Anda di halaman 1dari 4

ALERGI ANTIBIOTIK

Pernahkan anda merasa gatal-gatal atau timbul ruam-ruam merah di sekujur tubuh
setelah meminum obat (terutama antibiotik)? Kalau begitu anda harus hati-hati! Bisa jadi
anda mengalami alergi terhadap obat tersebut. Mulai sekarang harap diperhatikan, jika tidak
ingin mengalami efek alergi seperti yang saya alami. Teman kantor saya bahkan ada yang
meninggal karena alergi terhadap obat yang dia minum.
Di sini saya hanya ingin menuliskan pengalaman saja, dan saya gak akan pakai
istilah/teori medis yang rumit-rumit, soalnya nanti malah bikin bingung. Teori medis dan
istilahnya bisa searching sendiri ya di internet dengan mengetikkan password alergi
antibiotik.
Saya termasuk orang yang alergi terhadap antibiotik golongan Penicillin dan Sulfa.
Dan saya baru mengetahuinya setelah berumur 17 tahun. Sewaktu masih kecil, ketika jatuh
dan terluka parah, ibu saya sering memberikan antibiotik Penicillin sebagai obatnya, dan saya
baik-baik saja, luka sayapun cepat sembuh. Tetapi seiring berjalannya waktu, ternyata reaksi
tubuh saya terhadap Penicillin berubah.
Sewaktu usia 17 tahun, saya pernah jatuh dari dari motor saat diboncengi teman. Kaki
saya terluka dan tanganpun jadi lecet-lecet. Sesampainya di rumah, ibuku langsung
mengobati lukaku dengan menaburkan bubuk dalam kapsul Penicillin di atasnya. Jadi obat itu
tidak saya telan. Beberapa hari kemudian, lecet-lecet di tangan saya mulai mengering,
demikian juga dengan luka di kaki. Tetapi di atas bekas luka saya terasa gatal, kulit juga
terlihat memerah dan muncul seperti ruam-ruam/bintik-bintik.
Kejadian ini berlangsung beberapa hari dan saya biarkan saja. Ternyata luka di kaki
saya belum sembuh benar, malah infeksi dan benanah. Sampai saat itu saya belum berinisiatif
untuk pergi ke dokter. Ibuku malah membersihkan luka di kakiku dan menaburkannya
dengan antibiotik dengan jenis lain yaitu Sulfa karena mengikuti saran temannya. Ternyata
gatal-gatal di sekitar lukaku bertambah parah, dan mulai menyebar ke paha dan perut. Warna
kulit semakin memerah, padahal luka juga belum sembuh benar.
Akhirnya karena alergi gatal semakin parah, aku meminta ibuku untuk segera
membawaku ke dokter spesialis kulit. Di dokter kulit itu, luka di kakiku dibersihkan. Saya
diberi obat anti alergi berupa salep dan obat kocok, serta obat untuk mempercepat
penyembuhan luka. Dokter kulit itu bilang, kalau saya alergi terhadap antibiotik Penicillin
dan Sulfa, jadi jangan coba-coba memberi obat ini walaupun tidak diminum dan hanya
ditaburkan di atas luka.
Mungkin alergi yang saya alami waktu itu termasuk ringan karena segera tertangani
dan belum sampai menjalar di sekujur tubuh. Saya pernah mengalami lebih dari itu sewaktu
masih kuliah. Saat itu saya sedang terserang batuk pilek. Biasanya saya paling malas ke
dokter, tapi karena panasnya tidak kunjung reda akhirnya saya memutuskan untuk ke dokter.
Pada saat akan memberi resep dokter, saya ditanya apakah pernah menderita alergi obat.
Waktu itu saya benar-benar lupa bahwa saya pernah punya riwayat alergi antibiotik penicillin
dan sulfa. Saya jawab saja tidak. Akhirnya dokter itu memberikan obat antibiotik Amoksilin
dan obat flu serta batuk. Menurut beberapa dokter, amoksilin ini termasuk ringan dan umum
digunakan.
Sesampainya di rumah, saya minum obat tersebut termasuk antibiotiknya. Waktu baru
meminum 1 kapsul Amoksilin, sebenarnya sudah ada reaksi sedikit gatal, tapi saya biarkan
saja. Antibiotik tetap saya minum karena saya ingat bahwa mengkonsumsi antibiotik harus
sampai habis. Jadi saya tetap mengkonsumsi sampai 5 kali (5 kapsul). Ternyata keadaan
semakin parah, muncul ruam-ruam merah, awalnya di bagiat perut, lalu menjalar ke kaki,
tangan kemudian muka. Akhirnya saya menghentikan pemakaian antibiotik itu. Duh gak
kebayang rasanya waktu itu, badan terasa gatal dan panas banget.
Sayapun pergi ke dokter spesialis kulit, tapi ternyata pelayanannya tidak memuaskan
meskipun sudah membayar mahal dan antrinya lama. Dokter itu hanya memberiku CTM
disertai wajah jutek tanpa senyum, sambil memarahi aku tanpa menjelaskan penyebabnya
alergiku kenapa.
Sepulangnya dari sana, CTM itu hanya kuminum beberapa kali, karena saya merasa
alergi semakin parah. Mungkin karena ada faktor sugesti pada dokter itu, bawaannya sebel
aja ke dia. Saya mencoba membuka-buka buku tentang daftar jenis obat-obatan yang
kebetulan ada di rumah, dan saya baru tahu ternyata amoksilin adalah turunan dari Penicillin.
Pantesan saya alergi ketika minum obat itu.
Kalau saya hitung-hitung, alergi yang saya alami berlangsung sekitar tiga mingguan,
cukup lama juga ya. Mulai dari munculnya ruam-ruam merah di beberapa tempat, sampai ke
sekujur tubuh, kemudian kaki, tangan dan muka saya membengkak. Dan terakhir pada saat
mulai sembuh, kulit saya mengelupas semua, udah kayak ular aja deh hehehe. Selama masa
alergi itu saya jadi tidak bisa kemana-mana, selain terasa gatal dan panas, malu juga karena
sekujur tubuh jadi bengkak. Waktu itu saya mengobatinya dengan ramuan herbal saja yaitu
sari mengkudu dan wortel. Bersyukur akhirnya saya sembuh juga, duh rasanya gak enak
banget waktu itu. Sejak saat itu, saya gak mau (menghindari) sembarangan minum obat lagi
terutama antibiotik.
Ternyata alergi yang saya alami masih termasuk ringan, dan untung konsumsi obat
segera dihentikan, gak kebayang deh kalau antibiotik itu tetap saya konsumsi, bisa-bisa
nasibnya seperti teman kantor saya ini. Dia meninggal sekitar 3,5 tahun lalu karena alergi
obat anti malaria. Kasihan teman saya ini, usianya masih 25 tahun, belum menikah pula. Saya
hanya dengar ceritanya dari teman-teman dekatnya. Singkat ceritanya begini, waktu itu dia
ikut ekspedisi ke Papua, dan seperti biasa jika akan berangkat ke Papua biasanya disuruh
minum obat anti malaria. Saya lupa nama obatnya, yang jelas belakangan diketahui kalau dia
itu hipersensitif terhadap obat antimalaria tersebut (sepertinya mengandung sulfa). Dan dia
sama sekali tidak menyadari kalau alergi terhadap obat itu. Gejala awalnya juga tidak jelas,
hanya badan terasa seperti terserang flu. Kayaknya dia meminum obat itu sampai 2 minggu,
entah dosisnya berapa, saya juga kurang tahu. Menjelang pulang kembali ke Bogor, efek
alerginya mulai terlihat dan semakin parah. Akhirnya ia dibawa ke salah satu rumah sakit di
Bandung. Tapi karena sudah terlanjur parah, sepertinya obat anti malaria itu sudah sampai
merusak bagian hati. Akhirnya nyawanya tidak tertolong dan dia meninggal dunia di usia
muda. Tragis ya, meninggal gara-gara alergi obat. Menurut cerita teman-teman, dia menderita
Sindrom Steven Johsohn, yang bisa disebabkan karena alergi terhadap suatu obat termasuk
sulfonamid (antibiotik). Dari artikel yang pernah saya baca, sindrom ini menyebabkan
munculnya vesikel seperti cacar di sekujur tubuh, dan bisa lebih parah dari itu.
Alergi antibiotik bisa terjadi karena tubuh menganggap antibiotik yang masuk sebagai
benda asing yang harus dilawan sehingga tubuh langsung membentuk antibodi. Efeknya bisa
berupa gatal/ruam-ruam di sekujur tubuh sampai Sindrom Steven Johsohn yang
menyebabkan kematian seperti dialami oleh teman kantor saya. Kalau lihat gambarnya di
internet, syerem deh, makanya tidak saya cantumkan, cuma satu gambar saja ya.

Ilustrasi : www.peri-kecil334.blogspot.com
Mulai sekarang berhati-hatilah jika meminum obat termasuk antibiotik. Jangan
mengkonsumsi sembarangan, harus menggunakan resep dokter, dan minumlah sesuai dosis
yang sudah ditetapkan dokter. Jika teman-teman tidak tahu apakah alergi antibiotik atau
tidak, bilang saja ke dokter untuk minta dosis terendah saja, atau biasa juga tes alergi. Pada
saat mulai mengkonsumsi juga perhatikan reaksi di tubuh kita. Jika badan mulai terasa gatal,
terasa seperti flu atau pusing dan lain sebagainya sebaiknya konsumsi obat dihentikan dan
konsultasikan ke dokter. Bisa jadi obat itu tidak cocok buat kalian.
Jika teman-teman punya riwayat alergi seperti saya, harap diingat-ingat seumur hidup,
dan jangan lupa memberi tahu dokter kita saat beliau akan memberi resep. Saya tidak tahu
apakah alergi antibiotik seperti saya bisa sembuh atau tidak. Tapi yang jelas hindari
pemakaian antibiotik dari jenis itu. Jika terpaksa harus mengkonsumsi antibiotik, cari dari
kelompok lainnya dan cobalah dari dosis paling ringan dulu. Seperti saya yang alergi
Penicillin dan Sulfa, tapi ternyata tidak alergi antibiotik kelompok
Clorofoxacin/Ciprofloxacin.
Semoga artikel ini bermanfaat meskipun hanya menuliskan pengalaman saja tanpa
disertai teori-teori dari segi kedokteran. Saya bukan dokter jadi kalau ingin mengetahui
teori/istilah medisnya, lebih baik searching sendiri di internet, sudah banyak koq yang
menuliskan. Jika ada teman-teman yang ingin menambahkan atau ada yang dikoreksi
silahkan berbagi, terutama teman-teman dokter nih.

Anda mungkin juga menyukai