Anda di halaman 1dari 5

1.

DEFINISI
The International Continence Society (ICS) medefinisikan inkontinensia urin adalah
keadaan dimana urin keluar secara involunter yang tampak jelas dan obyektif dan menjadi
masalah sosial dan hygiene. Secara epidemiologi inkotinensia urin adalah adanya pengeluaran
urin yang tidak dapat dikontrol dalam jangka waktu setahun atau lebih dari episode dalam
sebulan (Dmochowsky, 2003 dalam keperawatan.unsoed.ac.id).
Menurut Setiati dan Pramantara (2007 dalam - 2010 -) penggambaran
definisi Inkontinensia Urin yang lainnya adalah sebagai berikut :
1) Menurut keluarnya urin :
a. Kesulitan menahan berkemih sampai mencapai toilet
b. Keluarnya air kencing yang tidak diharapkan
c. Hilangnya pengendaliaan berkemih
2) Menurut frekuensi :
a. Selalu terjadi
b. Terjadi satu tahun yang lalu
c. Terjadi satu bulan yang lalu
d. Terjadi satu minggu yang lalu
e. Terjadi setiap hari
Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendalisehingga menimbulkan
masalah higienis dan sosial. Inkontinensia urinmerupakan masalah yang sering dijumpai pada
orang usia lanjut danmenimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh,
depresi,dan isolasi dari lingkungan sosial. Inkontinensia urin dapat bersifat akut ataupersisten.
Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakitatau masalah yang mendasari
diatasi seperti infeksi saluran kemih,gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obatobatan dan
masalah psikologik.Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula
- 2010 ) .
Berbagai keadaan patologik gangguan berkemih selain enuresis disebut inkontinensia
urin. Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bawah
yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi dalam
proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Secara fisiologis dalam setiap
proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu kapasitas buli-buli
yang adekuat, pengosongan buli-buli yang sempurna, proses pengosongan berlangsung di
bawah kontrol yang baik serta setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk
terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal. Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut
mengalami kelainan, maka dapat timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.
Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa penderita, tetapi
berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor gangguan psikologis dan faktor
sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa rendah diri karena selalu basah akibat urin yang
keluar, mungkin pada saat batuk, bersin, mengangkat barang berat, bersanggama, bahkan
kadang pada saat berist
- 2010).
Dapat disimpulkan bahwa inkontinensia urin secara umum adalah kegagalan kontrol
secara volunter vesika urinaria dan sfingter uretra sehingga terjadi pengeluaran urin secara
involunter. Secara umum gangguan berkemih yang menyebabkan pakaian atau tempat tidur
basah disebut mengompol (enuresis), yang berlangsung melalui proses berkemih yang normal
(normal voiding) tetapi terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Dianggap sebagai
akibat maturasi proses berkemih yang terlambat dan umumnya tidak ditemukan kelainan
organik yang nyata sebagai penyebab.
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi dibawah ini telah disetujui oleh ICS (International Continence Society) berdasarkan
kategori klinis:
1. Stress urinary incontinence
Strees inkotinensia terjadi karena mekanisme spingter uretral yang tidak adekuat
untuk menahan urine pada saat keluar dari kandung kemih. Pasien biasanya
menggambarkan pengeluaran urin sedikit-sedikit secara tidak sengaja pada saat melakukan
aktivitas yang meningkatkan tekanan intraabdominal, seperti batuk, tertawa, bersin atau
mengangkat beban. Seringkali stress inkontinensia urin terjadi pada wanita dewasa (dengan
riwayat hamil dan melahirkan pervaginam), inkontinensia stress biasanya disebabkan oleh
kelemahan dasar panggul dan lemahnya sphincter vesikouretral. Pada keadaan normal
tekanan penutupan uretra merespon terhadap pengisisan kandung kemih, perubahan posisi,
stress seperti batuk dan bersin. Spingter memiliki mekanisme sendiri untuk meningkatkan
resistensi uretra dengan demikian menghalangi perembesan urin.
Stress inkontinensia dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
Tipe 0 : pasien mengeluh adanya kebocoran namun tidak dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan.
Tipe 1 : inkontinensia urin dapat terjadi dengan pemeriksaan manuver stress dan ada
sedikit penurunan uretra pada leher vesica urinaria.
Tipe 2 : inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada
leher vesica urinaria 2 cm atau lebih.
Tipe 3 : uretra terbuka (lead peep) dan area leher vesica urinaria tampak kontraksi.
2. Urge urinary incontinence
Yaitu inkontinensia yang berhubungan dengan aktivitas detrusor, disebut juga
instabilitas detrusor. Jenis inkontinensia ini dikarakteristikan dengan tidak adanya
pembatasan kontraksi kandung kemih dan banyak terjadi pada orang tua. Pasien seringkali
menggambarkan gejalanya tidak dapat mengontrol keinginan untuk mengosongkan kandung
kemih. Simptom lainnya adalah meningkatnya frekuensi brekemih dan terjadina nokturia.
3. Mixed urinary incontinence
Mixed urinary incontinence merupakan gabungan gejala inkontinensia urgensi dan
inkontinensia stress. Pada inkontinensia jenis ini terjadi disfungsi detrusor (motorik atau
sensorik)dan berhubungan dengan aktivitas spingter uretra. Yang berarti terjadi pengeluaran
urin yang tidak disengaja yang berkaitan dengan urgensi dan juga dengan batuk dan bersin.
4. Inkontinensia fungsional
Selain ketiga inkontinensia diatas juga terdapat inkontinesia fungsional atau
transien. Inkontinensia fungsional terkait dengan gangguan kognitif, fisiologis, atau fisik yang
membuatnya sulit untuk mencapai toilet atau kencing dengan cara yang benar. Singkatan
yang berguna untuk mengingat penyebab inkontinensia urine fungsional atau transien
adalah DIAPPERS: Delirium, Infeksi, Atrofi, Farmakologi, Psikologi, esccesive urin production,
Retriksi Mobilitas , dan Stool Impaksi.
5. Inkontinesia overflow
Overflow inkontinensia merupakan keluarnya urin secara tidak terkendali yang
dihubungkan dengan overdistensi dari kandung kemih. Dua proses yang melibatkan yaitu
retensi urin akibat obstruksi kandung kemih atau tidak adekuatnya kontraksi kandung
kemih. Hal ini dapat terjadi secara sekunder dari kerusakan otot detrusor yang memicu
kelemahan otot detrusor. Selain itu obstruksi uretra juga dapat memicu distensi kandung
kemih.

3. ETIOLOGI
Inkontinensia urin berdasarkan etiologi dapat dibagi seperti berikut ini :
a. Disfungsi vesica urinaria.
Disfungsi vesica urinaria terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Inkontinensia Urge.
Proses terjadinya inkontinensia urge meliputi mekanisme Overactivity
muskulus detrusor baik yang nonneurogenic maupun neurogenic serta poor
compliance. Urge incontinence terjadi ketika tekanan kandung kemih cukup untuk
mengalahkan mekanisme sfingter. Peningkatan kandung kemih atau tekanan
detrusor cenderung membuka leher kandung kemih dan uretra. Peningkatan
tekanan detrusor dapat terjadi dari kontraksi kandung kemih intermiten (over
activity detrusor) atau karena kenaikan tambahan tekanan dengan volume kandung
kemih meningkat (poor compliance). Over activity detrusor mungkin idiopatik atau
mungkin berhubungan dengan penyakit neurologis (detrusor overactivity asal
neurogenik). Over activity detrusor umumnya terjadi pada orang tua dan mungkin
berhubungan dengan obstruksi kandung kemih.
2. Inkontinensia overflow. Inkontinensia overflow terjadi pada volume kandung kemih
yang ekstrim atau ketika volume kandung kemih mencapai batas sifat viskoelastik
kandung kemih. Hilangnya urin didorong oleh peningkatan tekanan detrusor.
Inkontinensia overflow terlihat ketika ada pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap disebabkan baik oleh obstruksi atau kontraktilitas kandung kemih yang
buruk.
b. Disfungsi Uretra (inkontinensia stres)
Inkontinensia terkait uretra, atau inkontinensia stres, terjadi karena hipermobilitas
uretra atau defisiensi sfingter intrinsik. Inkontinensia terkait dengan hipermobilitas uretra
telah disebut inkontinensia anatomi, karena inkontinensia adalah karena malposisi unit
sfingter. Pemindahan dari uretra proksimal di bawah tingkat dasar panggul tidak
memungkinkan untuk transmisi tekanan perut yang biasanya membantu dalam menutup
uretra. Ada wanita dengan mobilitas leher kandung kemih atau uretra yang tidak mengalami
inkontinensia. defisiensi sfingter intrinsik baru biasanya terjadi setelah kegagalan dari satu
atau lebih operasi untuk inkontinensia stres. Penyebab lain defisiensi sfingter intrinsik
termasuk myelodysplasia, trauma, dan radiasi. Beberapa penulis telah berteori bahwa
semua pasien mengompol harus memiliki unsur defisiensi sfingter intrinsik dalam rangka
untuk benar-benar bocor. Pasien dengan inkontinensia stres akan bocor urin dengan
peningkatan mendadak tekanan perut. Pada pasien dengan defisiensi sfingter intrinsik berat,
dibutuhkan hanya sedikit peningkatan tekanan perut untuk menyebabkan kebocoran, dan
karena itu pasien dapat bocor urin dengan aktivitas minimal.

4. FAKTOR RESIKO
5. EPIDEMIOLOGI
WHO menyatakan bahwa inkontinensia urin merupakan salah satu topik kesehatan
cukup besar dan diperkirakan lebih dari 200 juta orang diseluruh dunia mempunyai masalah
dalam pengontrolan berkemih (Rortveit et al, 2003). Konferensi Konsensus Kesehatan
Nasional Amerika (1998) dalam Thom et al (2007) menyatakan bahwa dua per tiga dari 10
juta orang dewasa yang mengalami inkontinensia adalah wanita.
Masalah inkontinensia urin saat ini belum mendapatkan perhatian penuh di dunia,
termasuk di Indonesia. Prevalensi inkontinensia urin pada wanita berkisar antara 3-55%
bergantung pada batasan dan kelompok usia (Leduc & Straus, 2004). Di Amerika Serikat
jumlah penderita inkontinensia urin mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan,
sebenarnya jumlah ini masih sangat sedikit dikarenakan banyak kasus dengan inkontinensia
urin yang belum dilaporkan (Syaifudin, 2001). Asia Pacific Continence Advisory Board
(APCAB) menyatakan prevalensi inkontinensia urin pada wanita Asia sekitar 14,6%
(Wahyuni, 2010). Prevalensi inkontinensia urin bervariasi di setiap negara yang disebabkan
oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu perbedaan definisi, populasi, sampel penelitian, dan
metodologi penelitian. Di Indonesia prevalensi angka kejadian inkontinensiaurin belum
dapat terdeteksi secara pasti dikarenakan banyak orang yang menganggap inkontinensia
urin merupakan hal yang wajar setelah wanita melahirkan dan kebanyakan merasa malu
untuk memeriksakannya ke tenaga kesehatan (Bajuadji, 2004 dalam
keperawatan.unsoed.ac.id).
6. PATOFISIOLOGI
7. MANIFESTASI KLINIS
8. PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
9. PENATALAKSANAAN
10. KOMPLIKASI
11. PENCEGAHAN
12. ASUHAN KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai