POLA PENGGUNAAN ENERGI DAN TINGKAT EFISIENSI ENERGI
MASING-MASING SEKTOR
Disusun Oleh : 1. Siti Nur Fitria 2411100011 2. Nimroatul Chasanah 2411100014 3. Etna Septyaningrum 2411100015 4. Mariesta Arianti 2411100021
PRODI S1 TEKNIK FISIKA JURUSAN TEKNIK FISIKA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER TAHUN PELAJARAN 2013/2014 3. POLA PENGGUNAAN ENERGI DAN TINGKAT EFISIENSI ENERGI MASING- MASING SEKTOR
3.1 Sektor Rumah Tangga 3.1.1. Definisi dan Karakteristik Sektor Menurut BPS, rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Rumah Tangga Biasa (Ordinary Household) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. b. Rumah Tangga Khusus (Special Household) adalah orang-orang yang tinggal di asrama, tangsi, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan, atau rumah tahanan yang pengurusan sehari-harinya dikelola oleh suatu yayasan atau lembaga serta sekelompok orang yang mondok dengan makan (indekos) dan berjumlah 10 orang atau lebih. Dalam kajian ini, semua rumah tangga diasumsikan sebagai rumah tangga biasa. Seperti pada statistic BPS, terdapat dua jenis rumah tangga yang dikaitkan dengan lokasi, rumah tangga di perkotaan dan di pedesaan. Jumlah anggota rumah tangga juga disesuaikan dengan definisi BPS, hanya saja pada kajian ini jumlah anggota rumah tangga di perkotaan dan di pedesaan diasumsikan sama, dari sebanyak 4 anggota pada tahun 2010 menjadi 3.15 pada tahun 2030. Proyeksi jumlah penduduk, rumah tangga dan tingkat urbanisasi mengikuti proyeksi yang dibuat oleh BPS seperti di bawah ini. Tabel 3.1. Populasi, Anggota Rumah Tangga dan Tingkat Urbanisasi
Belum semua penduduk Indonesia menikmati listrik. Data Ditjen Ketenagalistrikan tahun 2011 menujukkan bahwa rasio elektrifikasi Indonesia masih berkisar 67,2%, yang artinya sekitar 32,8 % keluarga di Indonesia belum mendapatkan aliran listrik. Pemerintah menargetkan melalui kebijakan energi nasional bahwa pada tahun 2020, rasio elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 100%. Suatu target yang memerlukan kerja keras mengingat tingkat elektrifikasi yang baru bisa dicapai hingga saat ini. Tabel 3.2 menampilkan perkembangan rasio elektrifikasi Indonesia dari tahun 1980 2011.
Tabel 3.2.Rasio Elektrikasi
3.1.2 PDB dan Konsumsi Energi Final Seperti telah dijelaskan pada bab sebelummya PDB per kapita Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,74 juta rupiah (konstan 2000), meningkat dari 6,74 juta rupiah pada tahun 2000, atau tumbuh 3,8% per tahun. Pada periode yang sama konsumsi energi sektor rumah tangga meningkat dari 296,6 menjadi 325,5 juta SBM (dari 87,9 turun menjadi 81,7 juta SBM, tanpa biomasa).
Gambar 3.1. Konsumsi Energi Final per Rumah Tangga (Tanpa Biomasa) Gambar 3.1 menampilkan konsumsi energi per rumah tangga, tanpa biomasa. Meskipun biomasa sudah dihilangkan, terlihat bahwa konsumsi energi per rumah tangga mengalami tren penurunan. Penjelasannya bisa multi tafsir, bisa karena efisiensi peralatan rumah tangga yang semakin tinggi atau karena rumah tangga mengurangi pengeluarannya yang terkait energi (melakukan penghematan energi) akibat harga energi semakin mahal atau kedua-duanya. Dari tingkat konsumsi energi per rumah tangga sebesar 1,71 SBM/RT pada tahun 2000 turun menjadi 1,34 SBM/RT pada tahun 2010 atau mengalami pertumbuhan minus 2,4% per tahun
3.1.3 Pola Pengembangan Energi Sampai tahun 2010, konsumsi mintak tanah untuk keperluan rumah tangga mengalami penurunan yang signifikan, yaitu mencapai 14 % prt tahun dari 63,22 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 14,44 juta SBM pada tahun 2010. Sebaliknya konsumsi LPG untuk kebutuhan rumah tangga mengalami peningkatan sekitar 18%, dari 5,93 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 30,49 juta SBM pada tahun 2010. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan pemerintah untuk mengkonversi penggunaan minyak tanyah menjadi LPG. Kebijakan ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadao jumlah konsumsi minyak tanah di Indonesia. Selain peningkatan penggunaan LPG, juga terjadi peningkatan penggunaan energi listrik sebesar 8 %, konsumsi listrik rumah tangga tumbuh dari 18,73 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 36,67 juta SBM pada tahun 2010. Grafik dibawah ini menunjukan profil penggunaan energi rumah tangga di Indonesia :
Sumber : Pusdatin ESDM, 2011 Gambar 3.2. Profil Penggunaan Energi Rumah Tanga di Indonesia
Konsumsi energi listrik di Indonesia lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara-neraga berkembang lain. Besarnya pertumbuhan konsumsi energi listrik Indonesia per tahun per pelanggan dari tahun 2000 sampai 2010 hanya sekitar 2,9 %. Namun pertumbuhan jumlah pelanggannya cukup tinggi yaitu sekitar 3,9%. Berikut ini adalah tabel yang menunjukan konsumsi energi listrik dari tahun 2000 sampai 2010.
Tabel 3.3. Konsumsi Listrik di Indonesia
Sumber : PLN Energi listrik tersebut digunakan untuk menggunakan berbagai kebutuhan. Kebutuhan penggunaan ini berbeda-beda menurut golongan tarif yang digunakan. Berikut ini adalah pola penggunaan energi listrik untuk berbagai golongan tarif :
Sumber : BPPT dan JICA, 2009 Gambar 3.3. Pola Penggunaan Energi Listrik untuk Berbagai Golongan Tarif Untuk golongan R1-450VA dan R1-900VA, konsumsi listrik terbesar digunakan untuk refrigerator. Sedangkan untuk R1-1300VA, R1-2200VA dan R1-4400VA, konsumsi listrik terbesar digunakan untuk air-conditioning.
3.2 Sektor Industri 3.2.1 Definisi dan Karakteristik Sektor Industri manufaktur atau pengolahan secara mendasar merupakan industri yang mengolah secara mekanik atau kimia suatu bentuk material atau bahan dasar menjadi produk baru. Sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), industri manufaktur atau pengolahan Indonesia dibagi menjadi 24 kelompok jenis usaha. Namun, pada kajian ini hanya menganalisis 11 kelompok jenis usaha. Kesebelas kelompok ini dirasa sudah mewakili 24 kelompok yang ada. Kelompok yang akan didiskusikan adalah : a. Industri makanan dan minuman b. Industri tekstil dan pakaian c. Industri kayu d. Industri pulp dan kertas e. Industri pupuk dan kimia lainnya f. Industri keramik dan gelas (non logam lainnya) g. Insdustri semen h. Industri besi dan baja i. Industri peralatan dan permesinan j. Industri lainnya. Penggunaaan energi listrik pada dunia industri sangat bergantung pada aktivitas dalam menghasilkan produk.
3.2.2 PDB, Intensitas Energi Final dan Elastisitas Industri Data BPS menunjukkan bahwa PDB sektor industri selama 10 tahun terakhir naik dengan laju pertumbuhan 5,3% per tahun.
Gambar 3.4. Grafik PDB sector Industri pengolahan (non migas) Pemakaian energi final sektor industri pada tahun 2010 didominasi batubara, minyak dan gas bumi. Pangsa batubara pada total konsumsi energi final industri tahun 2010 sekitar 31% dan minyak mencapai 26%. Total konsumsi gas bumi sebagai bahan bakar pada 2010 sekitar 85,7 juta SBM, sedangkan sebagai bahan baku sekitar 28,4 juta SBM. Dibanding tahun sebelumnya, pangsa minyak sektor industri menurun karena sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM.
Gambar 3.5. Grafik konsumsi energi final sector industri menurut jenis (termasuk gas feedback) Intensitas energi final sektor industri merupakan rasio antara konsumsi energi final dengan PDB sektor industri. Sejak tahun 2000-2008, intensitas energi sektor industri mengalami penurunan. Pada dua tahun terakhir intensitas energi industri kembali naik menjadi 796 SBM/milyar rupiah (konstan 2000) pada tahun 2010. Penurunan ini disebabkan oleh salah satu atau ketiga faktor berikut: Terjadinya pergeseran jenis industri, dari industri padat energi menjadi industri yang lebih padat modal, dan/atau Terjadinya pergeseran dari industri hulu yang membutuhkan energi besar menjadi industri hilir yang memerlukan energi lebih sedikit, dan/atau Proses produksi dan mesin industri yang baru mengkonsumsi lebih sedikit energi atau hemat energi.
Gambar 3.6. Grafik intensitas energi final sector industri (termasuk biomassa dan gas feedback) Selama 10 tahun terakhir elastisitas pertumbuhan PDB industri terhadap pertumbuhan PDB nasional mengalami penurunan yang relatif kecil. Nilai elastisitas merupakan rasio antara pertumbuhan PDB industri dengan pertumbuhan PDB nasional.
Gambar 3.7. Grafik elastisitas sector industry
3.2.3 Pola Penggunaan Energi Industri Tekstil Secara umum penggunaan energi industri terbagi menjadi empat, yaitu proses pemanasan, pendinginan, penggerak motor dan pengolahan limbah. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memerlukan energi untuk proses heating, cooling dan penggerak motor-motor listrik. Industri TPT dibagi menjadi 5 kategori: industri serat; industri benang; industri kain; industri pakaian jadi dan industri produk tekstil lainnya. Dari sisi jenis produk yang dihasilkan, industri tekstil bisa dibagi menjadi 3 kategori : Sektor Industri Hulu adalah industri yang memproduksi serat yang terdiri dari 2 sub-sektor yaitu industry serat alam dan buatan yang diolah menjadi benang. Pada Sektor Industri antara (kain) meliputi penganyaman benang menjadi kain mentah lembaran yang kemudian diolah menjadi kain-jadi. Pada Sektor Industri Hilir adalah industri manufaktur pakaian jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing dan finishing yang menghasilkan ready-made garment.
Gambar 3.8. Grafik distribusi tipikal penggunaan energi final di industri tekstil
Diagram diatas diolah berdasarkan data dari BPS, PGN, Pusdatin ESDM, Minerba ESDM, PLN, dan instansi lainnya di kementrian ESDM.
Gambar 3.9. Grafik distribusi penggunaan energi di industri tekstil menurut jenis tahun 2010
3.3 Sektor Komersial 3.3.1 Definisi dan Karakteristik Sektor Sektor komersial adalah sektor yang terdiri dari perusahaan yang tidak terlibat pada transportasi atau industri pengolahan/manufaktur dan aktivitas industri lainnya (pertanian, pertambangan atau konstruksi). Usaha komersial meliputi hotel, motel, restoran, penjualan besar (mall, supermarket dll), penjualan ritel, laundry dan perusahaan lainnya. Dalam kajian ini, sektor komersial hanya dibedakan menjadi dua, pemerintah dan swasta. Pemerintah hanya meliputi kantor-kantor Pemerintah Daerah dan pemerintah Pusat, sisanya seperti kantor swasta, sekolah, hotel, mall dan rumah sakit dimasukkan kedalam sektor swasta.
a. Kantor pemerintah Termasuk ke dalam kategori ini antara lain: kantor-kantor pemerintah (baik pusat maupun daerah), perpustakaan, museum, fasilitas olah raga, stasiun, terminal, bandara dan pelabuhan. Pengendalian penggunaan energi di gedung pemerintah lebih mudah karena dimiliki dan dikelola sendiri oleh pemerintah. Namun karena biaya rekening energinya menjadi tanggungan pemerintah sesuai dengan anggaran yang tersedia, seringkali kesadaran untuk melakukan penghematan energi rendah. Hal ini disebabkan karena tindakan penghematan atau pemborosan dalam penggunaan energi tidak memiliki dampak terhadap keuntungan atau kerugian dalam pengoperasian gedung. Gambar di bawah ini menunjukkan tipikal penggunaan energi di salah satu gedung pemerintah. Dapat dilihat pada gambar bahwa konsumsi energi di gedung sesuai dengan jam kantor, yaitu dimulai pada sekitar pukul 7.00 sampai dengan pukul 15.30.
Gambar 3.10. Tipikal Pola Penggunaan Energi istrik di Gedung Pemerintah
b. Kantor swasta Gedung perkantoran di sini dibatasi pada gedung perkantoran yang dikelola oleh swasta. Gedung-gedung ini umumnya beroperasi sesuai dengan jam kantor, yakni 5 hari sepekan dan 8-9 jam perhari. Ketika ada permohonan tertentu, maka gedung bisa dioperasikan di luar jam kerja. Pada umumnya gedung perkantoran dapat dibagi menjadi dua, yaitu: gedung perkantoran milik sendiri dan yang disewakan. Keduanya biasanya memiliki manajemen pengelola gedung sendiri yang disebut dengan Building Management. Building Management ini yang kemudian diserahi tugas oleh pemilik gedung untuk mengoperasikan gedung. Pengendalian operasional peralatan-peralatan gedung tersebut dilakukan secara terpusat di ruang control dengan menggunakan BAS.
Tindakan penghematan energi seringkali mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Terutama pihak penyewa (tenant) biasanya kurang memiliki perhatian dalam penghematan energi, karena merasa sudah membayar uang sewa, sehingga merasa bebas memanfaatkan energi/listrik sesukanya. Sekalipun dalam pembayaran sewa tenant ada juga yang melakukan pengukuran penggunaan listrik dan dimasukkan ke dalam biaya sewa per bulannya, secara psikologis penyewa ruangan merasa bahwa penghematan energi bukan merupakan tanggung jawab dia. Hal ini yang kemudian menyebabkan kesulitan dalam implementasi penghematan energi di gedung perkantoran.
Gambar 3.11. Tipikal Profil Penggunaan Energi di Gedung Perkantoran
c. Rumah sakit Rumah sakit pada umumnya memiliki jam operasi 24 jam dengan operasional yang berbeda tiap instalasi. AC, peralatan medis dan peralatan kantor, umumnya mulai dioperasikan pada jam kerja yaitu pada jam 06.00 dan berhenti dinyalakan pada jam 17.00, kecuali pada instalasi yang harus beroperasi 24 jam seperti UGD dan Farmasi Klinik, serta penerangan diseluruh lingkungan RSU, kecuali berapa ruang inap kosong, kantor pegawai, dan instalasi yang hanya buka pada pagi hari.
Gambar 3.12. Tipikal Profil Penggunaan Energi Listrik di Rumah Sakit Selain listrik, sebuah Rumah Sakit juga mengkonsumsi bahan bakar seperti bahan bakar gas, LPG ataupun Minyak Solar, karena memiliki boiler yang digunakan untuk menghasilkan uap panas untuk kebutuhan pemanasan di dalam fasilitas. Panas tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan sterilisasi bahan di dalam fasilitas, juga digunakan untuk pengering ataupun dapur tempat masak.
d. Pusat perbelanjaan
Pola operasi penggunaan energy di pusat perbelanjaan tercermin dari jam operasional gedung mulai pukul 09.30 s/d 21.00. Utilitas-utilitas utama seperti AC dan penerangan umumnya mulai dioperasikan secara bertahap mulai pukul 07:00 pagi dan berhenti beroperasi secara bertahap mulai pukul 21:00 WIB malam. Untuk mengendalikan operasional peralatan-peralatan tersebut digunakan sistem manual oleh teknisi engineering dan tim terkait yang bertugas menjaga kehandalan sistem di mall serta cleaning service yang membersihkan bangunan sebelum dan setelah jam kerja normal.
Gambar 3.13. Tipikal Profil Penggunaan Energi di Pusat Perbelanjaan
Dapat dilihat bahwa penggunaan energi listrik mulai naik pada sekitar pukul 6 pagi. Pada jam ini dimulai proses pendinginan gedung. Beban listrik kembali meningkat pada sekitar pukul 10 pagi, di mana sebagian besar tenant sudah mulai membuka tokonya. Beban listrik kemudian mencapai puncak pada sekitar pukul 12 s.d. pukul 21 malam, yang mana merupakan jam buka dari toko-toko di dalam pusat
perbelanjaan tersebut. Listrik kembali turun sampai level minmal pada sekitar pukul 10 malam, dikarenakan tokok-toko sudah mulai tutup. Sebagaimana di gedung perkantoran, sebuah pusat perbelanjaan biasanya disewakan pada tenant-tenant. Dikarenakan tenant di dalam pusat perbelanjaan pada umumnya cenderung ingin tampil lebih mencolok dibandingkan dengan yang lainnya, penggunaan energi dari sebuah pusat perbelanjaan relatif tinggi dibandingkan dengan gedung-gedung komersial lainnya.
e. Hotel Hotel pada umumnya memiliki jam operasi selama 24 jam dan 7 hari dalam sepekan, dengan pembagian jam kerja menjadi 3 shift. Shift 1 dengan waktu operasional jam 07.00 15.00, Shift 2 dengan waktu operasional jam 15.00 23.00 dan shift 3 dengan waktu operasional jam 23.00 07.00. Masing-masing shift memiliki waktu istirahat selama 1 jam. Utilitas-utilitas utama seperti AC, penerangan, pemanas air dan pompa air dioperasikan tergantung tingkat hunian. Tipikal profil penggunaan energi listrik dari salah satu hotel di Jakarta, ditunjukkan pada gambar berikut. Gambar sebelah kiri adalah profil beban kelistrikan tanpa memasukkan beban listrik untuk AC. Sedangkan sebelah kanan adalah profil beban kelistrikan untuk chiller dan peralatan pendingin sentral. Dapat dilihat bahwa selain beban chiller, sebuah hotel pada umumnya memiliki profil beban relatif stabil mulai dari pagi sampai tengah malam. Sedangkan profil beban chiller meningkat sejak dari pukul 7 sampai dengan sekitar pukul 21.00. Setelah itu terlihat bahwa chiller tidak semua dimatikan, dan mulai tengah malam sampai besok harinya masih mengkonsumsi listrik sampai dengan setengah dari pada waktu beban puncak. Hal ini karena penghuni biasanya tidur sambil menyalakan TV dan AC, sehingga beban listrik masih cukup tinggi.
Gambar 3.14. Tipikal Profil Penggunaan Energi di hotel
3.3.2 PDB dan Intensitas Konsumsi Energi Final Sektor komersial merupakan salah satu sektor pengguna energi yang penting. Sekalipun dari sisi penggunaan energinya sekitar 3% dari total penggunaan energi final nasional, masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor industri 32,9%, rumah tangga 30,1 % dan transportasi 23,7% (BPS, 2009), namun secara PDB sektor komersial yang meliputi sektor jasa, konstruksi, perdagangan, hotel, restoran dan keuangan menempati 43% dari total PDB Indonesia (BPS, 2011) dan cenderung terus meningkat ke depan. Apalagi jika dilihat dari pengguna listrik, maka sektor komersial mengkonsumsi sekitar 24,8% dari total penjualan listrik PLN selama tahun 2009. Dengan demikian penurunan konsumsi energi di sektor komersial akan memberikan dampak penghematan pada penggunaan energi listrik, yang pada akhirnya juga akan mengurangi kebutuhan energi primer nasional.
Gambar 3.15. Pandangan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah), 2004-2011
Terlihat dari gambar di atas, bahwa kontribusi sektor komersial pada PDB berkisar antara 43-48%, tidak banyak berubah dari sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak perubahan yang berarti dari struktur perekonomian nasional sejak tahun 2004 Sampai dengan sekarang. Akan tetapi kontribusi dari sektor komersial ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Disamping listrik, konsumsi gas bumi di sektor komersial juga mengalami peningkatan dari 134 ribu SBM pada tahun 2000 menjadi 963 ribu SBM tahun 2010, suatu peningkatan yang sangat signifikan dibanding energi lainnya. Pertumbuhan rata-rata konsumsi gas di sektor komersial selama kurun waktu 2000-2010 sebesar 22% per tahun. BBM dan LPG mengalami penurunan masing-masing minus 2,3 dan 2,7% per tahun.
Gambar 3.16. Konsumsi Energi Final Sektor Komersial Menurut Jenis 3.3.3 Pola Penggunaan Energi Dari hasil survei dan audit yang dilakukan oleh BPPT dan JICA yang sebagian besar dilakukan di Jakarta, diperoleh beberapa data yang sangat penting mengenai intensitas energi listrik di bangunan dan distribusi penggunaan listrik di bangunan komersial. Gambar 3.13 menunjukkan intensitas energi bangunan rumah sakit, mall, hotel, kantor swasta, kantor pemerintah baik dengan AC maupun tanpa AC. Intensitas tertinggi terjadi pada mall, yakni 269 kWh/m2/tahun. Hal ini bisa dimengerti karena mall atau pusat perbelanjaan memerlukan beban penerangan dan AC yang tinggi. Yang paling rendah adalah kantor pemerintah (dengan AC) yang intensitasnya hanya 164 kWh/m 2 /tahun.
Gambar 3.17. Intensitas Konsumsi Energi Bangunan Komersial di Indonesia
Tabel 3.4. Distribsui Tingkat Luas Lantai Bangunan Komersial di Indonesia
Tabel 3.5 Intensitas Enregi Tipikal Sektor Komersial di Indonesia
Gambar 3.18. Distribusi Tipikal Penggunaan Listrik di Sektor Komersial
Jika dilihat dari penggunaan energi listrik di sektor komersial, dapat dilihat pada Gambar 3.18, bahwa energi listrik sebagian besar digunakan untuk sistem pendingin. Yang mencapai 65% untuk hotel, rumah sakit 57%, departement store 57%, bangunan kantor pemerintah 55% dan gedung perkantoran 47%. Perlu dicatat bahwa hasil ini merupakan studi bukan merupakan rata-rata, akan tetapi angka yang diperoleh dari sampel gedung di kawasan Jakarta. Untuk mendapatkan statistik yang lebih baik, diperlukan sampel yang lebih banyak dan mencakup wilayah-wilayah selain Jakarta. Sekalipun demikian, dari angka ini bisa dilihat bahwa potensi penghematan energi terbesar di gedung-gedung komersial ada pada sistem pendingin/sistem tata udaranya. Dengan menerapkan teknologi yang tepat pada sistem tersebut diharapkan dapat menekan penggunaan energi di sekor komersial.