Anda di halaman 1dari 3

Pemetaan Masalah Kasus Komunikasi Organisasional dalam Konteks Pemaknaan.

oleh Sendi Triwilopo. NPM 210120110511


Permasalahan dapat dilihat dalam konteks pemaknaan dengan mengacu pada teori interaksi
simbolis. Pemaknaan dimaksud adalah dalam hal memaknai simbol-simbol yang disepakati
dari pengalaman para pelaku komunikasi dalam interaksi dalam konteks kasus (komunikasi
organisasional).
Teori interaksionisme simbolik menekankan bahwa aktivitas atau perilaku merupakan ciri
khas setiap manusia, yakni dalam hal berkomunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Teori ini
menyebutkan bahwa proses sosial dalam kehidupan kelompok menciptakan dan menegakan
aturan-aturan, bukan aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.
Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan
interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. Manusia mampu membuat
kebijakan modifikasi dan perubahan (sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi
dengan diri mereka sendiri) yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang
tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, kemudian memilih satu diantara
serangkaian peluang tindakan itu. Manusia mempunyai pola tindakan dan interaksi yang
saling berkaitan dan membentuk kelompok dan masyarakat.
Kehidupan sosial seperti dalam organisasi merupakan interaksi antarmanusia dengan
menggunakan simbol-simbol. Terdapat pandangan bahwa perilaku manusia adalah produk
dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka. Menurut premis dasar teori
interaksionisme simbolik:
1. Manusia berperilaku atau bertindak terhadap sesuatu (benda, kejadian, ataupun
fenomena) berdasarkan makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau fenomena itu
bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan,
termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna
yang dikandung komponen tersebut bagi mereka.
2. Makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan sesamanya.
Pemaknaan tersebut tidak inherent, tidak melekat pada sesuatu itu sendiri,
melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Makna
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena
manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan, atau
peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu) namun
juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk
menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang).
Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan
pengetahuan tentang dunia.
3. Makna dikelola dan dimodifikasi melalui proses interpretasi dalam rangka
menghadapi sesuatu tertentu lainnya. Makna yang diinterpretasikan individu dapat
berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat
melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Dikaitkan dengan kasus Lean William, pemaknaan meja promosi dengan situasi yang
berubah dapat disampaikan beberapa hal:
Pemaknaan meja kedua dan promosi membentuk peluang tindakan untuk
longgar dalam interaksi organisasi. Komunitas organisasi dan interaksi didalamnya
membentuk makna (yang boleh jadi beragam masing-masing personil di dalamnya)
tentang simbolisasi tersebut, namun pada kasus tersebut telah terjadi take an
advantage simbolisasi meja. Mereka telanjur memaknai promosi pada sebuah meja.
Ketika Lean William kurang peka akan hal ini, situasi komunikasi organisasi telah
megalami perubahan.
Kajiam masalah dengan perspektif teori ini menekankan pentingnya keberadaan
manusia yang subyektif, yang inherent dalam memaknai, yang berada dalam proses
saling menerjemahkan, yang saling mendefinisikan tindakannya. Manusia adalah
pribadi yang merdeka dalam memaknai sesuatu yang dalam interaksinya dapat
tercapai kesepahaman. Maka Lean sebagai pimpinan dapat memperbaiki komuniaksi
organisasi yang hendaknya dilakukan dengan pendekatan orang per orang, pribadi
demi pribadi. Jika karena pemaknaan meja kedua tidak dalam interaksi kelompok
yang sepaham, bahkan mengalami perubahan menjadi lebih buruk, maka
perbaikannya adalah dengan merekonstruksi simbol meja kedua (yang dapat
dimaknai promosi) dalam kerangka simbolis yang sama dengan Lean dan
komunitasnya. Belum terlambat bagi Lean untuk melakukan komunikasi
interpersonal dengan masing-masing anggota organisasi (tentu saja dengan
pendekatan yang berbeda, mengingat karakteristik satu manusia pasti berbeda dengan
manusia lain).
Ketika upaya penyeragaman makna itu terjadi, kondisi yang dibutuhkan bukanlah
memaksakan pemaknaan dalam sudut pandang Lean William, namun memberi
peluang pada masing-masing orang untuk melakukan rekonstruksi makna dengan
memberi kesempatan yang luas, hingga tercapai individu tersebut akan berusaha
saling memahami maksud dan tindakan masing-masing, untuk mencapai kesepakatan
bersama. Pendekatan orang-per orang ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar,
namun tidak salah jika Lean memasang target satu bulan telah menyelesaikan
pendekatan dimaksud. Hasil yang diharapkan adalah interaksi yang lebih komunikatif
dan lebih terbuka, dimana semua personil mengalami penyegaran atas kasus yang
terjadi (masing-masing menyadari pengalaman tersebut). Kemudian kesemuanya
mengambil hikmah dari kondisi tersebut. Untuk hal hikmah, boleh jadi Lean
merupakan orang yang palig tercerahkan tentang sebuah makna tindakan struktural,
ketimbang manusia lain yang ada di organisasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai