Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

CEDERA
KEPALA









Disusun oleh:

030.10.048 Bayu Adiputra
030.10. 011 Agnes Yuarni
030.10.032 Aninda Rebecca L.
030.10.109 Fransisca Stephanie W.
030.10.152 Komang ida widiayu
030.10.165 M. Hafiza Muttaqin
030.10.241 Roy Andrew Halim L.
030.10.125 Hunied Kaudsar
030.10.172 Meikhel Alex W.
030.05.225 Vera Octasia














KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH
PERIODE 02 09 Agustus 2014
RUMAH SAKIT UMUM BUDHI ASIH
UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN



Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera kepala mencakup
26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja
lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33% kecelakaan yang
berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari
50% dari cedera kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan
pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan antara 40% sampai 50%
meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka yang dimasukkan dalam
keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35
% meninggal dalam satu minggu dalam perawatan


Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kapitis, maka
50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan
oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada
cedera.

Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak, yang pada
akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan kecacatan.

Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio serebri,
kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan intraserebral dan
laserasi serebri. Dengan istilah komosio dan kontusio masalah gangguan kesadaran,
sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah massa yang pada
penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli bedah saraf.

Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini, telah dikenal istilah-istilah somnolen,
sopor, koma dan sebagainya yang kesemuanya tadi adalah merupakan penilaian yang
bersifat kualitatif, sehingga masih memungkinkan terjadinya perbedaan penilaian
antara pemeriksa yang satu dengan yang lain.

Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan kesadaran yang
telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka penilaian gangguan
kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera kepala, penilaian gangguan
kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang peran utama.
Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan menjadi cedera
kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan secara singkat dalam
makalah ini.















































BAB II



ANATOMI KEPALA



A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. 3,4


B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 5,6. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di
regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas
3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.


C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).


2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.


3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.5


D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.7
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.


E. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3
Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.9


PATOFISIOLOGI



Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa
fraktur tulang tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural dan
intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak
atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini
mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan
Jika terjadi trauma kepala dengan kekuatan/gaya akeselereasi, deselerasi dan
rotatorik akan menimbulkan lesi atau perdarahan di berbagai tempat sehingga timbul gejala
deficit neurologist berupa babinski yang positif dan GCS kurang dari 15 (Sindrom Otak
Organik). Dari trauma kepala tersebut juga bisa terjadi pergerakan, penekanan dan
pengembangan gaya kompresi yang destruktif sehingga otak akan membentang batang otak
dengan sangat kuat dan terjadi blokade reversible terhadap lintasan assendens retikularis
difus serta berakibat otak tidak mendapatkan input afferent yang akhirnya kesadaran hilang
selama blockade tersebut berlangsung. Dari trauma kepala tersebut juga bisa
berdampak pada sistem tubuh yang lainnya.







KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
1. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan: Ada
riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung
tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan
jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah
dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin
pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang
terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya
rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat
adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan
selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.


3. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap
lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat
input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible
berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup , contrecoup, dan

intermediatemenimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli
kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah
dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat
vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa
timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi
dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral
edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan
7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid
traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas
laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed
terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan
yang hebat akibat kekuatan mekanis.


5. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan
fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang
terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus
disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan
operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.


6. Epidural Hematoma



Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan
duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga terjadi
kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya lusid
interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien tidak pingsan/ pingsan
sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan sendirinya,
tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri kepala , pusing,
kesadaran menurun hingga koma.
Gejala klinis :

Gejala fokal, akibat herniasi tentorial

timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)

pada daerah kontralateral

midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya
direct / indirect (-).
Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK

Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema.

LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi



7. Subdural hematoma



Yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid
akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak yang
berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala, akut seperti
epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan
perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan ringan.
Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi oleh
kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya
sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-gejala
menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi.
Gejala klinis :
menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian
tekanan intrakranial.
Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma

Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai
mual muntah
Midriasis homolateral,gangguan visus.

Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.

Refleks patologi (+)

Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung.

Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi.



8. Subarachnoid hematoma



Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma
kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.


Gejala klinis :

o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba

o Pusing, mual, muntah

o Kesadaran menurun hingga koma

o Kaku kuduk (+)

o Suhu tubuh meninggi

o Refleks patologi (+)

o Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa

o timbul kejang atau gejala fokal
9. Intraserebral hematoma

Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang
menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak pada
lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang- kadang
pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak tertolong,
perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila hematoma
berasal dari vena biasanya dapat tertolong.


Adapun pembagian cedera kepala lainnya:

Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan

Commotio Cerebri

o Skor GCS 13-15

o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari

10 menit

o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)

o Skor GCS 9-12

o Ada pingsan lebih dari 10 menit

o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)

o Skor GCS <8

o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.

PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI UNIT GAWAT DARURAT



1. Cedera Kepala Ringan ( GCS 13-15)



a. Pasien dalam keadaan sadar

Tanpa deficit neurology perawatan luka

Pemeriksaan radiology hanya atas indikasi

Pasien dipulangkan & keluarga diminta observasi kesadaran bila
curiga kesadaran menurun , segera kembali ke RS


b. Kesadaran terganggu sesaat

Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah

sadar kembali saat diperiksa.

Dibuat foto kepala.

Rawat luka

Pasien pulang observasi bila curiga kesadaran menurun

segera kembali ke RS



c. Keasadaran menurun

Perubahan orientasi tanpa deficit fokal

Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala

Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik

Observasi minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma skennig

Otak



Kriteria Rawat:

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal





2. Cedera Kepala Sedang



Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untu
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12).


1. Periksa & atasi gangguan Airway, Breathing, Circulation.

2. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan ke-
sadaran, amnesia, nyeri kepala
3. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

4. Pemeriksaan neurologis

5. Radiograf tengkorak

6. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada
indikasi
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah

8. Tes darah dasar dan EKG

9. CT scan kepala

10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal



Setelah dirawat:

1. Pemeriksaan neurologis setiap jam

2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala
berat akan memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan bila
perlu 1 tahun setelah cedera

3. Cedera Kepala Berat

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran.


Di Unit Gawat Darurat

1. Riwayat:

Usia, jenis dan saat kecelakaan
Penggunaan alkohol atau obat-obatan
Perjalanan neurologis
Perjalanan tanda-tanda vital

Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang

Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan
yang dipakai serta alergi
2. Stabilisasi Kardiopulmoner:

Jalan nafas, intubasi dini

Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin
normal atau darah
Foley, tube nasogastrik kateter

Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen,
pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
3. Pemeriksaan Umum

4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
Trakheostomi
Tube dada

Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells dan
traksi
Parasentesis abdominal

5. Pemeriksaan Neurologis:

Kemampuan membuka mata

Respons motor Respons
verbal Reaksi cahaya
pupil



6. Obat-obat Terapeutik: Bikarbonat
sodium Fenitoin
Steroid Mannitol
Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik

CT scan



GCS 8 surgery as indicated

yes
Insert ICP monitor



Maintain CPP
(Age appropriate)

Yes No
ICP

yes
Sedation & analgesia

Yes No
ICP



Drain CSF if
Ventriculotomy present
Consider careffuly
sepeating Yes No withdraw
CT scan ICP ICP
treatment

Neoromuscular blockade

Yes No
ICP
yes
Mannitol Hyperosmolar
therapy

yes No
ICP

yes
Mild hyperventilation
( Pa CO2 30-35 mmHg)

yes No
ICP

Yes
Second tier theraphy



PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA



1 . Anamnesis

Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan riwayat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua
dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di
kamar
mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan
pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti
urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih
dahulu
sebelum jatuh.





Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :

1. Sifat kecelakaan.

2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.

3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.

4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peris tiwanya
sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan
oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan
(hilang/ turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi
(kesadaran berubah)


2. Pemeriksaan fisik



Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului
anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang
dinilai ialah :
a.Jalan nafas airway

b.Pernafasan breathing

c.Nadi clan tekanan darah cireulation



Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.
Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal
(whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk. Gangguan
yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a.Pernafasan Cheyne Stokes.
b.Pernafasan Biot/hiperventilasi.
c.Pernafasan ataksik.


yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran. Pemantauan fungsi
sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga
trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya
frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang
biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.


3. Pemeriksaan Umum



Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum
secara cepat untuk mencari cedera lain. Perhatian khusus diberikan pada:


1.Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea, mata
racoon (ekkhimosis periorbital).
2.Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponad
kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan
hipotensi), aspirasi, atau ARDS.
3.Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan
biasanya berakibat tenderness,guarding atau distensi abdominal. Namun
tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada
pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang.
4.Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara
klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin
berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah
tersembunyi dalam jumlah besar.
5.Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan,
dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga
5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai.
6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot,
saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera
untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif
pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah
tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.


4. Pemeriksaan Neurologis



Tabel 4. Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala

-------------------------------------------------------

1. Skala Koma Glasgow

2. Respons pupil terhadap cahaya

3. Gerakan mata

4. Kekuatan motor

5. Pemeriksaan sensori sederhana

-------------------------------------------------------



1. Glasgow Coma Seale (GCS)

Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat
responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat
mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi
ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka

mata.


Skala GCS : Membuka mata : Spontan 4
Dengan perintah 3
Dengan Nyeri 2
Tidak berespon 1
Motorik : Dengan Perintah 6

Melokalisasi nyeri 5

Menarik area yang nyeri 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi 2

Tidak berespon 1
Verbal : Berorientasi 5

Bicara membingungkan 4

Kata-kata tidak tepat 3
Suara tidak dapat dimengerti 2

Tidak ada respons 1





2. Pupil


Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah
paling penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang
diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta respons cahaya pupil yang
lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-
unkal mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantarkan sinyal eferen
untuk konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil ringan.

Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar
sangat perlu pada pasien cedera kepala.Pupil kecil bilateral menunjukkan pasien
menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau beberapa
ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya
pupil. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral
pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral yang
inadekuat. Keadaan ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap kehilangan
darah atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada tingkat yang
mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin terjadi
segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu
lama.


3. Gerakan Mata

Gerakan bola mata merupakan indeks yang paling penting untuk penilaian
aktivitas fungsional batang otak (formatio retikularis). Penderita yang sadar
penuh, dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem
motorik okuler di batang otak.




4. Fungsi Motor


Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana
karena pasien dengan cedera kepala berat tidak cukup responsif terhadap setiap
nilai pemeriksaan hingga dapat dipercaya. Setiap ekstremitas diperiksa
dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara internasional:


Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0


5. Fungsi sensorik

Tujuan pemeriksaan sensorik

Menetapkan adanya gangguan sensorik.

Mengetahui modalitasnya.

Menetapkan polanya.
Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan
sensorik yang akhirnya dinilai
bersama sama dengan pemeriksaan motorik



Pemeriksaan Tambahan



A. RONTGEN

Peranan foto rontgen tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto
Rontgen tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto R
tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan :
Defisit neurologik fokal.
Liquorrhoe.
Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.
Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi
tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur basis
dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah.


B. CT SCAN



Indikasi. CT scanning jelas merupakan prosedur pilihan dalam
mengevaluasi pasien cedera kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas
outcome pasien dengan cedera kepala. Setiap kali muncul scanner generasi baru,
selalu disertai dengan perbaikan informasi yang diberikan. Dianjurkan sekali
bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera mungkin (dalam setengah
jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat datang. Lesi densitas tinggi
(hematoma epidural, subdural, intraserebral) dianggap memerlukan tindakan
operasi dekompresi bila menyebabkan pergeseran garis tengah 5 mm atau
lebih. Dengan kata lain, dasar pemikiran ditekankan pada derajat pergeseran garis
tengah dalam menentukan pasien mana yang harus dioperasi. Pergeseran garis
tengah yang bermakna pada pasien cedera kepala sudah dibuktikan ada
kaitannya dengan tingkat kesadaran.
Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah. Edema
mungkin fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa, mungkin
sulit untuk memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada area otak
normal sebagai pembandingnya.
Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak
homogen yang tersebar diantara area densitas rendah. Walau tidak selalu
mungkin membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan, yang
terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena perlekatan yang
erat antara dura dengan tabula interna mencegah hematoma mengalami
penyebaran.
Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus dibanding
hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang mengikuti
permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus frontal
dan temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja.
Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah
dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari
onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh.




6. Pembedahan (8)



Yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya
tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah pendarahan
ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :

Status neurologis

Status radiologis

Pengukuran tekanan intrakranial





Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :

Massa hematoma kira-kira 40 cc
Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan

GCS 8 atau kurang.

Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari
25 mm Hg.


Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
Dilatasi pupil ipsilateral

Hemiparese kontralateral

Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.

Indikasi operasi pada faktur depres :

Lebih dari satu tabula

Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya

LCS leakage

Fraktur depres terbuka

Preventif growing fracture pada anak.




Hasil




1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%

2. SDH:

Serlig et al : operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%

operasi setelah 4 jam mortality 90%

Hasselberger et al :

pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%

pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%



3. ICH: mortality 27% -50%

7. Terapi konservatif



Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan
menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9
%, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada
neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial,
mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan
NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-
150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai
dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari


Hiperventilasi fase akut

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang
(PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah. Hiperventilasi
profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus
dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis
akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap
sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.


Terapi hiperosmoler -manitol

Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam
waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan
menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran darah serebral,
meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan
penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan
tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral,
overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas
>320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi
dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non
reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan
0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan
mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.



barbiturat

Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah
untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi
penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor
hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik.
Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam
30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. menekan metabolism serebral, menurunkan
aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal
bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.


Kortikosteroid

Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan
intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan Lamb
meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada
tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan.
Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal
(85%).


Nutrisi



Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih

15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan
meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140%
kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan
enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
Kebutuhan Nutrisi:

Kalori 25 30 Kcal/KgBB/Hr

Protein 1,5 2 gr/KgBB/Hr

Karbohidrat 75 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)

Lipid 10 40 % kebutuhan kalori / hari
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat rata- rata
40%.


Terapi prevensi kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran dan
konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya
kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan
fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor
yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.




Komplikasi Cedera Kepala



1.Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-

25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.


2.Demam dan mengigil :

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk
outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain
dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.


3.Hidrosefalus:

Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia,
ataksia, gangguan miksi.

4.Spastisitas :

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan
kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan
splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,
benzodiasepin


5. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat
nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi
antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.


6. Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah
cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah
cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk
problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan
berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.


Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan
kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan
perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat
memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat
dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor
resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan
gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.

7. Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1
bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif
terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.







Prognosis cedera kepala



Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan
mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen
pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang- kejang dalam dua tahun
pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.


Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:

Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit,
penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.


William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan
komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan.
Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang
dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial.


Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera kepala adalah:
lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak
mekanisme cedera dan umur.


Pengukuran outcome:

Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara lain:

Glasgow Outcome Scale (GOS) :

Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan sedang
(dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya), ikembali
pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).


Dissabily Rating Scale (DRS)

Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma sampai ke
kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran
(GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).


Fungsional Independent Measure (FIM)

Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk
mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.


Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi
terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain:
induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan
resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat
iskemik.



















BAB III
KESIMPULAN




Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan
cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi


Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei
primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure,
yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya
dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan
mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di
rumah sakit. Indikasi rawat antara lain





DAFTAR PUSTAKA


1. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Schwarrtz Principles of

Surgery. 8th ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.



2. . Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Oxford Textbook of Surgery.

2nd ed. Volume 3. Oxford Press;2000



3. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Disitasi dari
http://www.biausa.org pada tanggal 13 Juli 2009. Perbaharuan terakhir :
Januari 2009.


4. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
740-59



5. David Olson A, MD http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview



6. Evan Fusco,MD www.emedicinehealth.com/head_injury/article_em.htm



7. Saanin S. Cedera Kepala. Disitasi dari :
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery.htm pada tanggal 19 Juni 2008.
Perbaharuan terakhir : Januari 2008.


8. Iskandar Japardi, Penatalaksanaan cedera kepala secara operatif. Avelaible online at
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar japardi61







































































40

Anda mungkin juga menyukai