Anda di halaman 1dari 12

Sejarah Keuangan

6.1.1
Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan untuk mewujudkan tujuan
bernegara pada akhirnya menimbulkan hak dan kewajiban Negara yang dapat
dinilai dengan uang. Pengelolaan hak dan kewajiban Negara di Indonesia dalam
hal keuangan diatur berdasarkan pada pasal 23 bab VIII UUD 1945. Sementara
itu, peraturan perundang-undangan juga dibuat untuk mengatur lebih lanjut
mengenai keuangan Negara. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara meliputi keuangan
pemerintah pusat dan keuangan pemda.
Sejarah keuangan Negara Indonesia dapat dirunut sejak pemerintah
colonial belanda, yaitu sejak pemerintah colonial belanda mulai mengoreksi
sistem ekonomi merkantilisnya. Dalam sistem ekonomi tersebut, monopoli
produksi dan distribusi komoditas pertanian berada ditangan pemerintah sebagi
perwujudan Negara. Sistem ekonomi tersebut diubah ke sistem ekonomi liberal
yang memberikan kekuasaan kepada penduduk sebagai pengelola produksi dan
distribusi, sedangkan Negara sebagai regulator mengatur proses ekonomi dan
memungut pajak.
Gambar 6.1
Tonggak bersejarah dalam hubungan antara pusat dan daerah
1903 1942-1945, Pendudukan jepang menyebabkan sentralisasi kekuasaan
1942 Pemberlakuan UU desentralisasi yang pertama, yaitu Decentralisatie
Wet oleh pemerintah colonial
1945 UU No. 22/1948 semakin merinci tentang hubungan kewenangan
antara pusat dan daerah
1948 17 agustus, hari kemerdekaan RI. 23 November, UU No. 1/1945
menetapkan struktur wewenang
1957 UU No. 1/1957 memberikan kewenangan yang luas kepada pemda
1959 5 juli, dekrit presiden, demokrasi terpimpin, dirumuskan dalam
penetapan presiden No.6/1959, meningkatkan sentralisasi
1967 Jatuhnya soekarno, meningkatkan tuntutan bagi otonomi daerah
1974 UU No. 5/1974 tentang prinsip-prinsip pemerintahan daerah
1998 Jatuhnya soeharto, meningkatnya tuntutan bagi otonomi daerah
1999 UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 memajukan desentralisasi.
Diberlakukan secara efektif
2004 UU No.32/2004 menggantikan UU No.22/1999

6.2 Dimensi-Dimensi Keuangan Daerah
6.2.1 Sumber-sumber penerimaan
NO Pengaturan Jenis Sumber
1 Decetralisatie
Wet 1903
a) Keuangan umum Hindia Belanda bagi daerah yang
belum berotonomi dan,
b) Keuangan hasil ordonasi bagi daerah yang sudah
berotonomi.

2 UU No. 1/1945 1. Penghasilan sendiri dan harta benda milik daerah (dg
berprinsip sama dg decentralizatie wet 1903)
2. Apabila kekurangan dalam anggaran daerah, pemerintah
pusat akan menutupinya
3 UU No. 22/1948 1. Pajak dan retribusi daerah
2. Hasil perusahaan daerah
3. Pajak Negara yang diserahkan ke daerah
4. Pendapatan lain-lain: pinjaman, subsidi (sokongan),
penjualan macam-macam barang-barang milik sendiri,
penyewaan barang-barang milik daerah sendiri,
penyewaan barang-barang lainnya, serta lain-lain
5. Apabila kekurangan, terutama untuk pekerjaan-
pekerjaan besar, maka pemerintah pusat akan
memberikan sokongan
4 UU No. 1/1957
dan UU
No.32/1956
1. Pajak dan retribusi daerah
2. Bagi hasil pajak Negara yang diserahkan ke daerah
sebagian atau semuanya
3. Hasil perusahaan daerah
4. Ganjaran, subsidi, atau sumbangan
5 UU No. 18/1965 1. Pajak daerah
2. Retribusi daerah
3. Hasil perusahaan daerah dan sebagian perusahaan
Negara
4. Pajak Negara yang diserahkan ke daerah sebagian atau
semuanya
5. Bagian dari hasil pajak pemerintah pusat
6. Pinjaman
7. Lain-lain hasil utama
6 UU No. 5/1974 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
- Hasil pajak daerah
- Hasil retribusi daerah
- Hasil perusahaan daerah
- Lain-lain usaha daerah yang sah
2. Pemberian pemerintah
- sumbangan
- sumbangan-sumbangan yang lain yang diatur dalam
perundangan
3. Lain-lain pendapatan yang sah
- sumbangan pihak ketiga
- dan lain-lain
7 UU No. 22/1999
dan UU No.
25/1999
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
- hasil pajak daerah
- hasil retribusi daerah
- hasil perusahaan daerah
- hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yg dipisahkan
- lain-lain PAD yang sah
2. Dana perimbangan
- dana alokasi umum (DAU)
- dana alokasi khusus (DAK)
- dana bagi hasil (Pajak dan SDA)
3. Pinjaman daerah
4. lain-lain penerimaaan yang sah
8. UU No.32/2004
dan
UU No.32.2004
1. Pendapatan Daerah
a. PAD
- Pajak daerah
- Retribusi daerah
- Hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan
- Lain-lain PAD yang sah: hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga,
keuntungan uang asing: dan komisi, potongan, ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau
pengadaan barang atau jasa oleh daerah.
b. Dana Perimbangan
- Dana Alokasi Umum (DAU)
- Dana Alokasi Khusus (DAK)
- Dana bagi hasil (Pajak dan SDA)
c. Lain-lain pendapatan
2. Pembiayaan
a. Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) daerah
b. Penerimaan pinjaman daerah
c. Dana cadangan daerah
d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
Sumber: disarikan dari berbagai UU
6.3.1.1 Pendapatan Daerah
A. PAD
Berdasarkan UU No 33/2004, PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain PAD
yang sah. Lain lain PAD yang sah dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan seperti jasa giro, bunga, keuntungan selisih nilai tukar
rupiah dengan mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lainnya akibat
dari penjualan dan pengadaan. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan aspek
pendapatan utama dalam PAD karena nilai dan proporsinya yang tinggi, sehingga
keduanya merupakan cerminan dari local taxing power.
Sebelum UU No. 18 Tahun 1997 disahkan , jumlah pungutan daerah
(pajak dan retribusi) amat banyak bervariasi. Dalam hal pajak daerah , yang
berlaku saat itu adalah UU No. 11 Drt/1957; sedangkan dalam hal retribusi daerah
yang berlaku saat itu adalah UU No. 12 Drt/1957. Namun kedua UU ini memiliki
banyak celah untuk cenderung menimbulkan distorsi bagi kegiatan ekonomi
sehingga mengganggu pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatan di
daerah, dengan prosedur pembayaran yang cenderung rumit, tidak transparan dan
kurang memiliki dasar pemungutan yang kuat. Itulah sebabnya UU No. 18/1997
dikeluarkan dengan empat tujuan, untuk : 1) menyederhanakan jenis pajak dan
retribusi daerah; 2) mengurangi ekonomi biaya tinggi; 3) menata kembali
beberapa jenis retribusi yang pada hakikatnya bersifat pajak; 4) meningkatkan
jumlah penerimaan daerah dari jenis pajak dan atau retribusi daerah yang
potensial serta mencerminkan kegiatan ekonomi daerah.
Sumber penerimaan pajak provinsi yang ditetapkan dalam UU No.34/2000
adalah : a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b) Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c) Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor; d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan. Sedangkan pajak pajak kabupaten / kota adalah : a) Pajak
Hotel; b) Pajak Restoran; c) Pajak Hiburan; d) Pajak Reklame; e) Pajak
Penerangan Jalan; f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan g) Pajak
Parkir. Namun kabupaten / kota juga diberikan keleluasaan untuk menambah
dengan jenis jenis pajak baru. Ada beberapa rambu atau kriteria yang mesti
diikuti, yaitu :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten / kota
yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta
hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten / kota yang
bersangkutan;
c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan atau obyek pajak
pusat
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negative;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat dan
h. Menjaga kelestarian lingkungan
Selanjutnya, untuk menerbitkan Perda tentang Retribusi yang meliputi
Retribusi Jasa Umum, Jasa Usaha dan Perizinan Tertentu masing masing harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Retribusi Jasa Umum
a. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bukan retribusi jasa
usaha atau retribusi perizinan tertentu;
b. Jasa yang ebrsangkutan merupakan kewenangan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi;
c. Jasa tersebut member manfaat khusus bagi orang pribadi atau
badan yang diharuskan membayar retribusi di samping untuk
melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
d. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi;
e. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai
penyelenggaraannya;
f. Retribusi dipungut secara efektif dan efisien serta merupakan salah
satu sumber pendapatan daerah yang potensial; dan
g. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut
dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
b. Retribusi Jasa Usaha
a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bukan retribusi jasa
umum atau retribusi perizinan tertentu; dan
b. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang ebrsifat komersial yang
disediakan oleh sector swasta tetapi dimiliki / dikuasai oleh daerah
yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemda
c. Retribusi Perizinan Tertntu
a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi;
b. Perizinan tersebut benar benar diperlukan guna melindungi
kepentingan umum; dan
c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin
tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negative dari
pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari
retribusi perizinan
Permasalahan yang mungkin timbul adalah dari segi kemampua aparat
daerah terutama dalam penentuan basis pajak. Hal ini menyangkut kemampuan
teknis yang mengikuti perkembangan pasar. Kesulitan ini pula yang menjadi
penyebab sebagian kecil daerah lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak
pusat sementara saja.
B. Dana Perimbangan
1. Dana Bagi Hasil Pajak
Dalam UU No. 32/2004 Pasal 11 disebutkan bahwa bagian daerah bagi
hasil pajak berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dalam
negeri. Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan rincian 10 persen untuk pusat
dan 90 persen untuk daerah. Dari 10 persen bagian pusat itu sebanyak 6,5 persen
dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota, sementaranya sisanya yang 3,5 persen
merupakan intensif bagi daerah yang realisasi tahun sebelumnya. Sementara dari
90 persen bagian daerah , sebanyak 16,2 persen untuk provinsi, 64,8 persen untuk
kabupaten/kota, dan sisanya yang 9 persen merupakan biaya pungut.
Penerimaan Negara dari BPHTB dibagikan dengan proporsi 20 persem
untuk pusat dan 80 persen untuk daerah. Bagian pusat yang 20 persen akan
diserahkan kembali kepada kabupaten/kota , sementara bagian daerah yang 80
persen itu terdiri dari 16 persen untuk provinsi dan 64 persen untuk daerah
kabupaten/kota. Untuk PPh perorangan, pembagiannya adalah 80 persen untuk
pusat dan 20 persen untuk daerah. Bagian untuk daerah tersebut dibagi menjadi
provinsi dan kabupaten/kota dengan proporsi 40 persen dan 60 persen. Menurut
LPEM-FEUI (2002), terlihat bahwa bagi hasil pajak akan memperkuat
kecenderungan yang ada pada sumber sumber pungutan daerah yakni bias ke
perkotaan. Untuk kabupaten pada umumnya, penerimaan dari bagi hasil PBB dan
BPHTB ini secara relative belum menjadi sumber yang penting kecuali yang kaya
akan barang tambang dan hasil hutan. Menyangkut PBB dan BPHTB, dilihat dari
berbagai segi, sesungguhnya lebih merupakan pajak daerah dibandingkan pajak
pusat. Immobilitas dan lokalitas dari obyek pajaknya adakah beberapa ciri yang
menunjukkan sifat kedaerahan pajak ini.
2. Dana Bagi Hasil SDA
Sesuai UU No. 32/2004, SDA yang dibagi hasilkan adalah minyakbumi,
gas alam, panas bumi, pertambangan umum (seperti batu bara, nikel, emas dsb),
hasil hutan, dan hasil perikanan. Bagi hasil dilakukan antara pusat dengan daerah
yang memiliki SDA. Menurut observasi LPEM-FEUI (2002), dari provinsi yang
ada sekarang di Indonesia , hanya sekitar 6 provinsi (sekitar 20 persen) yang
memperoleh bagian lumayan besar. Sementara untuk kabupaten/kota, tidak
sampai 20 (5 persen) yang akan memperoleh bagian signifikan. Isu utama yang
terkait dengan dana bagi hasil adalah munculnya ketimpangan horizontal dan
pemanfaatan dana bagi hasil secara efektif dengan memperhatikan prinsip value of
money. Sebab, sebagai non renewable resources penggunaan yang kurang cermat
mengarah pada hilangnya economic rent sumber daya tersebut.
Lebih jauh lai, masalah pemetaan lokasi SDA (terutama migas) terlihat
kemungkinan munculnya konflik lokasi SDA. Misalnya, kesulitan penentuan
masuk wilayah kabupaten/kota mana suatu kegiatan penambangan lepas pantai
dengan jarak 12 mil dari pantai. Usaha penambangan migas juga mungkin terjadi
jika eksploitasi dilakukan kabupaten yang berbeda dari kabupaten/kota asal yang
tidak dalam satu provinsi. Ini terkait dengan bagi hasil yang dilakukan
berdasarkan Net Operating Income (NOI) atau pendapatan operasi bersih.
Penggunaan NOI sebagai landasan perhitungan ini mengandung beberapa
masalah. Antara lain yakni : 1) Dua operasi penambangan yang berbeda, operasi
penambangan dengan produksi lebih besar belum tentu akan menghasilkan NOI
yang besar pula. Biaya produksi pada masing - masing operasi penambangan akan
sangat mempengaruhi; 2) Tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu kegiatan
penambangan sudah berproduksi, NOI-nya sama dengan nol. Ini bias terjadi pada
penambangan yang relative baru dengan nilai ekonomis rendah; 3) Belum
jelasnya standar biaya operasi penambangan, sehingga bisa saja timbul perdebatan
apakah biaya suatu kegiatan masuk kategori biaya operasional atau tidak.
Kecenderungannya adalah, dengan sistem pembagian berdasarkan NOI,
kontraktor kurang mempunyai insentif untuk menekan biaya produksi serendah
mungkin.
3. Dana Alokasi Umum (DAU)
Potensi timbulnya ketidak merataan antar daerah dengan pelaksanaan
desentralisasi cukup besar. Potensi pajak daerah yang tidak merata dan distribusi
sumber daya alam yang juga jomplang. Itulah sebabnya dalam UU No 25/1999
diperkenalkan sumber penerimaan baru yang merupakan bagian terbesar dari dana
perimbangan, yakni dana alokasi umum (DAU). DAU ini dimaksudkan untuk
menggantikan transfer di masa lalu seperti Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan
Intruksi Presiden (INPRES). DAU signifikan karena dalam UU ditentukan
jumlahnya paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah
sesudah dikurangi bagian dari pajak da SDA yang diserahkan ke daerah.
Selanjutnya, 10 persen dari dana tersebut akan dialokasikan kepada provinsi dan
sisanya akan dialokasikan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Tujuan pengalokasian DAU ini selain dalam kerangka otonomi
pemerintahan di tingkat daerah juga, utamanya, untuk pemerataan kemampuan
penyediaan pelayanan public di antara para Pemda di Indonesia. Jadi, semacam
equalization agent. Secara implicit, DAU juga bertujuan untuk menetralkan
dampak peningkatan ketimpangan antar daerah akibat bagi hasil pajak dan SDA
tersebut.
4. Dana Alokasi Khusus
Kriteria umum DAK adalah pembiayaan kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan menggunakan formula DAU, dan kebutujan yang merupakan
komitmen atau prioritas nasional di daerah dimana sumbernya dinyatakan secara
spesifik. Dalam UU No. 25/1999 dana reboisasi (DR) merupakan salah satu
contoh sebagai criteria DAK. Namun, dalam UU No. 32/2004, dana reboisasi
telah dibagihasilkan namun penggunaanya masih spesifik yaitu reboisasi hutan.
Daerah penerima DAK juga wajib menyediakan Dana Pendambing
sekurang-kurangnya 10 persen dari alokasi DAK. Dana pendamping tersebut
harus dianggarkan dalam APBD. Namun, daerah dengan kemampuan fiscal
tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana pedamping. Ketentuan lebih lanjut
mengenai DAK diatur dalam PP.
C. Lain-lain Pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana
darurat. Pedapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada
daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah (Pusat).
Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan
pemberi hibah serta digunakan sesuai dengan naskah perjanjian tersebut. Tata cara
pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk
keperluan mendesak yang diakubatkan oleh bencana nasional dan atau peristiwa
luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah mengunakan sumber
APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan atau
peristiwa luar biasa ditetapkan oleh presiden.

6.3.1.2 Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah dalam UU No. 33/2004 merupakan salah satu aspek
dalam penerimaan daerah. Pembiayaan daerah dapat berasal dari sisa lebih
perhitungan anggaran (SiLPA) daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana
cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pembiyaan daerah dilakukan dan ditetapkan apabila daerah mengalami deficit
dalam anggaran daerah. UU No. 33/2004 mengatur lebih lanjut mengenai
pinjaman dan obligasi daerah.
Dalam kerangka desentralisasi fiscal, ada beberapa isu pokok jangka
menengah-panjang yang bisa mengarah kepada pemanfaatan sumber penerimaan
daerah dari pinjaman. Pertama, pemberian otonomi yang lebih besar kepada
pemerintah daerah dalam memutuskan jenis investasi yang cocok dengan
kebutuhan daerah beserta cara pembiayaan yang sesuai dengan kemampuan
daerah. Kedua, peningkatan kemampuan pemerintahan daerah dalam menggali
sumber-sumber PAD, dan secara bertahap menambah sumber dana pembangunan
daerah tidak hanya dari transfer pusat saja seperti di masa lalu, tetapi juga dari
pinjaman. Ketiga, penyediaan dan pemanfaatan dana pinjaman yang lebih besar
untuk pembiayaan pelayanan yang bersifat self-liquidating atau cost recovery.
Dalam rangka pengembangan pinjaman daerah, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan. Pertama, pengembangan lembaga pemeringkat dan pasar
keuangan pinjaman daerah sehingga membentuk pasar keuangan yang sehat.
Kedua, pengembangan criteria usulan kredit, memisahkan criteria cost dan non-
cost recovery. Ketiga, pengembangan berbagai model pinjaman untuk mengurangi
risiko bagi debitur dan kreditur. Keempat, perbaikan proses pengembangan
proyek yang akan didanai dengan pinjaman, dan Kelima, pengembangan kualitas
SDM dalam hal evaluasi kelayakan.
6.3.2 Aspek Pengeluaran
Desentralisasi fiscal memiliki sasaran utama, yaitu untuk memberikan
pelayanan umum kepada tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan
pengguna jasa pelayanan sehingga pemberian jasa menjadi lebih sesuai dengan
kebutuhan dan pilihan masyarakat. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu adanya
peningkatan ketepatgunaan alokasi pembiayaan dalam pelayanan masyarakat. UU
No.32/2004 mengatur masalah pembiayaan dengan menentukan bahwa semua
pembiayaan fungsi-fungsi desentralisasi harus dikelola melalui APBD, dan
dikendalikan oleh Pemda bersama DPRD, ditentukan bahwa semua pembiayaan
fungsi-fungsi yang telah didesentralisasi oleh pemerintah pusat harus melalui
saluran-saluran Bagi Hasil, DAU atau DAK. APBD menjadi anggaran
terkonsolidasi untuk semua fungsi yang telah didesentralisasi.
Dengan dikeluarkannya UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,
pengelolaan keuangan daerah semakin disempurnakan. Belanja daerah (dan
Negara) dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja (dari masing-masing
progam dan kegiatan). UU No.17/2003 juga mengamanatkan untuk menerapkan
anggaran berbasiskan kinerja (yang direncanakan akan seluruhnya dalam tahun
2006), klasifikasi anggaran yang berstandar international (I-Account), sistem
anggaran belanja terpadu (unified budget), dan penggunaan kerangka pengeluaran
jangka menengah (medium term expenditure framework).
6.4 Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan masih diatur dalam UU No.
33/2004. Adanya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan ciri dari
masih adanya control yang kuat dari pemerintah pusat terhadap daerah (cenderung
sentralistis).
Besarnya dana dekonsentrasi dan dana pembantuan disesuaikan dengan
kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
peemrintah di Daerah. Anggaran pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan menjadi beban APBN yang merupakan bagian anggaran kementrian
Negara/lembaga berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah.
Gubernur wajib memberitahukan kepada DPRD tentang anggaran dekonsentrasi
dan tugas pembantuan sebelum APBD disahkan. Administrasi keuangan dalam
pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara masing-masing
dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pelaksanaan
desentralisasi. Gubernur wajib menyampaikan laporan sebagai
pertanggungjawaban pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan kepada kementrian Negara/lembaga yang memberi pelimpahan
wewenang. Status asset pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi
milik Pemerintah. Aset tersebut dapat dihibahkan kepada daerah yang dikemudian
dipelihara dan dikelola oleh kementrian Negara yang memberikan pelimpahan
wewenang. Pemeriksaan pelaksanaan dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan eksternal maupun oleh
instansi pemeriksaan keuangan internal pemerintah sesuai denga ketentuan yang
berlaku.
Tentunya penerapan mekanisme pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Dana
Tugas Pembantuan tersebut dilakukan secara bertahap, karena seharusnya
memang tidak secara langsung dihilangkan atau di nol-kan. Pentahapan dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi sector-sektor atau kegiatan-kegiatan mana
dulu yang Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan-nya dapat dialihkan
atau di daerahkan melalui mekanisme DAK.
Beberapa pentahapan yang perlu dilakukan antara lain:
a. Redefinisi wewenang dan tanggung jawab masing-masing level pemerintahan
(kabupaten/kota, provinsi, dan pusat).
b. Untuk kegiatan yang lintas provinsi (dan atau bersifat nasional) tetap didanai
oleh dana dekonsentrasi.
c. Untuk kegiatan yang sebelumnya didanai oleh dana dekonsentrasi tapi bersifat
local (provinsi atau kabupaten/kota), dialihkan ke tugas pembantuan dengan
skema pendanaan DAK.
d. DAK sebaiknya diarahkan untuk masuk dalam kategori matching grant dengan
dana pendamping sekurang-kurangnya 5 persen dari alokasi DAK.
e. DAK sebaiknya merupakan proposal atau usulan progam yang disampaikan
oleh pemerintah daerah.
f. Evaluasi proposal DAK yang diajukan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota
dan provinsi) sebaiknya dilakukan secara kopetitif dengan memperhatikan
prioritas nasional dan dampaknya terhadap pencapaian standar pelayanan
minimum (SPM) provinsi yang bersangkutan.
g. Proses evaluasi proposal DAK oleh pemerintah pusat harus dilakukan secara
transparan dan fair dengan mengutamakan daerah-daerah yang relative lebih
miskin.

Anda mungkin juga menyukai