Anda di halaman 1dari 2

Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi

alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya. Pemilihan
antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada seorang pasien
yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin dapat ditukar
dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda.
Difenhidramin : Benadryl Di samping daya antikolinergik dan sedative yang kuat,
antihistamin ini juga bersifat spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing). Berguna
sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat anti-gatal pada
urticaria akibat alergi (komb. Caladryl, P.D.)
Dimenhidrinat (Dramamine, Searle) Adalah senyawa klorteofilinat dari
difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk perjalanan dan muntah-muntah
sewaktu hamil. Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg
DERIVAT PROPILAMIN Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin
kuat.
Feniramin : Avil (Hoechst) Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek
meredakan batuk yang cukup baik, maka digunakan pula dalam obat-obat batuk.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard;
i.v. 1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.

Efek samping
Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman
pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).
Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis
besar. Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi.
Pada pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat
menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan
urtikaria, eksim dan petekie.
Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM
merupakan salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative
(menimbulkan rasa kantuk). Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih
sering sebagai obat tidur dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai
obat tunggal maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih
ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna dapat
beristirahat. CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar
dengan efek samping dan toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu
diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat menimbulkan efek
antihistamin dalam tubuh manusia. Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM
merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu mengusir histamin
secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan demikian mampu
meniadakan kerja histamin.

Mekanisme kerja
Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan
yang sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah
berkenaan dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai
pengobatan profilaksis daripada untuk mengatasi serangan.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan
beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang
lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.

Anda mungkin juga menyukai