Anda di halaman 1dari 22

1

REFRAT

KONTRAKTUR








OLEH :
Hapsari Nur Primastuti G99121054
Della Kusumaning Putri G99122030
Nilam Hesti Ariyani G99122083
Rafika Iezza Setyarini G99131067

PEMBIMBING :
dr. Amru Sungkar, Sp.B.,Sp.BP.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FK UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2013
2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................1
DAFTAR ISI .........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................4
A. Definisi ............................................................................................................4
B. Etiologi. .........................................................................................................5
C. Mekanisme .....................................................................................................5
D. Klasifikasi..........................................................................................................6
E. Diagnosis ........................................................................................................6
F. Pencegahan.......................................................................................................12
G. Penatalaksanan................................................................................................12
H. Prognosis ......................................................................................................18
BAB III. PENUTUP ................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................20
3
BAB I
PENDAHULUAN

Kontraktur dapat terjadi pada setiap sendi pada tubuh. Gangguan fungsi
persendian ini mungkin sebagai hasil dari immobolisasi yang disebabkan trauma
atau penyakit., cedera saraf seperti kerusakan pada medulla spinalis dan stroke,
atau penyakit otot, tendon ataupun ligamentum. Keadaan ini tentunya akan sangat
merugikan dikemudian hari bagi penderita kontraktur sendi karena adanya
keterbatasan gerakan yang akan mengakibatkan ketidakmampuan fisik dalam
melakukan aktivitas maupun rasa tidak nyaman karena posisi statis yang terus
menerus dirasakan. Dengan kemajuan ilmu kedokteraan sekarang, penyebab
berkurangnya ruang gerak akibat kontraktur dapat dikurangi secara efektif.
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan
luka, sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari
suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik
berlebihan dari proses penyembuhan luka Penyebab utama kontraktur adalah tidak
ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance
kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi, luka bakar, luka
trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan nyeri. Banyaknya
kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan kurangnya disiplin
penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi dan kurangnya
pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan, seperti
perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah
immobilisasi yang lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan
fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.
.


4
BAB II
TINAUAN PUSATAKA

A. DEFINISI
Kontraktur dapat terjadi pada setiap sendi pada tubuh. Gangguan fungsi
persendian ini mungkin sebagai hasil dari immobolisasi yang disebabkan trauma
atau penyakit., cedera saraf seperti kerusakan pada medulla spinalis dan stroke,
atau penyakit otot, tendon ataupun ligamentum. Keadaan ini tentunya akan sangat
merugikan dikemudian hari bagi penderita kontraktur sendi karena adanya
keterbatasan gerakan yang akan mengakibatkan ketidakmampuan fisik dalam
melakukan aktivitas maupun rasa tidak nyaman karena posisi statis yang terus
menerus dirasakan. Dengan kemajuan ilmu kedokteraan sekarang, penyebab
berkurangnya ruang gerak akibat kontraktur dapat dikurangi secara efektif.
Kontraksi merupakan suatu proses yang normal pada proses penyembuhan
luka, sedangkan kontraktur merupakan suatu keadaan patologis tingkat akhir dari
suatu kontraksi. Umumnya kontraktur terjadi apabila pembentukan sikatrik
berlebihan dari proses penyembuhan luka Penyebab utama kontraktur adalah tidak
ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance
kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi, luka bakar, luka
trauma yang luas, inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan nyeri. Banyaknya
kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan kurangnya disiplin
penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi dan kurangnya
pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi pengegahan, seperti
perawatan luka, pencegahan infeksi, proper positioning dan mencegah
immobilisasi yang lama. Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan
fungsional, gangguan mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari.



5

B. ETIOLOGI
Proses terjadinya kontraktur didasarkan pada empat etiologi primer yaitu
immobilisasi eksternal, trauma, beberapa penyakit sendi, dan kerusakan
neurologis.
1. Immobilisasi eksternal
terjadi ketika sendi dalam posisi stasioner dalam periode waktu yang lama,
terjadi adhesi antar jaringan ikat sendi.
2. Trauma
jaringan ikat di sekitar sendi mengalami tarikan atau robekan
3. Penyakit sendi
diantaranya adalah rheumatoid arthritis.
4. Defek Neurologis
trauma pada sistem saraf sentral maupun perifer dapat menghasilkan
impuls abnormal yang berakibat restriksi pada jaringan sendi.

C. MEKANISME
Otot dan jaringan ikat berpengaruh terhadap terjadinya kontraktur.
Hilangnya sarcomer di akhir myofibril dan memendek serta hilangnya elasitas
jaringan ikat menyebabkan kontraktur. Apabila jaringan ikat dan otot
dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka waktu yang lama,
serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan
menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dipertahan memendek dalam 5-7
hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi
jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan
menebal dan menyebabkan kontraktur.

Pada kontraktur sendi, imobilisasi,
kelemahan otot dan kekakuan otot merupakan faktor utama dalam terjadinya
kontraktur.


6
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan jaringan yang menyebabkan ketegangan, kontraktur dibagi
menjadi :
1. Kontraktur Dermatogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal tersebut
dapat terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya pada
luka bakar yang dalam dan luas, loss of skin/tissue dalam kecelakaan dan
infeksi.
2. Kontraktur Tendogen
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon. Dapat
terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan atropi,
misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas, trauma,
penyakit degenerasi dan inflamasi.
a. Dupuytren kontraktur
b. Kontraktur Volkman
c. Kontraktur Tendo Achiles
d. Trigger Finger
3. Kontraktur Arthrogen
Kontraktur yang terjadi karena proses didalam sendi-sendi, proses ini
bahkan dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat
immobilisasi yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan
pemendekan kapsul dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis,
penyakit kongenital dan nyeri.
E. DIAGNOSIS
Diagnosis kontraktur dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

7
1. Pemeriksaan Fisik
a. Goniometer: Keterbatasan ruang sendi dapat diukur dengan goniometer.
Namun secara klinis, kontraktur sendi dapat berupa trauma yang ditandai
dengan kerusakan otot, kapsul, ligamen, tendong, kulit dan syaraf di sekitar
sendi sehingga harus dilakukan pemerikasaan yang sangat teliti pada setiap
komponen tersebut.
b. Allens test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan patensi dari
anastomosis pembuluh darah di tangan. Pertama-tama pemeriksa
mempalpasi dan mengoklusi (menekan) arteri radialis dan ulnaris. Pasien
kemudian diminta untuk membuka dan menutup jari tiga sampai lima kali
dengan cepat sampai kulit telapak tangan sembab. Tekanan kemudian
dilepaskan salah satu bisa arteri radialis atau ulnaris, kecepatan kembalinya
warna normal tangan dicatat. Pengujian diulangi dengan melepas arteri yang
tidak dilepas pada pengujian pertama. Hasil tes positif menunjukkan bahwa
tidak ada atau berkurangnya hubungan antara arcus ulnaris
superficialis dan arcus radialis profunda.


c. Bunnel-Littler test: Sebuah tes yang dirancang untuk mengidentifikasi
kontraktur otot intrinsik atau kontraktur sendi pada sendi PIP (Proximal
Inter Phalang). Pemeriksa memflexikan PIP hingga maksimal sambil
sebelumnya sedikit mengekstensikan sendi metacarpophalang (MCP).
Hasil tes positif untuk kontraktur kapsul sendi jika sendi PIP tidak dapat
difleksikan. Tes ini positif untuk kontraktur otot intrinsik jika MCP sedikit
fleksi dan PIP dapat diflexikan sepenuhnya.
8


d. Finkelstein test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya
tenosinovitis tendo abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis.
Tes ini biasanya digunakan untuk menentukan adanya penyakit de
Quervains. Pasien membuat kepalan dengan ibu jari ditekuk di dalam
keempat jari lainnya. Pasien kemudian mendeviasikan
(tulang) metacarpal pertama ke arah ulnar dan memanjangkan sendi
proksimal ibu jari (yakni dengan menekuk kepalan tangan kearah ulnar) .
Jika pasien mengalami rasa sakit, maka dikatakan sebagai hasil tes positif.


e. Froments sign: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya
kelemahan otot adduktor policis karena kelumpuhan nervus ulnaris. Pasien
diminta untuk memegang selembar kertas memakai ujung ibu jari dan sisi
radial jari telunjuk. Hasil uji positif jika saat penguji menarik kertas dari
pegangan pasien maka phalang terminal ibu jari pasien akan terfleksikan
atau jika sendi MCP di ibu jari menjadi sangat memanjang (Jeannes sign).

9



f. I ntrinsic-plus test: Sebuah tes yang dirancang untuk mengidentifikasi
pemendekan otot-otot intrinsik tangan. Tes ini menjadi spesifik pada tangan
pasien dengan rheumatoid arthritis, terutama pada tahap awal sebelum ada
kerusakan atau cacat pada tangan. Pada tes ini, sendi MCP jari yang sedang
diuji di hiperekstensi-kan. Maka sendi jari di tengah dan distal akan menjadi
sedikit fleksi akibat tarikan pasif jaringan. Pemeriksa kemudian mencoba
untuk memflexikan sendi PIP jari tersebut. Jika terdapat hambatan dalam
memfleksikan jari tersebut maka dianggap sebagai tanda positif.

g. Phalens test (fleksi pergelangan tangan): Sebuah tes yang dirancang untuk
menentukan adanya carpal tunnel syndrome. pergelangan tangan pasien
difleksikan maksimal oleh pemeriksa, kemudian pasien mempertahankan
posisi ini dengan menahan satu pergelangan tangan dengan pergelangan
tangan yang lain selama 1 menit. Hasil uji positif jika terdapat parestesia di
ibu jari, jari telunjuk, dan lateral jari manis.
10


h. Tight retinacular ligament test: Sebuah tes yang dirancang untuk
menentukan adanya pemendekan ligamen retinacular atau adanya ikatan
pada kapsul sendi interphalangeal distal (DIP). Pemeriksa memegang sendi
PIP pasien dalam posisi ekstensi penuh sembari memfleksikan sendi DIP.
Jika sendi DIP tidak dapat difleksikan, maka tes dianggap positif (baik
disebabkan karena kontraktur ligamencollateral atau kontraktur kapsul
sendi). Untuk membedakannya, sendi PIP difleksikan dan jika sendi DIP
dapat difleksikan dengan mudah maka kapsul sendi dianggap normal.


i. Tinels sign: Sebuah tes yang dirancang untuk mendeteksi carpal tunnel
syndrome. Pemeriksa mengetuk diatas terowongan carpal di pergelangan
tangan. Hasil uji positif jika pasien merasakan paresthesia di distal dari
pergelangan tangan.
11





2. Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen
Sinar X dapat bermanfaat untuk mendiagnosis kontraktur karena
penyempitan ruang sendi yang terlihat mengindikasikan sendi yang rapat
dan kontraksi, dilakukan juga pemeriksaaan fisik yang melibatkan tes fisik
dan manual untuk menguji gerakan sendi.
b. USG
USG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk kontraktur,
terutama kontraktur Dupuytren. USG menghasilkan gambaran posisi antara
tulang, arteri, dan nodul. Selain itu, dari USG juga didapatkan perbedaan
echo struktur nodul dan jaringan sekitar. Early nodule pada kontraktur
Dupuytren terlihat lebih hpoechoic dibanding dengan tendon. Sedangkan
nodul yang telah lama terlihat isoechoic atau hiperechoic.

c. Three types of relationship between the cord and the digital artery based
on ultrasonographic findings. The cord was located above and below the
artery in types A and B, respectively. The cord was between the radial and
12
ulnar arteries in type C. Arrows in the right column indicate the location of
the cords.

F. PENCEGAHAN

Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan.
Program pencegahan kontraktur meliputi :
1. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera
perlu diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan
granulasi yang berlebihan akan menimbulkan kontraktur.
2. Skin graft atau Skin flap
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini
mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
3. Fisioterapi
Tindakan fisioterapi harus dilaksanakan segera mungkin meliputi :
a. Proper positioning (posisi penderita)
b. Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi
c. Stretching
d. Splinting / bracing
e. Mobilisasi / ambulasi awal
G. PENATALAKSANAAN
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah pengembalian
fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk ambulasi dan
aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal ambulasi,
posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan, diperlukan
agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang
rekuren. Penanganan kontraktur dapat dliakukan secara konservatif dan operatif.
1. Kontraktur Dermatogen (oleh karena kehilangan kulit)
a. Jaringan parut lurus/linear scar
Release dengan Z plasti/ W plasti kalau perlu ditambah dengan skin graft
b. Jaringan parut melingkar/ lingkaran
13
Multiple Z plasti
c. Jaringan parut luas dan dalam
Eksisi scar
Skin graft/flap local dari kulit sekitarnya: transpotition flap
2. Kontrraktur Tendogen
a. Volkman Kontraktur
Terapi susah dan tidak adekuat untuk mengembalikan fungsi
tangan sebisanya dengan:
Arthroplasti
Arthrodese
Kalau perlu transplantasi tendo
Pencegahan
Jangan memanipulasi terlalu kasar dan bersemangat
Gips sirkuler jangan terlalu ketat
b. Dupuytren Kontraktur
Insisi di banyak tempat
Fasciestomi
Z-plasti dan atau dibiarkan terbuka
Sering hasil tidak adekuat pada eksisi fascia palmaris
Operasi dilakukan beberapa kali sehingga mengurangi trauma
besar, perdarahan
c. Kontraktur/pemendekan Achilles
Memperpanjang tendo
Dengan irisan Z atau bertangga
d. Trigger Finger
Insisi sarung tendo yang menyempit sehingga tendo dapat
meluncur lagi dan iritasi hilang
Pada luka bakar, kontraktur biasanya muncul ketika garis skar vertical
dengan garis tension kulit, dan melintasi persendian. Harus ditekankan bahwa
penanganan primer pada luka bakar haruslah bertujuan untuk menghindari skar
kontraktur dengan menggrafting pasien secepat mungkin. Pada beberapa kasus
pedicle flap atau free flap secara primer dapat digunakan untuk menengani defek
dan mencegah kontraktur. Terapi pilihan untuk skar kontraktur adalah scar
14
revision dikombinasi dengan prosedur bedah lainnya, sesuai dengan lokasi, luas
dan bentuk kontraktur. Sebagai contoh, Z-plasti dapat langsung mengurangi skar
dan mengurangi skin tension. Bila skar kontraktur kemungkinan menyebabkan
retriksi ruang gerak, skin grafting atau flap diindikasikan untuk menutup defek
jaringan. Perluasan jaringan dapat digunakan akhir-akhir ini dengan berbagai
bentuk dan volume sebagai prosedur sekunder untuk merekonstruksi defek.
Perluasan jaringan tidak digunakan sebagai penutupan primer pada luka terbuka.
Pada kontraksi yang parah, skin graft tetap memberikan hasil yang baik sebagai
myocutaneus atau fasciocutaneus axial flap. Merupakan pilihan dokter bedah
untuk menggunakan metode mana yang akan digunakan.
Metode:
1. Skin flap (Pedicle
Flap)



Suatu teknik operasi untuk dapat memperbaiki skar dan kontraktur dimana kulit
dan subkutan dll dipindah dari suatu bagian badan ke bagian badan yang lain
dengan suatu pedicle vascular.
Design flap harus memperhatikan :
Supply vaskuler
Daerah jangkauannya
Arah putar rotasi
Ikut sertanya fascia profunda yang kaya pembuluh darah
Macam:
a. Random Flap
Misal: Z-plasti, advancement flap, rotation flap, transpotition,
interpolation.
b. Axial Flap
Vaskularisasi langsung dari pembuluh darah arteri kulit.
Panjang flap tergantung daerah vaskularisasi arteri.
Misal: Forehead flap, deltopectoral flap, inguinal flap.
c. Musculocutaneus Flap
15
Pedicle vascular di dalam otot-otot tertentu (perlu tahu vascularisasi otot-
otot tertentu)
d. Free Flap
Flap kulit / musculocutaneus dilepaskan dari vaskularisasinya
disambungkan kembali pada pembuluh darah resipien.
Perlu teknik bedah mikro.
Tipe-tipe skin flap menurut lokasi:
1. Lokal
a. Flap yang diputar pada titik poros (Pivot Point)
Rotation flap/ pemutaran
Transpotition flap/ pemindahan
Interpotition flap/ penyisipan
b. Advancement Flap/Pemajuan
Simple
V-Y
Bipedicle
2. Jauh
a. Direct (langsung): dari donor defek
Trunk: abdominal, groin manus
Extr. superior: cross arm flap muka
Cross finger flap jari-jari
Extr. Inferior: Cross leg flap
b. Indirect (tidak langsung)
Donor (tube) pergelangan tangan defek muka
Leher (tube) hidung, bibir, auricular
Extr. Inferior (tube paha) tibia anterior

1. Metode Z-plasti




16

Metode Z-plasti adalah suatu teknik operasi untuk memperbaiki skar dan
kontraktur. Pada metode ini, kulit di sekitar jaringan parut akan dibuat flap dalam
bentuk segitiga-segitiga kecil yang biasanya mengikuti bentuk huruf Z. teknik
yang dipilih disesuaikan dengan bentuk jaringan parut yang ada. Kemudian flap
dijahit kembali sesuai garis dan lipatan asli kulit. Jaringan skar yang baru
biasanya akan tampak lebih samara. Metode Z-plasti berguna pula mengurangi
tekanan pada jaringan yang terjadi kontraktur.

2. Skin Graft











Pada prosedur skin graft, jaringan kulit diambil dari bagian yang sehat
kemudian ditransplantasikan ke bagian tubuh yang terkena jejas. Jaringan kulit
yang diambil yaitu segmen epidermis dan dermis dipisah sempurna dari blood
supply donor sebelum ditanam di daerah lain tubuh (resipien). Metode skin graft
tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan, karena sering kali struktur dan
warna jaringan kulit yang ditransplantasikan berbeda dengan jaringan kulit di
sekitarnya. Area kulit yang diambil untuk skin graft biasanya juga akan digantikan
oleh jaringan parut, tetapi skin graft dapat mengembalikan fungsi kulit dengan
baik.
Macam-macam skin graft:
1. STSG (Split Thickness Skin Graft/Tandur Alih Kulit Sebagian)
Jenis-jenis:
17
a. Thin Split Thickness Graft (tipis)
b. Medium (tebal kulit sedang)
c. Thick split Thickness Graft (tebal)
Berbagai lokasi donor menurut kebutuhan resipien (paling sering
paha).
Alat untuk mengambil: dermatom
Ketebalan kulit dapat diatur 10-25 perseribu inchi
Misal: pisau humby, brown elektrik, brown air driver dermatom,
reese dermatome.
2. FTSG (Full Thickness Skin Graft/Tandur Kulit Seluruh Tebal)
Ketebalan : epidermis dan seluruh dermis
Sifat-sifat:
Mendekati tekstur kulit normal meliputi: tekstur/kelenturan, warna,
pertumbuhan rambut, retraksi kulit lebih sedikit.
Donor:
o Makin dekat resipien sifat makin mirip
o Paling sering dipakai: retro auricular, supra clavicular,
lengan atas sebelah dalam, lipat paha (inguinal), abdomen
bagian bawah.
Alat mengambil: pisau bedah (lemak dibuang dengan gunting)
Baik untuk: muka, daerah sendi
3. Ekspansi/Perluasan jaringan
Pada prosedur ekspansi jaringan, sebuah balon dimasukkan ke dalam
kulit di sekitar jaringan parut, balon diisi dengan cairan saline agar kulit
dapat meregang. Setelah jumlah kulit yang meregang cukup, yaitu
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, balon dilepaskan.
Selanjutnya, kulit baru yang terbentuk ditarik untuk menggantikan
jaringan parut yang ada.
4. Resurfacing kulit dengan laser
Terdapat dua macam laser yang digunakan untuk memperbaiki
permukaan jaringan parut yang tidak rata, yaitu laser CO2 dan laser
Erbium (laser YAG). Laser CO2 digunakan pada jaringan parut yang
lebih superficial. Kedua jenis laser tersebut bekerja dengan cara
18
mengelupas lapisan kulit paling luar, sehingga jaringan kulit baru dan
lebih halus terbentuk.
5. Dermabrasi
Metode dermabrasi dapat memperhalus permukaan jaringan parut yang
tidak rata dengan cara mengelupas lapisan paling atas kulit. Kulit akan
diinjeksi dengan cairan anestesi, kemudian diampelas dengan hati-hati
menggunakan sikat yang berputar atau butiran permata sampai sejumlah
kulit yang diharapkan hilang terkelupas.

H. PROGNOSIS
Prognosis konytraktur tergantung dari penyebabnya. Secara umum,
semakin awal kontraktur ditangani, semakin baik prognosisnya. Restorasi
integritas anatomis dan gerakan sendi merupakan hal yang adapat dilakukan pada
sebagian besar kontraktur. Prognosis kemajuan tergantung pada kecepatan
intervensi dini saat munculnya gejala awal dari ruang gerak sendi yang terbatas,
sementara penegakan etiologi sangat berkaitan dengan metode penatalaksaan
kontraktur.

19
BAB III
PENUTUP

Kontraktur didefinisikan sebagai pengikatan permanen kulit yang dapat
mempengaruhi otot dan tendon yang berada dibawahnya yang akan membatasi
ruang gerak serta kemungkinan defek maupun degenerasi saraf di daerah tersebut.
Kontraktur terjadi ketika jaringan ikat normal yang bersifat elastis digantikan oleh
jaringan fibrous yang tidak elastis. Proses terjadinya kontraktur didasarkan pada
empat etiologi primer, yaitu immobilisasi eksternal, trauma. Beberapa penyakit
sendi dan kerusakan neurologis.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan kontraktur adalah untuk mengurangi
faktor yang merestriksi ruang gerak sendi. Pengertian terhadap etiologi kontraktur
menentukan tujuan yang ingin dicapai, metode yang akan digunakan dan
pemilihan alat eksternal untuk perbaikan integritas sendi.
Prognosis kemajuan tergantung pada kecepatan intervensi dini saat
munculnya gejala awal dari ruang gerak sendi yang terbatas, sementara
penegakkan etiologi sangat berkaitan dengan metode penatalaksanaan kontraktur.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Adu E.J. Management of contactures : a five year experience at komfo anokye
teaching hospital in Kumasi. 2011. 66-72.
2. Bergquist, Sharon. Dupuytren's Contractures: Causes and Risk Factors. 2010
3. Bowser BL, Solis IS. Pediatrics rehabilitation. In : Garrison SJ. Handbook of
physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. .113. Lippincott Co.
1995; 261-262, 267-270.
4. Converse JM. Reconstructive plastic surgery. Second ed. WB Saunders, 1977;
1596-1635.
5. Dias J, Bainbridge C, Leclerq C, Gerber RA, Guerin D, Cappelleri JC, Szczypa
PP, Dahlin LB. 2013. Surgical management of Dupuytrens contracture in
Europe: regional analysis if surgeon survey and patient chart review.
International Journal of Clinical Practice, March 2013, 67, 3, 271-281.
6. Farmer S.E, James M. Contractures in orthopedic and neurological conditions :
a review of causes and treatment. 2001. 23(13),549-558
7. Fisher SV. Rehabililation management of burns. In : Medical rehabilitation.
Baltimore; Williams and Wilkins 1984; 306-307.
8. Gulgonen A, Ozer K. The correction of postburn contractures of the second
through fourth web spaces. 2007. J Hand surg; 32A: 556-564.
9 . Halar EM, Bell KR. Contracture and other deletrious. In : DeLisa JA.
Rehabilitation medicine, principles and practices. Second ed. Philadelphia,
Lippincott Co. 1993-, 681-689.
10. Hang, Yi-Siong. Abduction Contracture of the Shoulder: A Report of Two
Patients. 2008
11. Irain K. Burns. In : Garrison SJ. Handbook of physical medicine and
rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co. 1995; 95-97, 102-103.
12. Joynt RL, Findley TW. Therapeutic and exercise. In : DeLisa JA.
Rehabilitation medicine; principles and practices. Seconded. Philadelphia,
Lippincott Co. 1993; 535.
13. Kottke FJ. Therapeutic exercise to maintain mobility. In : Krusens Handbook
of physical medicine and rehabilitation. Thieth ed. Philadelphia. WB Saunders
Co. 1982; 398-401.
21
14. Kan HJ, Verrijp FW, Huisstede BMA, Hovius SER, van Nieuwenhoven CA,
Selles RW. 2013. The consequences of different definitions for recurrence of
Dupuytrens disease. Journal of Plastic, Reconstructive, & Aesthetic Surgery
(2013) 66, 95-103
15. Langeland, Norvald. Release Surgery in Stiffness of the Knee. 2003
16. Mathew, Stephanie. Dupuytren Contracture. 2013
17. M. Offenbcher, et all. Contractures with special reference in elderly:
definition and risk factors a systematic review with practical implications,
2013
18. Noseworthy, John. Dupuytren's Contractures: Treatments and Drugs. 2012
19. Powell M, Kershaw R. Principles of treatment of orthopaedic patients. In
Orthopaedic nursing and rehabilitation. 9
th
ed. Churcill Livingstone : English
Language Book Society. 1986; 34-42.
20. Raykha C, Crawford J, Gan BS, Fu P, Bach LA, OGorman DB. 2013. IGF-II
adn IGFBP-6 regulate cellular contractility and proliferation in Dupuytrens
disease. Biochimia et Biophysica Acta 1832 (2013) 1511-1519
21. Sagili Suresh. Skin Contracture Following Upper Eyelid Orbiculectomy: Is
Primary Skin Excision Advisable?. 2013
22. Saleem S, Valbona C. Immobilization. In : Garrison S,I. Handbook oh
physical medicine and rehabilitation basics. Philadelphia. JB. Lippincott Co.
1995; 188-189.
23. Scwarz, RJ. Management of postburn contractures of the upper Extremity.
2007. 28; 212-219.
24. Townley WA, Baker R, Sheppard N, Grobbelaar AO. 2006. Dupuytrens
contracture unfolded. BMJ vol 332: 397-400
25. Uehara K, Miura T, Morizaki Y, Miyamoto H, Ohe T, Tanaka S. 2013.
Ultrasonographic evaluation of displaced neurovascular bundle in
Dupuytrens disease. American Society for Surgery of the Hand 2013; 38A:
23-28
22
26. Verjee LS, Verhoekx JSN, Chan JKK, Krausgruber T, Nicolaidou V, Izadi D,
Davidson D, Feldmann M, Midwood KS, Nanchahal J. 2013. Unraveling the
signaling pathways promoting fibrosis in Dupuytrens disease reveals TNF as
a therapeutic target. PNAS E928-E937

Anda mungkin juga menyukai