesi berupa kavitas seluas 12x4cm yang tidak dapat tertutup secara primer. Untuk
penyembuhan lesi, dilakukan pemesangan VAC dressing dengan tekanan negative diseting sebesar
125 mmHg.

Setelah operasi pasien dalam keadaan baik dan suhu kembali normal. Selama perawatan
control gula darah cukup memuaskan. Debridement dan pemeriksaan luka/lesi dilakukan kembali
diruang operasi dengan anastesi pada hari ke-5 dan ke-8 setelah operasi awal. Pada saat itu juga
dilakukan penggantian bebat/kompres VAC. Hasil pemeriksaan lesi menunjukan proses
penyembuhan berjalan cukup memuaskan. Terbukti dengan ditemukannya jaringan granulasi yang
mulai terbentuk di dasar luka.Pengantian Bebat VAC dilakukan kembali pada hari ke-12 dan
didapat lesi luka sudah mengecil sebesar 10x12cm.

Hasil kultur dari luka menunjukan infeksi oleh banteri S.aureus resisten Methicillin, E. coli
dan Klebsiella. Regimen antibiotic disesuaikan dengan jenis kuman dan setelah 7 hari pasca
operasi awal pemberian antibiotic IV diganti menjadi pemberian peroral.

Pada hari ke-21 post operasi awal, dilakukan pelepasan bebat VAC dan didapat luka sudah
tertutup sempurna. Luka terlihat bersih dan pasien dipulangkan dalam keadaan baik.

Diskusi


10







FG ditatalaksana, setelah dilakukan debridement yang ekstensive, dengan bebat luka
regular dan dibiarkan untuk mengalami penyembuhan sekunder. Tetapi, lesi yang luas memerlukan
waktu yang panjang untuk dapat sembuh total dengan resiko infeksi sekunder bila Bebat/kompres
luka tidak diganti secara teratur. Masalah utama terletak pada lokasi lesi yang berada didaerah
perianal dimana daerah ini sulit untuk dipertahankan higienitasnya karena terpapar oleh urine dan
feses secara langsung yang kemungkinan besar dapat mengontaminasi lesi menyebabkan infeksi
sekunder yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka.

Pemesangan bebat VAC diperkenalkan pertama kali pada tahun 1997 oleh Argeta dan
Morykwas. Sejak itu, banyak laporan mengenai efektifitas dalam membantu proses penyembuhan
pada luka terbuka, mengurangi waktu yang diperlukan untuk proses penyembuhan/penutupan luka
dan meningkatkan keberhasilan donor kulit. Untuk kasus lesi di daerah colorectal, selain dari lesi
yang disebabkan FG, terapi ini juga digunakan pada lesi pilonidal, Ulkus decubitus disekitar
perineum dan fistula enterocutaneus.

Berdasar penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa teknik bebat VAC cukup efektif
untuk menangani lesi perianal yang luas dan kompleks. Dengan menggunakan teknik ini, dapat
dicegah terjadinya perembesah eksudat dan cairan luka sehingga perawatan luka menjadi lebih
mudah. Segel kedap udara mencegah kontaminasi feses dan urine kedalam luka, sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan luka. Selain itu bebat VAC memungkinkan drainase lesi yang
efektif bahkan pada lesi yang dalam, dan pada beberapa kasus dapat menghindari untuk membuat
lesi lebih luas yang mungkin diperlukan untuk mendapat drainase yang lebih baik.

Bebat luka tradisional memerlukan pergantian bebat setiap hari. Hal ini dapat
menyebabkan nyeri dan meningkatnya ketidaknyamanan pasien serta merepotkan staff medis.
Disis lain, bebat VAC hanya membutuhkan pergantian setiap 48-72jam. Sehingga jumlah
penggantian bebat pada pasien berkurang. Hal ini tentu saja dapat mengurangi rasa
ketidaknyamanan pada pasien dan mengurangi beban kerja para staff medis. Bebat VAC juga
portable sehingga memungkinkan dilakukan rawat jalan sehingga pasien dapat dipulangkan lebih
awal dengan bebat tetap terpasang. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi nosocomial
dan permasalah lain akibat perawatan di rumah sakit yang memanjang yang sering muncul pada
terapi bebat tradisional.


11







Perineum adalah lokasi yang cukup sulit untuk dipasang bebat. Hal ini dikarenakan daerah
ini punya banyak lipatan dan bagian yang bergerak seperti genitalia dan kaki sehingga bebat sulit
untuk dipertahankan pada posisinya. Selain itu, sekresi urine dan feses yang melewati daerah
perianal juga sangat mungkin dapat mengenai dan mengotori bebat dan bahkan dapat merembes
kedalam luka. Bebat kedap udara memang cukup sulit diaplikasikan pada kondisi ini, tetapi dengan
teknik tertentu kondisi kedap udara dapat diciptakan.

Pertama, untuk memasang bebat VAC pasien paling baik berada pada posisi litotomi.
Kedua, untuk bisa memasang bebat pasca operasi debridement luka harus dalam keadaan bersih
dan kering. Ketiga, sebelum pemesangan bebat, pinggir luka sebaiknya dibungkus/diaplikasi
dengan bebat transparent Tegderm sebelum dilakukan pemesangan bebat adhesive diseluruh
luka. Hal ini dapat membantu menciptakan kondisi kedap udara dan mempertahan bebat ditempat
sehingga bebat adhesive lebih mudah diaplikasi.

Dan yang paling utama, setelah dipasang alat suction secara insitu perlu dipastikan sisi lesi
berada tetap berada disebelah bawah untuk membantu menciptakan kondisi kedap udara/tekanan
negative ketika suction diaplikasi dan mencegah merembesnya cairan luka pada bebat. Bila cairan
luka tetap merembes, pasta stomaheshive dapat membantu menutup lokasi perembesan.

Jika diperlukan dapat dilakukan pemasangan kateter urine, bahkan dapat dilakukan
pemesangan kateter suprapubis apabila lesi meluas hingga mengenai area sekitar meautus urethra.
Pada kasus berat yang mengenai dinding bawah abdomen dapat dilakukan nephrostomy percutan.
Feses dapat dijauhkan dari daerah lesi dengan memasang alat menegement feses Flexiseal.
Tetapi, untuk bisa menggunakan alat ini rectum harus dikosongkan dari fese yang keras untuk itu
pemberian softener feses diperlukan pada penggunaan alat ini. Pilihan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan kolonostomi sementara.

Meski didapat banyak manfaat dari aplikasi bebat VAC. Perlu diperhatikan bahwa terapi
luka tekanan negative seperti bebat VAC tidak dapat dipalikasi pada semua pasien. Terapi luka
tekanan negative dikontraindikasikan pada beberapa tipe lesi seperti lesi malignansi, lesi dengan
ekposure saraf dan vaskuler, lesi dengan eksposure organ dan anatomisis organ. Selain itu juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi perdarahan, debridement yang kurang



12







adekuat dan lesi disertai infeksi sekunder. Untuk itu, penting untuk pemilihan pasien secara cermat
sebelum mengaplikasikan teknik ini untuk mecegah komplikasi yang tidak diharapkan.




Kesimpulan

Terapi VAC membantu dalam penyembuhan luka terbuka yang luas pada daerah perianal
dengan cara mengurangi terjadinya kontaminasi pada luka, memungkinkan mobilisasi pasien, dan
mengurangi jumlah pergantian bebat. Kemampuannya untuk drainase cavitas yang dalam juga
memungkinkan insisi yang lebih kecil dibanding yang diperlukan pada bebat tradisional.

































BAB III

JURNAL III






13







Studi Kasus : Gangren Fournier : Pengelolaan Luka

Yang Luas


Gibbins S

Abstrak

Seorang laki-laki, berusia 43 tahun dengan mengidap diabetes mellitus tipe 2, yang
mengalami infeksi berkembang pada pangkal paha kanan setelah terjatuh. Dia didiagnosis dengan
gangren Fournier, dan menjalani operasi empat kali untuk debridement bagian infeksi, jaringan
nekrotik. Sebuah luka yang luas memanjang dari pangkal paha kanan memutar ke pantat kanan
dengan margin 2 cm dari anus telah terbentuk. Setelah 10 hari dibungkus dengan kasa normal
saline, disarankan penggunaan balutan tekanan negative topical. Masalah dengan penyimpangan
dari margin luka, lokasi luka pada bagian slangkangan dan kedekatannya dengan anus telah diatasi
dengan pendekatan inovatif untuk menejemen luka.

Presentasi

Tuan L, berusia 43 tahun, dirujuk ke rumah sakit oleh dokternya dengan infeksi pada
bagian selangkangan, diagnosis sementara sebagai selulitis. Pasien tampak pucat, tingginya 185
cm, dan berat badannya 145 kg. pasien mengehlukan kepada dokternya terjadi pembengkakan pada
pangkal paha bagian kanan setelah terjatuh 5 hari yang lalu (sebelum ke dokternya). Dia juga
mengeluhkan nyeri kepala, batuk, sakit tulang rusuk, dan merasa demam. Pasien diberikan resep
Augmentin Forte untuk infeksi pada bagian dada yang dialaminya.

Lima hari kemudian dengan cepat dia dikirim ke unit gawat darurat, terdapat
pembengkakan eritematosa pada bagian pangkal paha kanan tepat di bawah scrotumnya, yang
memanjang sampai kearah pantat, dengan kulit yang rusak tampak luas dan terdapat pus. Pasien
demam dengan suhu 38,5 C dan pasien mengeluhkan nyeri pada pangkal paha yang signifikan
dan mengalami disuria. Pasien dibawa ke ruang operasi untuk dilakukan debridement pada luka,
dilakukan pembersihan pada dua abses yang berkomuniasi pada pangkal paha kanan yang
memiliki pus berbau busuk.


14







Pada hari berikutnya dari tim penyakit infeksi berkesimpulan akhir dan berpendapat bahwa
infeksi tesebut merupakan gangrene Fournier, jenis necrosis facitis yang langka, lebih umum pada
laki-laki dan terjadi terutama setelah cedera suatu area pada individu yang mengalami diabetes
mellitus atau yang mengalami imunokompromais. Gangrene Fournier dapat menyebabkan syok,
ileus, delirium, kegagalan multiorgan dan kematian. Penyeka dari pangkal paha yang menjadi
lahan pemasukan dari perkembangan peradangan agalactiae yang moderat dan bakteroides yang
berat.

Riwayat Kesehatannya

Tuan L telah menderita diabetes mellitus tipe 2 sejak tahun 1999. Pasien menggunakan
insulin yang digunakannya tidak teratur. Tuan L memiliki riwayat seulitis, apendisektomi,
glaucoma, ortopneu dan asma ringan. Pasien menggunakan kacamata dan pasien mengalami sesak
nafas apabila beraktivitas dan pada posisi tertentu. Dari pengakuan pasien, tuan L sudah
menggunakan obat insulin QID dan Augmentin Forte TDS. Pasien tidak memiliki riwayat alergi.

Riwayat Luka

Tuan L memliki luka yang panjang dari pankal paha kanannya diatas pubis sekitar 2 cm
pada bagian pinggir anal. Lukanya dalam, dengan terdapatnya jaringan subkutan yang hilang dan
terdapatnya pembentukan rongga disepanjang pangkal paha kanan bagian atas. Masih terdapat
lapisan jaringan yang sloughy dengan luas sekitar setengah dari dasar luka. Sisa dari alas luka
tersebut berbentuk bintik-bintik merah muda. Terdapat 1 cm potongan dari jaringan nekrotik yang
tersisa.

Pada luka tersebut sedikit berbau busuk. Terdapat eksudat Hemoserous dan terdapat
permasalahan dengan penahanannya. Kulit disekitarnya tampak eritematosa dengan terdapat
daerah kacil yang berupa maserasi. Delapan hari kemudian, luka pada bagian pantat panjangnya 10
cm, lebarnya 14 cm dan kedalamannya sekitar 2 cm. Luka pada bagian selangkangan tampak tidak
teratur dan kedalamanya sampai 4 cm, dengan ditelusuri hingga 5 cm sepanjang selangkangannya.
Debridement tambahan dilakukan untuk tujuan antibiotic IV (klindamisin, siprofloksasin, dan
tikarsilin untuk penggunaan selama 3 hari, diikuti dengan 6 hari penisilin dan metronidazole) untuk
menghentikan fasciitis tersebut.


15







Tujuan

Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan penyembuhan luka melalui analisis kritis
pada pasien dan lukanya serta untuk merumuskan bukti solusi dalam memenejemen luka yang
mencakup pendekatan yang holistic.

Pengelolaan

Menejeman awal luka termasuk pembedahan debridement sebanyak empat kali dari
gangrene memperpanjang periode selama 7 hari. Debridement dilakukan untuk membersihkan
sejumlah besar pus dan jaringan nekrosis. Pada luka tersebut dipenuhi dengan kasa
providoneiodine intraoperatif. Penulis pertama memperlihatkan, luka tuan L ketika dia membantu
dalam mengubah BD normal dengan saline kasa bungkus, yang digunakan untuk melanjutkan
mekanis debridement dari dasar luka.

Pada hari ke-10, luka tersebut dinilai untuk memungkinkan pembalutan tekanan negative.
Staf bedah dan keperawatan berpendapat bahwa luka tersebut terlalu dekat dengan anus untuk
menjaga secara rapat untuk alasan berikut:















Keringat yang berlebihan didaerah selangkangan, yang dapat mengangkat balutan dari
selaput.

Margin luka yang tidak rata dengan disertai banyaknya lipatan kulit, yang bisa membuat
penggunaan pakaian sulit.

Jarak ke anus, yang dapat membatasi daerah tersebut untuk dapatnya pergantian dari
selaput, dan mengakibatkan kotaminasi feses pada luka dan terjadi pencabutan dari balutan.

Stress pada perbaikan sekunder untuk mobilisasi dan gerakan diatas tempat tidur, yang
dapat mencabut dari balutannya.

Dari pengalaman penulis sebelunya, dengan menggunakan balutan tekanan negative, kemungkinan
akan memberikan solusi.






16



































Tehnik Pembalutan

Dalam tehnik mengganti memiliki banyak langkah untuk memastikan kepatuhan dari
pergantian selaput ke kulit. Pada bagian tersebut dipersiapkan dengan menjepit rambut kemaluan.
Pada bagian kuit benar-benar dibersihkan dan dikeringkan. Sebuah pembatas yang digunakan
untuk menyeka di sekeliling kulit yang mebantu dalam perlengketan selaput yang telah terganti,
dan melindungi kulit apabila balutan bocor. Perawat lain membantu untuk memegang lipatan kulit
dan meregangkan kaki, mempertahankan permkaan tetap halus ketika mengalami regenerasi
selaput.

Awalnya luka tersebut dilakukan debridement dari sejumlah kecil yang mengelupas. Pada
luka selangkangan pertama kali dilumuri busa dan selaput dibalut, dan terpasang tubing. Kemudian
tuan L di dimiringkan ke sisi kirinya sehingga luka pada pantat dapat dipersiapkan.
Memperhatikan luka pada bagian pantat paling belakang bahwa waktu minimal yang dihabiskan
pada daerah ini sebelum tekanan negatif diterapkan, mencegah tercabutnya selaput melalui
perembesan dari eksudat di bawah selaput. Balutan slaput yang dipotong menjadi lebih kecil untuk
lebih mudah dikelola dalam pemotongan sehingga memudahkan aplikasi.

Balutan slaput yang ditempatkan tepat dibagian atas anus, mengikuti kontur. Sebuah
lubang sekitar 2 cm kemudian dipotong pada bagian selaput balutan untuk memberikan celah
untuk flatus. Sebuah bantalan penyerapan ditempatkan dilipatan anal untuk menyerap bagian yang
17







menguap. Bagian pantat diikat dengan pita yang fleksibel, mencegah terangkatnya balutan pada
saat mergerak. Tekanan negatif yang diberikan sekitar 25 mmHg yang berkelanjutan sesuai dengan
guideline.

Meskipun dari riwayat pasien, tuan L memberitahukan penulis bahwa ia biasanya BAB
setiap 2-3 hari sekali. Hal ini menjadi keuntungan agar balutan dapatdibiarkan utuh sampai pasien
memiliki keinginan untuk BAB. Pita luar (plester) dapat dibuka, dan selaput balutan dipotong
kembali untuk memungkinkan pasien dapat BAB. Mr L disarankan untuk mandi setelah BAB saja,
ketika mandi dijadikan suatu masalah dengan pengangkatan balutan.

Sebuah rencana manajemen luka mengidentifikasikan tehnik balutan dan bahan yang
digunakan. Foto digunakan untuk memvisualisasikan status luka, yang menyediakan ahli bedah
dan staf lain dengan deskripsi visual dari luka tersebut menampakkan perkembangan tanpa harus
membuka balutan.

Sejumlah manfaat positif muncul dari penggunaan balutan tekanan negatif. Hal ini
didapatkan lebih nyaman untuk tuan L dari pada dua kali sehari menggunakan kemasan saline,
mobilisasi jauh lebih mudah, dan pakaian dan perubahan linen telah diminimalkan karena eksudat
terkandung. Selain itu, penggantian balutan dikurangi menjadi tiga kali seminggu, baunya
mengalami pengurangan dengan menggunakan sistem balutan tertutup, dan luka penyembuhannya
dipercepat dikarenakan tekanan negatif secara topikal, mengurangi jumlah cairan pada dasar luka
dan merangsang angiogenesis dan produksi jaringan granulasi.

Dalam hal ini penyembuhan luka dapat saja tertunda dikarenakan tuan L memiliki diabetes
yang tidak terkontrol dan gizinya yang menurun dikarenakan nafsu makan yang menurun selama
periode awal. Penyembuhan luka tersebut mungkin dibantu oleh ahli gizi yang memberikan
minuman tinggi protein yang mengandung arginine, suatu asam amino yang dibuktikan memicu
pengendapan kolagen.

Selain itu, endokrinologi yang mengatur tingkat gula darah pasien melalui pemantauan
terus menerus dan penyesuaian peggunaan insulin bila dibutuhkan. Seorang pendidik diabetes
membantu meningkatkan pengetahuan pasien mengenai diabetes, yang dipupuk ditingkatkan
sesuai dengan perubahan manajemen diabetes tuan L. Meskipun kain penutup pada luka yang
membuka pertumbuhan MRSA dan pseudomonas, lukanya terus meningkat. Ahli bedah plastik
18











belum siap untuk menutup atau skin graf pada luka karena posisi dan tingkat kolonisasi bakteri
tersebut.

Kemajuan/Tindak Lanjut

Dua puluh empat hari setelah dimulainya pembalutan tekanan negatif secara topikal, pada
tuan L terpasang alat tekanan negatif yang dapat dibawa, dalam perawatan sejumlah perawat.
Seminggu sebelum dibuang, penulis mengatur dua kelompok perawat untuk melihat perubahan
dari balutan, selama waktu semua isuseputar pengelolaan luka dibahas. Mereka juga dilengkapi
dengan rencana salinan pengelolaan luka dan foto untuk refrensi. Luka pada pantat tersebut
mengalami penurunan ukuran panjanganya 10 cm, luasnya 6 cm dan kedalamannya sampai 1 cm.
Rongga selangkangannya sekitar 2 cm.

Sehari sebelum pulang, tuan L sudah pulang dengan okupasi trapis. Pada hari itu panas, dia
menggunakan celana olahraga dan rumahnya tidak menggunakan AC. Hal ini mengakibatkan
keringat yang berlebihan didaerah selangkangan dan balutan terangkat ketika dia kembali,
meskipun terapi tekanan negatif topikal dilakukan terus menerus. Tuan L mengira dia bisa
mengatasi masalah dengan menggunakan pakaian tipis di sekitar rumahnya. Dari kelompok
perawat juga berfikir untuk tempat tidur yang terlalu rendah untuk pembalut yang panjang serta
kakinya membutuhkan istirahat pada suatu bagian yang tinggi seperti bedrail, sehingga kami
mengatur untuk menyewa tempat tidur dari sebuah rumah sakit.






















Diskusi

19







Pengelolaan luka tuan L telah disempuranakan oleh proses riwayat pengambilan, kecepatan
perawatan, pendekatan multidisiplin dalam perawat pasien, dan oleh kelahlian dalam manajemen
perawatan luka yang berpengalaman dalam penyesuaian dan menerapkan pembalutan tekanan
negatif topikal. Interfensi bedah yang dilakukan pada contoh pertama untuk mencegah konsekuensi
yang mengancam kahidupan dari gangren Fournier tersebut. Debridement ulang dilakukan dari
semua nekrotik dan jaringan terinfeksi diperlukan karena luasnya infeksi tidak dapat ditentukan
oleh tepi nekrosis tersebut. Penilaian ulang untuk debridemen lebih lanjut diperlukan yang
dilakukan setiap 24-48 jam.

Antibiotik dengan cakupan spektrum luas digunakan untuk mengobati beberapa mikro-
organisme, khususnya bakteri anaerob. Penggunaan balutan tekanan negatif topikal secara inovatif,
dan peningkatan status tuan L mengenai diabetes dan nutrisinya, kemungkinan besar
mempengaruhi proses penyembuhan. Penggantian balutan tekanan negatif topikal membantu
dalam proses penyembuhan dengan merangsang aliran darah ke tempat luka, menghilangkan
eksudat yang berlebihan dan penurunan jumlah bakteri tetap menjaga kelembapan lingkungan
luka. Mekanisme memicu pembentukan graulasi jaringan. Strategi-strategi manajemen yang
memfasilitasi pengeluaran cairan dari rumah sakit sebelumnya, transisi yang dibuat secara halus
melalui konsultasi sebelumnya dengan pendidik, dan komunitas perawat untuk memastikan
kesinambungan perawatan.

Ringkasan

Pengelolaan secara secara scepat pada luka kronis yang timbul dari gangren Fournier sulit
dikarenakan tingkat debridement dari jaringan nekrotik, dan dalam hal ini lokasi dari luka, yang
diperpanjang dari pangkal paha kanan ke anus. Sebuah rencana manajemen yang komperhensif
yang dimulai dilakukan secara terus menerus, peninjauan ahli bedah, ahli gizi, endokrinologi dan
pendidik diabetes, serta penggunaan pembalutan tekanan negatif topikal secara inovatif dalam
pengelolaan luka.

Rekomendasi

Pendekatan multi-disiplin dibantu dengan konsultasi perawat luka yang berpengalaman
dalam manajemen luka tersebut dapat menyebabkan pengelolaan luka yang lebih efektif dan
memiliki potensi untuk mempersingkat lama opname, untuk mengurangi waktu yang digunakan
20







dalam perawatan pembalutan, meningkatkan waktu penyembuhan dan meningkatkan kenyamanan
pasien.

Pernyataan

Penulis menyatakan bahwa tidak ada produksi yang digunakan untuk mengobati pasien ini
yang disuplai langsung oleh suatu produsen.



























BAB IV

RESUME




Gangren Fournier

Gangrene Fornier adalah infeksi langka yang ditandai dengan perkembangan myonecrosis
secara cepat, yang mempengaruhi daerah-daerah seperti perineum, alat kelamin dan perianal. Hal
ini lebih umum pada pria, antara usia 40 dan 70 tahun, dan jarang terjadi pada wanita, tetapi juga
telah dijelaskan dapat terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.




21







Ada dua jalur dalam penyebaran penyakit ini. Pertama dari saluran cerna, biasanya dari
daerah anorektal (abses) setelah dilakukan operasi hemoroid, trauma pada rectum dan lain
sebagainya. Yang kedua adalah dari saluran urogenital setelah penggunaan kateter jangka panjang,
periueretritis, dilatasi dengan alat pada stenosis uretra. Factor-faktor yang mempengaruhi onset
perbaikan pada semua varian dari penyakit ini adalah diabetes mellitus, alkoholisme, defisiensi
imunologi, penyakit keganasan, insufisiensi ginjal dan hati. Pathogenesis dari penyakit ini masih
belum diketahui secara pasti.

Dari jurnal pertama dikatakan pentingnya periode waktu, antara terjadinya infeksi dan
pengobatan secara dini, didapatkan bahwa dengan hal tersebut banyak pasien terselamatkan,
setelah diberikan pengobatan dalam waktu 4 hari sejak awal infeksi, sedangkan pada pasien yang
telah meninggal pengobatan dimulai pada hari ke-7 dari infeksi. Hasil yang sama didapatkan juga
oleh penulis yang lainnya. Dari semua studi yang tersedia secara deskriptif didapatkan
mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi yang paling banyak berupa mikroorganisme anaerob,
hal ini mengakibatkan meningkatnya penggunaan antibiotic dalam pengobatan.

FG ditatalaksana, setelah dilakukan debridement yang ekstensive, dengan bebat luka
regular dan dibiarkan untuk mengalami penyembuhan sekunder. Tetapi, lesi yang luas memerlukan
waktu yang panjang untuk dapat sembuh total dengan resiko infeksi sekunder bila Bebat/kompres
luka tidak diganti secara teratur. Masalah utama terletak pada lokasi lesi yang berada didaerah
perianal dimana daerah ini sulit untuk dipertahankan higienitasnya karena terpapar oleh urine dan
feses secara langsung yang kemungkinan besar dapat mengontaminasi lesi menyebabkan infeksi
sekunder yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka.

Dari jurnal kedua didapatkan bahwa teknik bebat VAC cukup efektif untuk menangani lesi
perianal yang luas dan kompleks.Dengan menggunakan teknik ini, dapat dicegah terjadinya
perembesah eksudat dan cairan luka sehingga perawatan luka menjadi lebih mudah. Segel kedap
udara mencegah kontaminasi feses dan urine kedalam luka, sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka. Selain itu bebat VAC memungkinkan drainase lesi yang efektif bahkan pada
lesi yang dalam, dan pada beberapa kasus dapat menghindari untuk membuat lesi lebih luas yang
mungkin diperlukan untuk mendapat drainase yang lebih baik.




22







Serta pada jurnal ke tiga didapatkan pada pasien gangren Fournier dengan komplikasi
diabetes mellitus dilakukan manajamen yang disempuranakan oleh proses riwayat pengambilan,
kecepatan perawatan, pendekatan multidisiplin dalam perawat pasien, dan oleh kelahlian dalam
manajemen perawatan luka yang berpengalaman dalam penyesuaian dan menerapkan pembalutan
tekanan negatif topikal. Interfensi bedah yang dilakukan pada contoh pertama untuk mencegah
konsekuensi yang mengancam kahidupan dari gangren Fournier tersebut. Debridement ulang
dilakukan dari semua nekrotik dan jaringan terinfeksi diperlukan karena luasnya infeksi tidak dapat
ditentukan oleh tepi nekrosis tersebut. Penilaian ulang untuk debridemen lebih lanjut diperlukan
yang dilakukan setiap 24-48 jam. Antibiotik dengan cakupan spektrum luas digunakan untuk
mengobati beberapa mikro-organisme, khususnya bakteri anaerob.

Pengelolaan secara secara cepat pada luka kronis yang timbul dari gangren Fournier sulit
dikarenakan tingkat debridement dari jaringan nekrotik, dan dalam hal ini lokasi dari luka, yang
diperpanjang dari pangkal paha kanan ke anus. Sebuah rencana manajemen yang komperhensif
yang dimulai dilakukan secara terus menerus, peninjauan ahli bedah, ahli gizi, endokrinologi dan
pendidik diabetes, serta penggunaan pembalutan tekanan negatif topikal secara inovatif dalam
pengelolaan luka.

Pada gangren Fournier manajemen yang dilakukan yaitu tindak lanjut segera dalam
mentatalaksana penyakit tersebut, dengan melakukan debridement pada daerah necrotik,
pemberian antibiotik spektrum luas, pengontrolan terhadap gula darah (pada pasien dengan
komplikasi diabetes mellitus), dan dilakukan pembalutan luka dengan tekanan negatif topikal yang
dapat memudahkan dalam imobilisasi pasien serta memberikan kenyamanan yang lebih terhadap
pasien, dikarenakan ketika menggunakan tehnik tersebut tidak dilakukan penggantian balutan
setiap hari.















23

Anda mungkin juga menyukai