Anda di halaman 1dari 15

1

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
ISU NEGATIF SAPI BALI (Bos sondaicus) DAN KENYATAANNYA
Oleh
I M. Mastika dan A.W. Puger
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana

ABSTRAK
Enam penelitian tentang sapi Bali baik pada sapi jantan maupun betina telah dilaksanakan
untuk mempelajari pengaruh perbaikan / peningkatan jumlah penyediaan dan kualitas
pakan terhadap penampilan sapi Bali. Penelitian pertama dan kedua bertujuan untuk
mengetahui pengaruh suplementasi konsentrat yang baik terhadap pertumbuhan dan
kualitas daging sapi Bali muda. Penelitian ketiga bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pakan tambahan terhadap sapi Bali betina dara dan keturunannya. Penelitian keempat dan
kelima bertujuan untuk mengetahui penampilan sapi Bali dewasa yang diberi suplementasi
dari limbah kakao fermentasi. Penelitian keenam bertujuan untuk mempelajari upaya
peningkatan produktivitas lahan pertanian dengan pemeliharaan sapi Bali di dalam lahan
pertanian dan pemberian pakan yang berasal dari lahan tersebut. Dari hasil penelitian
tersebut diatas ternyata pertambahan berat badan sapi Bali jantan muda dapat ditingkatkan
menjadi 776-852 g/hari bila diberikan konsentrat yang baik( 18,34% CP dan 72,50%
TDN). Kualitas daging sapi Bali muda yang diberi konsentrat setara dengan kualitas
daging sapi impor. Sapi Bali dara betina yang diberi pakan tambahan konsentrat yang
baik ( 20,70% CP dan TDN 77,30%) berat anak yang baru lahir untuk jantan 18,75 kg dan
betina 13,00 kg dibandingkan dengan yang tanpa diberi suplemen untuk ternak jantan
13,83 kg dan betina 11,17 kg. Produksi susu sapi Bali betina yang diberi pakan konsentrat
meningkat menjadi 1,6 liter/hari dibanding dengan 1,1 liter/hari dari sapi yang tidak
mendapat konsentrat. Sapi Bali jantan dewasa yang diberi pakan 3 kg konsentrat yang
dibuat dari 50% tepung kulit kakao fermentasi dan bahan-bahan lain sehingga
mengandung 14-15% PK dan TDN 61% pertambahan berat badannya mencapai 660 g/hari
vs 530 g/ekor/hari dari kelompok yang diberi pakan komersial. Dengan mengintegrasikan
2 ekor sapi Bali, pendapatan kotor petani meningkat sebanyak 53,6% dibanding dengan
tanpa memelihara sapi. Pertambahan berat badan sapi berkisar antara 549 sampai 550g
dengan pemberian rumput sekitar sawah dan suplementasi 1 kg dedak padi. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penampilan sapi Bali (pertumbuhan, kualitas
daging, produksi anak dan susu) dapat ditingkatkan dengan peningkatan penyediaan dan
kualitas pakan. Integrasi dua ekor sapi Bali pada lahan pertanian seluas 0,5ha dapat
meningkatkan pendapatan kotor petani.

Kata kunci: sapi Bali,konsentrat, kualitas daging, produsi susu dan anak, integrated
farming.



2


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009

PENDAHULUAN
Informasi yang kurang baik tentang sapi Bali (Bos sondaicus) yang dipelihara dan
berada di Indonesia Bagian Timur adalah bahwa jenis sapi ini memiliki ukuran dan berat
badan yang sangat kecil (Sonjaya dan Idris, 1996; Wirdahayati dan Bammualim, 1990).
Bahkan ada lelucon yang beredar di suatu daerah bahwa ukuran tubuh sapi Bali sudah
sebesar kambing. Pernyataan ini diikuti dengan pernyataan bahwa genetik sapi Bali sudah
mengalami kemunduran. Pada tahun 1995, Pemda NTB bahkan membuat kebijakan
menyilangkan induk sapi Bali dengan jenis sapi bertubuh besar yaitu Bos taurus
(Aberdeen angus, Brahman dan lain-lain) untuk mendapatkan keturunan sapi yang besar
dan cepat tumbuh. Hasil dari penerapan kebijakan tersebut menunjukkan bahwa sapi
persilangan tersebut tidak mampu berkembang dengan baik.
Mastika (1996) menyatakan bahwa persoalan mendasar yang terjadi pada sapi Bali
diluar Pulau Bali dilandasi oleh beberapa faktor antara lain: Faktor pertama adalah
kurangnya pakan yang tersedia baik dari segi jumlah maupun kualitas. Seperti kita
ketahui bersama bahwa sebagian daerah Sulawesi dan NTT curah hujan sangat terbatas
(rata-rata 3 bulan saja dengan musim kering 9 bulan (Bammualim dan Bammualim, 2003)
sehingga hijauan terbatas dengan kualitas yang rendah selama kurun waktu yang lama
membuat sapi Bali mengalami kekurangan nutrisi yang berlangsung selama bertahun-
tahun sehingga produktivitas sapi Bali di daerah tersebut lebih rendah dari potensi
genetiknya. Faktor kedua adalah sistim pemeliharaan terutama di NTT yang dilepas bebas
dan tidak ada interaksi atau kedekatan antara peternak dengan sapinya sehingga aspek
animal welfare tidak mendapat perhatian. Hal ini sangat berbeda dengan pemeliharaan
sapi di Pulau Bali dimana petani mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan sapi
peliharaannya sehingga petani sangat cermat mengawasi perkembangaan ternaknya,
sehingga sapi Bali yang dipelihara petani di Bali tidak kekurangan pakan seperti di daerah
NTT. Faktor ketiga adalah adanya seleksi mnegatif pada sapi Bali yang dipelihara di luar
Bali. Artinya sapi Bali yang dipanen adalah sapi Bali yang beratnya 325-350kg keatas
(batas minimal berat ekspor). Kondisi seleksi negative ini yang berlangsung terus
menerus dan dalam kurun waktu puluhan tahun yang mengakibatkan sapi yang tinggal
adalah sapi yang kecil-kecil saja. Faktor keempat adalah tidak optimalnya keberhasilan
pelaksanaan IB (inseminasi buatan) dengan semen dari sapi Bali bibit yang terpilih.
3


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
Sebagai pembanding sapi Bali yang dipergunakan sebagai sumber semen untuk IB di Bali
berat badannya antara 500-650kg suatu langkah yang sangat berarti untuk perbaikan mutu
genetik sapi Bali (Mardiana pers. com).
Dari akumulasi dan interaksi berbagai faktor lokal (alam, kebiasaan petani dan
kebijakan pemerintah) menyebabkan sapi Bali yang ada diluar Bali terkondisikan
sedemikian tidak menguntungkan yang mengakibatkan terjadinya vonis yang
menyatakan bahwa telah terjadi kemerosotan genetik sapi Bali.

Isu negatif lain tentang sapi Bali adalah tingginya tingkat kematian pedet (8-48%) di
daerah NTT (Talib et al., 2003), 20-47% d i daerah Timor (Wirdahayati dan Bammualim,
1990), produksi susu yang rendah yaitu 0,91 liter/hari (Talib et al., 2003). Tingkah laku
induk juga dikatakan kurang baik karena sering meninggalkan anaknya di padang gembala
di Darwin-Australia dan ditambah lagi dengan isu rentannya sapi Bali terhadap penyakit
jembrana serta dagingnya yang alot (Arka, 1989). Hal tersebut mengakibatkan sapi Bali
menjadi tersudutkan sehingga pernah muncul pendapat di Bali agar sapi Bali
disilangkan dengan sapi jenis lainnya yang berbadan besar, namun ide tersebut tidak
berkembang lagi sehingga sapi Bali sebagai plasma nutfah di Indonesia dapaat
dipertahankan. Predikat tersebut diatas tentu sangat merugikan nama baik sapi Bali.
Pertanyaannya adalah sejauh mana kebenaran informasi dan pertanyaan tersebut diatas?.
Hal ini hanya bisa dijawab dengan penelitian yang terarah dan terencana serta
dilaksanakan secara berkelanjutan.
Di bawah ini disajikan beberapa hasil penelitian yang menyangkut masalah
perbaikan penyediaan dan kualitas pakan terhadap penampilan dan kualitas daging sapi
Bali, serta Model Sistem Peternakan Rakyat yang sesuai dengan kondisi setempat.

MATERI DAN METODE

Penelitian Pertama (Mastika et al., 1997, kerjasama dengan BCR&DC)
Sebanyak 25 ekor sapi Bali jantan muda dengan berat rata-rata 122 kg
dipergunakan dalam penelitian ini. Sapi dibagi dalam 5 kelompok perlakuan pakan yaitu
sapi diberikan pakan dengan komposisi sebagai berikut:
A (Pakan control): 70% rumput gajah (Pennisetum purpureum) +30% daun gamal
(Gliricidia sepium).
B: 50% rumput gajah +30% daun gamal +20% daun waru (Hibiscus tilleaceus)
4


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
C: 70% rumput gajah +15% daun gamal +15% urea molasis block
D: 50% rumput gajah +20% daun gamal +15% daun waru +15% urea molasis
block
E: 60% rumput gajah +40% konsentrat (20,74% CP dan 77,3% TDN)
Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Penelitian dilakukan di Banjar Siyut,
Tulikup, Gianyar selama 112 hari. Pada akhir penelitian sebagian ternak dipotong dan
selanjutnya diadakan tes panel kualitas daging di Bali Beach Hotel.
Penelitian Kedua (Mastika et al., 2000, kerjasama dengan Bappeda Bali)
Sebanyak 20 ekor sapi Bali muda jantan dengan berat badan rata-rata 150 kg
dibagi dalam dua perlakuan utama dan 2 subperlakuan dengan masing-masing perlakuan
diulang lima kali. Perlakuan pertama (1) yaitu sapi diberi rumput gajah ad libitum dan 4
kg dedak padi (13% PK dan 75% TDN) atau RD. Perlakuan kedua (2) sama dengan
perlakuan pertama yaitu sapi diberi pakan rumput gajah dan dedak tetapi dedaknya
disuplementasi dengan starbio 0,5% (RDS). Perlakuan ketiga (3) sapi diberi pakan rumput
gajah ad libitum dan 4kg konsentrat (18,34% PK dan 72,5% TDN (RK). Perlakuan (4)
sapi diberi pakan sama dengan RK tetapi diberi suplementasi 0,5% strabio (RKS).
Penelitian dilaksanakan pada tempat yang sama dengan penelitian pertama dan penelitian
dilaksanakan selama 120 hari dan pada akhir penelitian sebagian ternak dipotong untuk
evaluasi karkas.
Penelitian Ketiga (Mastika et al., 1997 kerjasama dengan BCR&DC)
Sebayak 20 ekor sapi Bali betina (dara) dengan kisaran berat (170,6-176,2 kg)
dibagi dalam 2 kelompok masing-masing 10 ekor. Kelompok pertama diberi rumput gajah
(A) dan kelompok kedua (B) diberi pakan 60% rumput gajah dan 40% konsentrat (20,7%
PK dan 77,3% TDN). Pengamatan dilakukan selama 15 bulan yaitu pada saat anak lahir
umur 18 minggu.
Penelitian Keempat (Mastika et al., 2006, kerjasama dengan Disbun Provinsi Bali)
Sebanyak 16 ekor sapi Bali jantan dengan berat rataan 220 kg dipergunakan dalam
penelitian ini. Ternak dibagi dalam 2 kelompok masing-masing terdiri dari 8 ekor sapi.
Ternak diberi pakan dasar rumput lapang dan kelompok kontrol (A) diberi suplementasi 2
kg pakan komersial dan kelompok (B) diberikan 2 kg tepung kulit kakao terfermentasi.
Ternak ditimbang setiap bulan selama 12 minggu.
Penelitian Kelima (Mastika et al., 2007, kerjasama dengan Disbun Provinsi Bali)
5


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
Sepuluh ekor sapi Bali jantan dengan berat antara 250-275 kg dipergunakan dalam
penelitian ini. Ternak dibagi menjadi dua kelompok masing masing terdiri dari 5 ekor
sebagai ulangan. Penelitian dilaksanakan di kabupaten Tabanan dan limbah kakao
dikumpulkan dari 4 kabupaten yaitu Badung, Tabanan, Buleleng dan jembrana sebagai
sentra penghasil kakao. Kelompok pertama diberi pakan dasar rumput lapangan dengan
suplementasi 3 kg konsentrat komersial (A) dan kelompok kedua diberi pakan dasar yang
sama tetapi tambahan pakan konsentrat yang diberikan dibuat dengan bahan dasar tepung
kakao terfermentasi sebanyak 50% dicampur dengan 10% jagung giling, 10% bungkil
kelapa, 10% dedak padi, 8% pollar, 5% tepung ikan dan 2% mineral (14,5-15% CP dan
61% TDN). Penelitian dilaksanakan selama 90 hari.
Penelitian Keenam (Mastika et al., 2009)
Penelitian yang berkelanjutan dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan
pertanian dengan pemeliharaan sapi Bali didalam lahan sawah (integrated farming system)
di Bali Utara. Sembilan (9) petak lahan sawah dengan kisaran luas antara 0,45-0,5Ha
dibagi dalam 3(tiga) kelompok yaitu T0 lahan tanpa sapi, T1 lahan dengan 1 ekor sapi Bali
dan T2 lahan dengan dua ekor sapi Bali. Sapi Bali dipelihara secara tradisional (sistem
peternakan rakyat) dimana sapi diberi pakan rumput sekitar sawah plus daun-daun legum
yang ditanam di pematang dan tambahan 1kg dedak padi/ekor/hari. Produksi padi dalam
dua periode panen dihitung, diukur pula pertambahan berat badan sapi dan selanjutnya
dikonversi ke dalam bentuk tunai (rupiah) untuk mengetahui pendapatan kotor petani
dalam 8 bulan (dua periode panen).
-----------------------------------------------
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian 1.
Hasil penelitian 1, dapat dilihat pada Tabel 1. Ditinjau dari pertambahan berat
badan ternyata sapi Bali yang hanya diberi rumput gajah saja (kontrol=A) pertambahan
berat badannya paling rendah yaitu 320g/ekor/hari, suplementasi dengan daun gamal dan
daun waru (B) hanya sedikit meningkatkan berat badan, demikian pula suplementasi daun
gamal, waru dan UMB (C dan D) tidak memberikan pengaruh yang jelas. Sapi Bali jantan
muda yang diberi pakan tambahan konsentrat yang bagus (20% CP, 73% TDN) (perlakuan
E) pertambahan berat badannya 760 g/ekor/hari yaitu 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol.
6


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
Seperti apa yang dinyatakan oleh Mastika (1996, 1997) bahwa masalah utama
peternakan di Indonesia umumnya dan Indonesia Bagian Timur khususnya adalah tidak
cukupnya ketersediaan dalam jumlah dan kualitas bahan makanan ternak dalam siklus
tahunan. Tampaknya praktek pemeliharaan dan pemberian pakan pada sapi di Bali ini
akan sangat berpengaruh terhadap penampilan sapi Bali yang dipelihara diluar pulau Bali,
terutama pemeliharaan secara diumbar. Dengan demikian asumsi bahwa lambatnya
pertumbuhan sapi Bali yang disebabkan oleh faktor genetik tidaklah semuanya benar.
Kenyataan dari hasil penelitian ini, kualitas pakan merupakan faktor yang sangat
penting yang menentukan pertumbuhan sapi Bali. Kualitas pakan juga sangat menentukan
kualitas daging sapi Bali. Pada ternak muda yang diberi konsentrat, kualitas daging yang
dihasilkan sama dengan kualitas daging impor yaitu dengan skor 7,20 dan 7,20 masing-
masing untuk daging sapi Bali muda dan daging sapi impor. Sekali lagi bahwa mutu
pakan akan sangat menentukan penampilan dan kualitas daging sapi Bali, dan upaya untuk
meningkatkan kualitas daging sapi Bali masih terbuka lebar melalui perbaikan gizi.
Satu hal yang sangat menarik dalam penelitian ini adalah pemberian daun waru
pada sapi Bali muda sangat nyata dapat meningkatkan kualitas daging yaitu pada
perlakuan B dan D dengan skor 7,05 dan 7,80 bila dibandingkan dengan skor daging
impor yaitu 7,20. Bagian ini perlu penelitian lebih lanjut terutama mencari faktor yang
bertanggung jawab terhadap perbaikan kualitas daging tersebut.
Tabel 1. Penampilan sapi Bali diberi konsentrat pada sistim feedlot selama 112 hari.
Pengamatan Perlakuan Daging
impor A B C D E
B.B awal (kg) 1229,2 1228,9 12218,8 1227,39 1222,66
B.B akhir (kg) 159,08
a
14,8 165,83
a
12,3 172,67
a
25,1 172,3
a
2,7 208,0
b
9,2
Tambahan berat
badan (kg)
36,98 43,73 50,47 50,23 86,07
Tambahan berat
badan harian (g)
320
a
390
a
440
a
450
a
760
b

Konsumsi pakan
total (kg DM)
375,20 456,96 435,68 502,88 406,56
Feed Convertion
Rasio (FCR)
10,60
a
11,01
a
9,27
a
10,14
a
5,08
b

Skore kualitas
daging
5,90
a
7,05
b
6,15
a
7,80
c
7,20
bc
7,20
bc

Keterangan: B.B =berat badan.
A=70% rumput +30% gamal; B=50% rumput +30% gamal +20% waru; C=70% rumput +15%
gamal +15% UMB; D=50% rumput +20% gamal +15% waru +15% UMD da E=40% rumput +
60% konsentrat (20,74% CP dan 77,3% TDN). Nilai yang berbeda pada baris yang sama adalah
berbeda nyata pada taraf (P<0,05)


Penelitian 2.
7


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009

Hasil penelitian 2, disajikan dalam Tabel 2. Secara keseluruhan hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian 1, dimana perbaikan mutu pakan akan sangat berpengaruh
terhadap penampilan dan kualitas daging sapi Bali muda.
Sebagai pembanding sapi diberikan konsentrat dengan kualitas lebih rendah yaitu
dedak padi (13% CP dan 60% TDN) dalam jumlah yang sama baik yang diberi pakan
tambahan starbio atau tidak dibandingkan dengan konsentrat yang lebih baik yaitu 19%
CP dan 72% TDN. Sapi Bali muda yang diberi pakan tambahan dedak padi baik dengan
(RDS) atau tidak dengan starbio (RD) pertambahan berat badannya antara 526-564
g/ekor/hari sedangkan sapi yang diberi konsentrat dengan (RKS) atau tanpa starbio (RK)
pertambahan berat badannya 776-852 g/ekor/hari, yaitu suatu pertumbuhan yang fantastis.
Hasil penelitian ini menguatkan penelitian 1 yaitu perbaikan mutu pakan akan sangat
berpengaruh terhaadap penampilan dan efisiensi sapi Bali. Demikian pula untuk kualitas
daging sapi Bali muda dengan konsentrat memberikan skor 6,71 vs 7,39 untuk daging
impor. J adi disamping faktor umur, faktor perbaikan mutu pakan akan sangat berpengaruh
terhadap kualitas daging sapi Bali. Pertanyaan sekarang adalah kompensasi harga di pasar
(hotel dan restoran) dengan kualitas daging sapi Bali yang lebih baik?. Dan bagaimana
kebijakan Pemerintah ke depan tentang kualitas daging sapi Bali?
Tabel 2. Penampilan sapi Bali yang diberi pakan konsentrat kualitas tinggi dan dedak
padi dengan atau tanpa suplementasi starbio
Pengamatan Perlakuan Daging
impor RD RDS RK RKS
Berat badan awal (kg) 152,7 151,3 155,8 156,5
Berat badan akhir (kg) 215,81
a
218,71
a
258,0
b
249,7
b

Pertambahan berat badan (kg) 63,13
a
67,66
a
102,2
b
93,16
b

Tambahan berat badan harian (g) 526,08
a
563,83
a
851,67
b
776,33
b

Konsumsi pakan total (kg DM) 605,99
a
587,37
a
655,83
b
656,23
b

Konversi rasio (FCR) 9,59
a
8,68
a
6,42
b
7,04
b

Skore kualitas daging 5,87
a
6,16
b
6,58
c
6,71
bc
7,39
c

Keterangan: RD=rumput+4kg dedak padi; RDS=rumput+4kg dedak padi+0,5% starbio; RK=rumput+4kg
konsentrat (18,34% CP, 72,% TDN) dan RKS=rumput +4kg konsentrat+0,5% starbio. Nilai
pada baris yang sama dengan huruf berbeda adalah berbeda nyata pada taraf (P<0,05)

Penelitian 3
Hasil penelitian ke 3 ini disajikan pada Tabel 3. Sekali lagi dapat kita lihat bahwa
perbaikan mutu pakan sangat berpengaruh terhadap performans sapi Bali baik pada ternak
jantan maupun ternak betina. Dalam penelitian ini sapi Bali dara yang diberi tambahan
konsentrat pertambahan berat badannya 424g/ekor/hari sedangkan yang tanpa konsentrat
8


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
150 g/ekor/hari. Dari hasil penelitian ini dimana sapi diberi limbah kakao fermentasi
sebagai pakan tambahan di perkebunan kakao Tabanan, juga membuktikan bahwa
peningkatan pakan walaupun berasal dari limbah ternyata mampu meningkatkan
pertambahan berat badan 1,5-2 kali lipat dibanding dengan yang diberi rumput lapang
yang hanya memberikan pertambahan berat badan antara 200-235 g/hari (Sukanten et al.,
1990) dan yang diberi rumput gajah 320 g/hari (Mastika et al., 2003).
Tabel 3. Penampilan sapi Bali betina (dara) dan pedet sebelum disapih
Karakteristik Tanpa suplementasi Suplementasi
konsentrat
Sapi Bali betina
Berat badan awal (kg) 170,58
a
10,58 176,0
a
11,04
Berat saat dikawinkan (kg) 194,50
a
12,13 232,00
b
20,00
Tingkat kebuntingan 1,80
a
0,79 2,00
a
0,67
Lama bunting (hari) 288,11
a
27,41 275,56
a
13,56
Berat saat beranak (kg) 225,70
a
53,79 331,90
b
40,25
Total konsumsi pakan selama bunting
(kg DM)
1658,20
a
15,34 1686,60
b
14,90
Komposisi Susu
Total bahan padat (%) 16,55
a
0,53 17,59
b
0,76
Lemak (%) 5,45
a
0,52 7,43
b
0,27
Protein (%) 4,51
a
0,48 4,99
b
0,38
Laktose (%) 5,36
a
0,31 5,42
a
0,30
Ca (%) 0,17
a
0,03 0,18
a
0,02
P (%) 0,13
a
0,01 0,13
a
0,02
Energy (kcal/g) 1,22
a
0,11 1,92
a
0,03
Konsumsi pakan harian selama
menyusui (kg DM)
6,23
a
0,02 6,61
a
0,10
Pedet
Rataan berat pedet saat lahir (kg) 12,01
a
1,97 17,00
b
2,18
Berat lahir yang jantan (kg) 13,83
a
1,89 18,75
b
0,65
Berat lahir betina (kg) 11,17
a
1,24 13,00
b
1,92
Rataan tambahan berat sebelum disapih
(kg/hari)
0,31
a
0,22 0,42
b
0,14
Berat pedet saat umur 18 minggu (kg) 52,00
a
4,80 72,57
b
9,80
Keterangan: Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata pada taraf (P<0,05)

Secara keseluruhan tingkat kebuntingan (service per conception) dan lama bunting
(gestation length) tidak dipengaruhi oleh perbaikan mutu pakan. Tampaknya kedua faktor
tersebut erat kaitannya dengan faktor genetik sapi Bali. Asumsi bahwa produksi susu sapi
Bali rendah 0,91 liter/hari (Talib et al., 2003), tampaknya dengan pakan yang baik masih
dapat ditingkatkan, bahkan dengan tersedianya rumput dan air yang cukup produksi susu
sudah meningkat menjadi 1,1 liter/hari. Sedangkan dengan pemberian konsentrat produksi
9


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
susu meningkat menjadi 1,6 liter/hari, suatu jumlah yang jauh lebih tinggi dari laporan
Talib et al. (2003) dan cukup untuk satu ekor pedet tumbuh normal. Walaupun produksi
susu sapi Bali relatif rendah, namun kandungan lemak dan proteinnya diatas komposisi
susu sapi perah FH. Tampaknya jumlah yang lebih tinggi ini sangat membantu
ketersediaan gizi untuk pedet yang baru lahir sehingga bisa tumbuh normal. Yang sangat
menarik hasil penelitian ini adalah pedet yang baru lahir baik yang jantan maupun yang
betina jauh lebih berat pada kelompok induk yang diberi pakan konsentrat (18,75kg vs
13,83kg untuk jantan) dan (13,00kg vs 11,17kg untuk betina) dibandingkan dengan
kelompok induk yang diberi rumput saja. Hal yang sama terjadi pada saat pedet berumur
18 minggu, dimana berat badan pedet yang baru lahir dari induk yang mendapat
konsentrat jauh lebih tinggi dibanding dengan yang tanpa konsentrat yaitu 72,57kg vs
52,00kg.
Penelitian 4
Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Dari hasil penelitian ini dimana sapi
diberi limbah kakao fermentasi sebagai pakan tambahan di perkebunan kakao Tabanan,
juga membuktikan bahwa peningkatan pakan walaupun berasal dari limbah ternyata
mampu meningkatkan pertambahan berat badan 1,5-2 kali lipat dibanding dengan yang
diberi rumput lapang yang hanya memberikan pertambahan berat badan antara 200-235
g/hari (Sukanten et al., 1990) dan yang diberi rumput gajah 320 g/hari (Mastika et al.,
2003).
Tabel 4. Bobot Badan, Pertambahan Bobot Badan, konsumsi BK, konsumsi energy,
FCR dan koefisien cerna nutrien dari Sapi Bali J antan yang Diberi Tambahan
Pakan Komersial dan Tepung Kulit Kakao Fermentasi.

Peubah
Perlakuan
SEM
3)

A
1)
B
BB Awal (kg) 222,00
a2)
219,63
a
5,35
BB Akhir (kg) 263,00
a
257,50
a
4,87
Pertambahan BB Total (kg) 41,00
a
37,88
a
2,16
Pertambahan BB Harian
(g/ekor/hari)
488,00
a
451,00
a
25,76
Konsumsi BK
Total Rumput (kg) 426,67
a
450,81
b
3,16
Total Ransum(kg) 582,32
a
595,61
b
3,11
Rumput Harian (kg/ekor/hari) 5,11
a
5,37
b
0,04
RansumHarian (kg/ekor/hari) 6,93
a
7,09
b
0,04
Konsumsi energi ransum(Mcal
DE/ekor/hari)
17,21
a
16,87
a
16,26
Feed Convertion Ratio (FCR) 14,78
a
16,32
a
1,00
Koefisien cerna nutrien (%)
10


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
Bahan kering 62,22
a
60,59
a
1,80
Bahan organik 64,48
a
64,54
a
0,68
Protein kasar 69,28
a
68,95
a
2,34
Serat kasar 57,37
a
63,12
a
1,87
Lemak kasar 67,61
a
54,85
a
5,21
BETN 70,42
a
64,85
a
1,62
Keterangan:
1)
A =Rumput lapangan ad libitum +2 kg pakan komersial. B =Rumput
lapangan ad libitum + 2 kg kulit kakao fermentasi,
2)
Nilai dengan huruf berbeda pada baris
yang sama berbeda nyata (P <0,05).
3)
SEM =Standard Error of the Treatment Means.

J adi jelaslah sudah dari gambaran tersebut diatas faktor genetik yang dipersoalkan sebagai
menurunnya penampilan sapi Bali adalah tidak seratus persen benar, melainkan faktor
ketersediaan dan jumlah serta kualitas pakan yang menjadi faktor utama menurunnya
penampilan sapi Bali.
Penelitian 5
Hasil penelitian pemanfaatan limbah kakao fermentasi sebagai bahan penyusun
konsentrat dapat dilihat pada Tabel 5. Penggunaan limbah kakao fermentasi ternyata
masih dapat ditingkatkan bila dicampur dengan bahan-bahan lain dan hasilnya tidak kalah
dengan konsentrat komersial yang beredar di pasar. Apabila limbah kakao fermentasi
50% sebagai bagian penyusun konsentrat sehingga konsentrat mengandung CP 14,5-
15,0% dan TDN 61%, maka apabila diberikan sebanyak 3 kg/ekor/hari, mampu
memberikan pertambahan berat badan sebanyak 660 g/ekor/hari dibanding dengan
konsentrat komersial yang hanya 530 g/hari.
Tabel 5. Pertumbuhan sapi Bali yang diberikan konsentrat mengandung 50% limbah
kakao fermentasi selama 90 hari

No Pengamatan Sapi Bali diberi pakan
3kg koncentrat yang
mengandung 50% limbah
kakao fermentasi
Sapi Bali diberi
pakan 3kg pakan
komersial
1 Berat badan awal (kg) 256,258,17 2599,7
2 Berat badan akhir (kg) 315,6512,12 307,2012,6
3 Pertambahan berat badan (kg) 59,407,7 48,206,19
4 Pertambahan berat harian (kg/hari) 0,6600,20 0,5300,24
5 Konsumsi pakan (kg/ekor/hari) 5,50 5,75
Konsentrat (kg/ekor/hari) 2,53 2,70
Rumput ( kg/ekor/hari) 2,97 3,05
6 Konversi Pakan (FCR) 8,92 9,80

11


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
Dengan hasil penelitian ini maka setahap demi setahap masalah penyediaan jumlah pakan
dan kualitas pakan dapat diatasi sehingga dapat kita pergunakan didalam upaya
peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia di Indonesia dan Indonesia
bagian Timur khususnya.

Penelitian 6.
Hasil penelitian tentang pengintegrasian pemeliharaan sapi Bali di dalam 0,5Ha
sawah dapat dilihat pada Tabel 6, 7, 8 dan 9. Seperti yang dinyatakan oleh Nielsen dan
Preston (1984) bahwa integrated farming sistem adalah sederetan proses biologis dan
aktivitas manajemen yang terorganisir dengan sumber-sumber yang tersedia untuk
menghasilkan produk yang dapat dikonsumsi. Dari Tabel 6, menunjukkan bahwa hasil
analisa sampel tanah pertanian kondisi lahan penelitian kandungan bahan organik dan N
total jauh dibawah standar lahan untuk tanaman padi. Kandungan C organik rata-rata
yaitu 1,256% dan kandungan N total 0,132%. Angka tersebut dibawah rata-rata angka
yang disarankan yaitu 2% dan 0,21-0,75%.
Table 6. Kondisi lahan sawah sebelum penelitian dilakukan


Variablel
Perlakuan
SEM
Standar padi ( Lab.
Tahan, Faperta
Unud, 2009
T0 T1 T2
1
3
4
5
6
8



pH
C. organik (%)
N total (%)
P tersedia (%)
K tersedia (%)
Tekstur (%)
Pasir
Debu
Liat
6,3
a
1,380
a
0,117
a
36,407
a
85,033
a

38,870
a
36,230
a
25,897
a
6,1
a
1,517
a
0,150
a
67,820
a
256,877
a

35,523
a
35,660
a
28,820
a

6,2
a
0,870
a
0,130
a
21,923
a
261,587
a

30,603
a
39,630
a
29,767
a

0,15
0,237
0,019
18,322
63,103

1,913
1,686
1,319
5,6 7
2 5
0,21 0,75
16 35
156 390

Catatan : T0 =tanpa sapi, T1 =1 ekor sapi, dan T2 =2 ekor sapi per 0,5 ha lahan.
Selama penelitian dengan dua kali panen (Tabel 7) produksi beras untuk T0, T1 dan T2
masing-masing 3.514kg, 3.545kg dan 3.903kg. Bila dibandingkan dengan kontrol,
produksi beras untuk T1, T2 meningkat 0,88% dan 11%.
Table 7. Produksi padi pada lahan sawah dengan atau tanpa pemeliharaan sapi di
dalamnya

Variabel (per 0,5Ha)
Perlakuan
SEM T0 T1 T2
12


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009
1
2
Jumlah rumpun
Jumlah anakan per rumpun
86.400a
28,7a
98.400a
29,3a
101.333a
31,2a
42,06
3,72
3 Produksi gabah (kg) 5.412a 5,629a 6.578a 640,41
4 Produksi gabah kosong (kg) 445,3a 693,4a 648a 121,38
5 Produksi jerami (kg) 13.892,7a 15.400,7a 15.808,0a 1.823,97
6 Produksi beras (kg) 3.514a 3.545a 3.903a 415,06
7 Produksi dedak (kg) 573,1a 646,1a 758,3a 87,84
8 Produksi sekam (kg) 937,8a 900,9a 1.212,5a 71,94
Keterangan : T0 =0 sapi, T1 =1 ekor sapi, dan T2 =2 ekor sapi per 50 are.
Dari peningkatan berat badan sapi, sapi Bali yang dipelihara secara merakyat dengan
pakan yang ada di sekitar lahan pertanian dan dengan pakan tambahan 1kg dedak padi
dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk sapi yang dipelihara 1 ekor/0,5Ha (T1) dan 2 ekor/0,5Ha
(T2), pertambahan berat perharinya masing-masing 0,558kg vs 0,547kg sedangkan
produksi kotoran kering untuk T1 5,66kg/hari dan T2 6,39kg/hari. Bahan ini baik sebagai
bahan dasar dalam peningkatan bahan organik tanah petani.
Tabel 8. Pertumbuhan, konsumsi pakan dan produksi kotoran sapi yang dipelihara secara
Integrasi di persawahan Pasca Panen Pertama dan kedua
Parameter T0
(tanpa sapi)
T1
( 1 ekor/50 are)
T2
(2 ekor/50 are)
1 Pertambahan berat badan
(g/ekor/hari)
0 558,10 547,10
2 Konsumsi pakan (1kg dedak +
hijauan segar) (kg/ekor/hari )
0 29,42 28,34
3 Produksi kotoran segar
(kg/ekor/hari)
0 11,33 12,78
4 Produksi kotoran kering udara
(kg (DW) /ekor/hari)
0 5,66 6,39
5 Produksi kotoran kering udara
(kg (DW) /ekor/tahun)
2.065.9 2.332.35
Keterangan : T0 =0 sapi, T1 =1 ekor sapi, dan T2 =2 ekor sapi per 50 are.

Pendapatan kotor petani dapat dilihat pada Tabel 9. Untuk sawah tanpa sapi (T0)
pendapatan kotor petani adalah Rp 18.140.600,- sedangkan T1 dan T2 masing-masing Rp
21.841.520,- dan Rp 27.867.180,- dalam 0,5Ha lahan sawah.


13


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009







Tabel 9. Pendapatan kotor petani yang memelihara sapi secara integrasi pada lahaan
sawah selama penelitian.

Parameter T0 T1 T2
Panen I
1 Pendapatan dari hasil beras
T0 =1787,5 x Rp 5000=Rp 8.737.500
T1 =1764,8 x Rp 5000=Rp 8.824.000
T3=1832 x Rp 5000=Rp 9.163.500
8.937.500 8.824.000 9.163.500
2 Dedak 273.100 0 0
3 Pendapatan dari hasil peningkatan berat
badan sapi per ekor
T1=0,5583 x Rp 20.000,- x 120=
Rp.1.339.92-
T2=0,547xRp.20.000,-x120x2=Rp.
2.626.080,-
0 1.339.920 2.626.080
4 Kotoran sapi
T1 =11,33x120 x Rp 500 =Rp 679.800
T2 =12,78x120 x Rp 500x2 =Rp 1.533.600
0 679.800 1.533.600
Total 9.210.600 10.893.720 13.323.180
Panen II
1 Pendapatan dari hasil beras
T0 = 1726 x Rp 5000= Rp 8.630.000
T1 = 1780 x Rp 5000= Rp 8.900.000
T3 = 2070 x Rp 5000= Rp 10.350.000
8.630.000 8.900.000 10.350.000
2 Dedak : 300 x Rp 1.000=Rp 300.000 300.000
3 Pendapatan dari hasil peningkatan berat
badan sapi per ekor
T1=0,55 x Rp 20.000,- x 120=
Rp.1.339.92-
T2=0,53xRp.20.000,-x120x2=Rp.
2.626.080,-
0 1.320.000 2.544.000
4 Kotoran sapi
T1 =12,13x120 x Rp 500 =Rp 679.800
T2 =13,75x120 x Rp 500x2 =Rp 1.533.600
727.800 1.650.000
Total 8.930.000 10.947.800 14.544.000
Total pendapatan kotor panen I dan II 18.140.600 21.841.520 27.867.180
Keterangan : T0 =0 sapi, T1 =1 ekor sapi, dan T2 =2 ekor sapi per 50 are.
14


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009


SIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian dan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Masalah pengembangan sapi Bali tidak terletak pada faktor genetik saja tetapi
lebih banyak pada faktor penyediaan dan kualitas pakan yang tidak mencukupi
kebutuhan sapi Bali untuk mendukung pertumbuhan atau produksi sesuai dengan
genetik potensialnya.
2. Langkah kedepan pada daerah-daerah yang memungkinkan untuk pengembangan
tanaman pakan ternak perlu ditingkatkan intensitasnya dengan berbagai pola dan
jenis tanaman yang lebih banyak direkomendasikan oleh lembaga-lembaga
penelitian.
3. Upaya peningkatan mutu limbah untuk pakan ternak perlu mendapat perhatian dan
digalakkan oleh para stake holder industri dan peneliti, karena ke depan dengan
terbatasnya lahan yang bisa ditanami maka pemanfaatan limbah pertanian dan
industri pertanian akan menjadi prioritas utama dalam industri peternakan
khususnya ternak ruminansia di masa depan.
4. Perbaikan mutu genetik sapi Bali perlu ditangani secara serius terutama untuk
menghindari inbreeding semaksimal mungkin.
5. Perlu upaya goodwill dan political will Pemda Bali dan Pemerintah Pusat untuk
mempertahankan sapi Bali sebagai salah satu plasma nutfah asal ternak, serta
menempatan lembaga pembibitan sapi Bali di pulau Bali. Untuk menunjang Bali
sebagai pusat pembibitan sapi Bali, perlu partisipasi dan langkah antisipasi
penyediaan pakan ternak baik kuantitas maupun kualitasnya.
6. Pengintegrasian pemeliharaan 2 ekor sapi Bali di dalam 0,5ha luas lahan pertanian
dapat meningkatkan pendapatan kotor sebanyak 53, 62% dan sapi yang diberikan
rumput dan dau-daunan sekitar (limbah) pertanian dengan tambahan 1kg dedak
padi memberikan pertambahan berat badan 549-550g/ekor/hari.


DAFTAR PUSTAKA
15


Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat, Mataram 28 Oktober 2009

Arka, I.B. 1989. Pengaruh Penggemukan terhadap Kualitas Daging dan Karkas pada Sapi
Bali. Disertasi Doktor, Universitas Negeri Pajajaran, Bandung.
Bamualim, A and Wirdahayati, R.B. 2003. Nutrition and Management Strategies to
Improve Bali Cattle Production in Nusa Tenggara. ACIAR Proceedings No 110.
Canberra. Australia.
Guntoro, S. 2006. Mengolah Limbah Perkebunan untuk Pakan Ternak. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Mastika, I.M. 1996. Constraints and Nutrition System for Bali Cattle in the Tropics.
Proceedings of Seminar on Bali Cattle, a Special Species for the Dry Tropics.
Held by Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP), 21 Septembre
1996, Udayana Lodge, Bukit J imbaran, Bali.
Mastika, I.M., Oka, I.G.L., Sarini, N.P., Suriasih, N.K., Ambarwati, I.G.A., Wijaya, A.S.
(1997). Study on Growth and Reproductive Performance of Bali Cattle Fed
Concentrate in Feed Lot System. Report submitted to the IAEUP, J akarta, 1997.
Mastika, I.M., Oka I.G.L., and Bhinawa, I.G.N. (2000). Growth Performance and Meat
Quality of Bali Cattle (Bos indicus) Fed Concentrate and Starbio
Supplementation. Proc. Nasional Seminar on Local Resource Based Livestock
Development. 8 - 9 August 2001, IPB - Bogor Indonesia.
Mastika, I.M. 2003. Feeding Strategies to Improve the Production Performance and Meat
Quality of Bali Cattle (Bos sondaicus). ACIAR. Proceeding no 110. Editors: K.
Entwistle and D.R. Lindsay. ACIAR- Canberra.
Mastika, I.M. 2006. Pengolahan Limbah Kakao sebagai Pakan Alternatif. Dalam Laporan
Akhir Demoplot Pengendalian PBK dengan Pola Integrasi. DISBUN dan HPT
FAPERTA UNUD.
Mastika, I. M. 2007. Pengolahan Limbah Perkebunan Kakao dan Potensinya untuk
Makanan Ternak. Laporan akhir Dinas Perkebunan Provinsi Bali dengan Fakultas
Pertanian Universitas Udayana, Denpasar Bali.
Mastika, I.M., A.W. Puger, I K.M. Budiasa dan I M. Mudita. 2009. Peningkatan
produktivitas lahan pertanian dengan pemeliharaan sapi di dalamnya (Integrated
farming System). Laporan Penelitian Hibah Penelitian Strategis Nasional tahun
2009.
Sonjaya, H. dan Idris, T. 1996. Kecenderungan perkembangan populasi sapi potong di
Sulawesi selatan. Forum Komunikasi Pimpinan Perguruan Tinggi Peternakan se
Indonesia. 9-10 Agustus 1996. Ujung Pandang
Sukanten, I.W., S. Putra dan A.W. Puger. 1990. Pengaruh Sistem Tiga Strata terhadap
Penampilan Sapi Bali dengan Program Peternakan Inti Rakyat. Proceeding
Seminar Nasional Sapi Bali. 21-22 September 1990. Denpasar, Bali.
Talib, C. , K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti turner and D. Lindsay. 2003. Survey of
population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding program
in Indonesia. ACIAR. Proc. No 110. Canberra, 2003
Wirdahayati, R.B. dan Bammualim, A. 1990. Penampilan produksi dan struktur populasi
ternak sapi Bali di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Proc. Seminar Nasional
Sapi Bali. 20-22 September 1990. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana,
Denpasar, Bali.

Anda mungkin juga menyukai