Anda di halaman 1dari 183

PROGRAM DOCUMENT

Nomor : 01/PD/LOBARA/XII/2013
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI Tanggal : 27 Desember 2013

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

PUSAT TEKNOLOGI INDUSTRI

DAN SISTEM TRANSPORTASI (PTIST)

PROGRAM DOCUMENT
REKOMENDASI TEKNOLOGI LOGISTIK BATUBARA UNTUK
MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI
TAHUN 2013

Prepared by CE: Checked by PM: Approved by PD: Doc No.: 01/PD/LOBARA/XII/2013


Date : 27 DESEMBER 2013

IR.ABDUL KADIR, M.ENG DRS. SUCIPTO, MM DR.IR.ISKENDAR, MSC Page: 1 of 182


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang maha Esa, bahwa atas rahmat dan
hidayahNya Laporan Akhir kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk
Mendukung Ketahanan Energi tahun anggaran 2013 dapat diselesaikan dengan baik.

Laporan akhir ini merupakan uraian tentang maksud dan tujuan, sasaran,
metodologi, tahapan pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan
Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung Ketahanan Energi
tahun anggaran 2013

Secara umum laporan ini terdiri dari 6 (enam) Bab yaitu:


Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Tujuan dan Sasaran
Bab 3 Kegiatan Program
Bab 4 Hasil Kegiatan Program dan Pembahasan
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab 6 Referensi
Serta 1 (satu) lembar rekap hasil kegiatan/form A dan 1 (satu) lembar laporan ringkas
kegiatan/form B.

Dalam pelaksnaannya kegiatan ini terdiri dari 4 (empat) Work Breakdown Stucture
(WBS) dan 8 (delapan) Work Package (WP) yang didukung oleh lebih dari 30 orang
staf perekayasa dan peneliti dari Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi
dan melibatkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengkajian dan Penelitian
Hidrodinamika (UPT-BPPH) Surabaya.

Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada Sistem Tata Kerja Kerekayasaan dimana


capaian kegiatan dibuat dalam bentuk Technical Note (TN), Technical Report (TR),
Technical Document (TD) dan Program Document (PD) serta dokumen
kerekayasaan lain yang dibutuhkan.

Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk


kemajuan bangsa khususnya dalam bidang Sistem Logistik Batubara untuk
mendukung ketahanan energy nasional.

Serpong, Desember 2013.


Tim Kegiatan RT – Lobara,
PTIST-TIRBR

Page 2 of 183
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . 2
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . 3
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . 5
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . 9
ABSTRAK . . . . . . . . . . . 11
BAB 1 PENDAHULUAN . . . . . . . . 12
BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN . . . . . . . 16
2.1 Tujuan . . . . . . . . . 16

2.2 Sasaran . . . . . . . . . 16

BAB 3 KEGIATAN PROGRAM . . . . . . . 18

3.1 WBS 1 Kajian Logistik Batubara . . . . . . 18

3.1.1 WP 1.1 Kajian Jaringan Darat . . . . . 19

3.1.2 WP 1.2 Kajian Jaringan Laut . . . . . 19

3.2 WBS 2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut


Batubara . . . . . . . . . 20

3.2.1 WP 2.1 Disain Kapal . . . . . . 20

3.2.2 WP 2.2 Pemodelan Kapal . . . . . . 21

3.3 WBS 3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara . . 21

3.3.1 WP 3.1 Disain Pelabuhan . . . . . . 22

3.3.2 WP 3.2 Pemodelan Pelabuhan . . . . . 23

3.4 WBS 4 Kajian Sistem Railveyor untuk Transportasi Logistik


Batubara . . . . . . . . . 23

3.4.1 WP 4.1 Kajian Teknis Railveyor . . . . . 24

3.4.2 WP 4.2 Kajian Ekonomis Railveyor . . . . 24

3.5 Progress Control & Monitoring (PCM) . . . . . 25

BAB 4 HASIL KEGIATAN PROGRAM DAN PEMBAHASAN . . . 32

4.1 Kajian Logistik Batubara . . . . . . . 32

Page 3 of 183
4.1.1 Kajian Transportasi Batubara Jaringan Darat . . . 36

4.1.2 Kajian Transportasi Batubara Jaringan Laut . . . 40

4.1.3 Kelistrikan dan PLTU di Kawasan Timur Indonesia . . 56

4.1.4 Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2012 – 2021 . . 65

4.1.5 Kebutuhan Batubara dan Sistem Transportasi PLTU


di Kawasan Timur Indonesia . . . . . 74

4.2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara . 82

4.2.1 Disain kapal Khusus Transportasi Batubara . . . 82

4.2.2 Pemodelan Disain Selft Prorelled Barge. . . . 92

4.2.3 Analisa Stabilitas Self Propelled Barge 6000 DWT . . 99

4.2.4 Simulasi Numerik Seakeeping Self Propelled Barge

6000 DWT . . . . . . . . 124

4.3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara . . . . 133

4.3.1 Parameter Disain Pelabuhan . . . . . 133

4.3.2 Karakteristik Model Pelabuhan di Sorong . . . 135

4.4 Kajian Sistem Railveyor untuk Transportasi Logistik Batubara . 144

4.4.1 Kajian Teknis Railveyor . . . . . . 144

4.4.2 Kajian Ekonomis Railveyor . . . . . 158

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI . . . . . 166

5.1 Kajian Logistik Batubara . . . . . . . 166

5.2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara . 167

5.3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara . . . . 175

5.4 Kajian Sistem Railveyor untuk Transportasi Logistik Batubara . 175

BAB 6 REFERENSI . . . . . . . . . 179

FORMA A DAN FORM B

Page 4 of 183
DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 Organisasi Kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik

Batubara untuk Mendukung Ketahanan Energi . . . 17

Gambar.2 Model Jaringan Milkrun . . . . . . . 33

Gambar.3 Model Jaringan Point to Point . . . . . . 34

Gambar.4 Model Jaringan Hub and Spoke . . . . . . 35

Gambar.5 Sumber dan Terminal Batubara di Kalimantan Selatan . . . 37

Gambar.6 Jaringan dan Moda Transportasi Batubara di Kalsel . . . 39

Gambar.7 Pelabuhan Khusus Batubara Sungai Putting, Kalsel . . . 39

Gambar.8 Pelabuhan Muat Batubara Trisakti Banjarmasin, Kalsel . . 40

Gambar.9 Fixed Loader and Continues Bucket Ladder Unloader di Sungai


Missipi, USA . . . . . . . . . 41

Gambar.10 Pembongkaran Batubara di Pelabuhan Batubara


PLTU Tanjung Jati . . . . . . . 43

Gambar.11 Traveling Clamshell Unloader di Ashkelon, Israel . . . 44

Gambar.12 KONE Shipunloader . . . . . . . . 45

Gambar.13 Bucket-ladder Unloaders Coal Unloader di Ghent, KY . . . 45

Gambar.14 Sage Sagittarius . . . . . . . . 49

Gambar.15 Maple Hill . . . . . . . . . 50

Gambar.16 Model Dasar Jaringan Transportasi . . . . . 52

Gambar.17 Rasio Elektrifikasi Di Indonesia menurut Wilayah: 2007-2014 . . 61

Gambar.18 Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2012 dan 2021 . 69

Gambar.19 10.000 MW Fast Track Program Phase I . . . . . 72

Gambar.20 Komposisi Pembangkit Listrik 10.000 MW Fast Track

Program Phase II . . . . . . . . 73

Page 5 of 183
Gambar.21 Sumber Batubara PLN Batubara dan PLTU Tujuan . . . 76

Gambar.22 Shipping Routes, Mini-hubs and Transhipment Port

In the Pacific Regions . . . . . . . 78

Gambar.23 Pull - Toward Tug - Barge System . . . . . . 82

Gambar.24 Push - Towed Tug - Barge System . . . . . 86

Gambar.25 Self Propelled Barge . . . . . . . 87

Gambar.26 Bulk carrier system . . . . . . . . 89

Gambar.27 Konfigurasi struktur ruang muat kapal bulk carrier . . . 89

Gambar.28 Kerusakan mekanik dan coating selama proses bongkar muat . 90

Gambar.29 Ilustrasi stress yang terjadi pada sekat melintang dengan dek . 91

Gambar.30 Kerusakan yang diakibatkan peralatan mekanik pada cargo handling 91


Gambar.31 Kurva hidrostatika SPB 6000 DWT . . . . . 94

Gambar.32 Kurva koefisien bentuk SPB 6000 DWT . . . . . 95

Gambar.33 Resistance curve . . . . . . . . 98

Gambar.34 PS and RPM curves . . . . . . . . 99

Gambar.35 Kurva kalibrasi tangki padkondisi FOT (Portside) . . . 101

Gambar.36 Kurva kalibrasi tangki pada kondisi FOT (Starboard) . . . 102

Gambar.37 Kurva kalibrasi tangki pada No. 3 WBT (Portside) . . . 103

Gambar.38 Kurva kalibrasi tangki pada No 3 WBT (Starboard) . . . 104

Gambar.39 Kurva kalibrasi tangki pada No. 2 WBT (Portside) . . . 105

Gambar.40 Kurva kalibrasi tangki pada No. 2 WBT (Starboard) . . . 106

Gambar.41 Kurva kalibrasi tangki pada No. 1 WBT (Portside) . . . 107

Gambar.42 Kurva kalibrasi tangki pada No. 1 WBT (Starboard) . . . 108

Gambar.43 Kurva kalibrasi tangki pada FWT (Portside) . . . . 109

Gambar.44 Kurva kalibrasi tangki pada FWT (Starboard) . . . . 110

Gambar.45 Grafik KN SPB 6000 DWT . . . . . . . 111

Page 6 of 183
Gambar.46 Grafik Limiting KG SPB 6000 DWT . . . . . 114

Gambar.47 Kurva stabilitas pada kondisi light ship dan free to trim . . . 116

Gambar.48 Kurva stabilitas pada kondisi full loaded departure

dan free to trim . . . . . . . . 118

Gambar.49 Kurva stabilitas pada kondisi full loaded arrival dan free to trim . 120

Gambar.50 Kurva stabilitas pada kondisi ballast in departure dan free to trim . 122

Gambar.51 Kurva stabilitas pada kondisi ballast in arrival dan free to trim . . 124

Gambar.52 Body Plan SPB 6000 DWT . . . . . . . 126

Gambar.53 Arah gelombang relatif terhadap gerak kapal . . . . 126

Gambar.54 Gerak kapal 6 degree of fredom . . . . . . 127

Gambar.55 RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 0.5 m, Tp = 7. 5 sec. . 128

Gambar.56 RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 1.0 m, Tp = 7. 5 sec . . 129

Gambar.57 RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 2.0 m, Tp = 7. 5 sec . . 130

Gambar.58 Pelabuhan Peti Kemas Sorong . . . . . . 138

Gambar.59 Pelabuhan Semen . . . . . . . . 139

Gambar.60 Pelabuhan LPG Petro China . . . . . . 139

Gambar.61 Pelabuhan Koral . . . . . . . . 140

Gambar.62 Pelabuhan Perikanan Katimin . . . . . . 140

Gambar.63 Fasilitas Coldstorage dan Station BBM Pelabuhan

Perikanan Katimin . . . . . . . . 142

Gambar.64 Pelabuhan Logging . . . . . . . . 142

Gambar.65 Water Front Pelabuhan Logging . . . . . . 144

Gambar.66 Gerbong Kereta Rail-Veyor . . . . . . 146

Gambar.67 Gerbong Kereta Rail-Veyor Posisi Terbalik . . . . 146

Gambar.68 Terowongan Perlintasan Kereta Rail-Veyor . . . . 147

Gambar.69 Bentuk Gerbong Kereta Rail-Veyor . . . . . 148

Page 7 of 183
Gambar.70 Rel Ringan pada Sistem Rail-Veyor . . . . . 148

Gambar.71 Roda dan Pelat pada Gerbong Kereta Rail-Veyor . . . 149

Gambar.72 Sistem Penggerak dan Sub Stasiun Rail-Veyor . . . . 150

Gambar.73 Konstruksi Rangka Pendukung Rail Veyor . . . . 151

Gambar.74 Proses Loading/Unloading . . . . . . . 151

Gambar.75 Ruang Pusat Kendali Rail-Veyor . . . . . . 152

Gambar.76 Bentuk Lintasan Rail-Veyor dan Posisi Stasiun Penggerak . . 153

Gambar.77 Grafik Kecepatan dan Waktu Kereta di Stasiun Penggerak . . 153

Gambar.78 Komponen Roda Penggerak dan Pelat di Sisi Kereta . . . 154

Gambar.79 Komponen Roda Penggerak dan Pelat di Sisi Kereta . . . 154

Gambar.80 Posisi Stasiun Penggerak dan Sensor . . . . . 155

Gambar.81 Grafik Kecepatan Pergerakan Kereta pada Proses Loading

dan Unloading . . . . . . . . 155

Gambar.82 Plot Posisi Roda Kereta dan Posisi Sensor

untuk Menggerakkan Roda Penggerak dan Pelat Sisi Kereta . . 156

Gambar.83 Pergerakan Kereta pada saat Proses Unloading . . . 156

Gambar.84 Bentuk Instalasi Rel Ringan pada Rail-Veyor . . . . 158

Gambar.85 Perbandingan Terowongan Truk dan Rail-veyor . . . 159

Page 8 of 183
DAFTAR TABEL

Tabel.1 Rasio Elektrifikasi Di Indonesia Menurut Wilayah: 2007-2011 (%) . 15


Tabel.2 Skedul Kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara
Untuk Mendukung Ketahanan Energi . . . . . . 27
Tabel.3 Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 1
Periode Januari s/d Desember 2013 . . . . . . 28
Tabel.4 Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 2
Periode Januari s/d Desember 2013 . . . . . . 28
Tabel.5 Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 3
Periode Januari s/d Desember 2013 . . . . . . 28
Tabel.6 Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 4
Periode Januari s/d Desember 2013 . . . . . . 29
Tabel.7 Realisasi Penyerapan Anggaran Per Desember 2013 . . . 30
Tabel.8 Karakteristik Usaha Antang Gunang Meratus Coalmine (AGM) dan
Sumber Kuria Coalmine (SKB) . . . . . . 38
Tabel.9 Penjualan Tenaga Listrik PLN (Twh) Menurut Wilayah: 2007-2011 . 60
Tabel.10 Pertumbuhan Ekonomi dan Proyeksi Kebutuhan
Tenaga Listrik dan Beban Puncak 2012-2018 . . . . 69
Tabel.11 Asumsi Harga Bahan Bakar . . . . . . . 70
Tabel.12 Proyek Percepatan Pembangkit 10.000 MW Tahap I
Di Indonesia Timur . . . . . . . . 71
Tabel.13 Rekapitulasi Proyek Percepatan Pembangunan
Pembangkit Listrik Tahap 2 . . . . . . . 72
Tabel.14 PLTU Di Indonesia Timur dan Kebutuhan Batubara . . . 75
Tabel.15 PLTU Di Nusa Tenggara Timur dan Kebutuhan Batubara . . . 79
Tabel.16 Kalkulasi Biaya Angkut Batubara Untuk PLTU
di Nusa Tenggara Timur . . . . . . . 80
Tabel.17 Perbandingan Hasil Kalkulasi Sistem Jaringan
Dedicated, Hub and Spoke dan Milkrun . . . . . 81
Tabel.18 Ukuran utama kapal SPB 6000 DWT coal vessel . . . . 96
Tabel.19 Desain propeller SPB 6000 DWT coal barge . . . . 97
Page 9 of 183
Tabel.20 Limiting KG (Keel of Grafity) . . . . . . . 113
Tabel.21 Pembebanan pada kondisi kapal kosong dan sarat rata . . . 115
Tabel.22 Pembebanan pada kondisi kapal berangkat dengan muatan penuh
dan sarat rata . . . . . . . . . 117
Tabel.23 Pembebanan pada kondisi kedatangan dengan kapal muatan penuh
dan sarat rata . . . . . . . . . 119
Tabel.24 Pembebanan pada kondisi kapal berangkat dengan balas
dan sarat rata . . . . . . . . . 121
Tabel.25 Pembebanan pada kondisi kapal tiba dengan balas dan sarat rata . 123
Tabel.26 Ukuran Utama SPB 6000 DWT . . . . . . 125
Tabel.27 Operability Criteria . . . . . . . . 131
Tabel.28 Analisa Pelabuhan Petikemas . . . . . . 138
Tabel.29 Analisa Pelabuhan Katimin . . . . . . . 141
Tabel.30 Analisa Pelabuhan Logging . . . . . . 143
Tabel.31 Dimensi Umum dan Spesifikasi Teknis Rail-Veyor . . . . 157
Tabel.32 Perbandingan Pemakaian Energi Angkutan Batubara . . 159
Tabel.33 Kemampuan Operasional Moda Angkutan Batubara . . . 162
Tabel.34 Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Pendek . . . . . . . 163
Tabel.35 Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Sedang . . . . . . . 164
Tabel.36 Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Jauh . . . . . . . . 165

Page 10 of 183
ABSTRAK
Kajian terhadap logistik batubara yang efisien dan efektif penting dilakukan untuk
mendukung program pemerintah dalam menjamin ketersediaan pasokan batubara
sebagai sumber energi yang akan mencapai 34 persen dari total sumber energi
nasional pada tahun 2025. Di samping itu kewajiban PT. PLN Batubara (Persero)
sebagai pengguna hasil kajian logistik batubara adalah penanggung jawab terhadap
ketersediaan pasokan batubara yang baru mencapai sekitar 20 % dari total kebutuhan
batubara PLTU saat ini.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai instansi pemerintah


memiliki kewajiban memberikan pelayanan untuk mencari dan merumuskan suatu
sistem logistik di mana batubara bisa dipasok secara berkelanjutan, tepat waktu dan
dengan kualitas tetap terjaga sesuai dengan yang dibutuhkan PLTU khususnya yang
berada di Kawasan Timur Indonesia.

Metodologi untuk pencapaian sasaran tersebut di atas mengacu kepada tata kerja
kerekayasaan dan operasionalisasi konsep Sistem Inovasi yang diawali dengan
kegiatan penyusunan dan perumusan design requirements objective (DR&O) yang
dilanjutkan dengan proses engineering untuk menghasilkan rekomendasi system
logistic batubara untuk mendukung ketahanan energy.
Untuk tahun 2013 program yang dilaksanakan terdiri dari 4 WBS, yaitu:
1. WBS 1 Kajian Logistik Batubara
2. WBS 2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara
3. WBS 3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara
4. WBS 4 Kajian Teknologi Railveyor untuk Transportasi Batubara
Pelaksanaan pengkajian “Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung
Ketahanan Energi Nasional” pada tahun 2013 ini adalah merupakan bagian dari
pembelajaran bagaimana meningkatkan kinerja logistik nasional yang secara terus
menerus agar pembiayaan logistik nasional menjadi semakin seimbang untuk
pembangunan nasional.

Page 11 of 183
BAB 1 PENDAHULUAN
Untuk menjamin keamanan pasokan energi di dalam negeri, pemerintah mengeluarkan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional, yang di dalamnya antara lain berisi kenaikan peranan batubara dalam
bauran energi (energi mix) dari 14% (2005) menjadi 33% (2025). Hal ini tidak terlepas
dari kondisi jumlah sumber daya batubara yang sangat besar, yakni 61,3 miliar ton,
serta dapat digunakan sebagai sumber energi, baik secara langsung maupun
dikonversi menjadi gas atau cair. Di samping itu, teknologi pemanfaatan batubara yang
ramah lingkungan telah berkembang pesat, sehingga memungkinkan batubara dapat
digunakan secara massal tanpa atau hanya sedikit mengganggu lingkungan.

Selama periode 1992 – 2005, produksi batubara Indonesia naik rata-rata 15,68%,
penjualan di dalam negeri naik rata-rata 14,4% dan ekspornya naik rata-rata 16%.
Pada tahun 2005, produksi batubara telah mencapai 151,594 juta ton, sebanyak
41,306 juta ton dipasarkan didalam negeri dan ekspor sebanyak 106,787 juta ton.

Peningkatan produksi batubara, disebabkan oleh peningkatan permintaan konsumen di


luar negeri dan kebutuhan di dalam negeri yang semakin banyak. Harga bahan bakar
minyak (BBM) yang terus meningkat menjadi faktor utama industri beralih ke batubara.
Pada tahun 2005, tiga konsumen batubara terbesar di Indonesia adalah PLTU
(71,11%), industri semen (17,04%), dan industri kertas (6,43%). Ditinjau dari segi
daerah, propinsi Banten merupakan konsumen terbesar di Pulau Jawa, disusul
kemudian oleh propinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Produksi batubara diperkirakan akan mencapai 628 juta ton pada tahun 2025, 181 juta
ton dipasarkan di dalam negeri dan sisanya (438 juta ton) diekspor. Hal ini
bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang mempunyai target produksi 300 juta
ton pada tahun 2025 dengan komposisi 214 juta untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan sisanya untuk diekspor. Oleh karena itu pemerintah harus mengeluarkan
kebijakan baru tentang pengendalian produksi dan perlu menjamin pasokan batubara
di dalam negeri. Kebijakan ini juga ditujukan untuk mengamankan pencapaian peranan
batubara di dalam bauran energi nasional sebesar 33% pada tahun 2025.

Page 12 of 183
Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam rangka HUT ke- 67
Proklamasi kemerdekaan di depan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah pada tanggal 16 Agustus 2012 menegaskan bahwa sesuai dengan arah
kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014,
sasaran pencapaian ketahanan energi nasional untuk menjamin kelangsungan
pertumbuhan nasional dilaksanakan melalui restrukturisasi kelembagaan dan
optimalisasi pemanfaatan energi alternatif seluas-luasnya.

Sasaran utama dari ketahanan energi nasional adalah: (1) peningkatan kapasitas
pembangkit listrik sebesar rata-rata 3.000 megawatt (MW) pertahun mulai 2010 dengan
rasio elektrifikasi yang mencakup 67,2 persen pada 2010 dan 80 persen pada 2014;
(2) produksi minyak bumi sebesar 1,01 juta barel perhari mulai 2014; dan (3)
peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk energi panas bumi
sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya
eksplorasi coal bed methane (CBM) dalam rangka mendukung pasokan gas untuk
kelistrikan pada tahun 2011 dan disertai dengan pemanfaatan potensi tenaga surya,
mikro hidro, bioenergi, serta diantisipasinya pemanfaatan nuklir secara bertahap
dengan memperhatikan faktor keselamatan dan keamanan yang harus disiapkan.

Kebijakan energi dilakukan melalui: (1) peningkatan pelayanan infrastruktur


ketenagalistrikan; (2) peningkatan atau intensifikasi produksi minyak bumi; (3)
pengembangan diversifikasi energi; dan (4) efisiensi penggunaan energi. Peningkatan
pelayanan infrastruktur ketenagalistrikan dilakukan melalui: (1) pembangunan
pembangkit listrik, termasuk jaringan transmisi dan distribusinya; dan (2) percepatan
penyelesaian pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap satu dan tahap dua
dengan mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk panas bumi.
Adapun Pengembangan diversifikasi energi dilakukan melalui: (1) peningkatan
pemanfaatan gas bumi; (2) peningkatan pemanfaatan batubara; dan (3) peningkatan
pemanfaatan energi baru terbarukan seperti bahan bakar nabati (BBN) dan panas
bumi. Efisiensi penggunaan energi dilakukan melalui konservasi energi dengan
menerapkan penghematan energi dan audit energi.

Pengembangan diversifikasi energi melalui peningkatan pemanfaatan batubara


seyogianya didukung oleh berbagai faktor mengingat bahwa pangsa kebutuhan
batubara domestik diperkirakan terus meningkat dari hampir 23% (2010) menjadi lebih

Page 13 of 183
dari 48% (2030). Konsumen domestik yang meningkat kebutuhannya adalah
pembangkit listrik dengan tingkat pertumbuhan 12% per tahun atau lebih dari sembilan
kali lipat, yaitu dari hampir 29 juta ton (2010), menjadi 283 juta ton (2012). Peningkatan
kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik tersebut sesuai kebijakan Pemerintah
sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan listrik di seluruh Indonesia.1

Berangkat dari kebutuhan listrik nasional yang cenderung mengalami peningkatan


sejalan dengan program pembangunan nasional, maka Program Rekomendasi
Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung Ketahanan Energi yang dilaksanakan
pada tahun anggaran 2013 sampai dengan tahun 2015 dimaksudkan untuk
menghasilkan rekomendasi teknologi yang dibutuhkan pemerintah untuk mengatasi
kebutuhan energi nasional, utamanya energi untuk pembangkit listrik yang bersumber
dari batubara.

Kebutuhan listrik nasional apabila dilihat dari kondisi kewilayahan, maka Indonesia
seperti terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah Kawasan Barat Indonesia
yang telah lama dipahami memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dengan
dilengkapi oleh infrastruktur pembangunan yang lebih lengkap. Pada sisi yang lain,
pembangunan ekonomi nasional di Kawasan Timur Indonesia jauh tertinggal apabila
dibandingkan dengan pembangunan di Kawasan Barat Indonesia, termasuk di
dalamnya masalah kelistrikan.

Ketimpangan pembangunan kelistrikan di Kawasan Barat dan Kawasan Timur


Indonesia dapat dilihat dari rasio elektrifikasi tahun 2011. Di mana ratio elektrifikasi
didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi dengan jumlah
rumah tangga yang ada. Perkembangan rasio elektrifikasi secara nasional dari tahun
ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 60,8% pada tahun 2007 menjadi 71,2% pada
tahun 2011. Sekalipun pada periode tersebut kenaikan rasio elektrifi kasi pada wilayah-
wilayah Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau lainnya menunjukkan
peningkatan, namun rasio elektrifikasi di Kawasan Timur Indonesia relatif masih
rendah.

1 BPPT Press, Outlook Energi 2012, Halaman 50


Page 14 of 183
Tabel 1.
Rasio Elektrifikasi Di Indonesia
Menurut Wilayah: 2007-2011 (%)
Wilayah 2007 2008 2009 2010 2011
Indodnesia 60,8 62,3 65,0 67,5 71,2
Jawa-Bali 66,3 68,0 69,8 71,4 72,3
Sumatera 56,8 60,2 60,9 67,1 69,4
Kalimantan 54,5 53,9 55,1 62,3 64,3
Sulawesi 53,6 54,1 54,4 62,7 66,6
Indonesia Timur 30,6 30,6 31,8 35,7 44,2
Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

Menurut PT. PLN (persero) pertumbuhan rasio elektrofikasi yang tidak merata pada
masing-masing daerah, dengan rincian sebagai berikut:

 Sumatera: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan sekitar 2,5% per tahun.

 Sulawesi: pertumbuhan rasio elektrifikasinya sekitar 2,6% per tahun. Rasio


elektrifikasi naik cukup tajam pada tahun 2010 karena adanya pembangkit sewa.

 Jawa-Bali: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan sekitar 1,2% per tahun.

 Kalimantan: rasio elektrifikasi mengalami kenaikan cukup signifi kan mulai


tahun 2009 karena teratasinya masalah pembangkitan dengan adanya
beberapa pembangkit sewa.

 Kawasan Timur Indonesia: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan 2,7%


per tahun. Kesulitan utama adalah keterbatasan kemampuan pembangkit dan
situasi geografis yang tersebar.

Hambatan geografis yang ada di Indonesia bagian Timur merupakan penomena yang
menarik untuk didalami apabila dilihat dari pembangunan kelistrikan dalam kerangka
ketahanan energi. Oleh karenanya uraian rinci dari Technical Document (TD) ini akan
membahas masalah transportasi batubara untuk Pembangkit Lisrik Tenaga Uap
(PLTU) batubara yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia, utamanya dilihat dari sisi
jaringan pelayanan dari sumber tambang batubara sampai kepada PLTU.

Page 15 of 183
BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN
2.1 TUJUAN

Tujuan Kegiatan adalah untuk mencari dan merumuskan suatu sistem logistik di mana
batubara bisa dipasok secara berkelanjutan, tepat waktu dan dengan kualitas tetap
terjaga sesuai dengan yang dibutuhkan PLTU di Indonesia.

2.2 SASARAN

Kegiatan pengkajian dan penerapan teknologi logistik batubara untuk mendukung


ketahanan energi mempunyai sasaran untuk mendapatkan sistem logistik batubara
yang efisien dan efektif guna mendukung program pemerintah dalam mengamankan
pasokan batubara terhadap PLTU yang tersebar di beberapa tempat di Indonesia. Hal
ini untuk mendukung peningkatan kemampuan PT. PLN Batubara sebagai
penanggung jawab terhadap ketersediaan pasokan batubara yang baru mencapai
sekitar 20 % dari total kebutuhan batubara PLTU saat ini

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, maka dibentuk organisasi
fungsional pelaksana kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk
Mendukung Ketahanan Energi tahun 2013 yang terdiri dari 4 WBS, yaitu:

5. WBS 1 Kajian Logistik Batubara


6. WBS 2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara
7. WBS 3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara
8. WBS 4 Kajian Teknologi Railveyor untuk Transportasi Batubara

Organisasi fungsional pelaksana kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara


untuk Mendukung Ketahanan Energi bisa dilihat pada gambar 1.

Page 16 of 183
Gambar. 1
Organisasi Kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung
Ketahanan Energi

Page 17 of 183
BAB 3 KEGIATAN PROGRAM

3.1 WBS 1.0 KAJIAN LOGISTIK BATUBARA

Untuk melakukan pengkajian dan penerapan teknologi Logistik Batubara dalam


mendukung ketahanan energi perlu disusun acuan yang didasarkan kepada kebutuhan
teknis dukungan ketahanan energi yang diperlukan berdasarkan target ataupun sasaran
yang telah dirancang atau direncanakan oleh Instansi terkait, yang dalam hal ini akan
diacu rencana program yang digunakan atau dikeluarkan oleh PT. PLN Batubara.

Untuk hal tersebut di atas pelaksanaannya dilakukan dengan mengikuti langkah-


langkah sebagai berikut :

- Mempelajari potensi sumberdaya alam Indonesia akan ketersediaan batubara, dan


trend perkembangan kebutuhan batubara bagi PLTU di Indonesia.
- Menemukenali peraturan perundangan, konvensi nasional maupun internasional
terkait dengan perencanaan kebutuhan transportasi pasokan batubara ke PLTU di
seluruh Indonesia.
- Menemukenali kondisi sistem logistik batubara untuk PLTU di Indonesia dan
perkembangannya terutama dari aspek transportasi.
- Menemukenali kondisi pengelolaan sistem logistik batubara pada industri
pertambangan untuk pasokan batubara kebutuhan PLTU di Indonesia dari aspek
sarana dan prasarananya.
- Melakukan studi pustaka teknik pengembangan sistem logistik batubara untuk
PLTU, mengacu kepada suatu sistem standar nasional maupun internasional
maupun kemajuan dan perkembangan iptek saat ini.
- Memberikan input bagi kebutuhan sarana dan prasarana transportasi angkutan
batubara dari berbagai lokasi sumber tambang ke PLTU berdasarkan sistem
logistic batubara yang lebih efisien dan efektif.

Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk melihat sejauh mana kondisi peluang


pengembangan pengelolaan proses untuk pemenuhan pasokan batubara PLTU yang
lebih efisien dan efektif.

Page 18 of 183
3.1.1 WP 1.1 Kajian Transportasi Batubara Jaringan Darat

Kegiatan keseluruhan dari WP 1.1 adalah Kajian Transportasi Batubara Jaringan


Darat yang dirinci lebih lanjut, sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 1.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang
transportasi batubara jaringan darat.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer sarana angkutan
batubara jaringan darat
4) Mengidentifikasi permasalahan sarana angkutan batubara jaringan darat di
Indonesia.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder angkutan
batubara jaringan darat di Indonesia.
6) Memberikan materi rekomendasi angkutan batubara jaringan darat di Indonesia
7) Pelaporan.

3.1.2 WP 1.2 Kajian Transportasi Batubara Jaringan Laut

Kegiatan keseluruhan dari WP 1.2 adalah Kajian Transportasi Batubara Jaringan


Laut yang dirinci lebih lanjut, sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 1.2
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang
transportasi batubara jaringan laut.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer sarana angkutan
batubara jaringan laut.
4) Mengidentifikasi permasalahan sarana angkutan batubara jaringan laut di
Indonesia.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder angkutan
batubara jaringan laut di Indonesia.
6) Memberikan materi rekomendasi angkutan batubara jaringan laut di Indonesia
7) Pelaporan.

Page 19 of 183
3.2 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KAPAL KHUSUS PENGANGKUT
BATUBARA

Pelaksanaan kegiatan ini mempunyai ruang lingkup kegiatan WBS 2.0 yang mencakup
:
1) Persiapan administrasi, tinjauan pustaka, survei data,
2) Penyusunan parameter tinjauan pustaka tentang sarana kapal khusus
pengangkut batubara yang digunakan dalam transportasi batubara,
3) Penyusunan parameter tinjauan pustaka tentang perangkat lunak desain sarana
kapal,
4) Perumusan hasil tinjauan pustaka sarana kapal khusus pengangkut batubara
yang digunakan dalam transportasi batubara,
5) Perumusan hasil tinjauan pustaka perangkat lunak desain sarana kapal,
6) Pelaporan

3.2.1 WP 2.1 Desain Kapal

Kegiatan keseluruhan dari WP 2.1 adalah Desain Kapal yang dirinci lebih lanjut,
sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 2.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang desain
kapal khusus pengangkut batubara.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer kapal khusus
pengangkut batubara
4) Mengidentifikasi permasalahan desain kapal khusus pengangkut batubara di
Indonesia.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder kapal
khusus pengangkut batubara di Indonesia.
6) Menyusun D,R & O kapal khusus pengangkut batubara khususnya untuk suplai
ke PLTU Wilayah Timur Indonesia
7) Memberikan materi rekomendasi desain kapal khusus pengangkut batubara
khususnya untuk suplai ke PLTU Wilayah Timur Indonesia
8) Pelaporan.

Page 20 of 183
3.2.2 WP 2.2 Pemodelan Kapal
Kegiatan keseluruhan WP 2.2 adalah Pemodelan yang dirinci lebih lanjut, sebagai
berikut:
1) Penentuan jenis kapal khusus pengangkut batubara untuk Wilayah Timur
Indonesia.
2) Pembuatan desain kapal (lines plan)
3) Pemodelan berupa analisa uji numerik untuk ship powering dan ship stability.
4) Memberikan presentasi hasil kegiatannya dalam pertemuan berkala tim lobara.
5) Rekomendasi desain awal (preliminiary) kapal khusus pengangkut batu bara
untuk Wilayah Timur Indonesia.
6) Pembuatan dokumen DR&O kapal khusus pengakut batubara untuk Wilayah
Timur Indonesia dan saran tindak lanjut desain.
7) Pelaporan

3.3 PENGEMBANGAN PELABUHAN KHUSUS BATUBARA

Pembangunan PLTU tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini PLTU yang sudah
beroperasi maupun yang rencana dibangun berada di kawasan Barat Indonesia dan
kawasan Timur Indonesia. Khususnya untuk kawasan Barat Indonesia, kepelabuhanan
yang diperlukan bagi pasokan batubara PLTU dirasakan sudah dapat dinilai berjalan
dengan baik, meskipun perlu terus ditingkatkan kinerjanya. Sedangkan di kawasan
Timur Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, terutama belum seimbangnya
kebutuhan pasokan batubara yang diperlukan dengan kapasitas sarana-prasarana
transportasi laut yang tersedia. Untuk suatu kebutuhan batubara yang diperlukan, di
samping pelabuhan penerima batubara belum tersedia, ukuran kapal juga pada
umumnya terlalu besar. Sehingga sistem jaringan transportasi pasokan batubara yang
tepat untuk pasokan PLTU di Kawasan Timur Indonesia masih terus dipelajari oleh PT.
PLN Batubara.

Pelaksanaan kegiatan terkait dengan WBS 3.0 mencakup :

- Identifikasi masalah secara teliti kebutuhan jaringan pasokan batubara bagi


PLTU di kawasan Timur Indonesia, berdasarkan data primer maupun sekunder
yang ada;

Page 21 of 183
- Tentukan faktor-faktor kerekayasaan yang tepat bagi kebutuhan pelabuhan
batubara di kawasan Timur Indonesia dengan koordinasi bersama dengan tim
studi sarana transportasi batubara, maupun tim studi sistem logistik batubara;

- Pilih metodologi analisis ataupun kerekayasaan kepelabuhanan yang tepat dan


lakukan analisis masalah berdasarkan parameter dan data yang diperoleh, serta
lakukan pembahasan ataupun perekayasaan teknologi pelabuhan untuk
memperoleh jawaban bagi kebutuhan solusi masalah.

- Merumuskan rekomendasi solusi masalah melalui hasil perekayasaan teknologi


kepelabuhanan yang telah dilakukan.

Cakupan pelaksanaan kegiatan di atas selanjutnya dilaksanakan oleh masing-masing


WP berikut:

3.3.1 WP 3.1 Desain Pelabuhan

Kegiatan keseluruhan dari WP 3.1 adalah Desain Pelabuhan yang dirinci lebih lanjut,
sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 3.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang desain
pelabuhan batubara.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer pelabuhan batubara
4) Mengidentifikasi permasalahan pelabuhan batubara di Indonesia.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder pelabuhan
batubara di Indonesia.
6) Menyusun D,R & O pelabuhan batubara khususnya di PLTU Wilayah Timur
Indonesia
7) Memberikan materi rekomendasi desain pelabuhan batubara khususnya di
PLTU Wilayah Timur Indonesia
8) Pelaporan.

Page 22 of 183
3.3.2 WP 3.2 Pemodelan Pelabuhan

Kegiatan keseluruhan WP 3.2 adalah Kriteria Pemodelan yang dirinci lebih lanjut,
sebagai berikut:
1) Penentuan jenis pelabuhan batubara untuk Wilayah Timur Indonesia.
2) Pembuatan kriteria desain pelabuhan.
3) Memberikan presentasi hasil kegiatannya dalam pertemuan berkala tim lobara.
4) Rekomendasi kriteria desain awal (preliminiary) pelabuhan batubara untuk
Wilayah Timur Indonesia.
5) Pembuatan dokumen DR&O pelabuhan batubara untuk Wilayah Timur
Indonesia dan saran tindak lanjut desain.
6) Pelaporan

3.4 KAJIAN TEKNOLOGI RAILVEYOR UNTUK TRANSPORTASI BATUBARA

PT. PLN telah mencanangkan program pembangunan PLTU mulut tambang di


beberapa tempat di Indonesia, diawali di daerah Sumatera Selatan yang direncanakan
dioperasikan pada tahun 2017. Pasokan batubara diperoleh dari sumber tambang yang
relatif mempunyai jarak yang dekat dengan PLTU. Teknologi transportasi batubara
(transportasi darat) yang ada saat ini untuk memenuhi keperluan tersebut adalah
memanfaatkan angkutan truk, conveyor, maupun kereta api sesuai dengan jarak dan
jumlah batubara yang diangkut. Dengan perkembangan iptek ditengarai terdapat
kombinasi teknologi kereta dan conveyor untuk pasokan batubara ke PLTU mulut
tambang yang dinilai lebih efisien dan efektif. Untuk hal ini BPPT dalam kegiatan
pengkajian dan penerapan teknologi Logistik Batubara untuk mendukung ketahanan
energi dinilai perlu mempelajari sistem transportasi dengan teknologi rail coal veyor ini.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :

- Mempelajari karakteristik teknologi rail coal veyor yang ada di dunia;


- Mempelajari rencana pengembangan PLTU mulut tambang di Indonesia;
- Studi kasus terhadap penyusunan DR&O pemanfaatan teknologi rail coal veyor
suatu lokasi PLTU mulut tambang dalam rangka mempelajari kemungkinan
penerapannya di Indonesia;
- Merumuskan DR&O untuk bahan intermediasi rancang bangun rail coal veyor
bersama industry terkait;

Page 23 of 183
- Melakukan elaborasi peran BPPT dalam intermediasi pemanfaatan teknologi
Negara maju ke Indonesia dengan memperhatikan potensi industry dalam
negeri;
- Melakukan focus group discussion penerapan teknologi rail coal veyor di
Indonesia berdasarkan konsep penerapan sistem inovasi nasional dan daerah.
- Merumuskan rekomendasi hasil kajian untuk pengembangannya lebih lanjut
kepada para stake holder terkait.

3.4.1 WP 4.1 Kajian Teknologi Moda Angkutan Rail-Veyor

Kegiatan keseluruhan dari WP 4.1 adalah Kajian Teknologi Moda Angkutan Rail-
Veyor yang dirinci lebih lanjut, sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 4.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang
teknologi rail veyor.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer rail veyor dan moda
transportasi lain yang sejenis
4) Mengidentifikasi permasalahan tekkologi rail veyor.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder rail veyor
atau yang sejenis di Indonesia.
6) Memberikan materi rekomendasi criteria teknis penggunaan rail veyor untuk
transporatsi batubara PLTU di Indonesia.
7) Pelaporan.

3.4.2 WP 4.2 Kajian Ekonomi Moda Angkutan Rail-Veyor

Kegiatan keseluruhan WP 4.2 adalah Kajian Ekonomi Moda Angkutan Rail-Veyor


yang dirinci lebih lanjut, sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 4.2
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang
keekonomian penggunaan yang meliputi:
- Keuntungan penggunaan rail veyor
- Komponen biaya pembangunan rail veyor
- Perbandingan kemampuan operasional dengan moda lain
- Daya saing ekonomi per moda transportasi
Page 24 of 183
3) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder rail veyor
atau yang sejenis di Indonesia.
4) Memberikan materi rekomendasi kriteria ekonomis penggunaan rail veyor untuk
transporatsi batubara PLTU di Indonesia.
5) Pelaporan.

3.5 PROGRESS CONTROL & MONITORING (PCM)

Progress control monitoring merupakan rangkaian kegiatan dalam unsur manajemen


yang diperlukan agar suatu program atau kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan
rencana yang ditetapkan. Pengendalian dilakukan terhadap masukan (input), keluaran
(output), dan hasil (outcome) dari suatu pelaksanaan kegiatan.

Begitu juga dalam hal pelaksanaan program/ kegiatan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Untuk Transportasi Masal, dengan output atau sub kegiatan Rekomendasi
Teknologi Logistik batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi, maka untuk
menjamin tercapainya pelaksanaan program/ kegiatan sebagaimana yang telah
dituangkan penjelasannya dalam Program Manual Rekomendasi Teknologi Logistik
Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi pada Tahun Anggaran 2013, perlu
dilakukan pengendalian secara terpadu terhadap pelaksanaan program/ kegiatan
tersebut.

Pengendalian itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang berlangsung
secara terus menerus yang dilakukan oleh semua unsur pengendali terhadap aktivitas
program/ kegiatan, yang dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan.

Pengendalian harus dilandasi oleh analisis capaian program dan jumlah anggaran
yang dilaksanakan melalui kegiatan pemantauan.

Sedangkan pemantauan (monitoring) merupakan rangkaian pengamatan terhadap


berbagai kegiatan untuk memastikan bahwa strategi dan langkah yang ditempuh telah
sesuai prosedur. Pemantauan dilakukan pada saat program/ kegiatan sedang berjalan
dan memiliki jangkauan jangka pendek. Pengamatan yang dilakukan secara periodik
terhadap perkembangan pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui penentuan format
pemantauan yang informatif, pengumpulan informasi, interpretasi sementara dan
kecenderungan kegiatan serta manfaat yang dirasakan.
Page 25 of 183
Beberapa obyek pemantauan, diantaranya adalah sebagai berikut :

 Berbagai jenis kegiatan di lapangan yang anggarannya bersumber dari DIPA/


APBN;
 Lokasi kegiatan;
 Realisasi anggaran;
 Keluaran (output);
 Proses pencapaian output;
 Koordinasi pihak terkait dan pemanfaatan output;
 Hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact).

3.5.1 TUJUAN

Melaksanakan aktivitas pemantauan dan pengendalian kemajuan kegiatan (Progress


Control and Monitoring / PCM) terhadap jalannya program/ kegiatan Rekomendasi
Teknologi Logistik Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi pada periode
Januari s/d Desember 2013, guna menemukan permasalahan, mencari alternativ
pemecahannya, dan menyarankan langkah-langkah penyelesaian sebagai koreksi dini
agar pelaksanaan kegiatan berjalan secara efisien dan efektif.

3.5.2 PELAKSANAAN KEGIATAN PCM

Untuk melaksanakan pemantauan dan pengendalian jalannya program/ kegiatan


Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi
sebagaimana sasaran pada tahun 2013, dilakukan dengan mencakup 4 aktivitas Work
Breakdown Structure (WBS) yaitu sebagai berikut :

 WBS 1, Kajian Logistik Batubara


WP. 1.1. Kajian Jaringan Darat
WP.1.2. Kajian Jaringan Laut

 WBS 2, Pengembangan Kapal Khusus Pengangkut Batubara


WP. 2.1. Desain Kapal Khusus Pengangkut Batubara
WP. 2.2. Pemodelan Kapal Khusus Pengangkut Batubara

Page 26 of 183
 WBS 3, Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara
WP. 3.1. Desain Pelabuhan Khusus Batubara
WP. 3.2. Pemodelan Pelabuhan Khusus Batubara

 WBS 4, Kajian Sistem Rail Veyor Untuk Transportasi Logistik Batubara


WP. 4.1. Kajian Teknis Rail Veyor
WP. 4.2. Kajian Ekonomis Rail Veyor

3.5.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil PCM atas Program/ Kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik batubara Untuk
Mendukung Ketahanan Energi pada periode Januari s/d Desember 2013 adalah
sebagaimana tersaji dalam skedul kegiatan sebagai berikut :

Tabel 2
Skedul Kegiatan
Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi

BULAN KE
AKTIVITAS 2013 KETERANGAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

WBS 1.0 Aktivitas


persiapan
Kajian Logistik sampai
Batubara pelaporan.
WBS 2.0
Aktivitas
Pengembangan persiapan
Kapal Khusus sampai
Pengangkut pelaporan.
Batubara
WBS 3.0 Aktivitas
Pengembangan persiapan
Pelabuhan sampai
Khusus Batubara pelaporan.
WBS 4.0
Aktivitas
Kajian Sistem persiapan
Rail Veyor Untuk sampai
Transportasi pelaporan.
Logistik Batubara

Page 27 of 183
Tabel 3
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 1
Periode Januari s/d Desember 2013

Skedul Budget Status


Daftar Aktivitas Keterangan
Start Akhir (Rp) Y T

WBS. 1.0 Mulai aktivitas


Kajian Logistik Batubara 85.978.000 persiapan sampai
pelaporan
1.1. Kajian Jaringan Darat Bulan I Bulan XII Y
1.2. Kajian Jaringan laut Bulan I Bulan XII Y

Tabel 4
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 2
Periode Januari s/d Desember 2013

Skedul Budget Status


Daftar Aktivitas Keterangan
Start Akhir (Rp) Y T

WBS. 2.0 Mulai aktivitas


Pengembangan Kapal Khusus 310.290.000 persiapan sampai
Pengangkut Batubara pelaporan
2.1. Desain Kapal Khusus Bulan I Bulan XII Y
Pengangkut Batubara
2.2. Pemodelan Kapal Khusus Bulan I Bulan XII Y
Pengangkut Batubara

Tabel 5
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 3
Periode Januari s/d Desember 2013

Skedul Budget Status


Daftar Aktivitas Keterangan
Start Akhir (Rp) Y T

WBS. 3.0 Mulai aktivitas


Pengembangan Pelabuhan 126.080.000 persiapan sampai
Khusus Batubara pelaporan
3.1. Desain Pelabuhan Khusus Bulan I Bulan XII Y
Batubara
3.2. Pemodelan Pelabuhan Bulan I Bulan XII Y
Khusus Batubara

Page 28 of 183
Tabel 6
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 4
Periode Januari s/d Desember 2013

Skedul Budget Status


Daftar Aktivitas Keterangan
Start Akhir (Rp) Y T

WBS. 4.0 Mulai aktivitas


Kajian Sistem Rail Veyor Untuk 51.360.000 persiapan sampai
Transportasi logistic Batubara pelaporan
3.1. Kajian Sistem Rail Veyor Bulan I Bulan XII Y
3.2. Kajian Ekonomis Rail Veyor Bulan I Bulan XII Y

3.5.4 REALISASI PENYERAPAN ANGGARAN

Pada awal kegiatan berjalan, yaitu mulai tahap persiapan pada Triwulan I, hingga
tahap survey dan koordinasi teknis pada Triwulan II, dan berlanjut ke tahap analisis
pada Triwulan III, serta terakhir tahap pelaporan dan rekomendasi pada Triwulan IV,
maka realisasi penyerapan sampai dengan bulan terakhir kegiatan, yaitu bulan
Desember 2013 adalah sebagaimana tersaji pada Tabel.6 berikut.

Dalam perjalanannya anggaran DIPA telah mengalami beberapa kali efisiensi sesuai
arahan Pimpinan di BPPT, sehingga akhirnya pada akhir bulan Oktober 2013 telah
keluar hasil Revisi ke 03 DIPA 2013 dari Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan,
sehingga total pagu anggaran kegiatan ini menjadi berubah sebagaimana tabel berikut.
Berdasarkan hasil Revisi tersebut khususnya pada mata anggaran perjalanan dinas
telah diusulkan untuk direvisi kembali secara internal, mengingat banyak tujuan
perjalanan dinas yang sudah direalisasikan namun dalam revisi tersebut ada beberapa
yang ternyata diblokir, sehingga harus mengganti dengan sisa perjalanan dinas yang
belum direalisasikan melalui revisi internal BPPT. Akhirnya usulan revisi tersebut telah
disetujui Sekretaris Utama/ selaku KPA satker BPPT.

Page 29 of 183
Tabel 7
Realisasi Penyerapan Anggaran
Per Desember 2013

DIPA Awal DIPA Serapan s/d Realisasi Serapan s/d


No Mata Anggaran (Rp) Setelah Bulan Lalu Desember Desember
Revisi ke 03 (Jan - Nop)
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Rekomendasi Teknololgi
Logistik Batubara Untuk
3494.003 Mendukung Ketahanan Energi

1 Belanja Bahan. 31,023,000 31,013,000 31,013,000 - 31,013,000


Honor yang terkait dengan Output
2 Kegiatan. 339,200,000 126,060,000 124,360,000 - 124,360,000
Belanja Barang Non Operasional
3 Lainnya. 14,880,000 14,390,000 14,310,000 - 14,310,000
Belanja Modal Peralatan dan
4 Mesin 107,040,000 107,040,000 107,040,000 - 107,040,000
5 Belanja Perjalanan lainnya. 330,710,000 237,610,000 237,350,700 - 237,350,700
6 Belanja Jasa Lain 60,000,000 60,000,000 60,000,000 60,000,000
Jumlah 882,853,000 576,113,000 574,073,700 - 574,073,700
Serapan thd DIPA Setelah Revisi ke 03 99.65%
Serapan thd DIPA Awal 65.02%

Dalam melaksanaan pemantauan dan pengendalian kemajuan (PCM) program/


kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara Untuk Mendukung Ketahanan
Energi selama periode Januari s/d Desember 2013 dapat disimpulkan sebagai
berikut :

 Kegiatan WBS 1, yang dalam hal ini adalah kajian logistik batubara, yang terdiri dari
kajian jaringan darat dan kajian jaringan laut, maka secara garis besar aktivitasnya
yang dimulai dengan tahapan persiapan pada Triwulan I, tahap survey dan
koordinasi teknis pada Triwulan II, tahap analisis pada Triwulan III dan tahap
pelaporan maupun rekomendasi pada Triwulan IV, pelaksanaannya berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan;

 Kegiatan WBS 2, dalam hal kajian pengembangan kapal khusus pengangkut


batubara, yang meliputi desain kapal khusus pengangkut batubara, dan pemodelan
kapal khusus penangkut batubara, maka secara garis besar aktivitasnya yang
dimulai dengan tahapan persiapan pada Triwulan I, tahap survey dan koordinasi
teknis pada Triwulan II, tahap analisis pada Triwulan III dan tahap pelaporan
maupun rekomendasi pada Triwulan IV, pelaksanaannya berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan;
Page 30 of 183
 Kegiatan WBS 3, dalam hal kajian pengembangan pelabuhan khusus batubara,
yang terdiri dari kajian desain pelabuhan khusus batubara, dan kajian pemodelan
pelabuhan khusus batubara, maka secara garis besar aktivitasnya yang dimulai
dengan tahapan persiapan pada Triwulan I, tahap survey dan koordinasi teknis
pada Triwulan II, tahap analisis pada Triwulan III dan tahap pelaporan maupun
rekomendasi pada Triwulan IV, pelaksanaannya berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan;

 Kegiatan WBS 4, dalam hal kajian system rail veyor untuk transportasi logistik
batubara, yang terdiri dari kajian teknis rail veyor, dan kajian ekonomis rail veyor,
secara garis besar aktivitasnya yang dimulai dengan tahapan persiapan pada
Triwulan I, tahap survey dan koordinasi teknis pada Triwulan II, tahap analisis pada
Triwulan III dan tahap pelaporan maupun rekomendasi pada Triwulan IV,
pelaksanaannya berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan;

 Dari segi penyerapan anggaran, maka sesuai dengan gambaran realisasi


penyerapan anggaran di atas, dapat disampaikan bahwa sampai dengan akhir
tahun anggaran yaitu bulan Desember 2013 telah dapat terealisasi penyerapan
anggaran DIPA tahun 2013 sebesar Rp 574.073.700,- dari mata anggaran Belanja
Bahan, Belanja Perjalanan Lain, Belanja Honor, Belanja Barang non Operasional
Lainnya, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Perjalanan Lainnya, Belanja
Jasa lain, yang masing-masing teralokasi pada sub output Kajian Logistik Batubara,
Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara, Pengembangan
Pelabuhan Khusus Batubara, dan Kajian Rail Veyor untuk Transportasi Logistik
Batubara. Besar serapan tersebut nilainya 99,65% terhadap DIPA Revisi, atau
sebesar 65,02% terhadap DIPA Awal, sebagaimana Tabel 6 tersebut di atas.

Page 31 of 183
BAB 4 HASIL KEGIATAN PROGRAM DAN
PEMBAHASAN

4.1 KAJIAN LOGISTIK BATUBARA


Secara teoritis, sistem logistik merupakan area yang cukup luas dengan kompleksitas
permasalahan yang tidak sederhana, meskipun masalah yang hendak dikaji hanya
batubara. Menurut Council of Supply Chain Management Professionals, logistik adalah
bagian dari manajemen rantai pasok (supply chain) dalam perencanaan,
pengimplementasian, dan pengontrolan aliran dan penyimpanan barang, informasi,
dan pelayanan yang efektif dan efisien dari titik asal ke titik tujuan sesuai dengan
permintaan konsumen. Untuk mengalirkan barang dari titik asal menuju titik tujuan
akan membutuhkan beberapa aktivitas yang dikenal dengan aktivitas kunci dalam
logistik diantaranya:2
1. Customer service,
2. Demand forecasting/planning,
3. Inventory management,
4. Logistics communications,
5. Material handling,
6. Traffic and transportation,
7. Warehousing and storage
Adapun pokok bahasan yang akan diuraikan secara rinci pada BAB 4 ini adalah butir
ke 6 dari aktivias kunci kegiatan logistik, yaitu traffic and transportation.
Dalam kaitannya dengan traffic and transportation bagi kepentingan angkutan
batubara, secara teoritis ada tiga pendekatan yang dikenal apabila kita dihadapkan
dengan network konfigurasi jaringan pelayanan jasa transportasi, yaitu:

a. Jaringan Transportasi Milkrun


Kata Milkrun sendiri mengacu pada kisah abad ke 19 di dataran Eropa mengenai cara
para penjual susu mendistribusikan dagangannya kepada pembeli. Saat itu para
penjual susu sapi berkeliling desa membawa susu segar di dalam botol untuk dikirim
secara door to door ke setiap rumah yang menjadi pelanggannya.

2
Lambert, D.M.; Cooper, M.C. and Pagh, J.D. (1998): Supply chain management: implementation issues
and research opportunities, International Journal of Logistics Management, 9 (2), 1-19.

Page 32 of 183
Setiap kali si penjual susu tiba di muka rumah pelanggannya, ia akan mengambil botol
susu kosong yang ada didepan pintu yang telah disiapkan sebelumnya dan
menggantinya dengan botol susu yang berisi susu segar dari peternakannya. Model
pengiriman susu pada abad ke 19 di daratan eropa tersebut kemudian berkembang
menjadi salah satu model network logistic sistem – milkrun.

Gambar 2.
Model Jaringan Milkrun

Sistem milkrun procurement yang diadopsi dari model pengiriman susu di eropa pada
abad ke 19 dikembangkan menjadi suatu sistem distribusi barang dari dan sejumlah
pemasok dengan menggunakan satu kendaraan dan pada waktu yang bersamaan.
Secara sederhana dapat digambarkan pada sebuah industri pakaian jadi dimana
produksi terbagi menjadi beberapa rantai produksi. Kelompok pertama adalah
Kelompok tukang potong kain sesuai dengan disain, kelompok kedua adalah kelompok
tukang obras dari kain yang sudah dipotong, kelompok ketiga adalah kelompok tukang
jahit, dan kelompok keempat adalah kelompok akhir yang tugasnya memasang
menjahit, memasang kancing, dan memasukan kedalam plastik. Maka bekerjanya
sistem milkrun adalah sebuah kendaraan yang pada awalnya membawa kain dan
menyerahkan kain tersebut pada kelompok pertama sambil membawa hasil
pemotongan kepada kelompok kedua dan seterusnya3.

3
Froechlich, Lisa. (1999). Milkruns. Denso Production Control Supplier Manual Policies and Guidelines
(http://www.densocorp-na-dmmi.com)
Page 33 of 183
Sistem milkrun diterapkan pertama kali di industri otomotf di Indonesia pada tahun
1995. Dalam perkembangannya sistem ini telah diterapkan pada berbagai macam
industri dan perusahaan manufaktur otomotif.4 Hal-hal yang melatarbelakangi
pengembangan sistem milkrun adalah tingginya biaya transportasi, rendahnya efisiensi
kendaraan, tanggung jawab dan disiplin pemasok serta sulitnya pengontrolan
pengiriman oleh pembeli. Kurangnya disiplin pelayanan diindikasikan dengan
keterlambatan kedatangan.

Pelaksanaan sistem milkrun dapat menentukan rute, jadwal (waktu), jenis dan jumlah
komponen yang akan dikirim oleh beberapa truk dari para pemasok dengan asumsi
bahwa seluruh truk harus mengembalikan palet kosong ke pusat permintaan pesanan
(pabrik/perusahaan Keuntungan konsep milkrun adalah: (a) memperpendek jarak
tempuh rute peralanan; (b) meningkatkan efisiensi muatan kendaraan , (c) mengurangi
jumlah kendaraan yang digunakan; dan (c) penjadwalan yang lebih efisien.

b. Jaringan Transportasi Point to Point

Gambar. 3
Model Jaringan Point to Point

Jaringan transportasi point-to-point adalah sebuah jaringan pelayanan transportasi


yang sifatnya direct dari tempat asal ke tempat tujuan tanpa singgah di terminal antara
untuk menaikan atau menurunkan penumpang, barang atau jasa. Di Amerika Serikat,
termasuk juga Indonesia, jaringan pelayanan penerbangan adalah point-to-point.

4
Du T, Wang F K, & Lu P. (2007). A Real Time Vehicle Dispathing Sistem for Consolidating Milkruns.
Transportation Research Part E 43:565-577
Page 34 of 183
Namun sejak diberlakukannya The Airlines Deregulatian Act tahun 1978 sistem
pelayanan penerbagan berubah dan mengadopsi Hub and Spoke network sistem.

c. Jaringan Transportasi Hub and Spoke

Gambar. 4
Model Jaringan Hub and Spoke

Jaringan pelayanan transportasi hub-and-spoke adalah jaringan pelayanan transportasi


yang menyerupai sebuah ban sepeda. Dimana Hub adalah titik tengah dari sebuah ban
sepeda dan Spoke adalah jari-jari dari ban sepeda. Pola jaringan yang mengadopsi
Ban Sepeda dikembangkan menjadi sebuah pola jaringan pelayanan transportasi.
Pola jaringan pelayanan Hub and Spoke pada mulanya banyak dipergunakan di
industri penerbangan namun keuntungan yang diperolah dari penerapan pola jaringan
ban sepeda ini menyebakan industri transportasi darat dan transportasi laut
mengadopsi sistem ini untuk pola operasinya. Hasil kajian yang dilakukan mengenai
pola operasi Hub and Spoke menunjukan sistem ini memberi banyak keuntungan,
diantaranya:
 Dapat dicapai skala operasi yang lebih ekonomis karena: (a) Rute yang dilayani
sedikit, (b) Load factor muatan menjadi besar, (c) Frekuensi pelayanan menjadi
lebih banyak.
 Sumber daya di Hub dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dan operasi
jaringan di spoke menjadi lebih simple.
Akan tetapi pola operasi Hub and Spoke memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
adalah:

Page 35 of 183
 Karena pola jaringan yang sentralistik maka operasi day-to-day relatif tidak
flexible. Perubahan yang terjadi di Hub akan dengan sendirinya membawa
pengaruh terhadap pola pelayanan di Spoke.
 Total kapasitas barang dan jasa yang bisa dilayani oleh spoke akan sangat
tergantung dari kapasitas Hub sehingga perhitungan logistik untuk keseluruhan
pelayanan harus cermat dilakukan di Hub.

4.1.1 Transportasi Batubara Jaringan Darat


Batubara adalah salah satu sumber energi yang penting bagi dunia, yang digunakan
pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh dunia. Di banyak
negara angka-angka ini jauh lebih tinggi: Polandia menggunakan batu bara lebih dari
94% untuk pembangkit listrik; Afrika Selatan 92%; Cina 77%; dan Australia 76%. Batu
bara merupakan sumber energi yang mengalami pertumbuhan yang paling cepat di
dunia di tahun-tahun belakangan ini – lebih cepat daripada gas, minyak, nuklir, air dan
sumber daya pengganti.
Batu bara telah memainkan peran yang sangat penting ini selama berabad-abad –
tidak hanya membangkitkan listrik , namun juga merupakan bahan bakar utama bagi
produksi baja dan semen, serta kegiatan-kegiatan industri lainnya. Pentingnya
batubara bagi kegiatan industri telah mendorong upaya berbagai pihak untuk mencari
alternatif jaringan transportasi batubara dari pertambangan menuju tujuan akhir.
Seperti dipahami, pertambangan batubara selalu terletak di daratan karena batu bara
adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya
berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Penimbunan lanau dan sedimen lainnya,
bersama dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik)
mengubur rawa dan gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam.
Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan
yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut
mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut
menjadi gambut dan kemudian batu bara.
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan
Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang
berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan
batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang
disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite
Page 36 of 183
(batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan
jenis maturitas organik rendah.
Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan
warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh
suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu bara muda
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara
‘sub-bitumen’.Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsunghingga batu bara menjadi
lebih keras dan warnanyalebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’.Dalam
kondisi yang tepat, peningkatan maturitasorganik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit.

Gambar 5.
Sumber dan Terminal Batubara
Di Kalimantan Selatan

Berangkat dari tempat terbentuknya batubara dan sumber pertambangannya, maka


jaringan transportasi untuk angkutan batubara dari tempat asal ke tempat tujuan
terbagi menjadi dua jaringan transportasi. Pertama adalah jaringan transportasi darat,
termasuk didalamnya angkutan sungai. Jaringan transportasi darat mengangkut
batubara dari mulut tambang ke pelabuhan.
Moda transportasi yang berperan pada jaringan transportasi darat adalah truk dengan
berbagai ukuran, tongkang untuk angkutan sungai dengan bobot mati yang berbeda-
Page 37 of 183
beda. Jaringan yang kedua untuk transportasi batubara adalah jaringan transportasi
laut yang berperan mulai dari stockfile dipelabuhan sampai kepada pelabuhan tujuan.
Kapal dengan berbagai bobot mati sangat berperan dalam jaringan transportasi laut.
Untuk menggambarkan jaringan transportasi batubara, berikut ini akan diuraikan
transportasi batubara yang berasal dari dua lokasi pertambangan batubara, Antang
Gunang Meratus Coalmine (AGM) dan Sumber Kuria Coalmine (SKB) yang terletak di
Propinsi kalimantan Selatan. Karakteristik kedua perusahaan tersebut disajikan pada
Tabel. 8 sebagai berikut:
Tabel. 8
Karakteristik Usaha Antang Gunang Meratus Coalmine (AGM) dan
Sumber Kuria Coalmine (SKB)

Antang Gunang Meratus Coalmine (AGM)


30 Km sebelah Utara Loading Terminal di
Lokasi
Lok Butar – Ida Manggala
CCOW 22.433 Ha
Produksi 2.700.000 Ton/Tahun
Quality Sub-Bituminous
Energi Value 4900 kCal/Kg and 5200 kCal/Kg
Sumber Kuria Coalmine (SKB)
10 Km sebelah Timur Loading Terminal di
Lokasi
Lok Butar – Pualam Sari
CCOW 10,920 Ha
Produksi 300.000 Ton/Tahun
Quality Bituminous
Energi Value 6600 kCal/Kg and 6900 kCal/Kg
Sumber: B. Christiaan Joppe , Feasibility Study Coal Transport Kalimantan,
Delft Univerity of Technology, December 2011, Hal.46

Lokasi tambang batubara Antang Gunang Meratus Coalmine (AGM) terletak di Ida
Manggala sedangkan lokasi tambang Sumber Kuria Coalmine (SKB) terletak di Pualam
Sari. Batubara yang ditambang di Ida manggala diangkut ke Tatakan sebagai tempat
transit stockpile melalui jalur darat dengan truk 30 Ton. Jarak tempuh dari Ida
Manggala ke Tatakan adalah 26 Km. Demikian pula dengan batubara yang ditambang
oleh Sumber Kuria Coalmine (SKB). Batubara hasil tambang SKB diangkut dari
Pualam Sari melalui jalur darat dengan truk 30 ton. Jarak tempuh dari Pualam sari ke
ke Tatakan relatif pendek, yaitu sejauh 10 Km.
Batubara hasil tambang AGM dan SKB yang dikumpulkan di Tatakan sebagai tempat
transit stockpile. Dari Tatakan stockpile, batubara diangkut ke Lok Buntar dengan
menggunakan beberapa truk yang masing-masing memiliki kapasitas 10 ton, jarak dari
Tatakan ke Lok Buntar adalah sejauh 2 Km. Batubara yang terkumpul di Lok Buntar

Page 38 of 183
stockpile kemudian dimuat ke kapal tongkang 180 feet. Tongkang 180 feet kemudian
berlayar sejauh 29 Km menuju Sungai Puting. Selanjutnya dari Sungai Putting
stockpile batubara dipindahkan ke kapal tongkang yang lebih besar, 390 feet, untuk
diangkut sejauh 100 Km melalui sungai Barito ke Banjarmasin untuk diangkut ke tujuan
akhir melalui jalur laut dan menggunakan kapal batubara dengan bobot mati yang lebih
besar.

Gambar. 6
Jaringan dan Moda Transportasi Batubara
Di Kalimantan Selatan

Gambar. 7
Pelabuhan Khusus Batubara
Sungai Putting, Kalimantan Selatan
Page 39 of 183
Gambar. 8
Pelabuhan Muat Batubara Trisakti
Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Panjangnya jalur transportasi batubara dari sumber tambang ke stockpile, baik di


transit stokpile maupun stockpile akhir di pelabuhan, menyebakan biaya transportasi
batubara di jalur darat relatif mahal. Dari sudut pandang lingkungan hidup, kerusakan
jalan dan kerusakan lingkungan dalam arti luas menjadi phenomena yang tidak dapat
dihindarkan. Isu lingkungan hidup dan tingginya biaya transportasi jalur darat
mendorong pemikiran strategis untuk mengembangkan moda alternatif angkutan
batubara jalur darat, baik dengan railveyor, conveyer belt atau bahkan transportasi pipa
untuk mengalirkan batubara cair.

4.1.2 Transportasi Batubara Jaringan Laut


4.1.2.1 Pelabuhan Batubara
Pelabuhan dan kapal batubara adalah dua kata penting yang harus secara seksama
dipahami dalam mengkaji transportasi batubara pada sisi laut. Pelabuhan batubara
termasuk pelabuhan barang curah hasil tambang, di mana pelabuhan ini merupakan
pelabuhan khusus yang hanya melayani kegiatan pemuatan atau pembongkaran
batubara. Hal ini sesuai dengan UU No. 69 tahun 2001 tentang Kepelabuhan, Bab I
Pasal 1, ayat 5, yang menyebutkan bahwa pelabuhan khusus adalah pelabuhan yang
dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Oleh karena itu,

Page 40 of 183
pelabuhan ini mempunyai fasilitas khusus yang dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu fasilitas pelabuhan hanya untuk pemuatan dan fasilitas pelabuhan hanya untuk
pembongkaran
Dalam melakukan kegiatan pembongkaran maupun pemuatan batubara dari dan atau
ke kapal, dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu:
a. Pembongkaran muatan sendiri (self-unloading vessel), yaitu pembongkaran
muatan batubara yang dilakukan sendiri oleh kapal pengangkut batubara dengan
menggunakan belt conveyor pada kapal. Self-unloading vessel ditunjukkan pada
gambar berikut ini.
b. Loading dan unloading oleh suatu menara dibedakan menjadi dua macam
berdasarkan jenis gerakannya:
 Fix loader/unloader adalah suatu cara pembokaran maupun pemuatan
batubara dimana diperlukan pergerakan kapal disepanjang dermaga dalam
melakukan kegiatannya. Dalam hal ini alat pembongkaran maupun
pemuatan bersifat tetap atau tidak bergerak.
 Moving Loader/Unloader adalah salah satu cara pembongkaran maupun
pemuatan muatan di mana alat pembongkaran maupun pemuatan akan
bergerak dari satu palka (hold) ke palka yang lainnya dengan kapal tetap
tinggal pada suatu posisi yang tetap. (Tsinker, 2004)

Gambar. 9
Fixed Loader and Continues Bucket Ladder Unloader
Di Sungai Missipi, USA

Page 41 of 183
1) Pelabuhan Muat/Loading
Pelabuhan muat biasanya dilengkapi dengan alat pemuat yang berada di tepi pantai
untuk menuangkan muatan yang dibawanya dengan belt conveyor ke badan kapal.
Untuk menjaga keseimbangan kapal saat muat ataupun bongkar, harus ditentukan
palka mana yang dimuat atau dibongkar terlebih dahulu. Palka (hold) merupakan
semacam lubang pada ruang kapal yang berfungsi menyimpan barang-barang,
termasuk batubara. Misal pada kapal tersebut ada sembilan palka, maka pemuatan
atau pembongkaran harus dilakukan sedemikian rupa sehingga keseimbangan kapal
tetap terjaga. Ada tiga metode loading yang digunakan pada pemuatan batubara, yaitu:
pemuatan homogen (homogeneous loading), pemuatan metode palka bergantian
(alternate hold loading), dan pemuatan blok (block loading).
a) Metode homogeneous loading ditunjukkan pada gambar 2.3 adalah salah satu
cara di mana jumlah yang sama dari muatan diisi seragam pada masing-masing
hold. Metode ini adalah yang paling sering digunakan pada pemuatan batubara.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada perencanaan muatan yang homogen
untuk mengurangi resiko muatan bergeser.
b) Metode alternate hold loading digunakan ketika muatan dengan kepadatan
tinggi diangkut untuk menaikkan titik pusat gravitasi. Yang perlu diperhatikan
pada metode alternate hold loading adalah pada tahapan desain. Struktur lokal,
dinding pemisah kapal (bulkheads), puncak tangki (tanktop), dan corong tuang
(hopper) harus berukuran cukup untuk menerima penambahan berat. Supaya
ketinggian dinding baja aman dan tidak dibangun berlebihan pada semua hold,
hanya hold ini yang akan diisi dan diperkuat. Sebagai tambahan pada struktur
lokal, pemuatan ini bisa mempengaruhi tinggi dan kekuatan pada dinding
pemisah kapal (bulkheads).
c) Metode block loading ditunjukkan pada gambar 2.5 adalah serupa dengan
metode alternate hold loading kecuali pada hold yang bersebelahan bisa diisi
pada blok rencana. Dengan kata lain, dua pasang dari hold yang bersebelahan
akan diisi dengan satu hold kosong di antara mereka. Skema pemuatan ini
digunakan ketika sebuah kapal terisi sebagian. Ketika merencanakan block
loading, hal ini sangat penting, mengingat akan berat dan distribusi daya apung
pada blok kargo.
Pada proses pemuatan batubara sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a)
fix-loader, yaitu cara pemuatan batubara di mana diperlukan pergerakan kapal
Page 42 of 183
sepanjang dermaga dalam melakukan kegiatannya. Dalam hal ini alat pembongkaran
maupun pemuatan bersifat tetap atau tidak bisa bergerak. (b) moving-loader, yaitu cara
pemuatan batubara di mana alat pemuatan akan bergerak dari satu palka (hold) ke
palka yang lainnya dengan kapal tetap tinggal pada suatu posisi yang tetap. Pada cara
moving-loader ini dapat dikelompokan lagi menjadi traveling loader, radial loader, dan
linier loader, dengan banyak variasi dari tiap-tiap jenisnya.

2) Pelabuhan Bongkar/Unloading
Pelabuhan pembongkaran dilengkapi dengan kran yang dapat bergerak di sepanjang
dermaga dengan menggunakan rel. Pada kran tersebut digantungkan ember (bucket)
yang dapat diturunkan di kapal untuk mengeruk muatan. Kemudian ember dan isinya
bergerak untuk menuangkan isinya di lapangan penimbunan, atau langsung ke alat
pengangkut di darat seperti truk, kereta api, atau belt conveyor. Meskipun muatan bisa
langsung dipindah dari kapal ke alat pengangkut di darat, namun sebaiknya juga tetap
disediakan lapangan penimbunan sementara di belakang dermaga supaya
pembongkaran di kapal tidak terganggu apabila terjadi keterlambatan/ kerusakan alat.
Berikut ini adalah contoh aktivitas pembongkaran batubara pada Pelabuhan Batubara
PLTU Tanjung Jati yang dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar.10
Pembongkaran Batubara
di Pelabuhan Batubara PLTU Tanjung Jati

Page 43 of 183
Beberapa cara pembongkaran batubara antara lain:

Gambar. 11
Traveling Clamshell Unloader di Ashkelon, Israel

a) Pembongkaran muatan sendiri (Self-unloader), yaitu kapal yang bisa


membongkar mautan sendiri untuk dikeluarkan ke pantai. Selfunloader ship
dapat memindahkan batubara pada suatu dok tanpa bantuan peralatan dari tepi
pantai. Panjang self-unloader ship berkisar dari 500 kaki sampai 1,000 kaki,
dapat mengangkut ke manapun dari 5,700 sampai 70,000 ton tiap perjalanan,
dan dapat self-discharge muatan rata-rata hingga 10,000 ton per jam. Salah
satu contoh dari self-unloader vessel adalah kapal Energi Enterprise.
b) Clamshell unloader yang menjulang di atas kuda-kuda yang berjalan di atas rel
paralel di muka dermaga. Ini adalah cara yang tradisional untuk membongkar
muatan suatu kapal. Metode ini bekerja dengan menggunakan sebuah bucket
dengan kapasitas yang sesuai di mana mesin ini bergerak sepanjang kapal
sehingga bucket ini bisa mengambil muatan pada tiap palka untuk dibongkar.
Pembongkaran kapal gaya ini tersedia pada kapasitas sampai 5.000 t/h dengan
daya muat hingga sebesar 85 ton. Salah satu contoh dari metode ini adalah
KONE Shipunloader dari Rodson Universal dengan kapasitas pembongkaran
batubara 20 ton tiap genggaman.

Page 44 of 183
Gambar. 12
KONE Shipunloader

c) Bucket-ladder continuous unloaders, yang mana terdiri dari sebuah garis sabuk
dari bucket yang dihubungkan lewat kawat tali atau rantai dan bersuspensi dari
sebuah lengan berengsel dan sistem elevator bucket untuk menyediakan
continuous unloading pada kapal. Bucket-ladder continuous unloaders ini secara
struktural didesain dengan koneksi bidang yang tetap dan diperlukan desain
tiang topang tanpa mengganggu kebebasan pergerakan yang lebih ketika
tongkang dipindahkan keluar dan masuk. Bucket-ladder continuous unloaders
berada tergantung di atas tiang topang sedangkan kapal yang berisi muatan
berada di bawahnya. Unloader bergerak sepanjang kapal dan memiliki lengan
yang bergerak sehingga memungkinkan akses ke seluruh area palka (hold)
kapal. Dari bucket ini muatan dibawa ke sistem conveyor untuk dibongkar dan
dibawa ke lokasi selanjutnya.

Gambar. 13
Bucket-ladder Unloaders Coal Unloader di Ghent, KY
Page 45 of 183
4.1.2.2 Kapal Khusus Batubara
a. Tongkang (Barges)
Untuk angkutan batubara ada dua jenis tongkang yang dapat dipergunakan, yaitu: (1)
Tug and Barge atau kapal tunda yang menarik tongkang dan (2) Self Propelled Barge
(SPB) atau kapal tongkang yang memiliki tenaga penggerak atau dikenal sebagai
tongkang bermesin.
Sistem Tug - Barge adalah sistem pengangkutan yang menggunakan sarana angkut
berupa tongkang sebagai ruang muat dan kapal tunda sebagai mesin penggeraknya.
Pengertian tongkang itu sendiri adalah alat apung yang berbadan lebar dan beralas
rata, serta umumnya mempunyai geladak yang digunakan untuk pengangkutan antara
daratan dan lautan.
Berdasarkan posisi muatan tongkang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu muatan atas
geladak dan didalam palka. Untuk tongkang yang membawa muatan dalam palka
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Tongkang yang membawa muatan cair seperti minyak (oil), bahan bakar, air
tawar dan sebagainya. Tongkang jenis ini biasanya beroperasi di pelabuhan,
digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak atau air tawar bagi kapalkapal
yang sedang berlabuh dan biasanya berukuran kecil. Untuk oil barge yang
beroperasi di sungai-sungai besar mempunyai kapasitas yang relative lebih
besar, pada jenis ini biasanya dilengkapi dengan pompa-pompa untuk
pengosonganmuatan (discharging pump).
2) Tongkang Lumpur, untuk melayani kapal keruk pada pengerukan pelabuhan,
sungai dan sebagainya. Tongkang jenis ini dibuat tanpa tutup palkah (hatch
cover)
3) Tongkang barang, pembawa muatan bulk (muatan curah), general cargo serta
muatan yang dimasukkan dalam karung (barge cargo). Jenis ini mempunyai
ruang palkah sebagaimana layaknya kapal barang atau bulk carrier. Ada yang
dirancang dengan penutup palkah ada pula yang dirancang tanpa penutup
palka.
Untuk batu bara kebanyakan menggunakan tongkang dengan jenis deck barge atau
muatan diatas geladak. Tongkang tidak memiliki consumables (bahan bakar dan air
tawar) namun memiliki tangki ballast dan pengaturan trim. Sedangkan kapal tunda
dapat diartikan sebagai kapal yang digunakan untuk mendorong atau membantu kapal
Page 46 of 183
lain dilaut dan untuk menarik tongkang-tongkang dipelabuhan, dan kapal ini memiliki
daya mesin yang besar.
Berdasarkan teknologi yang digunakan, sistem tug-barge ini dapat dibedakan menjadi:
1) Pull-Toward Tug-Barge Sistem, sistem ini menggunakan sistem tarik, sehingga
kapal tunda yang digunakan berfungsi untuk menarik tongkang dimana tali yang
digunakan menggunakan tali khusus yang dapat disesuiakan dengan
kebutuhan.
2) 1st Generation Push-Towed Tug-Barge, pada sistem ini tongkang yang
digunakan dirancang dengan notch berukuran kecil dibagian belakang sehingga
pada sistem ini tongkang hanya dapat didorong pada saat cuaca baik dan
gelombang yang kecil, untuk selebihnya maka tongkang harus ditarik.
3) 2nd Generation Push-Towed Tug-Barge Sistem, pada sistem ini tongkang
didesain dengan notch yang lebih dalam dan sudah menggunakan coupling
sehingga memungkinkan untuk kapal tunda mendorong tongkang pada saat
berlayar dilaut. Kelemahan pada sustem ketiga ini adalah kemampuan coupling
untuk mengikat kapal dengan tongkang yang terbatas pada saat sistem ini
berlayar pada cuaca yang buruk dan kondisi gelombang yang besar.
4) 3rd Generation Push-Towed Tug-Barge Sistem, ini adalah sistem tug-barge
yang telah menggunkan teknologi coupling lebih baik daripada sistem
sebelumnya, maka kapal dapat mendorong tongkang dalam segala kondisi
gelombang dan cuaca.
Karakteristik dari sistem tug-barge yang saat ini digunakan adalah :
1) Dengan menggunakan dua unit yaitu kapal tunda sebagai unit penggerak dan
tongkang sebagai unit muatan maka memungkinkan sistem operasi ini memiliki
fleksiblitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapal pada umumnya.
Dengan terpisahnya sistem ini menjadi dua unitt memungkinkan juga sistem ini
melakukan pola operasi drop and swap.
2) Biaya investasi yang dikeluarkan lebih rendah dibandingkan dengan kapal
dengan kapasitas yang sama. Total biaya konstruksi tug-barge 57%-68% lebih
rendah dan juga biaya awak kapal dan provision 55%-60% lebih rendah bila
dibandingkan dengan kapal yang memiliki kapasitas yang sama, hal ini dengan
catatan bahwa kecepatan tug-barge adalah 10-12 knot sedangkan kecepatan
kapal13-15 knot.

Page 47 of 183
3) Bila dibandingkan dengan kapal dengan kapasitas yang sama sistem ini
memiliki sarat air yang lebih rendah sekitar 65%-75%. Karakteristik ini
menguntungkan karena dapat digunakan sebagai alat angkut dengan kapasitas
yang lebih besar pada alur yang memiliki sarat air terbatas.
4) Dari segi pembangunan sistem tug-barge lebih mudah pada saat pembangunan
dan lebih mudah juga pada saat diadakan perbaikan. Konstruksi tongkang relatif
sederhana sehingga akan lebih mudah pada proses pembangunan dan
perbaikan.
Self Propelled Barge (SPB) ialah kapal yang mempunyai bentuk seperti tongkang
namun menggunakan tenaga pendorong sendiri. Bila dibandingkan dengan biaya
pembangunan kapal pada umumnya terlebih dengan kapal bulk carier, SPB
mempunyai biaya pembangunan yang lebih rendah 1/3 kali dari kapal bulk carier.
sehingga dapat disimpulkan pula bahwa biaya operasional SPB lebih rendah
dibandingkan dengan kapal bulk carier.

b. Bulk Carier atau Kapal Curah


Kapal-kapal pengangkut batubara biasanya berukuran besar yang bervariasi antara
20.000 DWT dan 100.000 DWT dan untuk kapal raksasa bisa mencapai 270.000 DWT
sampai 350.000 DWT. Biasanya biaya operasi kapal kapaltersebut sangat mahal, oleh
karena itu operasi bongkar muat di pelabuhan harus dapat dilakukan secepat mungkin.
Untuk itu peralatan bongkar muat harus mempunyai kapasitas tinggi. Berikut ini adalah
contoh-contoh kapal khusus batubara yang beroperasi dalam pelayaran samudera:

 Energi Enterprise
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : USA
Terdaftar : New Orleans
Pemilik : Enterprise Ship Co. Inc
Panjang Keseluruhan : 665’ 113/16”
Panjang B.P : 643’ 5”
Breadth Moulded : 56’ 00”
Draft (SSW) : 34’ 11/16”
Deadweight (SSW) : 38.234 LT

Page 48 of 183
Displacement (SSW) : 48.800 LT
Lightship Weight : 10.556 LT
Gross Registered Tons : 24.900 Tons
Net Registered Ton : 16.131 Tons
Holds/Cargo Tanks : 5
Service Speed : 14,47 Knots

 Sage Sagittarius
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : Japan
Pemilik : Nippon Yusen kaisha
L(oa) x L (bp) x B x D : 234,90 m x 226,00 m x 43.00 m x 25,40 m
DWT/GT : 105.500 t / 73.427 t
Peluncuran : Maret 2001
Kapasitas Unloading 2.240 M3/jam
:

Gambar. 14
Sage Sagittarius

Page 49 of 183
 Gurita Lintas Samudra
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : Japan
Pemilik : Nippon Yusen kaisha
L(oa) x L (bp) : 185,84 m x 177,00 m
DWT/GRT/NRT : 43.594/26.014/13.673
Kecepatan : 13,5 Knots
Tahun Pembuatan : 1986
Grain Space : 53.074,4 m3
Bale Space 52.279,8 m3

 Maple Hill
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : Japan
Pemilik : Ambitious Line S. A.
189.94 m x 182 m x 32.26 m x
L(oa) x L (bp) x B x D x d :
17,3 m x 12,282 m
DWT/GT : 53,452 t / 30,002 t
Peluncuran : 30 Maret 2006
Kapasitas Hold : 68,927.4 M3

Gambar. 15
Maple Hill

Page 50 of 183
4.1.2.3 Model Dasar Transportasi Laut Batubara
Secara khusus model transportasi berkaitan dengan masalah pendistribusian barang-
barang dari pusat – pusat pengiriman atau sumber ke pusat-pusat penerimaan atau
tujuan. Persoalan yang ingin dipecahkan oleh model transportasi adalah penentuan
distribusi barang yang akan meminimumkan biaya total distribusi. 5 Sehingga menjadi
sebuah keharusan apabila perencana transportasi memperhitungan faktor biaya
minimal dalam menentukan rute yang akan ditempuh, jenis angkutan yang akan
dipergunakan, serta kapasitas angkutan yang akan dipergunakan. Berkaitan dengan
uraian mengenai jaringan transportasi, kiranya menjadi sebuah pilihan apakah
batubara yang akan diangkut dari tempat asal ke tempat tujuan akan menggunakan
model pelayanan Milkrun, Point to Point, atau model jaringan transportasi Hub and
Spoke.

Gambar 16 tetang Model Dasar Jaringan transportasi memberi ilustrasi bahwa pilihan
pelayanan dapat dilakukan dari tempat asal barang (A1, A2, A3, Ain) menuju sebuah
pelabuhan atau terminal (P) setelah barang terkumpul di P maka selanjutnya
didistribusikan ke tempat tujuan (T1, T2, Tjn), dimana pelabuhan P berfungsi sebagai
HubNetwork transportasi seperti ini dikenal dengan pola jaringan Hub and Spoke.
Dapat juga terjadi barang dari A1 tidak dikumpulkan di P tapi langsung diangkut ke T1,
T2, dan Tjn. Network konfigurasi yang bersifat langsung dari A ke T disebut Point to
Point.

Konfigurasi jaringan pelayaran Hub and Spoke atau Point to Point seperti diuraikan
didepan menjadi dasar penentuan jenis kapal yang akan dipergunakan untuk sarana
angkuta. Secara teoritis pilihan terhadap konfigurasi pelayanan dan pilihan terhadap
jenis kapal yang dipergunakan bertujuan untuk meminimumkan biaya total distribusi,
yaitu:

5
Siswanto, (2007). “ Operasition Research jilid 1. Arlangga, Yogyakarta.
Page 51 of 183
A1
A2 T1

P
A3 T2

A..in T..jn

Gambar. 16
Model Dasar Jaringan Transportasi

MinCIj

Dimana:
Ai : Asal barang yang akan diangkut, untuk i ; 1, 2, …, n
Tj : Tujuan barang , untuk j ; 1,2, …. n
Ij : Biaya distribusi dari Ai ke Tj
P : Pelabuhan atau terminal sebagai tempat barang transit.
Karena ada i sumber dan j tujuan maka ada i x j kemungkinan distribusi dari
sumbersumber ke tujuan-tujuan. Di samping itu, masing-masing sumber mempunyai
kemampuan terbatas untuk menyediakan barang, sedangkan masing-masing tujuan
mempunyai tingkat permintaan tertentu untuk dipenuhi. Persoalan itu menjadi rumit
karena biaya angkut per satuan barang dari sumber i ke tujuan j berbeda. Oleh karena
itu, model harus bisa menentukan distribusi yang akan meminimumkan biaya total
distribusi dengan asumsi bahwa permintaan tidak melebehi kapasitas barang ceteris
paribus.
Tujuan dasar perencanaan transportasi adalah memperkirakan jumlah serta lokasi
kebutuhan akan transportasi pada masa mendatang atau pada tahun rencana yang
akan digunakan untuk berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi.6

6
Tamin O.Z, (2000), “Perencanaan dan Pemodelan Transportasi”, ITB, Bandung
Page 52 of 183
Pemilihan moda transportasi dari satu wilayah ke wilayah lain didasarkan pada
perbandingan antara berbagai karakteristik operasional moda transportasi yang
tersedia, baik waktu tempuh, tarif, waktu tunggu dan faktor lainnya. Demikian pula
halnya dengan rute, dimana pemilihan rute didasarkan pada perbandingan karakteristik
operasional setiap alternatif rute untuk setiap moda transportasi yang tersedia.
Dalam upaya menekan biaya transportasi maka perencanaan kebutuhan kapal untuk
angkutan batubara antar pulau perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:7
a. Besaran, fluktuasi, estimasi durasi dan arus alami
Informasi mengenai potensi arus barang dan penumpang lengkap dengan
proyeksi masa depan pada trayek yang direncanakan perlu diketahui agar dapat
ditentukan kelayakan pengadaan kapal serta dimensi dan jenis kapal. Kapal yang
akan dioperasikan harus memiliki nilai ekonomis berupa pendapatan yang akan
digunakan untuk membiayai biaya investasi, biaya operasional dan keuntungan
bagi operator untuk menjamin kelangsungan kapal dan operator. Dalam
prakteknya kapal juga memiliki nilai sosial, yaitu ikut dalam memperlancar
transportasi antar pulau yang berujung pada peningkatan pembangunan,
sehingga pada rute-rute tertentu walau secara ekonomis kurang menguntungkan
tetapi tetap dioperasikan dengan dukungan subsidi pemerintah.
b. Lokasi dan jarak antara pelabuhan
Penentuan lokasi dan jarak antar pelabuhan diperlukan untuk aspek ekonomis
yaitu penentuan tarif terhadap barang dan jasa dan aspek teknis yaitu penentuan
kapasitas consumable kapal yang berujung pada dimensi dan kapasitas total
kapal.
c. Jalur pelayaran dan panduan navigasi
Jalur pelayaran dan kondisi navigasi menentukan karasteristik bangunan kapal
dan perlengkapan kapal, termasuk perlengkapan keselamatan. Untuk kapal
dengan jalur pelayaran yang ramai atau rawan kecelakaan tentu akan berbeda
dengan kapal yang beroperasi pada jalur pelayaran yang sepi. Demikian juga
dengan kondisi alam sekitar jalur pelayaran.
d. Keandalan dari Pelayanan Pelabuhan

7
Erichsen Stian (1989),. “Management of Marine Design”, Butterworths, London Boston, Norwegian
Institute of Technology, Troundheim, Norway

Page 53 of 183
Pelayanan yang diberikan pelabuhan pada kapal mempengaruhi waktu sandar
dan operasional kapal di pelabuhan. Sehingga perencanaan kapal perlu
mempertimbangkan karakteristik pelayanan pelabuhan yang akan disinggahi agar
kapal dapat memberi kemudahan bagi pelayanan pelabuhan.
e. Fasilitas Pelabuhan
Fasilitas yang dimiliki pelabuhan sangat berpengaruh terhadap perencanaan
perlengkapan kapal, seperti penyediaan alat untuk material handling derek atau
crane, dan sebagainya. Atau bisa berpengaruh juga terhadap desain kapal secara
keseluruhan.
Disamping perencanaan kapal dan pelabuhan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah
pemilihan rute pelayaran. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan rute
pada saat seseorang melakukan perjalanan. Untuk transportasi laut dengan kapal
adalah satu-satunya pilihan moda transportasi, waktu tempuh, jarak dan biaya
merupakan parameter yang sangat mempengaruhi pemilihan rute. Salah satu
pendekatan yang paling sering digunakan adalah mempertimbangkan dua faktor utama
dalam pemilihan rute, yaitu biaya pergerakan dan nilai waktu. Biaya pergerakan
dianggap proporsional dengan jarak tempuh. Dalam beberapa model pemilihan rute
dimungkinkan penggunaan bobot yang berbeda bagi faktor waktu tempuh dan faktor
jarak tempuh untuk menggambarkan persepsi pengguna jasa transportasi dalam kedua
faktor tersebut. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa waktu tempuh
mempunyai bobot lebih dominan daripada jarak tempuh bagi pergerakan dalam satu
wilayah.
Waktu pelayaran untuk transportasi laut sangat dominan dalam pemilihan rute
pelayaran. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi waktu pelayaran semakin besar
biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa maupun oleh pihak penyedia jasa
pelayaran (kapal). Biaya operasional kapal akan meningkat seiring dengan
meningkatnya waktu berlayar. Permintaan jasa transportasi laut per tahun dapat
dijadikan sebagai dasar perencanaan rute. Besaran permintaan barang dan
penumpang per tahun tersebut kemudian menjadi indikator kapasitas transportasi dari
moda transportasi dalam bentuk rute-rute. Nilai kapasitas transportasi inilah yang
kemudian menjadi referensi dasar perhitungan rancangan parameter-parameter
operasional lain yang lebih detail, terutama dalam mengestimasi kapasitas angkut per
kapal, jumlah kapal, dan kapasitas angkut kapal secara total per tahunnya.

Page 54 of 183
Model umum penawaran ( supply ) ditujukan untuk mencari / mendapatkan total
kapasitas angkut yang harus disediakan. Pemodelan penawaran merupakan fungsi
dari jumlah armada, kapasitas angkut dan jarak yang ditempuh dapat dinyatakan
sebagai berikut :8

S = f (Jumlah kapal* Kapasitas angkut* Jarak Pelayaran)

S = f (Q)

Dimana
Q : f0 + fr

f : Nk x P

P : Lf x Cp x R trip

Rtrip : (365-Z)/T

T : Tsea + Tport

Tsea : Jarak pelayaran/Vs

S : Total Barang (ton)

Q : Total kapasitas angkutan (DWT)

f0 : Kapasitas kapal yang ada (DWT)

fr : Kapasitas kapal yang direncanakan (DWT)

Nk : Jumlah Kapal (unit)

P : Kapsitas angkut per-tahun (ton)

Cp : Kapsitas angkut per-unit (ton)

Lf : Load faktor

8
Stopford M. (1988)] , “ Maritime Economics “ Unwin Hyman Ltd, London
Page 55 of 183
Rtrip : Total trip kapal per-tahun (jam)

Z : Waktu kapal tidak beroperasi (jam)

T : Waktu yang dibutuhkan kapal per-trip (jam)

Tsea : Wakatu yang dibutuhkan kapal dalam pelayaran (jam)

Vs : Kecepatan kapal (jam)

Tport : Waktu yang dibutuhkan kapal di pelabuhan (jam)

Selanjutnya, muatan bersih ( pay load ) dari kapal yang direncanakan dapat ditentukan
dengan menggunakan hubungan, sebagai berikut :9

Muatan Bersih (Pb) = (0,65 – 0,85)DWT

4.1.3 Kelistrikan dan PLTU di Kawasan Timur Indonesia


a. Kebijakan Pengembangan Kapasitas Pembangkit
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) – RUPTL
2012-2012, pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik diarahkan untuk
memenuhi pertumbuhan beban yang direncanakan, dan pada beberapa wilayah
tertentu diutamakan untuk memenuhi kekurangan pasokan tenaga listrik.
Pengembangan kapasitas pembangkit juga dimaksudkan untuk meningkatkan
keandalan pasokan yang diinginkan, dengan mengutamakan pemanfaatan sumber
energi setempat, terutama energi terbarukan.
Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik sejauh mungkin dilakukan secara
optimal dengan prinsip biaya penyediaan listrik terendah (least cost), dengan tetap
memenuhi tingkat keandalan yang wajar dalam industri tenaga listrik. Biaya
penyediaan terendah dicapai dengan meminimalkan net present value semua biaya
penyediaan listrik yang terdiri dari biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya operasi
dan pemeliharaan, dan biaya energi not served. Tingkat keandalan sistem
pembangkitan diukur dengan kriteria Loss of Load Probability (LOLP) dan cadangan
daya (reserve margin). Pembangkit sewa dan excess power tidak diperhitungkan

9
Phoels H. , [ 1982 ], “ Ship Design And Ship Theory “ University of Hanover
Page 56 of 183
dalam membuat rencana pengembangan kapasitas jangka panjang, namun dalam
jangka pendek diperhitungkan untuk menggambarkan upaya PLN dalam mengatasi
kondisi krisis kelistrikan.
Namun demikian, sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk lebih banyak
mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan, pengembangan panas bumi
dan tenaga air tidak mengikuti kriteria least cost, sehingga dalam proses perencanaan
mereka diperlakukan sebagai fi xed plant. Namun perencanaan pembangkit panas
bumi dan tenaga air tetap memperhatikan keseimbangan supply – demand dan besar
cadangan yang tidak berlebihan, serta status kesiapan pengembangannya.
Pada beberapa daerah yang merupakan sumber utama energi primer nasional namun
telah lama menderita kekurangan pasokan tenaga listrik, yaitu Sumatera dan
Kalimantan, PLN mempunyai kebijakan untuk membolehkan rencana reserve margin
yang tinggi. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pelaksanaan proyek-proyek
pembangkit di Kalimantan dan Sumatera seringkali mengalami keterlambatan,
pembangkit existing telah mengalami derating yang cukup besar dan adanya
keyakinan bahwa tersedianya tenaga listrik yang banyak di Sumatera dan Kalimantan
akan memicu tumbuhnya demand listrik yang jauh lebih cepat11.
Untuk mengantisipasi terjadinya kelebihan pasokan pada sistem kelistrikan tertentu
yang reserve marginnya direncanakan sangat tinggi, PLN akan memonitor progres
implementasi proyek pembangkit dari tahun ke tahun. Apabila progres fi sik proyek
pembangkit berjalan baik, maka PLN akan mengimbanginya dengan mitigasi tertentu.
Mitigasi tersebut misalnya pemasaran agresif untuk menyeimbangkan penjualan
dengan pasokan, memastikan interkoneksi dengan sistem kelistrikan lain sehingga
dapat dilakukan power exchange, dan menunda jadwal proyek-proyek pembangkitan
berikutnya.
Pemilihan lokasi pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan
sumber energi primer setempat atau kemudahan pasokan energi primer, kedekatan
dengan pusat beban, prinsip regional balance¸ topologi jaringan transmisi yang
dikehendaki, kendala pada sistem transmisi, dan kendalakendala teknis, lingkungan
dan sosial.
Untuk memenuhi kebutuhan beban puncak, pembangkit berbahan bakar BBM tidak
direncanakan lagi. Untuk selanjutnya PLN hanya merencanakan pembangkit beban
puncak yang beroperasi dengan gas (LNG, mini LNG, CNG). Apabila ada potensi, PLN
lebih mengutamakan pembangkit hidro, seperti pumped storage, PLTA peaking
Page 57 of 183
dengan reservoir. Proyek PLTGU berbahan bakar gas lapangan (gas pipa) hanya
direncanakan apabila terdapat kepastian pasokan gas. Dalam hal tidak tersedia
pasokan gas lapangan, maka PLTGU sebagai pembangkit medium (pemikul beban
menengah) menjadi tidak dapat direncanakan. Konsekuensinya sebagian pembangkit
beban dasar, yaitu PLTU batubara, dapat dioperasikan sebagai pemikul beban
menengah dengan capacity factor yang relatif rendah, walaupun untuk fungsi tersebut
PLTU batubara perlu dibantu oleh pembangkit jenis lain yang mempunyai ramping rate
tinggi seperti PLTG.
Pengembangan PLTU batubara skala kecil dan PLTGB (pembangkit listrik tenaga
gasifi kasi batubara) skala kecil merupakan program untuk menggantikan pembangkit
listrik berbahan-bakar BBM pada sistem kelistrikan skala kecil yang belum dapat
dilayani melalui grid extension dalam waktu cukup dekat. Untuk sistem kelistrikan
Jawa-Bali, PLN telah merencanakan PLTU batubara kelas 1.000 MW dengan teknologi
ultra super critical untuk memperoleh efi siensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang
lebih rendah. Penggunaan ukuran unit sebesar ini dimotivasi oleh manfaat economies
of scale dan didorong oleh semakin sulitnya memperoleh lahan untuk membangun
pusat pembangkit skala besar di Pulau Jawa. Pertimbangan lainnya adalah ukuran
sistem Jawa-Bali telah cukup besar untuk mengakomodasi unit pembangkit kelas 1.000
MW.
Secara umum pemilihan lokasi pembangkit diupayakan untuk memenuhi prinsip
regional balance. Regional balance adalah situasi dimana kebutuhan listrik suatu
region dipenuhi sebagian besar oleh pembangkit yang berada di region tersebut dan
tidak banyak tergantung pada transfer daya dari region lain melalui saluran transmisi
interkoneksi. Dengan prinsip ini, kebutuhan transmisi interkoneksi antar region akan
minimal. Namun demikian kebijakan regional balance ini tidak membatasi PLN dalam
mengembangkan pembangkit di suatu lokasi dan mengirim energinya ke pusat beban
melalui transmisi, sepanjang hal tersebut layak secara teknis dan ekonomis. Hal ini
tercermin dari adanya rencana untuk mengembangkan PLTU mulut tambang skala
besar di Sumatera Selatan dan menyalurkan sebagian besar energi listriknya ke pulau
Jawa melalui transmisi arus searah tegangan tinggi (high voltage direct current
transmission atau HVDC).
Situasi yang sama juga terjadi di sistem Sumatera, dimana sumber daya energi
(batubara, panas bumi dan gas) lebih banyak tersedia di Sumbagsel, sehingga di

Page 58 of 183
wilayah ini banyak direncanakan PLTU batubara dan PLTP yang sebagian energinya
akan ditransfer ke Sumbagut melalui sistem transmisi tegangan ekstra tinggi.
Kepemilikan proyek-proyek pembangkitan yang direncanakan dalam RUPTL
disesuaikan dengan kemampuan pendanaan PLN. Mengingat kebutuhan investasi
sektor ketenagalistrikan yang sangat besar, PLN tidak dapat secara sendirian
membangun seluruh kebutuhan pembangkit baru. Dengan demikian sebagian proyek
pembangkit akan dilakukan oleh listrik swasta sebagai independent power producer
(IPP). Berikut ini kebijakan PLN dalam mengalokasikan ownership proyek kelistrikan:
 Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek PLN apabila PLN telah
mendapat pendanaan dari lender, telah mempunyai kontrak EPC/penunjukan
pemenang lelang EPC, atau ditugaskan oleh pemerintah untuk melaksanakan
sebuah proyek pembangkit.
 Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek IPP apabila PLN telah
menandatangani PPA/Letter of Intent, PLN telah menyampaikan usulan kepada
pemerintah bahwa suatu proyek dikerjakan oleh IPP, atau pengembang swasta
telah memperoleh IUPTL dari Pemerintah.
 Proyek pembangkit yang belum direncanakan sebagai proyek PLN atau IPP
dimasukkan dalam kelompok proyek “unallocated”.
 PLTP: Sesuai dengan peraturan dan perundangan di sektor panas bumi,
pengembangan PLTP pada umumnya didorong untuk dikembangkan oleh swasta
dengan proses pemenangan WKP melalui tender oleh Pemda sebagai total
project. Sedangkan potensi panas bumi yang WKP-nya dimiliki oleh Pertamina
berdasar regulasi terdahulu, Pertamina dan PLN dapat bekerja sama
mengembangkan PLTP. Beberapa WKP PLTP di Indonesia Timur yang dimiliki
PLN akan dikembangkan sepenuhnya sebagai proyek PLN.

b. Kondisi Kelsitrikan Saat ini


Penjualan tenaga listrik pada lima tahun terakhir tumbuh rata-rata 8,5% per tahun
sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Page 59 of 183
Tabel 9
Penjualan Tenaga Listrik PLN (Twh)
Menurut Wilayah: 2007-2011

Wilayah 2007 2008 2009 2010 2011

120,0 127,6 133,1 145,7 158


Indonesia
8,5
 Pertumbuhan (%)
7,6 6,4 9,4 10,7

95,6 100,8 104,1 113,4 120,8


Jawa-Bali
6,5
 Pertumbuhan (%)
7,4 5,4 3,3 8,9

14,7 16,4 17,6 19,7 21,5


Sumatera
9,3
 Pertumbuhan (%)
7,9 11,9 7,2 11,6

3,9 4,2 4,7 5,1 5,7


Kalimantan
10,1
 Pertumbuhan (%)
7,6 8,2 9,6 10,3

3,9 4,2 4,6 5,1 5,6


Sulawesi
11,0
 Pertumbuhan (%)
10,2 7,3 8,8 10,7

Maluku, Papua dan Nusa 1,8 2,0 2,2 2,4 2,7


Tenggara
13,0
 Pertumbuhan (%)
12,3 8,3 9,9 10,7

Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pertumbuhan rata-rata penjualan listrik di Jawa-Bali
(6,3% per tahun) relatif lebih rendah daripada pertumbuhan rata-rata di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan penjualan
yang rendah di Jawa-Bali pada tahun 2007 disebabkan oleh adanya pengendalian
penjualan akibat keterbatasan kapasitas pembangkit pada tahun tersebut. Selanjutnya
pada tahun 2008 mulai terjadi krisis f nansial global hingga akhir tahun 2009 yang
menyebabkan penjualan tenaga listrik tahun 2009 hanya tumbuh 3,3%. Pertumbuhan
di Jawa pulih kembali dari dampak krisis keuangan global mulai tahun 2010.
Penjualan tenaga listrik di Sumatera tumbuh jauh lebih tinggi, yaitu rata-rata 9,6% per
tahun. Pertumbuhan ini tidak seimbang dengan penambahan kapasitas pembangkit
yang hanya tumbuh rata-rata 5,2% per tahun, sehingga di banyak daerah terjadi krisis
daya yang kronis hingga tahun 2009 dan diatasi dengan sewa pembangkit sepanjang
tahun 2010. Penjualan tenaga listrik di Kalimantan tumbuh rata-rata 9,2% per tahun,

Page 60 of 183
sedangkan penambahan kapasitas pembangkit rata-rata hanya 1% per tahun,
sehingga di banyak daerah terjadi krisis daya dan penjualan dibatasi.
Penjualan tenaga listrik di Sulawesi tumbuh rata-rata 9,6% per tahun, sementara
penambahan kapasitas pembangkit rata-rata hanya 2,7% per tahun. Hal ini telah
mengakibatkan krisis penyediaan tenaga listrik yang cukup parah hingga tahun 2009
khususnya di Sulawesi Selatan, dan pada tahun 2010 diatasi dengan sewa
pembangkit. Hal yang sama terjadi di daerah Indonesia Timur lainnya, yaitu Maluku,
Papua, dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Indonesia Timur diperkirakan masih berpotensi untuk meningkat lebih tinggi karena
daftar tunggu yang tinggi akibat keterbatasan pasokan dan rasio elektrifi kasi yang
akan terus ditingkatkan.

c. Ratio Elektifikasi
Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik
dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada. Perkembangan rasio elektrifi kasi
secara nasional dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 60,8% pada tahun
2007 menjadi 71,2% pada tahun 2011. Pada periode tersebut kenaikan rasio elektrifi
kasi pada wilayah-wilayah Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau
lainnya diperlihatkan pada Gambar 17.

Gambar 17.
Rasio Elektrifikasi Di Indonesia
Menurut Wilayah: 2007-2014

Page 61 of 183
Menurut PT. PLN (persero) pertumbuhan rasio elektrifi kasi yang tidak merata pada
masingmasing daerah, dengan rincian sebagai berikut:
1) Sumatera: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan sekitar 2,5% per tahun.
2) Sulawesi: pertumbuhan rasio elektrifikasinya sekitar 2,6% per tahun. Rasio
elektrifikasi naik cukup tajam pada tahun 2010 karena adanya pembangkit sewa.
3) Jawa-Bali: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan sekitar 1,2% per tahun.
4) Kalimantan: rasio elektrifikasi mengalami kenaikan cukup signifi kan mulai
tahun 2009 karena teratasinya masalah pembangkitan dengan adanya
beberapa pembangkit sewa.
5) Indonesia bagian Timur: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan 2,7% per
tahun. Kesulitan utama adalah keterbatasan kemampuan pembangkit dan
situasi geografis yang tersebar.

d. Kondisi Sistem Pembangkitan


Pada tahun 2011 kapasitas terpasang pembangkit PLN dan IPP di Indonesia adalah
34.275 MW yang terdiri dari 26.664 MW di sistem Jawa-Bali dan 7.611 MW di sistem-
sistem kelistrikan Wilayah Operasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Pembangkit
sewa tidak termasuk dalam angka tersebut.
Kapasitas terpasang pembangkit milik PLN dan IPP yang tersebar di sistem-sistem
Indonesia Barat dan Indonesia Timur pada saat ini adalah 7.611 MW dengan perincian
ditunjukkan pada Tabel 3.5. Kapasitas pembangkit tersebut sudah termasuk IPP
dengan kapasitas 1.007 MW. Walaupun kapasitas terpasang pembangkit adalah 7.611
MW, kemampuan netto dari pembangkit tersebut lebih rendah dari angka tersebut
karena banyak PLTD yang telah berusia lebih dari 10 tahun dan mengalami derating.
Beban puncak sistem kelistrikan Indonesia Barat dan Indonesia Timur mencapai 6.620
MW pada tahun 2011. Jika beban puncak dibandingkan dengan daya mampu
pembangkit pada saat ini dan apabila menerapkan kriteria cadangan 40%, maka
diperkirakan terjadi kekurangan sekitar 2.000 MW.

1) Masalah Mendesak
Masalah mendesak yang saat ini dihadapi PLN antara lain upaya memenuhi daerah-
daerah yang kekurangan pasokan listrik dan mengganti pembangkit berbahan bakar
minyak dengan bahan bakar non minyak serta melistriki daerah yang belum

Page 62 of 183
mendapatkan pasokan listrik, termasuk daerah-daerah perbatasan dan terpencil, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pada tahun 2011 sistem kelistrikan Sumatera pada dasarnya mengalami kekurangan
pasokan daya. Sistem Sumbagut hampir sepanjang tahun tidak mempunyai cadangan
operasi, sering mengalami defi sit dan mengoperasikan banyak pembangkit berbahan
bakar BBM (lebih dari 60%). Sistem Sumbagsel juga mengalami hal yang sama, yaitu
hampir sepanjang tahun tidak mempunyai cadangan operasi yang cukup, bahkan kira-
kira 4 bulan dalam setahun dalam kondisi defi sit daya. Gas, batubara dan hidro sudah
mengambil peran besar dalam pembangkitan di Sumbagsel.
Pada saat ini hampir 100% pasokan listrik di Kalimantan Barat bersumber dari
pembangkit berbahan BBM. Kecukupan dan keandalan pasokan masih relatif rendah
dengan cadangan pembangkitan yang tidak memadai. Kebutuhan listrik untuk daerah
perdesaan di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Sarawak juga masih belum
tercukupi.
Sistem kelistrikan di wilayah operasi Indonesia Timur tahun 2011 banyak yang dalam
kondisi krisis termasuk pada sistem-sistem yang melayani ibukota Provinsi yaitu sistem
Barito dan Mahakam di Kalimantan, sistem Sulsel, Kendari, Minahasa-Gorontalo dan
Palu di Sulawesi, sistem Lombok, Ambon, Ternate dan sistem Jayapura. Sistem-sistem
tersebut beroperasi dalam kondisi tanpa cadangan yang cukup sehingga apabila terjadi
gangguan pada salah satu pembangkit akan mengakibatkan pemadaman. Demikian
juga dengan kondisi sistem kecil yang melayani ibukota kabupaten, beberapa
diantaranya mengalami krisis dan bahkan sebagian diantaranya sudah mengalami defi
sit daya sehingga sering terjadi pemadaman.
Realisasi operasi sistem kelistrikan Jawa-Bali sepanjang tahun 2011 pada umumnya
berjalan normal dan aman, namun selama perioda beban puncak mengalami defi sit
daya sebanyak 165 kali sehingga dilakukan load curtailment, dan 104 kali dalam
kondisi kurang cadangan operasi. Hidrologi waduk kaskade Citarum selama tahun
2011 termasuk kategori kering, sehingga hanya berpoduksi 75% dari rencana. Transfer
listrik dari region timur/tengah ke region barat masih dalam batas termal dan stabilitas.
Sebagian besar GITET 500 kV mengalami tegangan di bawah standar37, demikian
juga dengan GI 150 kV. Namun demikian masih terdapat banyak ruas transmisi 150 kV
yang pembebannya telah melampaui kriteria keadalan N-1, terutama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Pembebanan sebagian besar trafo IBT 500/150 kV telah sangat

Page 63 of 183
tinggi, yaitu mendekati 80%-100%, demikian pula halnya dengan pembebanan trafo
150/20 kV.

2) Exit Policy Jangka Pendek


Kondisi kekurangan pasokan penyediaan tenaga listrik di wilayah operasi Indonesia
Barat dan Timur pada dasarnya disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian proyek
pembangkit tenaga listrik, baik proyek PLN maupun IPP.
Kondisi jangka pendek yang perlu diatasi adalah memenuhi kekurangan pasokan dan
menggantikan pembangkit BBM eksisting yang tidak efi sien serta menaikkan rasio
elektrifi kasi secara cepat pada daerah yang elektrifi kasinya tertinggal.
Tindakan yang telah dilakukan oleh PLN untuk menanggulangi hal tersebut meliputi
sewa pembangkit, pembelian energi listrik dari IPP skala kecil, bermitra/kerjasama
operasi pembangkit dengan Pemda setempat, pembelian excess power, percepatan
pembangunan PLTU batubara PerPres 71/2006, membangun saluran transmisi,
mengamankan kontinuitas pasokan energi primer dan memasang beberapa PLTS
centralized dan solar home sistem secara terbatas. Untuk membantu mengatasi
permasalahan pasokan listrik, PLN telah membeli semua potensi excess power yang
ada, namun jumlahnya masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga PLN
perlu menambahnya dengan menyewa pembangkit.
Upaya jangka pendek yang dilakukan PLN di Jawa Bali adalah mempercepat
pengadaan trafo 150/20 kV dan trafo IBT 500/150 kV, menambah kapasitas
pembangkit di Bali, mempecepat pembangunan kabel laut Jawa-Bali 150 kV sirkit 3
dan 4, memasang kapasitor di sistem Jakarta untuk perbaikan tegangan. Hal – hal
yang mendesak pada wilayah operasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur adalah
sebagai berikut:
a) Mempercepat penyelesaian proyek-proyek PLTU batubara dalam program FTP1
10.000 MW.
b) Mempercepat pembangunan proyek pembangkit milik PLN lainnya, seperti PLTA
Asahan III 174 MW, PLTA Peusangan 88 MW, PLTU Pangkalan Susu #3,4 2x200
MW, PLTG Kaltim Peaking 2x50 MW, PLTG/MG Bangkanai 4x70 MW, PLTU
Punagaya 2x100 MW38, PLTG/MG Makassar 150 MW, PLTG/MG Minahasa 50
MW dan PLTG/MG Lombok 60 MW serta banyak PLTU batubara skala kecil dan
PLTGB tersebar.

Page 64 of 183
c) Mempercepat pembangunan proyek-proyek pembangkit lainnya yang terdapat
dalam neraca daya
d) Secara khusus berikut ini disebutkan proyek-proyek pembangkit peaker untuk
memenuhi kebutuhan sistem kelistrikan:
 PLTG/MG Arun 200 MW dan PLTG/MG Pangkalan Brandan 200 MW yang
keduanya direncanakan beroperasi dengan gas yang akan dipasok dari
regasifi kasi LNG di Arun.
 PLTMG Sei Gelam 104 MW yang akan dipasok dari gas CNG Sei Gelam
sebesar 4,5 bbtud.
 PLTG/MG Jaka Baring 50 MW yang akan dipasok dari gas CNG Jaka Baring
sebesar 3 bbtud.
 PLTG/MG Riau 200 MW yang direncanakan akan dipasok dari gas Jambi
Merang sebesar 10 bbtud dan disimpan sebagai CNG.
 PLTG/MG Jambi 100 MW yang diharapkan dapat memperoleh gas dari
Jambi Merang dan disimpan sebagai CNG.
 PLTG/MG Lampung 100 MW yang diharapkan akan mendapatkan gas dari
beberapa alternatif sumber gas, juga perlu disimpan sebagai CNG.
 PLTG/MG Bangkanai 280 MW yang akan beroperasi dengan gas Bangkanai
20 bbtud dengan membangun fasilitas CNG.
 PLTG/ MG Makassar 150 MW dan PLTG/MG Minahasa 50 MW
direncanakan akan dipasok dari mini LNG. PLTG/MG Lombok 60 MW
direncanakan akan dipasok dengan gas CNG marine.

4.1.4 Rencana Penyediaan Tenaga Listrik 2012-2021


a. Perencanaan Pembangkit
Perencanaan sistem pembangkit bertujuan untuk mendapatkan konfigurasi
pengembangan pembangkit yang memberikan nilai NPV total biaya penyediaan listrik
termurah (least cost) dalam suatu kurun waktu periode perencanaan, dan memenuhi
kriteria keandalan tertentu. Konfi gurasi termurah diperoleh melalui proses optimasi
suatu objective function yang mencakup NPV dari biaya kapital, biaya bahan bakar,
biaya operasi dan pemeliharaan dan biaya energi not served. Selain itu diperhitungkan
juga nilai sisa (salvage value) dari pembangkit yang terpilih pada tahun akhir perioda
studi. Simulasi dan optimisasi dilakukan dengan menggunakan model yang disebut
WASP (Wien Automatic Sistem Planning).
Page 65 of 183
Kriteria keandalan yang dipergunakan adalah Loss of Load Probability (LOLP) lebih
kecil dari 0,274%46. Hal ini berarti kemungkinan/probabilitas terjadinya beban puncak
melampaui kapasitas pembangkit yang tersedia adalah lebih kecil dari 0,274%.
Perhitungan kapasitas pembangkit dengan kriteria LOLP menghasilkan reserve margin
tertentu yang nilainya tergantung pada ukuran unit pembangkit (unit size), tingkat
ketersediaan (availability) setiap unit pembangkit, jumlah unit, dan jenis unit47.
Pada sistem Jawa Bali, kriteria LOLP < 0,274% adalah setara dengan reserve margin >
25-30% dengan basis daya mampu netto48. Apabila dinyatakan dengan daya
terpasang, maka reserve margin yang dibutuhkan adalah sekitar 35%49. Sedangkan
untuk sistem-sistem di wilayah operasi Indonesia Timur dan Barat, reserve margin
ditetapkan sekitar 40% dengan mengingat jumlah unit pembangkit yang lebih sedikit,
unit size yang relatif besar dibandingkan beban puncak, derating yang prosentasenya
lebih besar, dan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding Jawa-Bali.
Pembangkit energi terbarukan, khususnya panas bumi dan tenaga air, dalam proses
optimisasi diperlakukan sebagai fi xed sistem (dipaksa/ditetapkan masuk sistem) pada
tahun-tahun yang sesuai dengan kesiapan proyek tersebut. Rencana pengembangan
kapasitas pembangkitan dibuat dengan memperhitungkan proyek-proyek yang sedang
berjalan dan yang telah committed, baik proyek PLN maupun IPP, dan tidak
memperhitungkan semua pembangkit sewa serta excess power. Selain itu beberapa
pembangkit berbahan bakar minyak yang sudah tua, tidak efi sien dan dapat digantikan
perannya dengan PLTU batubara, diasumsikan akan dihapuskan (retired) atau
dijadikan sebagai pembangkit stand-by yang tidak dioperasikan tetapi tetap dipelihara
(mothballed).
Selanjutnya penambahan kapasitas pembangkit pemikul beban dasar diutamakan
berupa pembangkit berbahan bakar batubara, dan pembangkit sumber energi
terbarukan (panas bumi dan tenaga air tertentu). Untuk kepentingan perhitungan
proyeksi BPP jangka panjang, simulasi produksi dilakukan dengan menggunakan
neraca daya yang telah dimodifi kasi dengan mengeluarkan proyek-proyek pembangkit
yang realisasinya diperkirakan tidak pasti.

b. Asumsi Prakiraan Kebutuhan Listrik


Merujuk pada Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan, PLN selaku Pemegang Ijin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
kepentingan umum wajib menyediakan tenaga listrik secara terus-menerus, dalam
Page 66 of 183
jumlah yang cukup dan dengan mutu dan keandalan yang baik. Dengan demikian PLN
harus mampu melayani kebutuhan tenaga listrik saat ini maupun di masa yang akan
datang agar PLN dapat memenuhi kewajiban yang diminta oleh Undang-Undang
tersebut. Sebagai langkah awal PLN harus dapat memperkirakan kebutuhan tenaga
listrik paling tidak hingga 10 tahun ke depan.
Kebutuhan tenaga listrik pada suatu daerah didorong oleh tiga faktor utama, yaitu
pertumbuhan ekonomi, program elektrifi kasi dan pengalihan captive power ke jaringan
PLN. Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian yang sederhana adalah proses
meningkatkan output barang dan jasa. Proses tersebut memerlukan tenaga listrik
sebagai salah satu input untuk menunjangnya, disamping input-input barang dan jasa
lainnya. Disamping itu hasil dari pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan
pendapatan masyarakat yang mendorong peningkatan permintaan barang-
barang/peralatan listrik seperti televisi, pendingin ruangan, lemari es dan lainnya.
Akibatnya permintaan tenaga listrik akan meningkat.
Faktor kedua adalah program elektrifi kasi. Sebagai upaya PLN untuk mendukung
program pemerintah dalam meningkatkan rasio elektrifi kasi maka PLN perlu melistriki
semua masyarakat yang ada dalam wilayah usahanya. Hal ini secara langsung akan
menjaga eksistensi wilayah usaha PLN dan sekaligus meningkatkan rasio elektrifi kasi
di Indonesia, khususnya pada daerah-daerah yang telah menjadi wilayah usaha PLN.
PLN dalam RUPTL ini berencana untuk menambah pelanggan baru yang besar, yaitu
rata-rata 2,5 juta per tahun, sehingga rasio elektrifi kasi akan mencapai 92,3% pada
tahun 2021. Penambahan pelanggan baru tersebut tidak hanya mencakup mereka
yang berada di wilayah usaha PLN saat ini tetapi juga mencakup mereka yang berada
di luar wilayah usaha.
Faktor ketiga yang menjadi pendorong pertumbuhan permintaan tenaga listrik PLN
adalah pengalihan dari captive power (penggunaan pembangkit sendiri berbahan bakar
minyak) menjadi pelanggan PLN. Captive power ini timbul sebagai akibat dari
ketidakmampuan PLN memenuhi permintaan pelanggan di suatu daerah, terutama
pelanggan industri dan bisnis. Bilamana kemampuan PLN untuk melayani di daerah
tersebut telah meningkat, maka captive power ini dengan berbagai pertimbangannya
akan beralih menjadi pelanggan PLN. Pengalihan captive power ke PLN juga didorong
oleh tingginya harga BBM untuk membangkitkan tenaga listrik milik konsumen
industri/bisnis, sementara harga jual listrik PLN relatif lebih murah. Faktor ketiga ini
sangat bergantung kepada kemampuan pasokan PLN di suatu daerah/sistem
Page 67 of 183
kelistrikan dan skema bisnis jual beli listrik PLN dengan captive power, jadi tidak
berlaku umum.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kebutuhan listrik adalah
kemampuan finansial perusahaan untuk melakukan investasi dalam rangka melayani
pertumbuhan kebutuhan pelanggan dan masyarakat untuk mendapatkan pasokan
listrik yang cukup dan andal. Penyambungan pelanggan baru tergantung dari
ketersediaan pendanaan.
Penyusunan prakiraan kebutuhan listrik dibuat dengan menggunakan sebuah model
prakiraan beban yang disebut “Simple-E”. Model ini menggunakan metoda regresi yang
menggunakan data historis dari penjualan energi listrik, daya tersambung, jumlah
pelanggan, pertumbuhan ekonomi, dan populasi untuk membentuk persamaan yang fit.
Kemudian untuk memproyeksikan kebutuhan listrik ke depan dipilih variabel bebas
yang mempunyai pengaruh besar (korelasi yang kuat) terhadap permintaan listrik, yaitu
pertumbuhan ekonomi dan populasi. Dalam hal terdapat daftar tunggu yang cukup
besar, maka digunakan juga daya tersambung sebagai variabel. Aplikasi ini dilengkapi
juga dengan fasilitas melihat tingkat ketelitian dari model yang dibentuk seperti
parameter tingkat korelasi, dan uji statistik.

c. Prakiraan Kebutuhan Tenaga Listrik 2012-2021


Prakiraan kebutuhan listrik pada tahun 2021 akan menjadi 358 TWh, atau tumbuh rata-
rata 8,65% per tahun. Sedangkan beban puncak non coincident pada tahun 2020 akan
menjadi 61.750 MW atau tumbuh rata-rata 8,5% per tahun. Dibandingkan dengan
sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintah dalam RUKN tahun 2008-2027, rasio
elektrifikasi dalam RUPTL ini pada tahun 2015 diproyeksikan akan sedikit lebih tinggi
daripada RUKN (0,3%).

Page 68 of 183
Tabel 10
Pertumbuhan Ekonomi dan Proyeksi Kebutuhan
Tenaga Listrik dan Beban Puncak 2012-2018

Pertumbuhan Penjualan
Tahun Jumlah Beban Puncak
Ekonomi (%) Twh
2012 6,5 172,3 30,237
2013 7,2 187,8 32,770
2014 7,4 305,8 35,872
2015 6,9 225,1 39,209
2016 6,9 246,2 42,796
2017 6,9 266,8 46,291
2018 6,9 287,3 49,891
Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

Proyeksi prakiraan kebutuhan listrik periode 2012–2021 ditunjukkan pada Gambar 18.
Pada periode 2012-2021 kebutuhan listrik sistem Jawa Bali diperkirakan akan
meningkat dari 132,4 TWh pada tahun 2012 menjadi 259,4 TWh pada tahun 2021,
atau tumbuh rata-rata 7,9% per tahun. Untuk Indonesia Timur pada periode yang
sama, kebutuhan listrik akan meningkat dari 14,2 TWh menjadi 36,7 TWh atau tumbuh
rata-rata 11,4% per tahun. Wilayah Indonesia Barat tumbuh dari 25,7 TWh pada tahun
2012 menjadi 62,2 TWh pada tahun 2021 atau tumbuh rata-rata 10,5% per tahun.

Gambar 18.
Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2012 dan 2021

Page 69 of 183
d. Rencana Pengembangan Pembangkit
Kandidat pembangkit yang digunakan pada simulasi penambahan pembangkit di
Indonesia Barat dan Timur cukup bervariasi tergantung kepada kapasitas sistem.
Untuk sistem Sumatera misalnya, kandidat PLTU batubara adalah 100 MW, 200 MW,
300 MW dan 400 MW. PLTG pemikul beban puncak 100 MW. Untuk sistem Kalimantan
dan Sulawesi, kandidat PLTU batubara adalah 25 MW, 50 MW dan 100 MW dengan
PLTG pemikul beban puncak 25-30 MW dan 50 MW. Sistem lainnya menggunakan
kandidat pembangkit yang lebih kecil.
Pada sistem Jawa-Bali, kandidat pembangkit yang dipertimbangkan untuk rencana
pengembangan adalah PLTU batubara ultra supercritical kelas 1.000 MW dan
supercritical 600 MW, PLTGU LNG/gas alam 750 MW, PLTG BBM pemikul beban
puncak 200 MW dan PLTA Pumped Storage 250 MW52. Selain itu terdapat beberapa
PLTP kelas 55 MW dan 110 MW, serta PLTA. PLTN jenis pressurised water reactor
kelas 1.000 MW juga disertakan sebagai kandidat dalam model optimisasi
perencanaan pembangkitan.
Pemilihan ukuran unit PLTU batubara untuk sistem Jawa-Bali sebesar 1.000 MW per
unit didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan kesesuaian dengan ukuran sistem
tenaga listrik Jawa-Bali yang beban puncaknya sudah akan melampaui 25.000 MW.
Asumsi harga bahan bakar dapat dilihat pada Tabel .11.

Tabel 11
Asumsi Harga Bahan Bakar

Jenis Energi Primer Harga Nilai kalor


Batubara-Sub Bituminous US $ 80/Ton 5.100 Kcal/Kg

Batubara-Lignite US $ 50/Ton 4.200 Kcal/Kg

Batubara-Lignite di Mulut Tambang US $ 35/Ton 4.200 Kcal/Kg

Gas Alam US $ 6/MMBTU 252.000 Kcal/MCF

LNG US $ 13/MMBTU 252.000 Kcal/MCF

HSD US $ 0.78/Liter 9.070 Kcal/L

MFO US $0,62/Liter 9.370 Kcal/L

Uap Panas Bumi - -

Bahan Bakar Nuklir US $ 1400/Kg -


Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

Page 70 of 183
e. Program Percepatan Pembangkit Berbahan Bakar Batubara (Perpres No.
71/2006 jo Perpres No.59/2009)
Dengan Peraturan Presiden No. 71 tahun 2006 yang direvisi dengan Peraturan
Presiden No. 59 tahun 2009, Pemerintah telah menugaskan PT PLN (Persero) untuk
membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebanyak kurang lebih 10.000
MW untuk memperbaiki fuel mix dan sekaligus juga memenuhi kebutuhan demand
listrik di seluruh Indonesia. Program ini dikenal sebagai “Proyek Percepatan
Pembangkit 10.000 MW”. Berdasar penugasan tersebut PLN pada saat ini tengah
membangun sejumlah proyek pembangkit dengan kapasitas dan perkiraan tahun
operasi diperlihatkan pada Tabel 12.

Tabel 12
Proyek Percepatan Pembangkit 10.000 MW Tahap I
Di Indonesia Timur - Peraturan Presiden No.71/2006 jo
PerPres No.59/2009 – September 2012

Kapasitas
Nama Pembangkit COD
(MW)
PLTU 1 di Kalbar (Parit Baru) 2 x 50 2014
PLTU di Kaltim (Kariangau) 2 x 110 2014
PLTU 1 di Kalteng (Pulang Pisau) 2 x 60 2014
PLTU di Kalsel (Asam-asam) 2 x 65 2013
PLTU 2 di Sulut (Amurang) 2 x 25 2012
PLTU di Gorontalo 2 x 25 2014
PLTU di Maluku Utara (Tidore) 2x7 2013
PLTU 2 di Papua (Jayapura) 2 x 10 2013
PLTU 1 di Papua (Timika) 2x7 Batal
PLTU di Maluku (Ambon) 2 x 15 2013-2014
PLTU di Sultra (Kendari) 2 x 10 2012
PLTU di Sulsel (Barru) 2 x 50 2012-2013
PLTU 2 di NTB (Lombok) 2 x 25 2013
PLTU 1 di NTT (Ende) 2x7 2013
PLTU 2 di NTT (Kupang) 2 x 16,5 2013
PLTU 1 di NTB (Bima) 2 x 10 2014
PLTU 1 di Sulut 2 x 25 2014
PLTU 2 di Kalteng 2x7 Batal
Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

Sampai dengan September 2012 pembangunan Proyek PerPres 71 yang telah selesai
dan beroperasi komersial adalah PLTU Labuan (2x300 MW), Suralaya Unit 8 (625
MW), Indramayu (3x330 MW), Lontar (3x315 MW), Rembang (2x315 MW) dan Paiton

Page 71 of 183
Unit 9 (660 MW). Untuk Indonesia Barat dan Timur belum ada proyek PLTU batubara
yang beroperasi komersial per September 2012.

Gambar 19.
10.000 MW Fast Track Program Phase I10

Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tahap 2 (FTP2) yang ditetapkan


dengan Peraturan Presiden No. 4 tahun 2010 jo Peraturan Presiden No. 48 tahun 2011
dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 02/2010 jo Peraturan
Menteri ESDM No. 15/2010 jo Peraturan Menteri ESDM No. 01/2012 mempunyai
kapasitas total 10.047 MW yang terdiri dari PLTU batubara 3.025 MW, PLTP 4.925
MW, PLTGB 64 MW, PLTG 280 MW dan PLTA 1.753 MW, dengan rincian pada Tabel
13.
Tabel 13
Rekapitulasi Proyek Percepatan Pembangunan
Pembangkit Listrik Tahap 2

Pemilik Unit PLTA PLTG PLTGB PLTP PLTU Jumlah


PLN MW 1.269 280 64 340 1.840 3.757
IPP MW 484 0 0 4.585 1.221 6.290
Jumlah MW 1.753 280 64 4.925 3.025 10.047
Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

10
INDONESIAN Energi Council 2011
Page 72 of 183
Proyek-proyek berikut telah dibatalkan dari FTP2: PLTGU Muara Tawar add-on Blok 3-
4, PLTU Bali Timur, PLTP Darajat, PLTP Salak, PLTGU Senoro, PLTU Masohi, PLTU
Waingapu, PLTU Moutong. Selain itu juga terdapat proyek yang dikeluarkan dari FTP2
karena telah didanai dengan APBN yaitu PLTU Sampit, PLTU Kotabaru, PLTU Tidore
dan PLTG Kaltim (peaking).

Gambar 20
Komposisi Pembangkit Listrik
10.000 MW Fast Track Program Phase II11

Di samping itu juga terdapat beberapa proyek yang telah berubah status, yaitu PLTGU
Bangkanai (IPP) menjadi PLTG/PLTMG Bangkanai (PLN), dan beberapa PLTU kecil
menjadi PLTGB. Beberapa proyek pembangkit EBT khususnya PLTA dan PLTP telah
ditambahkan dalam FTP2, yaitu PLTA Rajamandala, PLTA Bonto Batu, PLTA Malea,
PLTA Wampu, PLTA Semangka, PLTA Hasang dan PLTA Peusangan-4. Sedangkan
proyek PLTP tambahan adalah PLTP Gunung Endut, PLTP Gunung Ciremai, PLTP
Suoh Sekincau, PLTP Wai Ratai, PLTP Danau Ranau, PLTP Simbolon Samosir, PLTP
Sipoholon Ria-Ria, PLTP Bonjol dan PLTP Mataloko.
Porsi pembangkit EBT (PLTP dan PLTA) dalam FTP2 akan menjadi 66%.
Pengembangan ini merupakan bagian dari rencana yang lebih besar lagi dalam
RUPTL yang mencapai 12.126 MW hingga tahun 2020. Program Percepatan
Pembangunan Pembangkit Tahap 2 sebesar 10.047 MW tersebut terdiri atas 3.757
MW sebagai proyek PLN dan 6.290 MW sebagai proyek IPP.

11
INDONESIAN Energi Council 2011
Page 73 of 183
4.1.5 Kebutuhan Batubara dan Sistem Tranportasi PLTU di Kawasan Timur
Indonesia
Untuk mendapatkan jaminan pasokan batubara bagi seluruh pembangkit-
pembangkitnya, PT PLN (Persero) melakukan pengikatan kontrak pasokan batubara
jangka panjang. Agar kontrak jangka panjang tersebut dapat berjalan dengan baik,
PLN perlu mendapatkan pemasok-pemasok batubara yang handal. Sebagaimana
pembangkit batubara eksisting, untuk penyediaan batubara bagi pembangkit-
pembangkit yang masuk dalam program Percepatan 10.000 MW Tahap 1, PLN sudah
membuat beberapa Perjanjian Jual Beli Batubara (PJBB) dengan beberapa pemasok
yang pasokannya seluruhnya berasal dari pulau Sumatera maupun Kalimantan.
Sumber pasokan batubara ini umumnya jauh dari lokasi PLTU, sehingga membutuhkan
transportasi laut dengan tongkang atau kapal. Bahkan sebagian masih memerlukan
tambahan angkutan melalui sungai, ataupun jalan darat dengan truk ataupun kereta
api. Namun, pada beberapa lokasi, PLN berhasil mendapatkan pasokan batubara dari
tambang-tambang di sekitar PLTU, yang mana hal tersebut lebih menjamin keandalan
pasokan batubara, harga relatif lebih murah dan sekaligus memberikan manfaat bagi
masyarakat dan ekonomi setempat. Besarnya tingkat kebutuhan batubara untuk
energi pembangkit listrik, dan terpusatnya daerah penambangan batubara serta
penyebaran pembangkit listrik di seluruh wilayah Indonesia, menyebabkan sistem
transportasi dan logistik guna memenuhi kebutuhan batubara di setiap PLTU menjadi
persolan yang memerlukan pemecahan.

a. Kebutuhan Batubara PLTU


Berdasarkan data RUPTL 2012-2021 dari PT. PLN (Persero) diketahui jumlah PLTU
yang ada dan yang sedang direncanakan untuk Kawasan Timur Indonesia khususnya
di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Pupua, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa
Tenggara Timur (NTT) mencapai 42 buah dengan total kapasitas 1.984 MW dan
tersebar di beberapa lokasi seperti disajikan pada Tabel 14.
Pulau Kalimantan yang memiliki cadangan batubara yang cukup besar di Indonesia
pada 10.000 MW Fast Track Program Phase I akan membangun PLTU dengan total
kapasitas 584 MW. Untuk membangkitkan tenaga listrik dengan kapasitas yang cukup
besar dibutuhkan sekurang-kurangnya 2,5 juta ton batubara per-tahun. Kapasitas
PLTU yang cukup besar juga akan dibangun di Pulau Sulawesi pada 10.000 MW Fast
Track Program Phase I. PLTU di Sulawesi akan dibangun di lima propinsi dengan
Page 74 of 183
kapasitas 270 MW. Untuk itu dibutuhkan sedikitnya 1,2 juta ton batubara per-tahun.
Apabila kebutuhan batubara untuk PLTU di Sulawesi adalah berasal dari sumber
tambang di Pulau Kalimantan, maka dapat dibayangkan padatnya lalu lintas batubara
di Selat Karimata. Dari jumlah tersebut, sampai saat ini PT. PLN Batubara baru
ditugaskan untuk memasok batubara ke 13 lokasi PLTU dengan sebaran sebagai
mana gambar peta berikut:
Tabel 14.
PLTU Di Indonesia Timur dan Kebutuhan Batubara
Nama Kapasitas Kebutuhan (Ton)
Pembangkit (MW) Per-tahun Per-bulan
KALIMANTAN:
PLTU 1 di Kalbar (Parit Baru) 100 425,839 35,487
PLTU di Kaltim (Kariangau) 220 936,846 78,070
PLTU 1 di Kalteng (Pulang Pisau) 120 511,007 42,584
PLTU di Kalsel (Asam-asam) 130 553,591 46,133
PLTU 2 di Kalteng 14 59,617 4,968
SULAWESI:
PLTU 2 di Sulut (Amurang) 50 171,000 14,250
PLTU 1 di Sulut 50 212,920 17,743
PLTU di Sultra (Kendari) 20 106,000 8,833
PLTU di Sulsel (Barru) 100 425,839 35,487
PLTU di Gorontalo 50 236,000 19,667
MALUKU:
PLTU di Maluku Utara (Tidore) 14 67,000 5,583
PLTU di Maluku (Ambon) 30 145,000 12,083
PLTU di Maluku (Sofifi) 6 17,000 1,417
PAPUA:
PLTU 2 di Papua (Jayapura) 20 96,000 8,000
PLTU 1 di Papua (Timika) 14 294,000 24,500
NTB:
PLTU 2 di NTB (Lombok) 50 212,920 17,743
PLTU 1 di NTB (Bima) 20 85,168 7,097
NTT:
PLTU 1 di NTT (Ende) 14 59,617 4,968
PLTU 2 di NTT (Kupang) 33 140,527 11,711
TOTAL KEBUTUHAN 1,055 4,755,890 396,324
Sumber :PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021

Permintaan terhadap batubara yang relatif besar juga dibutuhkan untuk pembangkit
PLTU di kepulauan Maluku. Seperti ditunjukan oleh Tabel 14, tiga tempat di Maluku,
yaitu Tidore, Ambon, dan Sofifi membutuhkan 299 ribu ton batubara per-tahun. Namun
rata-rata kebutuhan per-bulan untuk ketiga daerah kepulauan tersebut relatif kecil
sehingga pilihan moda transportasi laut yang tepat harus dilakukan agar biaya
Page 75 of 183
transportasi menjadi minimum. Disamping itu, daerah pemasok batubara menjadi
penting bagi Tidore, Ambon, dan Sofifi. Pilihan yang ada dapat dilakukan dengan
memilih batubara dari Kalimantan atau dari Papua karena kedua daerah ini merupakan
memiliki sumber batubara.

Gambar 21
Sumber Batubara PLN Batubara dan PLTU Tujuan12

Secara visual, Gambar 21 menunjukan bahwa untuk PLTU yang sudah dan akan
dibangun di kepulauan Maluku maka sumber yang berasal dari kepala burung Papua
yaitu Sorong, memiliki jarak yang relatif dekat apabila dibandingkan dengan sumber
batubara di kalimantan Timur maupun Kalimantan selatan.
Pada sisi lain, PLTU yang tersebar di Nusa Tenggara barat dan Nusa Tenggara Timur
akan lebih dekat apabila dipasok dari sumber batubara di kalimantan Selatan. Tabel 14
menunjukan bahwa PLTU di NTB dan NTT masing-masing membutuhkan pasokan
batubara sebanyak 298 ribu ton dan 200 ribu ton per-tahun. Empat PLTU yang terletak
di NTB dan NTT membutuhkan rata-rata kurang dari 15 ribu ton per bulan. Sebuah
jumlah yang relatif kecil apabila harus dilayani dengan kapal dengan ukuran yang
besar, meskipun ongkos angkut per-ton untuk kapal dengan ukuran besar relatif lebih
murah. Oleh karenanya konfigurasi transportasi dengan sistem Hub and Spoke
mungkin bisa dijadikan alternatif pelayanan untuk menekan biaya angkut batubara

12
PT PLN (Persero) Batubara, unpublihed data
Page 76 of 183
b. Sistem Transportasi Batubara PLTU Indonesia Timur.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa secara teoritis ada tiga pendekatan yang dikenal
apabila kita dihadapkan dengan network konfigurasi jaringan pelayanan jasa
transportasi, termasuk untuk angkutan batubara, yaitu: (1) Milkrun, (2) Point to Point,
dan (3) Hub and Spoke. Ketiga jenis transportation network tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan. Akan tetapi apabila pilihannya adalah mendapatkan biaya angkut
yang minimum maka sistem operasi yang mempertimbangkan pencapaian skala
ekonomis harus menjadi pilihan.
Berbagai studi menunjukan bahwa akibat penerapan Airines Deregulatian Act 1978 di
Amerika Serikat, jaringan pelayanan transportasi udara di Amerika Serikat mengalami
perubahan dari yang semula bersifat Point to Point menjadi sitem pelayanan Hub and
Spoke. Perubahan sistem jaringan pelayanan transportasi udara tersebut mendorong
semua maskapai penerbangan di Amerika Serikat menentukan satu atau dua airport
menjadi Hub dan menetapkan airport lainnya sebagai Spoke. Akibatnya, maskapai
penerbangan di Amerika Serikat memungkinkan untuk menggunakan pesawat
berbadan lebar dengan biaya per seat miles relatif murah, kompetisi antar maskapai
penerbangan menjadi terjadi dan pengguna jasa penerbangan membayar ongkos yang
relatif lebih murah untuk rute yang sama apabila dibandingkan dengan tarif
penerbangan sebelumnya
Keuntungan yang diperoleh dari sistem jaringan Hub and Spoke di dunia penrebangan
pada gilirannya diadopsi oleh moda transportasi laut maupun darat. Untuk moda
transpotasi laut, hasil studi yang dilakukan oleh Mihiro Sasaki – Nanzan Univerity dan
Masao Fukushima- Kyoto University pada tahun 2003 “ On The Hub-and-Spoke Model
With Arc Capacity Constraints” menunjukan keuntungan yang diperoleh melalui model
jaringan Hub and Spoke untuk operasi kapal laut. Pemikiran yang sama juga dihasilkan
oleh V. Zarei, I. Mahdavi *, R. Tavakkoli-Moghaddam & N. Mahdavi-Amiri melalui
kajiannya “ A Multi-Level Capacity Approach to the Hub and Spoke Network” yang
diterbitkan di International Journal of Industrial Engineering & Production Research
pada tahun 2013.
Secretariat of the Pacific Comumnity sebuah organisasi persemakmuran negara-
negara yang terletak di laut Pacifc mengajukan proposal tentang jaringan transportasi
laut dengan model Hub and Spoke untuk jaringan distribusi barang dan jasa bagi
negara-negara kecil di laut Pacific. Proposal yang diberi judul “Perspectives on
potential hub & spoke networks” menunjukan bahwa jaminan kebutuhan di negara-
Page 77 of 183
negara pacific dapat terlayani dengan baik dengan sistem jaringan yang menyerupai
ban sepeda ini.

Gambar 22
Shipping Routes, Mini-hubs and Transhipment Port
In the Pacific Regions

Sistem jaringan transportasi batubara di Indonesia Timur tampaknya tidak akan jauh
berbeda dengan transportation network di negara-negara Pacific. Hasil kajian yang
dilakukan oleh Chairani Rachmatullah (2012) “ Kemanan Pasokan Batubara Jangka;
Model jaminan Pasokan Batubara untuk PLTU di Indonesia Timur” menunjukan bahwa
sistem jaringan Hub and Spoke menunjukan adanya kesinambungan pasokan
batubara dengan biaya transportasi laut yang relatif rendah.
Dengan menggunakan 11 PLTU di Nusa Tenggara Timur sebagi bahan studi, Chairani
Rachmatullah menunjukan bahwa disamping pilihan asal pasokan batubara yang
berpengaruh terhadap biaya transportasi, konfigurasi angkutan batubara sangat besar
artinya pada biaya yang dapat dihemat oleh PLTU di Nusa Tenggara Timur. Seperti
ditunukan oleh Tabel 15, keseluruhan PLTU di Nusa Tenggara Timur membutuhkan
lebih dari 809 ribu ton batu bara per-tahun atau lebih dari 67 ribu ton per-bulan.

Page 78 of 183
Tabel 15.
PLTU Di Nusa Tenggara Timur dan Kebutuhan Batubara

Kebutuhan (ton)
PLTU MW Asal Pasokan
Tahun Bulan
PLTU Jiranjang 25 Kalsel/Kaltim 91,980 7,665
PLTU Sumbawa Barat 14 Kalsel/Kaltim 51,509 4,292
PLTU IPP Sumbawa 20 belum 73,584 6,132
PLTU Bima 20 Kalsel/Kaltim 73,584 6,132
PLTU Endog 50 Kalsel/Kaltim 183,960 15,330
PLTU Alor 6 Kalsel/Kaltim 22,075 1,840
PLTU Rote 6 Kalsel/Kaltim 22,075 1,840
PLTU Atambua 24 belum 88,301 7,358
PLTU Ende Ropa 14 Kalsel/Kaltim 51,509 4,292
PLTU Kupang 33 Kalsel/Kaltim 121,414 10,118
PLTGB IPP Larantuka 8 belum 29,434 2,453
Total 220 809,424 67,452
Sumber : Chairani Rachmatullah “ Kemanan Pasokan Batubara Jangka; Model jaminan Pasokan
Batubara untuk PLTU di Indonesia Timur” Agustus 2012

Untuk memenuhi kebutuhan batubara untuk pembnagkit listrik (PLTU) di NTT, PLN
Batubara mengupayakan pengadaan batubara dari Kalimantan Selatan atau
Kalimantan Timur. Jarak antara asal pasokan di Kalimantan Selatan atau Kalimantan
Timur adalah sekitar 80o Nautical Miles (NM) dari lokasi PLTU di NTT maka alternatif
pilihan transportasi batubara dari asal pasokan adalah menggunakan kapal tongkang
dengan bobot mati 10.000 DWT atau kapal curah dengan bobot mati 23.000 DWT.
Apabila jenis angkutan yang dipergunakan adalah kapal tongkang dengan bobot mati
10.000 DWT maka konfigurasi pelayanan adalah dedicated atau Point to Point dimana
kapal tongkang akan mengangkut 10.000 ton batubara dari tempat asal kemudian
disitribusikan ke 11 PLTU di NTT. Pilihan lain sebagai altenatif adalah menggunakan
kapal curah dengan bobot 23.000 ton batubara namun konfigurasi jaringan
menggunakan sistem Hub and Spoke. Terdapat penghematan biaya yang cukup
signifikan dari penggunaan kedua sistem jaringan transportasi. Gambaran yang lebih
jelas dari kedua alternatif jaringan transportasi batubara adalah sebagai berikut:
1) Jarak tempuh rata-rata : 800 NM
2) Kebutuhan batubara : 70.000 ton per bulan
3) Desain lama : dedicated, dengan tongkang 10.000 DWT
Page 79 of 183
4) Desain baru : hub and spoke, dengan vessel 23.000 DWT
Berdasarkan asumsi tersebut diatas, diperoleh hasil studi yang menunjukan bahwa
jaringan transportasi batubara dari Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur ke PLTU
di Nusa Tenggara Timur dengan konfigurasi Hub and Spoke menghemat biaya sebesar
Rp 15,8 milayar per-tahun. Penghematan dihasilkan dari beberapa faktor:
1) Penggunan kapal angkut batubara dengan kapasitas yang lebih besar untuk
volme angkut yang sama yaitu 809.424 ton per-tahun;
2) Ongkos angkut per-ton batubara lebih murah, yaitu sevesar Rp.19,6 per-ton
3) Trip pelayaran lebih sedikit untuk jarak yang sama, yaitu sebanyak 3 kali dalam
sebulan;
4) Jumlah hari layar lebih pendek yaitu sebanyak 12 hari.
Disamping faktor-faktor yang bersifat finansial, faktor lain yang sangat berarti dari
operasi pelayaran adalah kelancaran pelayaran sekalipun gelobang laut relatif tinggi,
yaitu 2,5 m atau lebih. Faktor kondisi laut dalam pelayaran menjadi penting karena
hambatan tinggi gelombang akan berpengaruh terhadap kesinambungan pasokan dari
tempat asal batubara ke tempat dimana PLTU berada. Kalkulasi biaya secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini:

Tabel 16.
Kalkulasi Biaya Angkut Batubara Untuk PLTU
di Nusa Tenggara Timur

Subyek Lama Baru


Waktu Berlayar 21 hari 12 hari

Trip per bulan 11 3

Kapasitas Kapal 10.000 ton 23.000 ton

Head Sea < 1,5 m > 2,5 m

Beam Sea <1m > 2,5 m

Biaya alat angkut Harga pasar Cost plus margin

Bahan bakar HSD MFO

Ongkos angkut (Rp/ton) 187.6 168

Volume Batubara/tahun 809,424 809,424

Total Ongkos angkut/tahun (Rp) 151,847,942 135,983,232

Penghematan Ongkos/tahun (Rp) 15,864,710


Sumber : Chairani Rachmatullah “ Kemanan Pasokan Batubara Jangka; Model Jaminan
Pasokan Batubara untuk PLTU di Indonesia Timur” Agustus 2012
Page 80 of 183
Berdasarkan studi jaringan pasukan batubara ke PLTU di Nusa Tenggara Timur,
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 17
Perbandingan Hasil Kalkulasi Sistem Jaringan
Dedicated, Hub and Spoke dan Milkrun

Hub and
Kriteria Dedicated Milk Run
Spoke
1 Risiko Pelayaran tinggi 
2 Waktu pelayaran > 20 hari

3 Investasi Jetty < 2 juta USD 


4 Investasi Jetty > 2 juta USD 
5 Investasi stockpile 
6 Memerlukan tongkang 10.000 DWT   
7 Memerlukan 1 unit SUL Vessel 23.000
 
DWT
8 Memerlukan 2 unit SUL Vessel 23.000

DWT
Sumber : Chairani Rachmatullah “ Kemanan Pasokan Batubara Jangka; Model Jaminan Pasokan
Batubara untuk PLTU di Indonesia Timur” Agustus 2012

Penghematan biaya angkut batubara yang diperoleh dari simulasi sistem jaringan
transportasi batubara Hub and Spoke untuk PLTU di Nusa Tenggara Timur akan bisa
diperoleh untuk jaringan pelayanan di Papua, Maluku, dan Sulawesi. Akan tetapi
pemikiran ini masih bersifat premature apabila digunakan sebagai alat penentu
kebijaksanaan. Kedepan diperlukan langkah-langkah yang lebih strategis melalui kajian
yang cukup mendalam apabila sistem transportasi batubara akan digunakan. Karena
sebuah sistem transportasi batubara yang murah, aman dan handal adalah sebuah
sistem yang harus dibangun secara komprehensif. Artinya, untuk sistem tarnsportasi
laut maka pilihan pelabuhan asal dan pelabuhan tujuan angkutan batu bara, moda laut
yang dipergunakan, dan sistem penangan di pelabuhan dan stockpile harus efektif dan
efisien. Demikian pula halnya untuk sistem transportasi darat.
Untuk itu, pendalaman mengenai sistem logistik batubara di Kawasan Timur Indonesia
harus dilakukan sampai ditemukannya sebuah model jaringan transportasi yang sesuai
dengan kondisi geografis wilayah.

Page 81 of 183
4.2 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KAPAL KHUSUS PENGANGKUT
BATUBARA

4.2.1 Desain Kapal Khusus Transportasi Batubara


Kapal khusus angkutan batubara merupakan sarana transportasi batubara dari coal
mining - stock pole - coal barge/ship - Transhipper/Mother vessel/PLTU.
Kapal khusus angkutan batubara di Indonesia secara umum terdiri dari tiga tipe yaitu :

a. Tug and barge


Tug and barge yaitu merupakan teknologi rangkaian sarana transportasi batubara yang
menurut jenisnya terdiri dari :
1) Pull - Toward Tug - Barge System
Pull - Toward Tug - Barge System atau yang umum disebut tongkang tarik yaitu sistem
menggunakan sistem tarik, dimana kapal tunda digunakan menarik tongkang (barge)
dengan tali khusus yang diameter dan jarak antar antar tug dan bargenya
dipersyaratkan tersendiri.

Gambar 23
Pull - Toward Tug - Barge System

2) Push - Towed Tug - Barge System


Push - Towed Tug - Barge System atau yang umum disebut tongkang dorong dimana
kapal tunda digunakan untuk mendorong tongkang. Dalam perkembangannya
teknologi tongkang dorong berkembang pada beberapa generasi khususnya teknologi
pengkitat antara tongkang dengan tug boat. Perkembangangan teknologi tongkang
dorong adalah sebagai berikut :
Page 82 of 183
a) 1 st Generation Push - Towed Tug - Barge yaitu sistem dimana tongkang
menggunakan notch berukuran kecil dibagian belakang sehingga pada sistem ini
kapal hanya dapat didorong pada saat cuaca baik dan gelombang kecil.
b) 2 nd Generation Push-Towed Tug-Barge yaitu sistem dimana tongkang
menggunakan notch yang lebih dalam dan dilengkapi kopling sehingga pada
sistem ini kapal sudah dapat didorong pada saat cuaca kurang baik dan
gelombang lebih besar, hanya kelemahan sistem kopling yang hanya mampu
untuk mengikat rangkaian tongkang terbatas.
c) 3 rd Generation Push-Towed Tug-Barge yaitu sistem dimana tongkang
menggunakan teknologi kopling yang lebih baik dari pada sebelumnya sehingga
pada sistem ini kapal dapar berlayar dalam segala cuaca.

Metode menjalankan tongkang dengan cara mendorong berasal dari sistem


transportasi di sungai-sungai besar di Amerika dan saat ini banyak digunakan secara
luas di banyak sungai besar di dunia. Tetapi sejarah penggunaannya sebagai sarana
transportasi di laut lepas masih belum lama yaitu baru sekitar 30 tahunan yang lalu,
dan bahkan sekarang pun tongkang dorong dianggap sebagai sarana transportasi
untuk rute-rute pendek dan bukan sarana transportasi trans-ocean. Hal ini terutama
karena kecepatan kombinasi tongkang dorong tidak begitu luar biasa dari kapal kargo
dan tanker konvensional pada beban dan daya mesin yang sama. Namun pada rute-
rute pendek dimana kecepatan dan biaya bahan bakar relatif tidak begitu signifkan
dibanding dengan biaya-biaya yang lain, tongkang dorong dengan biaya personil yang
lebih rendah menunjukkan keuntungan yang sangat baik dibandingkan dengan kapal
kargo konvensional. Misalnya ketika beberapa tongkang dioperasikan pada rute
pendek memberikan layanan seperti lighterage service (layanan angkutan barang dari
dan ke pelabuhan), yang mana selama ini menggunakan tongkang tarik konvensional,
setelah diperkenalkannya sistem pendorong yang dapat terkoneksi satu persatu ke
tongkang, didapatkan peningkatan efisiensi operasional melalui peningkatan kecepatan
berjalan dan menghemat waktu yang diperlukan untuk berlabuh (berthing-unberthing),
pertukaran tongkang dan juga meningkatkan keselamatan operasi. Keuntungan sistem
pendorong dibandingkan dengan penarik tongkang dapat dengan mudah dipahami dari
perbandingan dibawah ini;

Page 83 of 183
 Kombinasi tongkang dorong jauh lebih pendek daripada kombinasi tongkang yang
ditarik tugboat dengan menggunakan tali. Dari kombinasi ini tongkang dorong
memiliki tingkat keselamatan lebih tinggi.
 Tongkang dorong dapat menghentikan dirinya sendiri dengan daya sendiri,
sedangkan tongkang tarik tidak memiliki daya untuk menghentikan dirinya sendiri.
 Tongkang dorong dapat menentukan arah perjalanannya sendiri sedangkan
tongkang tarik tidak bisa melakukannya. Kombinasi point 2 dan 3 menyebabkan
tongkang dorong memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi serta maneuver
yang lebih baik daripada tongkang tarik.
 Tongkang dorong dapat bersandar di dermaga sendiri dengan cepat. Tongkang
tarik pada umumnya dalam proses berlabuhnya menghabiskan banyak waktu dan
sangat merepotkan.
 Kecepatan tongkang dorong secara signifikan tidak lebih tinggi dari tongkang tarik
pada bobot mati dan tenaga mesin yang sama.
 Tongkang dorong memiliki kemampuan untuk mengontrol gerak lebih baik
daripada tongkang tarik yang sering berayun ke kiri dan ke kanan ketika ditarik.
Hal ini karena lambung pusher (kapal pendorong) terhubung pada buritan
tongkang yang berfungsi sebagai skeg besar untuk menjaga arah gerak dari
tongkang.
 Ketika beberapa tongkang harus dijalankan secara bergantian pada rute pendek,
waktu yang dibutuhkan untuk pertukaran tongkang sangatlah penting. Pertukaran
tongkang akan membutuhkan waktu 20-30 menit, selain itu setidaknya satu
anggota awak kapal harus pergi ke tongkang untuk menangani tali penariknya.
Sedangkan kapal pendorong (pusher) yang memiliki coupler mekanik hanya
membutuhkan waktu 30-40 detik untuk memutus atau menyambung koneksi
secara berturut-turut sehingga pertukaran tongkang dapat selesai dalam
beberapa menit saja dan juga tidak ada ABK yang harus pergi ke tongkang.
Perbedaan ini berpengaruh pada angka ketersediaan layanan per hari.
 Tongkang tarik kecil sering memiliki kemudi sendiri, oleh karenanya perlu juru
mudi di atasnya. Untuk tongkang besar pada umumnya tidak memiliki kemudi,
sehingga sangat sulit dalam bermanuver. Sebaliknya, kemampuan manuver dari
tongkang dorong adalah sama seperti kapal berpenggerak sendiri.

Page 84 of 183
Ada dua jenis sambungan dalam kombinasi tongkang dorong, yaitu sambungan tali
dan sambungan mekanik. Sebagai perbandingannya adalah seperti diuraikan berikut:

 Kelaiklautan di laut yang bergelombang untuk koneksi tali pada kombinasi


tongkang dorong dengan metode paling maju sekalipun memiliki batas tertentu
yang cukup rendah, sedangkan koneksi mekanik pada kombinasi tongkang
dorong dapat dirancang dan dibangun untuk layanan tak terbatas sesuai yang
diinginkan. Di perairan terlindung, koneksi mekanik dengan metode yang cukup
sederhana dapat diterapkan untuk menjamin kinerja yang memuaskan.
 Tongkang dorong dengan koneksi tali membutuhkan 5-8 ABK dan waktu 10-20
menit untuk koneksi. Pekerjaan menyambung dan memutus sambungan adalah
kerja otot yang harus dilakukan bahkan dalam hujan badai di atas dek basah
yang licin. Trutama ketika kapal pendorong (pusher) diperlukan untuk
mengoperasikan beberapa tongkang secara bergantian dalam rute pendek.
Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk terkoneksi dan memutus koneksi pada
pertukaran tongkang yang berulang adalah masalah besar yang mempengaruhi
angka ketersediaan layanan per hari. Selain itu penambahan ABK mungkin
diperlukan untuk pertukaran tongkang yang efisien. Pada tongkang dorong yang
terhubung secara mekanik, koneksi dan pemutusan koneksi dilakukan dalam 30-
40 detik hanya dengan remote-control oleh kapten kapal di anjungan.
 Pada tongkang dorong yang terkoneksi dengan tali, ABK harus pergi ke tongkang
terlebih dahulu untuk menangani tali sebelum tongkang tersambung dan kembali
dari tongkang setelah pemutusan sambungan. ABK harus melakukan pekerjaan
ini walaupun kapal berosilasi karena gelombang. Dalam kombinasi mekanik,
penyambungan dan pemutusan dapat dilakukan secara sepihak dari kapal
pendorong dan ABK tidak perlu lagi ke tongkang.
 Kelonggaran pada sambungan tali yang menghubungkan antara tongkang dan
pendorongnya memungkinkan deviasi sudut antara kapal pendorong dan
tongkangnya (hilangnya kelurusan centerline). Jika fenomena ini terjadi pada awal
mengemudikan kapal akan menyebabkan keterlambatan respon dari tongkang ke
kemudi kapal pendorong. Dalam koneksi mekanik tidak akan terjadi
keterlambatan respon antara tongkang dan kapal pendorongnya. Pergerakan
dengan koneksi mekanik ini sama seperti kapal berpenggerak sendiri (self-
propelled).

Page 85 of 183
 Pada kombinasi tongkang dorong yang terhubung dengan tali ada rubber fender
disisipkan antara kapal pendorong dengan tongkangnya. Terjadinya guncangan,
getaran dan suara-suara berisik pada fender akan menyebabkan ketidak-
nyamanan pada kru kapal. Pada kombinasi tongkang dorong berpenghubung
mekanik hal tersebut nyaris tidak terjadi.

Terlepas dari keunggulan-keunggulan yang dijelaskan diatas, bagaimanapun juga


tongkang dorong tidak dapat bersaing secara ekonomi dengan kapal kargo
konvensional pada rute panjang. Alasannya adalah karena tongkang dorong memiliki
kecepatan yang lebih rendah dari pada kapal kargo konvensional. Jika diinginkan
perbandingan kecepatan yang sama, maka tongkang dorong akan membutuhkan
konsumsi bahan bakar yang besar karena kebutuhan daya juga sangat besar. Hal ini
sangat tidak bagus dari sisi keekonomian dan profitabilitas. Penyebab tongkang dorong
kecepatannya rendah adalah tahanannya yang besar yang disebabkan oleh arus eddie
yang terjadi pada gap lebar antar dua lambung. Gap ini berfungsi untuk memberikan
kelonggaran pada sambungan saat pitching.

Gambar 24
Push - Towed Tug - Barge System

Page 86 of 183
3) Self Propelled Barge (SPB) yaitu kapal tongkang dengan mesin penggerak
sendiri

Gambar 25
Self Propelled Barge

a) Kelebihan Dan Kekurangan Self Propelled Barge


Secara umum ada beberapa kelebihan dan kekurangan barge/tongkang jika
dibandingkan dengan bentuk kapal konvensional, yang mana dapat dijadikan dasar
pemilihan moda transportasi yang tepat disesuaikan dengan lingkungan pelayaran dan
dana pembangunan yang ada. Kelebihan dan kekurangan tersebut diantaranya adalah
:

Kelebihan;
(1) Memiliki bentuk overhull yang sederhana sehingga meminimalkan harga produksi.
(2) Bentuknya yang besar dengan bagian bawah yang datar sehingga memiliki
kestabilan melintang yang bagus.
(3) Memiliki Cb (koefisien blok) yang besar sehingga gaya angkat (buoyancy) juga
besar.
(4) Sangat cocok untuk perairan dangkal karena memiliki tinggi sarat yang relatif
lebih rendah dibanding kapal konvensional dengan ukuran yang sama.

Page 87 of 183
Kekurangan;
(1) Manuverability kurang bagus.
(2) Dengan dimensi sama dengan kapal konvensional, barge memiliki hambatan
yang sangat besar. Hal ini menyebabkan efisiensi energinya rendah sehingga
hanya cocok untuk kecepatan rendah.

b) Kapasitas dan Draft Self Propelled Barge


Dari sumber kapasitas self propelled barge mulai dari yang terkecil hingga yang
terbesar adalah 45 DWT – 30000 DWT dengan draft antara 1,2 m sampai dengan lebih
dari 10 m.

c) Area dan Radius Penggunaan Self Propelled Barge


Secara umum operasional self propelled barge dibagi menjadi beberapa area operasi
seperti halnya pada kapal tunda (tugboat) yaitu :
(1) Ocean Going (area pelayaran laut bebas/samudera)
(2) Coastwise (area dan radius pelayaran terbatas untuk daerah pantai saja)
(3) Land and River (radius pelayaran sangat terbatas yaitu di daerah danau dan
sungai)

4) Bulk carrier (kapal curah) yaitu kapal pengangkut muatan curah.


Bulk carrier banyak digunakan untuk transportasi batubara dalam jumlah banyak dan
kebanyakan untuk tujuan ekspor atau untuk transportasi ocean going, hal tersebut
dikarenakan mempunyai kapasitas yang besar dan sarat kapal yang dalam sehingga
membutuhkan kedalaman pelabuhan yang memadai.

Page 88 of 183
Gambar 26
Bulk carrier system

Berat dan tingginya berat jenis (density) dari muatan (biji mineral dan batubara)
membuat tingginya persyaratan pasa struktur kapal bulk carrier khususnya pada area
ruang muat. Kapal jenis bulk carrier batubara ini harus diperlakukan dengan hati-hati
selama di pelabuhan sebagaimana pada saat pengoperasian di lautan. Kru bongkar
muat dan ship officer yang mempunyai tanggung jawab berkenaan dengan hal ini.
Riset dari IACS menunjukkan bahwa penanganan yang tidak tepat, tingginya density
muatan selama bongkar muat bisa menyebabkan stress berlebih dan kerusakan fisik
terhadap ruang muat dan sekat sehingga lama-kelamaan akan mengurangi atau
mengancam keselamatan struktur ketika kapal berlayar dalam kondisi cuaca buruk.

Gambar 27
Konfigurasi struktur ruang muat kapal bulk carrier

Page 89 of 183
Staf pengoperasian dan ship officer diharapkan mempunyai kesadaran bahwa
tingginya berat jenis muatan pada kapal bulk carrier akan menyebabkan resiko over-
stressing serta konsekuensi kelemahan struktur setempat atau lambung kapal.

Potensi masalah tersebut antara lain :

a) Deviasi terhadap loading manual


Berlebihnya batas ijin pada ship’s approved loading manual akan menyebabkan
over-stressing pada struktur kapal serta bencana kegagalan struktur lambung
b) Pengukuran berat muatan yang tidak mencukupi selama proses loading
Overloading yang terjadi karena tidak akuratnya pengukuran berat akan
meningkatnya level stress dari struktur kapal

Gambar 28
Kerusakan mekanik dan coating selama proses bongkar muat

c) Shallow draught loading


d) High loading rate. Hal ini akan menyebabkan overloading yang signifikan dalam
rentang waktu singkat
e) Asymmetric cargo dan distribusi ballast
Distribusi muatan dan air ballast sangat berpengaruh pada resultan stres dari struktur
lambung kapal.

Page 90 of 183
Gambar 29
Ilustrasi stress yang terjadi pada sekat melintang dengan dek

f) Kurangnya komunikasi efektif. Tidak/kurang nya komunikasi antara ship officer


dengan operator pelabuhan memungkinkan terjadinya overloading sehingga akan
merusak struktur kapal
g) Berlebihnya load line mark
h) Ballast yang terisi sebagian pada tanki atau ruang muat
i) Kerusakan struktural

Peralatan cargo handling dapat menyebabkan kerusakan struktur kapal, melalui beban
impact dan pelindung coating ruang muat yang pada akhirnya bisa mengakibatkan
kelemahan struktur setempat dan merusak integritas kekedapan.

Gambar 30
Kerusakan yang diakibatkan peralatan mekanik pada cargo handling

Ketiga tipe sarana transportasi batubara tersebut masing-masing mempunyai kelebihan


dan kekurangan dari segi konstruksi, karakteristik operasionalnya maupun
pembiayaannya.

Page 91 of 183
Teknologi kapal tongkang adalah kapal dengan badan lebar dan beralas rata, untuk
tongkang batubara pada umumnya menggunakan tongkang jenis muatan diatas
geladak (deck barge). Sistem tongkang sebagai unit muatan tidak memiliki
consumables (bahan bakar dan air tawar) namun memiliki tangki ballast untuk
pengaturan trim, sedangkan tug boat yang difungsikan untuk menarik atau mendorong
tongkang selama perjalanan maupun di pelabuhan dan kapal ini mempunyai daya
mesin yang besar. Dengan terpisahnya sistem ini menjadi dua unit memungkinkan juga
sistem ini melakukan pola operasi drop and swap.

Self Propelled Barge merupakan kapal berbentuk tongkang namun menggunakan


tenaga pendorong sendiri. Kapal SPB ini mempunyai karakteristik maneuverability dan
stabilitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan tug-barge, biaya pembangunan
secara signifikan lebih rendah dari bulk carrier.

Kapal muatan curah (bulk carier) batubara merupakan jenis kapal dengan dengan
konstruksi khusus dibandingkan dengan bulk carier muatan lainnya dikarenakan faktor
kemungkinan terjadinya pembakaran spontan saat pemuatan sehingga diperlukan
sistem ventilasi, dan faktor pergeseran muatan saat berlayar yang menyebabkan
mempengaruhi stabilitas kapal.

4.2.2 Desain Self Propelled Barge


Concept design adalah tahap pertama dalam proses desain yang menterjemahkan
mission requirement atau permintaan pemilik kapal ke dalam ketentuan-ketentuan
dasar dari kapal yang akan direncanakan sehingga menghasilkan ukuran utama
seperti panjang, lebar, tinggi, sarat, finnes dan fullness power, karakter lainnya dengan
tujuan untuk memenuhi kecepatan, range (endurance ), kapasitas, deadweight.
Langkah kelanjutan dari concept design mencek kembali ukuran dasar kapal yang
dikaitkan dengan performance (Evans,1959). Pemeriksaan ulang terhadap panjang,
lebar, daya mesin, deadweight yang diharapkan tidak banyak merubah pada tahap ini.
Hasil diatas merupakan dasar dalam pengembangan rencana kontrak dan spesifikasi.

a. Rencana Garis

Untuk merancang sebuah kapal maka yang pertama dilakukan adalah pembuatan
rencana garis. Dalam pembuatan rencana garis ini digunakan software Maxsurf.
Caranya adalah dengan perpaduan antara maxsurf dengan AutoCad.

Page 92 of 183
Rencana garis untuk barge ini dibuat dengan memodelkan desain awalnya dengan
membuat surface model box. Kemudian membuat model menjadi desain yang
diinginkan dengan tidak mengurangi dasar-dasar gambar barge. Sehingga diperoleh
gambaran karakteristik awal model. Dari model kemudian dimasukkan ukuran yang
diinginkan, maka bentuk lines baru telah didapatkan. Penggunaan metode ini harus
memperhatikan beberapa aspek. Yaitu tipe kapal, Cb, dan Lcb.

1) Analisa Hidrostatika dan Koefisien Bentuk

Fungsi hidrostatik adalah untuk mengetahui sifat-sifat badan kapal yang tercelup di
dalam air, atau dengan kata lain untuk mengetahui sifat-sifat karene.

Koefisien bentuk kapal adalah merupakan suatu besaran yang merupakan fungsi dari
dimensi utama kapal (main dimension). Koefisien–koefisien yang diperoleh akan
digunakan dalam perhitungan desain kapal.

a) Kurva Hidrostatika

Untuk keselamatan dan efisiensi dari pengoperasian kapal, sangat penting pihak
desainer kapal dan operator untuk mengetahui karakterisktik kapal terutama
karakteristik bagian badan kapal yang berada di bawah permukaan air

Cara yang paling umum untuk menggambarkan kurva - kurva hidrostatik adalah
dengan membuat dua sumbu saling tegak lurus. Sumbu mendatar adalah garis dasar
kapal (base-line) sedangkan garis vertikal menunjukkan sarat tiap water line yang
dipakai sebagai titik awal pengukuran kurva- kurva hidrostatik.

Page 93 of 183
4,5

MTc
3,5

Immersion (TPc)

3
KML

KMt
2,5
Draft m

KB

2
LCF

1,5 LCB

WPA

Wet. Area

0,5 Disp.

0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Displacement tonne
800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600
Area m^2
-2 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5
LCB, LCF, KB m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
KMt m
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
KML m
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Immersion tonne/cm
50 60 70 80 90 100 110 120 130 140
Moment to Trim tonne.m

Gambar 31
Kurva hidrostatika SPB 6000 DWT

b) Koefisien Bentuk Kapal


Koefisien kapal merupakan suatu besaran yang terdiri dari koefisien bentuk (Cb),
koefisien garis air (Cwl), koefisien midship (Cm) dan koefisien prismatik (Cp). Kurva
besaran koefisien kapal yang dapat digunakan untuk perhitungan desain tiap sarat
kapal yang diinginkan dapat di dilihat pada gambar 3 sebagai berikut :

Page 94 of 183
4,5

3,5
Waterplane Area
3
Draft m

2,5 Midship Area

Block
1,5

1
Prismatic

0,5

0
0,8 0,825 0,85 0,875 0,9 0,925 0,95 0,975 1
Coefficients

Gambar 32
Kurva koefisien bentuk SPB 6000 DWT

b. Rencana Umum

Setelah rencana garis selesai dibuat, selanjutnya adalah pembuatan rencana umum.
Rencana umum berisi perencanaan peletakan muatan, peletakan perlengkapan dan
peralatan, pembagian sekat, dan sebagainya

c. Analisa Numerik Besaran Tenaga Penggerak Utama Kapal (Ship


Powering)

Ship powering merupakan salah satu aspek yang sangat penting di dalam
perancangan kapal. Perhitungan ship powering meliputi perhitungan tahanan kapal,
perhitungan faktor propulsif, dan perhitungan tenaga penggerak kapal. Dalam kegiatan
TA 2013 akan dilakukan analisa numerik untuk mengetahui besaran tenaga penggerak
kapal (Ship Powering) dari rencana desain kapal khusus pengangkut batubara untuk
PLTU Wilayah Operasi Timur Indonesia. Analisa numerik untuk mengetahui besaran
tenaga penggerak utama kapal menggunakan perangkat lunak (software) DESPPC
dengan kriteria sebagai berikut :

1). Perangkat Lunak Ship Motion - DESPPC


Page 95 of 183
Keluaran DESP berupa resistance dan komponen-komponen efisiensi untuk tiap
kecepatan, review dari resistance tersebut, serta thrust dan propulsive power sebagai
fungsi kecepatan dan tabulasi daya dorong pada torsi dan power yang konstan.

DESP ini tingkat keakuratan bagus pada Froude Number (Fn) sampai dengan 0.25
atau 0.3. Dengan menggunakan DESP ini dalam optimasi bentuk badan kapal dapat
dioptimalkan 5 – 10 %. DESP tidak dapat digunakan untuk planning craft.

Perhitungan tenaga kapal dilakukan dengan menggunakan software DESPPC di UPT.


BPPH-BPPT. Software ini digunakan untuk memprediksi tenaga kapal untuk jenis
displacement ship. Metode yang dipakai di dalam software ini adalah berdasarkan
metode statistik dengan menggunakan formula Holtrop. Pada metode ini perhitungan
tahanan dan tenaga kapal dihitung berdasarkan data ukuran utama kapal dan koefisien
bentuk geometris kapal.

2). Input Data untuk Simulasi

Pada perhitungan numerik menggunakan DESPPC diperlukan masukkan data kapal


berupa ukuran utama dan desain properller yang digunakan, lihat Tabel 18 dan Tabel
19 berikut.

Tabel 18
Ukuran utama kapal SPB 6000 DWT coal vessel

Uraian Dimensi Satuan

Loa (Length of all) 92.964 m


Lpp (Length between perpendicular) 91.4 m
B (Breadth moulded) 24 m
D (Depth moulded) 6 m
df (Draft on fore perpendicular) 4 m
da (Draft on after perpendicular) 4 m
Displ (Displacement) 7529 ton
Vs (Kecepatan dinas) 10 knot

Kapal disimulasikan menggunakan 2 propeller dengan diameter 2.2 m menggunakan


type propeller B-series 4 daun. Optimisasi propeller dilakukan dengan mengiterasi pitch

Page 96 of 183
dan blade area ratio untuk mendapatkan propeller dengan efisiensi yang optimum pada
kecepatan dinas kapal. Dari perhitungan optimisasi propeller diperoleh propeller
optimum dengan parameter sebagai berikut :

Tabel 19
Desain propeller SPB 6000 DWT coal barge

Tipe Propeller B-series

Jumlah daun 4

Diameter 2.2 m

Pitch ratio 0.773

Blade area ratio 0.4

3). Hasil Perhitungan

Hasil perhitungan tahanan kapal untuk kapal pengangkut batubara SPB 6000 DWT
ditampilkan pada gambar 33. sedangkan hasil perhitungan untuk tenaga mesin dan
putaran propeller ditampilkan pada gambar 3. Pada kecepatan dinas 10 knot kapal
mempuyai tahanan total sebesar 122.7 kN dan memerlukan tenaga mesin sebesar
1183 kW pada putaran propeller 252.2 rpm.

Page 97 of 183
250

200
.

150
Resistance (kN)

100

50

0
5 6 7 8 9 10 11 12 13

Speed (knots)

Gambar 33
Resistance curve

Page 98 of 183
PS & RPM Curves

3500 350
PS

3000 RPM 300

2500 250
.

2000 200

.
PS (kW)

RPM
1500 150

1000 100

500 50

0 0
5 6 7 8 9 10 11 12 13

Speed (knots)

Gambar 34
PS and RPM curves

4). Penentuan Tenaga Mesin Penggerak Kapal

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan DESPPC diperoleh data bahwa


besarnya tenaga mesin yang diperlukan pada kecepatan dinas kapal 10 knot adalah
1183 kW. Dengan menggunakan asumsi efisiensi sistem transmisi 95% dan sea
margin 15% maka besarnya tenaga mesin penggerak kapal yang diperlukan adalah

BHP = 1183 / 0.95 / 0.85 = 1465 kW


= 1992 HP

Kapal SPB 6000 DWT coal barge didesain menggunakan 2 mesin utama. Dari
perhitungan di atas maka dipilih daya mesin penggerak kapal = 2 x 1000 HP.

4.2.3 Analisa Stabilitas SPB 6000 DWT


Perhitungan stabilitas kapal merupakan komponen dasar dari kelaikan kapal
sehingga kapal dapat beroperasi dengan aman di laut. Pada kapal yang memiliki
Page 99 of 183
stabilitas yang baik dapat memastikan keamanan penumpang orang dan atau
barang muatan yang berada di atas kapal.
Stabilitas kapal adalah ukuran dari kemampuannya untuk menahan beban
angin, gelombang, dan beban lainnya saat kapal beroperasi (misalnya operasi
loading, unloading, transporting, dll). Kemampuan lain yg dibutuhkan untuk
stabilitas kapal adalah kemampuan untuk menahan terbaliknya kapal saat oleng
yaitu dengan memiliki kemampuan lengan pengembali yang cukup.
Analisa stabilitas SPB 6000 DWT ini menggunakan sarana perangkat lunak
(software) Hydromax-Marksurf, dengan input dan output program sebagai
berikut :

1. Input Program
Input program (Lampiran 2) meliputi :
a. Rencana Garis (Lines Plan)
b. Definisi dari rencana tangki-tangki dan kompartemen kapal.
c. Sarat kapal (draft) desain.
d. Load Case berdasarkan IMO pada kondisi :
 Light Ship (kapal kosong),
 Fully Loaded Departure (pemuatan penuh berangkat)
 Fully Loaded Arrival (pemuatan penuh tiba)
 Ballast in Departure (pemuatan balas saat berangkat)
 Ballast in Arrival (pemuatan balas saat tiba)

2. Output Program
Dari hasil analisa perhitungan diperoleh suatu output program perhitungan
stabilitas kapal meliputi :

a. Tank Calibration.
1) Tank Calibrations - FOT (Portside)

Fluid Type = Hight Speed Diesel oil ; Relative Density = 0.84


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

Page 100 of 183


120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Capacity tonne
-12 -8 -4 0 4 8 12 16 20 24 28
Centre of Gravity m
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 35
Kurva kalibrasi tangki padkondisi FOT (Portside)

Page 101 of 183


2) Tank Calibrations - FOT (Starboard)
Fluid Type = Hight Speed Diesel oil ; Relative Density = 0.84
Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Capacity tonne
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Centre of Gravity m
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 36
Kurva kalibrasi tangki pada kondisi FOT (Starboard)

Page 102 of 183


3) Tank Calibrations - No.3 WBT (Portside)

Fluid Type = Sea Water ; Relative Density = 1.0252


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Capacity tonne
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 37
Kurva kalibrasi tangki pada No. 3 WBT (Portside)

Page 103 of 183


4) Tank Calibrations - No.3 WBT (Starboard)

Fluid Type = Sea Water ; Relative Density = 1.0252


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Capacity tonne
0 2.5 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 38
Kurva kalibrasi tangki pada No 3 WBT (Starboard)

Page 104 of 183


5) Tank Calibrations - No.2 WBT (Portside)

Fluid Type = Sea Water ; Relative Density = 1.0252


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Capacity tonne
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Centre of Gravity m
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 39
Kurva kalibrasi tangki pada No. 2 WBT (Portside)

Page 105 of 183


6) Tank Calibrations - No.2 WBT (Starboard)

Fluid Type = Sea Water ; Relative Density = 1.0252


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Soundings & Ullage m
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Capacity tonne
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Centre of Gravity m
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 40
Kurva kalibrasi tangki pada No. 2 WBT (Starboard)

Page 106 of 183


7) Tank Calibrations - No.1 WBT (Portside)

Fluid Type = Sea Water ; Relative Density = 1.0252


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Capacity tonne
-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 41
Kurva kalibrasi tangki pada No. 1 WBT (Portside)

Page 107 of 183


8) Tank Calibrations - No.1 WBT (Starboar)

Fluid Type = Sea Water ; Relative Density = 1.0252


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Capacity tonne
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 42
Kurva kalibrasi tangki pada No. 1 WBT (Starboard)

Page 108 of 183


9) Tank Calibrations - FWT (Portside)

Fluid Type = Fresh Water Relative Density = 1


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Capacity tonne
-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 43
Kurva kalibrasi tangki pada FWT (Portside)

Page 109 of 183


10) Tank Calibrations - FWT (Starboard)

Fluid Type = Fresh Water ; Relative Density = 1


Permeability = 100 %
Trim = 0 m (+ve by stern)

120

100
FSM
80
VCG
% Full

TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Capacity tonne
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Free Surface Moment tonne.m

Gambar 44
Kurva kalibrasi tangki pada FWT (Starboard)

Page 110 of 183


b. Grafic dan table dari nilai KN.
KN Calculation , Damage Case - Intact
Initial Trim = 0 m (+ve by stern)
Relative Density (specific gravity) = 1,025; (Density = 1,0252
tonne/m³)
VCG = 0 m

10

9
40 deg. KN
30 deg. KN
8
20 deg. KN 50 deg. KN

7 60 deg. KN
10 deg. KN
6 70 deg. KN
KN m

5 80 deg. KN

4 90 deg. KN

0 0 deg. KN

-1
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Displacement tonne

Gambar 45
Grafik KN SPB 6000 DWT

Page 111 of 183


c. Limiting KG (Keel of Grafity)
Damage Case - Intact
Initial Trim = 0 m (+ve by stern)
Relative Density (specific gravity) = 1,025; (Density = 1,0252
tonne/m^3)
Heel to starboard; heel range: from -30 deg to 90 deg in steps of 10
deg.

Criteria tested:
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.1:
Area 0 to 30
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.1:
Area 0 to 40
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.1:
Area 30 to 40
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.2: Max
GZ at 30 or greater
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.3:
Angle of maximum GZ
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.4:
Initial GMt
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.5:
Passenger crowding: angle of equilibrium
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.6:
Turn: angle of equilibrium
 A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.2.2:
Severe wind and rolling

Page 112 of 183


Tabel 20
Limiting KG (Keel of Grafity)

Displacement LCG Limit KG


Criterion Name
(tonne) (m) (m)

500 44,805 -0,068 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of


applicable to all ships maximum GZ
1000 44,787 1,971 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
1500 44,706 3,216 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
2000 44,642 4,040 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
2500 44,591 4,778 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
3000 44,541 5,509 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
3500 44,506 6,154 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
4000 44,456 6,474 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
4500 44,424 6,508 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
5000 44,384 6,324 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
5500 44,348 5,953 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
6000 44,314 5,608 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
6500 44,283 5,404 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
7000 44,258 5,311 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ
7500 44,247 5,289 A.749(18) Ch3 - Design criteria 3.1.2.3: Angle of
applicable to all ships maximum GZ

Page 113 of 183


7

4
KG m

-1
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Displacement tonne

Gambar 46
Grafik Limiting KG SPB 6000 DWT

d. Kalkulasi Stabilitas pada tiap Load Case.


Analisa perhitungan stabilitas SPBU 6000 DWT dilakukan pada
kondisi-kondisi pembebanan/pemuatan disaat berlayar. Adapun
analisa pada pembebanan (loadcase) pada SPB 6000 DWT adalah
sebagai berikut :

1) Loadcase - Light Ship, Damage Case - Intact


Free to Trim
Relative Density (specific gravity) = 1.025; (Density = 1.0252
tonne/m³)
Fluid analysis method: Use corrected VCG

Page 114 of 183


Tabel 21
Pembebanan pada kondisi kapal kosong dan sarat rata

Weight Long.Arm Trans.Arm FS Mom FSM


Item Name Quantity Vert.Arm
(tonne) (m) ( m) (m) (tonne.m) Type

Lightship 1 1980 44.260 2.108 0.000 0.000

FOT (P) 0% 0.0000 11.903 3.124 -8.268 0.000 Maximum

FOT (S) 0% 0.0000 11.903 3.124 8.268 0.000 Maximum

No.3 WBT (P) 0% 0.0000 17.393 3.051 -7.730 0.000 Maximum

No.3 WBT (S) 0% 0.0000 17.393 3.051 7.730 0.000 Maximum

No.2 WBT (P) 0% 0.0000 38.430 3.047 -7.735 0.000 Maximum

No.2 WBT (S) 0% 0.0000 38.430 3.047 7.735 0.000 Maximum

No.1 WBT (P) 0% 0.0000 80.047 3.533 -7.001 0.000 Maximum

No.1 WBT (S) 0% 0.0000 80.047 3.533 7.001 0.000 Maximum

FWT (P) 0% 0.0000 86.349 4.629 -5.668 0.000 Maximum

FWT (S) 0% 0.0000 86.349 4.629 5.668 0.000 Maximum

Total 1980 LCG= VCG= TCG=0.00 0


Weight= 44.260 2.108 0
FS corr.=
0

VCG
fluid=
2.108

Page 115 of 183


12.5
3.1.2.4: Initial GMt GM at 0.0 deg = 40.411 m

10

Max GZ = 7.388 m at 31.2 deg.


7.5

5
GZ m

2.5

3.1.2.6: Turn: angle of equilibrium


0

-2.5

-5

-7.5
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.

Gambar 47
Kurva stabilitas pada kondisi light ship dan free to trim

2) Loadcase - Fully Loaded Departure, Damage Case - Intact


Free to Trim
Relative Density (specific gravity) = 1.025; (Density = 1.0252
tonne/m³)
Fluid analysis method: Use corrected VCG

Page 116 of 183


Tabel 22
Pembebanan pada kondisi kapal berangkat dengan muatan penuh dan sarat rata

Weight Long.Arm Trans.Arm FS om FSM


Item Name Quantity Vert.Arm
(tonne) (m) ( m) (m) (tonne.m) Type

Lightship 1 1980 44.260 2.108 0.000 0.000

Crew at Boat Deck 6 0.0750 81.870 9.750 0.000 0.000

Crew at Main Deck 8 0.0750 80.520 7.250 -3.900 0.000

Provision Store 1 5.000 80.520 7.250 2.700 0.000

Bosun Store 1 10.00 87.630 7.250 0.000 0.000

Coal at Main Deck 1 5000 40.990 7.500 0.000 0.000

FOT (P) 98% 61.26 11.903 3.066 -8.267 0.000 Maximum

FOT (S) 98% 61.26 11.903 3.066 8.267 0.000 Maximum

No.3 WBT (P) 0% 0.0000 17.393 3.051 -7.730 0.000 Maximum

No.3 WBT (S) 0% 0.0000 17.393 3.051 7.730 0.000 Maximum

No.2 WBT (P) 0% 0.0000 38.430 3.047 -7.735 0.000 Maximum

No.2 WBT (S) 0% 0.0000 38.430 3.047 7.735 0.000 Maximum

No.1 WBT (P) 0% 0.0000 80.047 3.533 -7.001 0.000 Maximum

No.1 WBT (S) 0% 0.0000 80.047 3.533 7.001 0.000 Maximum

FWT (P) 100% 62.38 86.349 4.629 -5.668 0.000 Maximum

FWT (S) 100% 62.38 86.349 4.629 5.668 0.000 Maximum

Total LCG= VCG= TCG= 0


7243
Weight= 42.271 5.901 0.002
FS corr.
=0
VCG
fluid=
5.901

Page 117 of 183


5 3.1.2.4: Initial GMt GM at 0.0 deg = 9.036 m
4
Max GZ = 3.067 m at 23.9 deg.
3

1
GZ m

3.1.2.6: Turn: angle of equilibrium


0

-1

-2

-3

-4

-5

-6
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.

Gambar 48
Kurva stabilitas pada kondisi full loaded departure dan free to trim

3) Loadcase - Fully Loaded Arrival, Damage Case - Intact


Free to Trim
Relative Density (specific gravity) = 1.025; (Density = 1.0252
tonne/m³)
Fluid analysis method: Use corrected VCG

Page 118 of 183


Tabel 23
Pembebanan pada kondisi kedatangan dengan kapal muatan penuh
dan sarat rata
Item Name Quantity Weight Long.Arm Vert.Arm Trans.Arm FS om FSM
(tonne) (m) ( m) (m) (tonne.m) Type

Lightship 1 1980 44.260 2.108 0.000 0.000

Crew at Boat Deck 6 0.0750 81.870 9.750 0.000 0.000

Crew at Main Deck 8 0.0750 80.520 7.250 -3.900 0.000

Provision Store 1 0.5000 80.520 7.250 2.700 0.000

Bosun Store 1 1.000 87.630 7.250 0.000 0.000

Coal at Main Deck 1 5000 40.990 7.500 0.000 0.000

FOT (P) 10% 6.247 11.941 0.475 -7.729 45.671 Maximum

FOT (S) 10% 6.247 11.941 0.475 7.729 45.671 Maximum

No.3 WBT (P) 0% 0.0000 17.393 3.051 -7.730 0.000 Maximum

No.3 WBT (S) 0% 0.0000 17.393 3.051 7.730 0.000 Maximum

No.2 WBT (P) 0% 0.0000 38.430 3.047 -7.735 0.000 Maximum

No.2 WBT (S) 0% 0.0000 38.430 3.047 7.735 0.000 Maximum

No.1 WBT (P) 0% 0.0000 80.047 3.533 -7.001 0.000 Maximum

No.1 WBT (S) 0% 0.0000 80.047 3.533 7.001 0.000 Maximum

FWT (P) 10% 6.233 85.228 2.755 -4.787 62.405 Maximum

FWT (S) 10% 6.233 85.228 2.755 4.787 62.405 Maximum

Total 7008 LCG= VCG= TCG= 216.152


Weight= 41.956 5.956 0.000
FS corr.=
0.031

VCG
fluid=
5.986

Page 119 of 183


6
3.1.2.4: Initial GMt GM at 0.0 deg = 9.277 m

4
Max GZ = 3.163 m at 23.9 deg.

2
GZ m

3.1.2.6: Turn: angle of equilibrium


0

-2

-4

-6
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.

Gambar 49
Kurva stabilitas pada kondisi full loaded arrival dan free to trim

4) Loadcase - Ballast in the Departure, Damage Case - Intact


Free to Trim
Relative Density (specific gravity) = 1.025; (Density = 1.0252
tonne/m³)
Fluid analysis method: Use corrected VCG

Page 120 of 183


Tabel 24
Pembebanan pada kondisi kapal berangkat dengan balas dan sarat rata
Weight Long.Arm Trans.Arm FS om FSM
Item Name Quantity Vert.Arm
(tonne) (m) ( m) (m) (tonne.m) Type

Lightship 1 1980 44.260 2.108 0.000 0.000

Crew at Boat Deck 6 0.0750 81.870 9.750 0.000 0.000

Crew at Main Deck 8 0.0750 80.520 7.250 -3.900 0.000

Provision Store 1 5.000 80.520 7.250 2.700 0.000

Bosun Store 1 10.00 87.630 7.250 0.000 0.000

FOT (P) 98% 61.26 11.903 3.066 -8.267 0.000 Maximum

FOT (S) 98% 61.26 11.903 3.066 8.267 0.000 Maximum

No.3 WBT (P) 100% 463.4 17.393 3.051 -7.730 0.000 Maximum

No.3 WBT (S) 100% 463.4 17.393 3.051 7.730 0.000 Maximum

No.2 WBT (P) 100% 557.4 38.430 3.047 -7.735 0.000 Maximum

No.2 WBT (S) 100% 557.4 38.430 3.047 7.735 0.000 Maximum

No.1 WBT (P) 100% 260.6 80.047 3.533 -7.001 0.000 Maximum

No.1 WBT (S) 100% 260.6 80.047 3.533 7.001 0.000 Maximum

FWT (P) 100% 62.38 86.349 4.629 -5.668 0.000 Maximum

FWT (S) 100% 62.38 86.349 4.629 5.668 0.000 Maximum

Total 4806 LCG= VCG= TCG= 0


Weight= 42.011 2.769 0.002
FS
corr.=0
VCG
fluid=
2.769

Page 121 of 183


10
3.1.2.4: Initial GMt GM at 0.0 deg = 17.384 m

7.5
Max GZ = 5.923 m at 31.7 deg.

5
GZ m

2.5

3.1.2.6: Turn: angle of equilibrium


0

-2.5

-5

-7.5
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.

Gambar 50
Kurva stabilitas pada kondisi ballast in departure dan free to trim

Page 122 of 183


5) Loadcase - Ballast in the Arrival, Damage Case - Intact
Free to Trim
Relative Density (specific gravity) = 1.025; (Density = 1.0252
tonne/m^3)
Fluid analysis method: Use corrected VCG

Tabel 25
Pembebanan pada kondisi kapal tiba dengan balas dan sarat rata

Weight Long.Arm Vert.Arm Trans.Arm FS om FSM


Item Name Quantity
(tonne) (m) ( m) (m) (tonne.m) Type

Lightship 1 1980 44.260 2.108 0.000 0.000


Crew at Boat Deck 6 0.0750 81.870 9.750 0.000 0.000
Crew at Main Deck 8 0.0750 80.520 7.250 -3.900 0.000
Provision Store 1 0.5000 80.520 7.250 2.700 0.000
Bosun Store 1 1.000 87.630 7.250 0.000 0.000
FOT (P) 10% 6.247 11.941 0.475 -7.729 45.671 Maximum
FOT (S) 10% 6.247 11.941 0.475 7.729 45.671 Maximum
No.3 WBT (P) 100% 463.4 17.393 3.051 -7.730 0.000 Maximum
No.3 WBT (S) 100% 463.4 17.393 3.051 7.730 0.000 Maximum
No.2 WBT (P) 100% 557.4 38.430 3.047 -7.735 0.000 Maximum
No.2 WBT (S) 100% 557.4 38.430 3.047 7.735 0.000 Maximum
No.1 WBT (P) 100% 260.6 80.047 3.533 -7.001 0.000 Maximum
No.1 WBT (S) 100% 260.6 80.047 3.533 7.001 0.000 Maximum
FWT (P) 10% 6.233 85.228 2.755 -4.787 62.405 Maximum
FWT (S) 10% 6.233 85.228 2.755 4.787 62.405 Maximum
Total LCG= VCG= TCG=
4570 216.15
Weight= 41.516 2.691 0.000
FS corr.=
0.047
VCG
fluid=
2.739

Page 123 of 183


10
3.1.2.4: Initial GMt GM at 0,0 deg = 18,192 m

7,5
Max GZ = 6,052 m at 32,7 deg.

5
GZ m

2,5

3.2.2:
3.1.2.5:Severe
3.1.2.6: w ind crow
Passenger
Turn: angle and rolling Wind Heeling
of equilibrium
ding: angle (gust)
of equilibrium
(steady)
0

-2,5

-5

-7,5
-20 0 20 40 60 80
Heel to Starboard deg.

Gambar 51
Kurva stabilitas pada kondisi ballast in arrival dan free to trim

4.2.4 Pengujian Numerik Seakeeping SPB 6000 DWT


Prediksi seakeeping dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai gerakan
kapal seperti: surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw akibat dari gaya luar
(gelombang) dalam berbagai variasi kecepatan kapal. Data keluaran tersebut
dihasilkan dari program komputer SHIPMO. Dasar teori yang dipakai dalam
perhitungan di dalam software ini adalah strip theory. Dari hasil simulasi yang
diperoleh dapat digunakan sebagai masukan pada tahap desain
selanjutnya.kapal tentunya diperlukan desain terlebih dahulu yang disesuaikan
dengan dengan shipowner requirements.

a. Perangkat Lunak Ship Motion - SHIPMO


Prediksi olah gerak kapal suatu desain awal kapal merupakan hal yang
penting dilakukan untuk melihat performance desain yang akan dibuat.
Metode untuk memprediksi gerak kapal yang umum dipakai pada desainer
dan galangan kapal adalah dengan strip teori. Pada strip teori dalam
memprediksi karakteristik hidrodinamika terhadap suatu kapal atau benda
apung adalah menggunakan teori aliran fluida potensial, yang mana kapal

Page 124 of 183


dianggap rigid body yang mengapung pada fluida ideal; homogen,
incrompressible, free surface tension, irrotasional dan non viscous. Dalam
strip teori kapal dibagi dalam suatu strip-strip dua dimensi, dari sini
dilakukan perhitungan koefisien hdrodinamisnya. Strip theory ini dalam
menyelesaikan permasalahan tiga dimensi badan kapal untuk gaya-gaya
hidrodinamika, exciting force dan momen diintegralkan dari penyelesain
potensial dua dimensinya sepanjang kapal. Jadi tiap cross section body
kapal tersebut dianggap sebagai bagian suatu silinder panjang. Dengan
asumsi ini maka gerakan body tersebut linier atau dapat dilinierkan. Pada
simulasi numerik ship motion ini digunakan perangkat lunak di UPT. BPPH-
BPPT yaitu SHIPMO yang mana dasar teori perhitungannya menggunkan
strip theory.

b. Program simulasi
Input program terdiri atas ukuran utama kapal, body plan kapal, tinggi titik
metasenter, posisi titik berat kapal, jari-jari girasi untuk gerakan roll, pitch
dan yaw serta kecepatan kapal, lihat Tabel 26 dan gambar 52. Pada
simulasi ini digunakan gelombang irregular tipe spektrum Pierson
Moskovitz (PM) dengan Hs = 0.5, 1.0 dan 2.0 m dengan Tp = 7.5 sec.
Formulasi spektrum Pierson-Moskowitz diformulasikan sebagai berikut :


S ( )  172.8  T1  ( w1 / 3 ) 2 T1 .ω  exp  691T1 .ω
5 4

dimana :  = circular frequency,  w1/ 3 = significant wave height, T1 =
average wave period, Tp / T 1 = 1.296, Tp = peak period

Tabel 26
Ukuran Utama SPB 6000 DWT

MAIN PARTICULARS SHIP

Ship length ( LPP ) = 91.40 m


Ship breadth ( B ) = 24.00 m
Ship mean draft ( T ) = 4.00 m

Page 125 of 183


Ship displacement ( V ) = 9546.02 m³
Block coefficient ( CB ) = 1.09
Midship section coefficient ( CM ) = 0.97
Transv. radius of inertia ( kxx ) = 9.60 m
Long. radius of inertia ( kyy ) = 22.85 m
Long. radius of inertia ( kzz ) = 22.85 m
X-coord. of centre of gravity ( XG ) = 44.05 m (wrt aft perpendicular)
Y-coord. of centre of gravity ( YG ) = 0.00 m
Z-coord. of centre of gravity ( ZG ) = 7.04 m (wrt keel)

Gambar 52
Body Plan SPB 6000 DWT

Gambar 53
Arah gelombang relatif terhadap gerak kapal

Page 126 of 183


Gambar 54
Gerak kapal 6 degree of fredom

Simulasi dilakukan untuk dengan arah gelombang relatif (heading)


terhadap arah kapal yaitu : following sea (0 deg), stern quartering sea (45
deg), beam sea (90 deg), bow quartering sea (135 deg) dan head sea (180
deg), lihat Gambar. 53. Prediksi gerak kapal ini dilakukan juga dengan
memvariasikan kecepatan kapal dari kondisi gelombang yang diberikan.
Hasil simulasi tersebut memberikan keluaran berupa gerakan kapal dalam
6 derajat kebebasan gerakan kapal (6 d.o.f, surge, sway, heave, roll, pitch,
dan yaw) dalam significant double amplitude 2A1/3.
Berikut ini beberapa istilah atau harga-harga yang di pakai dalam penyajian
hasil analisa:

 RMS (Root Mean Square) = mo


mo = adalah luasan area response spectrum

 Significant double amplitude: 2A 1/3 = 4.0 mo


adalah nilai rata-rata 30% tertinggi dari pncak kelembah dari sejumlah
data

 SSA (Significant Single Amplitude) = 2.0 mo

Page 127 of 183


RMS-SURGE [ m ] RMS-SWAY [ m ] RMS-HEAVE [ m ]
0.1 0.1 0.1

0.08 0.08 0.08

0.06 0.06 0.06

0.04 0.04 0.04

0.02 0.02 0.02

0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]

RMS-ROLL [ deg ] RMS-PITCH [ deg ] RMS-YAW [ deg ]


1 1 1

Gambar 55
0.8 0.8 0.8

0.6 0.6 0.6

0.4 0.4 0.4

0.2 0.2 0.2

RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 0.5 m, Tp = 7. 5 sec


0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]

KAPAL BATUBARA KONDISI GELOMBANG =0 = 45 = 135


HEADING [ deg ] :
LHI - BPPT Hs = 0.5 m, Tp = 7.5 sec = 90 = 180

Page 128 of 183


RMS-SURGE [ m ] RMS-SWAY [ m ] RMS-HEAVE [ m ]
0.2 0.2 0.2

0.16 0.16 0.16

0.12 0.12 0.12

0.08 0.08 0.08

0.04 0.04 0.04

0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]

RMS-ROLL [ deg ] RMS-PITCH [ deg ] RMS-YAW [ deg ]


2 2 2

Gambar 56
1.6 1.6 1.6

1.2 1.2 1.2

0.8 0.8 0.8

0.4 0.4 0.4

0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12

RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 1.0 m, Tp = 7. 5 sec


Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]

KAPAL BATUBARA KONDISI GELOMBANG =0 = 45 = 135


HEADING [ deg ] :
LHI - BPPT Hs = 1.0 m, Tp = 7.5 sec = 90 = 180

Page 129 of 183


RMS-SURGE [ m ] RMS-SWAY [ m ] RMS-HEAVE [ m ]
0.4 0.4 0.4

0.3 0.3 0.3

0.2 0.2 0.2

0.1 0.1 0.1

0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]

RMS-ROLL [ deg ] RMS-PITCH [ deg ] RMS-YAW [ deg ]


4 4 4

Gambar 57
3 3 3

2 2 2

1 1 1

RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 2.0 m, Tp = 7. 5 sec


0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]

KAPAL BATUBARA KONDISI GELOMBANG =0 = 45 = 135


HEADING [ deg ] :
LHI - BPPT Hs = 2.0 m, Tp = 7.5 sec = 90 = 180

Page 130 of 183


Dari seluruh hasil simulasi dengan variasi kondisi yang diberikan diketahui
bahwa kapal SPB 6000 DWT ini masih di bawah ambang limit operability
criteria atau dengan kata lain masih memenuhi kriteria, hal ini terlihat
bahwa untuk semua kondisi respon RMS roll masih 4 deg dan RMS pitch
1.5 deg. Namun perlu menjadikan catatan bahwa kapal tersebut adalah
kapal pengangkut batubara curah yang mana muatan akan mudah
bergeser bila kapal mengalami gerakkan, apabila pergeseran muatan
sangat siknifikan maka akan mengubah karakteristik titik berat kapal yang
pada akhirnya berpengaruh pada respon gerak yang dihasilkan kapal.

c. Hasil dan Diskusi


1) Seakeeping untuk kapal-kapal dengan forward speed hanya beberapa
mode yang dominan yaitu roll, pitch dan heave, untuk mode gerak lain
tidak terlihat siknifikan munculnya. Sebagaimana kriteria umum yang
dipakai dalam gerak kapal hanya beberapa mode gerak yang
dikriteriakan yang dikeluarkan oleh NATO STAGNAG 4154 (US Navy),
US. Coast Guard dan NORDFORSK 1987, lihat Tabel 27.

Tabel 27
Operability Criteria
NATO US. COAST GUARD NORDFORSK
ITEM STANAG 4154 1987
cutter certification
(us. navy) plan
Roll amplitude (deg) 4o (RMS) 8o (SSA) 6o (RMS)
Pitch amplitude (deg) 1.5o (RMS) 3o (SSA) -
Heave amplitude (m) 1 (RMS) 2 (SSA) -
*) SSA = 2 x RMS

Dari hasil simulasi numerik didapatkan hasil prediksi RMS untuk


masing-masing gerak sebagaimana disajikan pada Gambar: 5 ~ 7 yang
masing-masing menggambarkan simulasi pada tinggi gelombang
siknifikan Hs = 0.5, 1.0 dan 2 m. Untuk masing-masik mode gerak

Page 131 of 183


ditampilkan dalam variasi kecepatan dan sudut heading kapal. Tabulasi
hasil simulasi lihat pada Lampiran.

2) Pengaruh Kecepatan Kapal


Dari hasil simulasi diketahui bahwa pengaruh kecepatan dalam
berbagai variasi tinggi gelombang menunjukkan pola/tren yang sama
terhadap perubahan kecepatan kapal. Pengaruh kecepatan yang
sedikit terlihat pada mode gerak surge dan roll, untuk mode lain kurang
terlihat dominan pengaruh kecepatan terhadap RMS yang dihasilkan.

3) Pengaruh Heading Kapal


Salah satu mode yang perlu diperhatikkan adalah roll karena berkaitan
dengan stabilitas kapal, dengan adanya penambahan kecepatan terjadi
penurunan roll hal ini dimungkinkan karena adanya penambahan roll
damping komponen akibat kecepatan kapal. Hal ini bisa
menggambarkan kondisi dead ship (kapal mati / tanpa kecepatan)
akan mudah mengalami masalah stabilitas akibat menurunnya roll
damping. Pada semua heading sudut roll meningkat pada kondisi kapal
dalam kondisi tanpa kecepatan. Sebagai catatan bahwa kelemahan
potensial teori dalam memprediksi gerak roll adalah pada kondisi
sudut encounter 0 deg, dimana dianggap tidak ada respon roll. Namun
dalam kondisi kenyataan hal ini dapat dimengerti karena gerak roll
pada kondisi 0 deg adalah sangat kecil.

Untuk mode gerak yang termasuk dikriterian hanya roll yang terlihat
dominan dipengaruhi sudut arah datang gelombang. Sudut heading 90
deg mengasilkan respon roll yang siknifikan dibandingkan dari heading
yang lain. Hal ini dimengerti mengapa kapal dalam operasionalnya
menghindari gelombang dari samping secara langsung. Kombinasi
variasi kecepatan dan heading yang optimum akan menghasilkan
respon roll yang optimal pula.

4) Pengaruh Tinggi Gelombang


Suatu kapal didesain dengan menyesuaikan kondisi perairan laut
dimana kapal beroperasi, untuk itu memprediksi respon gerak yang
terjadi dari suatu desain kapal dalam hubungannya dengan
kemampuan stabilitasnya adalah sangat penting. Dalam simulasi ini
Page 132 of 183
digunakan gelombang ireguler dengan tinggi gelombang siknifikan Hs
= 0.5, 1.0 dan 2.0 m.

Dari hasil simulasi model SPB 6000 DWT coal vessel ini diketahui
bahwa tidak ada perubahan pola/tren yang siknifikan dari tiap mode
gerak dalam variasi kecepatan maupun heading kapal, besaran respon
gerak terjadi kenaikan seiring kenaikan tinggi gelombang. Kanaikan
respon pada semua mode gerak diketahui hampir sama yaitu dua kali
lipat dari respon pada tinggi gelombang di bawahnya.

4.3 PENGEMBANGAN PELABUHAN KHUSUS BATUBARA

Sebagian besar PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia saat ini saat ini memiliki
pelabuhan sendiri atau pelabuhan khusus untuk bongkar batubara. Hal ini dikarenakan
kebutuhan batubara harus disuplai dari tempat lain yang membutuhkan sarana dan
prasarana transportasi yang memadai. Kelancaran pasokan batubara sangat
dipengaruhi oleh kondisi prasarana pelabuhan baik pelabuhan muat atau pelabuhan
asal maupun pelabuhan bongkat atau pelabuhan tujuan (PLTU). Kondisi kedalaman
perairan disekitar PLTU akan menentukan kapasitas pelabuhan yang dapat dibangun.
Semakin dalam perairan maka kemungkinan akan semakin besar kapasitas kapal yang
bisa dilayani.

4.3.1 PARAMETER KINERJA PELABUHAN


Berikut beberapa parameter teknis terkait kinerja pelabuhan:

a. Lokasi pelabuhan
Lokasi pelabuhan PLTU diupayakan sedekat mungkin dengan kawasan PLTU agar
proses transportasi batubara dari pelabuhan ke stockpile tidak membutuhkan banyak
waktu. Sarana transportasi batubara dari pelabuhan ke stockpile pada umumnya
menggunakan konveyor yang memiliki jarak jangkauan terbatas.

b. Panjang dermaga
Panjang dermaga akan menentukan ukuran kapal yang bisa sandar atau jumlah kapal
yang bisa sandar pada waktu bersamaan. Semakin panjang dermaga maka

Page 133 of 183


kapasitasnya akan semakin besar, namun demikian akan membutuhkan areal yang
lebih luas.

c. Lebar tambatan
Lebar tambatan dari sisi darat berkaitan dengan ketersediaan ruang untuk
menempatkan sarana dan prasarana bongkar muat batubara dari kapal ke stockpile.
Dari sisi laut lebar tambatan akan menentukan jumlah kapal yang bisa diakomodasi
dalam satu satuan waktu.

d. Kedalaman kolam
Kedalaman kolam merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk
memastikan kapal yang memiliki kapasitas tertentu bisa sandar ke dermaga. Untuk
mencapai kedalaman kolam yang disyaratkan, pada umumnya PLTU melakukan
proses pengerukan atau membuat dermaga dengan menggunakan Jety yang menjorok
ke laut.

e. Lebar alur
Pada lokasi PLTU tertentu, lebar alur akan mempengaruhi jumlah kapal yang bisa ke
area pelabuhan dalam satu satuan waktu. Untuk lokasi PLTU dengan alur sempit maka
perlu menyesuaikan antara jumlah kebutuhan konsumsi batubara dengan jumlah kapal
yang bisa melewati alur masuk pelabuhan.

f. Tinggi pasut
Aktifitas bongkar batubara di pelabuhan seringkali terkendala dengan kondisi pasang
surut. Pada kondisi air surut, maka posisi kapal batubara menjadi lebih dalam dan
jangkauan alat bongkar muat harus menyesuaikan.

g. Tinggi gelombang
Secara umum tinggi gelombang maksimal yang disyaratkan pada saat proses bongkar
muat dilakukan adalah 0.5 meter. Kondisi ini hanya bisa terpenuhi apabila kondisi
perairan disekitar PLTU tenang atau terlindung dari laut bebas. Pada saat kondisi
gelombang tinggi, maka aktifitas bongkar muat akan terganggu.

h. Kecepatan arus
Kecepatan arus akan berpengaruh terhadap konstruksi dasar pelabuhan dan dasar
perairan disekitar pelabuhan. Kecepatan arus bisa juga mempengaruhi aktifitas

Page 134 of 183


pelayaran disekitar pelabuhan dimana bisa terjadi erosi dasar perairan dan
menimbulkan pendangkalan ditempat lain.

i. Kecepatan angin
Aktifitas pelabuhan dari sisi darat juga dipengaruhi oleh kondisi angin, dimana arah dan
kecepatan angin menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam menentukan lokasi
bongkar muat batubara serta posisi tempat penampungan batubara.

j. Break water
Setiap pelabuhan harus memiliki pemecah gelombang (break water) hal ini untuk
membuat kondisi kolam pelabuhan menjadi aman untuk aktifitas bongkar muat.
Beberapa pelabuhan memiliki break water alami dimana posisi pelabuhan sudah
terlindungi oleh pulau atau alam dari terpaan gelombang besar. Selain itu, break water
biasanya dibuat dari tumpukan beton yang menjorok ke pantai untuk melindungi
pelabuhan. Inovasi teknologi break water akan mengkaji kemungkinan pemakaian
konstruksi terapung khususnya untuk pelabuhan yang memiliki dasar perairan yang
dalam.

k. Jenis dan kapasitas alat bongkar muat


Jenis dan kapasitas alat bongkar muat di pelabuhan akan sangat berpengaruh
terhadap kinerja pelabuhan. Pelabuhan yang memiliki kapasitas alat bongkar muat
yang besar akan mengurangi waktu sandar kapal sehingga jumlah batubara yang
dibongkar menjadi lebih besar dalam satu satuan waktu.

4.3.2 KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PELABUHAN SORONG


Sorong merupakan salah satu daerah yang memiliki sumber daya batubara dalam
jumlah yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai sumber batubara bagi PLTU di
kawasan timur Indonesia.

Saat ini Sorong memiliki beberapa pelabuhan yang berprospek untuk dikembangkan
dimasa yang akan datang. Salah satu diantaranya adalah untuk dikembangkan
sebagai pelabuhan batubara.

Permasalahan pokok dalam penentuan pelabuhan adalah kesesuaian antara fasilitas


darat dan fasilitas pelabuhan serta kondisi geografi serta kondisi alam yang

Page 135 of 183


memungkinkan untuk memuat dan mengangkut batubara ke tempat tujuan. Untuk itu
perlu adanya kajian mengenai pemilihan pelabuhan di Sorong.

a. Kondisi Umum Lingkungan di Sorong

Pembahasan Kondisi Curah Hujan


Kriteria intensitas curah hujan harian:
1) Hujan sangat ringan : Intensitas < 5 mm dalam 24 jam
2) Hujan ringan : Intensitas 5 – 20 mm dalam 24 jam
3) Hujan sedang : Intensitas 20 – 50 mm dalam 24 jam
4) Hujan lebat : Intensitas 50 – 100 mm dalam 24 jam
5) Hujan sangat lebat : Intensitas > 100 mm dalam 24 jam

Kriteria distribusi curah hujan bulanan :

1) Rendah : 0 – 100 mm
2) Menengah : 101 – 300 mm
3) Tinggi : 301 – 400 mm
4) Sangat Tinggi : > 400 mm

Data Curah hujan bulanan di Sorong dapar dikategorikan sebagai curah hujan
menengah hingga tinggi. Bulan Mei dan Juni 2013 adalah maksimum 317 mm di bulan
juni 2013. Pada saat tertentu kondisi cuaca sering hujan setempat sehingga tidak
merata.

Kondisi Arus Laut


Data dari Dishidros menunjukkan bahwa arus laut di teluk Sele cukup deras untuk
beberapa saat . Arus maksimum adalah 18 knot. Pada saat arus deras maka bila
kapal berlayar melawan arus akan kesulitan menembus arus tersebut. Oleh karena itu
jadwal arus sangat diperlukan untuk mencari celah kapan saat yang tepat untuk
berlayar.
Arus laut yang kencang ini disebabkan oleh bentuk selat seperti corong yang
mengerucut sehingga akan menyebabkan arus kuat di bagian ujung kerucut.

Page 136 of 183


Selain bentuk kerucut maka penyebab derasny a arus adalah pada posisi Sorong di
tepi samudra Pasifik, yang mana ketika air pasang dan surut akan berakibat adanya
perpindahan volumen air yang cukup besar.
Untuk keperluan pelayaran maka yang paling penting untuk diperhatikan adalah jadwal
pasang surut dan jadwal arus. Jadwal arus dan pasang surut juga perlu diperhatikan
untuk keperluan bongkar muat.

Kondisi Pasang Surut


Data Dishidros menunjukkan jadwal pasang surut setiap jam sepanjang tahun 2013
yang menunjukkan bahwa pasang tertinggi adalah 1.8 m dan surut 0.2 m. Posisi
pasang surut di Sorong cukup besar ditambah dengan kondisi arus.
Data pasang surut ini diperlukan untuk keperluan bongkar muat kapal sehingga dapat
disesuaikan dengan draf kapal yang akan masuk pelabuhan.
Pelabuhan Petikemas memiliki jetty yang tinggi sehingga untuk keperluan muat
batubara diperlukan floating port yaitu berupa pontón.
Batubara yang diangkut dengan truk dapat langsung masuk ke pontón untuk bongkar
dari truk dengan cara menuangkan dari truk secara hidrolik. Sedangkan untuk
keperluan pemerataan batubara di pontón dapat menggunakan dozer.

b. Kondisi Pelabuhan di Sorong

Untuk melakukan kajian teradap pelabuhan di Sorong maka perlu survei baik darat dan
laut yang mana akan memerlukan dana yang cukup besar sedhingga Mitra BPPT
dalam hal ini PT PLN Batubara dapat berperan memberikan fasilitas untuk survei di
Sorong. Berikut beberapa pelabuhan yang disurvei :

1) Pelabuhan Peti Kemas Sorong


Pelabuhan peti kemas merupakan salah satu pelabuhan besar yang ada di Sorong.
Pelabuhan ini dibangun oleh PT. PELINDO II dengan target kapasitas 400.000 TEUs
pertahun yang nantinya dikelola oleh daerah. Kondisi saat ini bahwa pelabuhan
tersebut jarang digunakan untuk bongkar muat petikemas karena masih dilakukan di
Sorong. Jarak pelabuhan ke kota Sorong +/- 25 km menyebabkan masih sepinya
pelabuhan ini. Selain pelabuhan petikemas maka pelabuhan ini juga telah dibangun di
sebelah nya pelabuhan Semen Gresik dan pelabuhan LPG milik Petrochina.

Page 137 of 183


Gambar 58
Pelabuhan Peti Kemas Sorong

Tabel.28
Analisa Pelabuhan Petikemas
No Kondisi dan Analisa Satuan Pelabuhan Petikemas
1 Darat
Jarak ke Lokasi Tambang km 32
Kondisi Jalan jalan aspal
Kelas Jalan Kelas 1

2 Pelabuhan
Jetty ada
Kedalaman Jetty m 9
Panjang Jetty m 190 meter
Kolam tidak ada
Pelindung P Yawyaw
Coal Loader Facility tidak ada
Stockpile tidak ada
Penduduk sekitar ada
Rambu Laut ada
Pelabuhan Lain Semen,Petikemas,LPG

3 Laut
Jarak ke Sorong nmiles 10
Panjang Alur Selat Salawati nmiles 57
Panjang Alur Selat Sele nmiles 38
Arus (Max) knot 19
Curah Hujan mm sedang
Surut ( Min ) m 0.2
Pasang ( Max ) m 1.8
Rata-rata m 1.4
Angin knot 18

Page 138 of 183


Di sekitar areal pelabuhan terdapat pelabuhan semen dan pelabuhan LPG milik Petro
China serta pelabuhan koral untuk masyarakat disekitarnya.

Gambar 59
Pelabuhan Semen

Gambar. 60
Pelabuhan LPG Petro China

Page 139 of 183


Gambar 61
Pelabuhan Koral

2) Pelabuhan Perikanan Katimin


Pelabuhan ini adalah pelabuhan perikanan yang dilengkapi dengan pom bbm dan cold
storage. Terdapat jetty yang dapat digunakan untuk bongkar muat .

Gambar 62
Pelabuhan Perikanan Katimin

Page 140 of 183


Tabel.29
Analisa Pelabuhan Katimin

No Kondisi dan Analisa Satuan Pelabuhan Katimin


1 Darat
Jarak ke Lokasi km 15
Tambang
Kondisi Jalan jalan aspal
Kelas Jalan Kelas 3

2 Pelabuhan
Jetty ada
Kedalaman Jetty m 9
Panjang Jetty m 190 meter
Kolam tidak ada
Pelindung P Makmak
Coal Loader Facility tidak ada
Stockpile tidak ada
Penduduk sekitar ada
Rambu Laut ada
Pelabuhan Lain Perikanan

3 Laut
Jarak ke Sorong nmiles 16
Panjang Alur Selat nmiles 63
Salawati
Panjang Alur Selat nmiles 32
Sele
Arus (Max) knot 19
Curah Hujan mm sedang
Surut ( Min ) m 0.2
Pasang ( Max ) m 1.8
Rata-rata m 1.4
Angin knot 18

Page 141 of 183


Gambar 63
Fasilitas Coldstorage dan Station BBM Pelabuhan Perikanan Katimin

3) Pelabuhan Logging

Gambar. 64
Pelabuhan Logging

Page 142 of 183


Tabel.30
Analisa Pelabuhan Logging

No Kondisi dan Analisa Satuan Pelabuhan Logging


1 Darat
Jarak ke Lokasi km 5
Tambang
Kondisi Jalan tidak ada
Kelas Jalan tidak ada

2 Pelabuhan
Jetty tidak ada
Kedalaman Jetty m 6
Panjang Jetty m 190 meter
Kolam tidak ada
Pelindung P Kararabu
Coal Loader Facility tidak ada
Stockpile tidak ada
Penduduk sekitar tidak ada
Rambu Laut tidak ada
Pelabuhan Lain tidak ada

3 Laut
Jarak ke Sorong nmiles 21
Panjang Alur Selat nmiles 68
Salawati
Panjang Alur Selat nmiles 27
Sele
Arus (Max) knot 19
Curah Hujan mm sedang
Surut ( Min ) m 0.2
Pasang ( Max ) m 1.8
Rata-rata m 1.4
Angin knot 18

Page 143 of 183


Gambar 65
Water Front Pelabuhan Logging

4.4 KAJIAN TEKNOLOGI RAILVEYOR UNTUK TRANSPORTASI BATUBARA

4.4.1 Kajian Teknologi Moda Angkutan Rail-Veyor

Pada saat ini diperkirakan puluhan juta ton batubara diangkut melalui jalan raya dan
akibatnya sangat berdampak pada kenaikan biaya produksi. Oleh karena itu
diperlukan kajian teknologi angkutan batubara yang lebih efisien dengan teknologi
yang sesuai dengan pensyaratan dan standar pengakutan batubara.

a. Input Desain Rail-Veyor

Untuk membuat desain angkutan batubara rail-veyor dibutuhkan masukan data,


sebagai berikut:

1) Posisi lokasi rail-veyor: data longitude, latitude


2) Data umum yang diperlukan:
 Jenis material yang diangkut (batubara)
 Jarak angkut ( km)
 Elevasi lokasi di atas permukaan laut (m)
Page 144 of 183
 Elevasi lokasi pada kondisi loading dan unloading
 Maksimum ukuran material
 Densitas bulk material
 Jumlah ton rata-rata produksi: per tahun/per hari/per jam
 Jumlah hari operasi per bulan/per tahun
 Jumlah waktu operasi per hari atau per sistem atau per sistem shift
3) Biaya Pengeluaran: biaya modal, biaya operasi, biaya maintenance material/
spare.
4) Lokasi dan Rute Rail-Veyor: peta lokasi, rute pengangkutan, rute topografi
data geoteknik, data geografi dan data iklim.

 Pensyaratan keamanan (safety)


 Kondisi lingkungan (perijinan, flora, fauna, kandungan carbon)
 Kondisi 145etric komunitas (bunyi, debu, penerangan, jarak dari
bangunan gedung atau infrastruktur)
 Kondisi perlintasan (jalan, sungai, medan yang sulit)
 Kondisi iklim/cuaca (cuaca panas atau dingin, curah hujan atau salju)
 Asal sumber material (daerah tambang, quarry, proses, dll)
 Profil produksi di atas 12 bulan suplai.
 Kandungan campuran (%low, %hight, % yypical)
 Material pH (%low, %hight, % typical)
5) Sistem Desain Loading – Unloading

6) Power Supply (Volt, Ph, Hz, Amps), meliputi ketersediaan daya di lokasi,
akses daya menuju lokasi, keamanan lokasi dan tambahan penerangan.

7) Ketersediaan Sumber/Fasilitas Lokal (local contracting, local fabrication)

b. Komponen Utama Rail-Veyor

Sistem angkutan batubara rail-veyor merupakan kombinasi dari sistem kereta


konvensional dengan sistem belt conveyor membentuk suatu sistem angkutan
batubara terpadu yang dapat dikendalikan jarak jauh melalui beberapa stasiun
penggerak. Sistem ini dapat dikembangkan lebih fleksibel dan lebih ekonomis untuk
mengangkut material dalam jarak ratusan meter bahkan dalam ratusan kilometer.

Page 145 of 183


1) Gerbong Kereta

Gerbong kereta rel yang pertama dari sistem rail-veyor mempunyai 4 roda dan gerbong
selanjutnya mempunyai 2 roda. Konstruksi gerbong kereta rail-veyor mempunyai sendi
yang dapat berputar permanen atau semi-permanen, sehingga kereta dapat berputar
lebih tajam sepanjang rel.

Gambar 66
Gerbong Kereta Rail-Veyor

Gerbong kereta rail-veyor dirancang untuk beroperasi dalam posisi terbalik dengan
menggunakan rel ganda yang diposisikan secara paralel. Inovasi ini memberikan
kemudahan untuk melakukan bongkar-muat secara kontinyu dengan menggunakan
teknologi roller coaster. Berat kereta rail-veyor untuk kondisi beban penuh kurang dari
3 ton, sedangkan berat gerbongnya sendiri sekitar 0,68 ton dan dapat menyimpan 1
ton produk.

Gambar 67
Gerbong Kereta Rail-Veyor Posisi Terbalik

Page 146 of 183


Bentuk profil dari rail-veyor lebih kecil, sehingga lebih mudah untuk melalui perlintasan
jalan atau terowongan. Sistem rail-veyor dapat melakukan perjalanan di mana moda
angkutan material lainnya tidak bisa, seperti melakukan perlintasan melalui terowongan
yang sempit dengan ukuran diameter sekitar 1,83 meter dengan konstruksi jalan di
atasnya, sehingga memungkinkan sistem rail-veyor bekerja secara efektif.

Gambar 68
Terowongan Perlintasan Kereta Rail-Veyor

Gerbong pada rail-veyor didesain dalam berbagai ukuran lebar, antara lain 0,6 m, 0,76
m, dan 0,91 m untuk aplikasi bawah tanah (terowongan) dan lebar rel sampai 1,22
meter untuk aplikasi di atas permukaan.

Ukuran Lebar kereta : 0.76 meter untuk operasi di bawah permukaan.

Page 147 of 183


Ukuran lebar kereta : 1,22 meter untuk operasi di atas permukaan.

Gambar 69
Bentuk Gerbong Kereta Rail-Veyor

2) Jalan Rel

Jenis rel yang digunakan termasuk rel ringan, dilengkapi 2 roda kereta untuk setiap
gerbong kereta. Rancangan gerbong kereta rail-veyor disesuaikan dengan besarnya
kapasitas tonase yang diperlukan, panjang kereta, bentuk lintasan, proses dumping
pada saat pembongkaran muatan serta jarak antara kereta dimana flap terpasang
secara fleksibel untuk menjaga terjadinya kebocoran atau tumpahnya material dari
gerbong.

Gambar 70
Rel Ringan pada Sistem Rail-Veyor

Rel pada sistem rail veyor menggunakan rel ringan dan kereta gerbong ringan dan
hanya menggunakan ballast minimal atau tanpa ballast dan dapat menggunakan
sleeper.
Page 148 of 183
Gambar 71
Roda dan Pelat pada Gerbong Kereta Rail-Veyor

3) Sistem Penggerak dan Sub Stasiun

Rail–veyor menggunakan sumber listrik yang dapat dikendalikan jarak jauh melalui
pusat kendali. Pemakaian listrik pada sistem operasi rail-veyor dapat dihemat secara
efisien dengan menggunakan sistem penggerak yang dipasang pada setiap sub
stasiun.

Sistem penggerak terdiri atas 2 motor penggerak dan masing-masing dilengkapi


dengan gear reducer yang berfungsi untuk memutar ban penggerak dan melakukan
kontak dengan pelat sisi kereta yang difungsikan untuk mendorong rail-veyor bergerak
maju-mundur. Kecepatan maju dan mundur kereta dikendalikan dengan menggunakan
motor inverter dan mempunyai daya yang cukup untuk menggerakkan kereta di atas rel
pada kondisi bermuatan.

Page 149 of 183


Gambar 72
Sistem Penggerak dan Sub Stasiun Rail-Veyor
Penempatan sub stasiun penggerak disesuaikan dengan panjang kereta dan
kemiringan jalan trek. Konsumsi pemakain listrik dapat dilakukan dengan melakukan
sistem shut-down daya dengan menggunakan sistem sensor, yaitu pada saat kereta
telah melewati stasiun penggerak dan pada kondisi tidak berkontak dengan pelat sisi
kereta.

Sistem pengamanan kereta dan pemberhentian kereta dalam keadaan darurat dapat
dilakukan melalui sistem pengereman pada stasiun penggerak. Sistem kereta, lintasan
trek dan sistem penggerak dirancang sedemikian rupa agar kereta mampu beroperasi
pada posisi menanjak dan menurun. Dengan konfigurasi ini, kereta dapat dengan
mudah melakukan proses dumping dan secara kontinyu melakukan proses loading dan
unloading dengan menggunakan teknologi roller coaster.

Kondisi optimum sistem operasi rail-veyor hampir sama dengan sistem operasi belt
conveyor ataupun sistem pada kereta, namun rail-veyor mempunyai kelebihan dapat
beroperasi pada kondisi kemiringan tanjankan sampai dengan 20% dan jari-jari putaran
minimum 30 meter pada kecepatan yang tinggi. Dengan ukuran kereta yang kecil dan
sistem muatan ringan, maka rancangan kereta ini dapat melintasi jembatan,
terowongan, sungai dan rintangan lainnya.

4) Rangka Pendukung

Konstruksi rangka pendukung rail-veyor dirancang sesuai kondisi pertambangan yang


memiliki kontur tanah yang naik turun. Gradien maksimum untuk konstruksi adalah
20%. Sedangkan untuk pertambangan dengan kontur tanah yang rata, tidak diperlukan
adanya rangka pendukung.
Page 150 of 183
Gambar 73
Konstruksi Rangka Pendukung Rail Veyor

5) Sistem Loading dan Unloading

Loading adalah kondisi posisi kereta dimana muatan batubara dimasukkan ke dalam
gerbong. Sedangkan unloading/dumping adalah posisi dimana muatan dikeluarkan dari
gerbong kereta.

Gambar 74
Proses Loading/Unloading
Pada sistem rail-veyor, desain konfigurasi gerbong, trek dan sistem penggerak diatur
sedemikian serupa dengan desain roller coaster, sehingga mampu mengoperasikan
gerbong di kedua posisi tegak dan pada kondisi kereta terbalik. Konfigurasi ini
memungkinkan gerbong dengan mudah membuang material dan terus melakukan
loading dan unloading. Rail-Veyor dapat melakukan konfigurasi dimana gerbong kereta
melakukan dumping dalam posisi tegak pada bidang horizontal.

Page 151 of 183


Ketika bergerak melalui loop, material dibuang secara gravitasi dan selanjutnya
gerbong bergerak terbalik kemudian kembali ke posisi tegak.

6) Pusat Kendali Rail-Veyor

Rail-veyor merupakan salah satu alat angkut material yang dapat digunakan untuk
pengangkutan material di permukaan maupun di bawah permukaan tanah.

Gambar 75
Ruang Pusat Kendali Rail-Veyor

Daya elektrikal pada sistem rail-veyor dikendalikan secara jarak jauh melalui stasiun
Pusat Kendali yang terkoneksi dengan trek rel dengan rangkaian lebih dari satu kereta.
Setiap gerbong pada rangkaian rail-veyor dikonstruksikan secara serie dengan
menggunakan 2 roda.

7) Lintasan dan Sensor Posisi Rail-Veyor


Rail-veyor dijalankan sepanjang rute angkutan batubara melewati stasiun penggerak.
Pada saat melewati stasiun penggerak pelat yang terpasang di sisi kereta berkontak
dengan ban penggerak pada stasiun penggerak. Kecepatan rail veyor dikendalikan
dengan menggunakan sensor posisi yang dipasang di stasiun penggerak (SP) untuk
mendeteksi keberadaan kereta yaitu posisi roda dan pelat kereta.

Page 152 of 183


Gambar 76
Bentuk Lintasan Rail-Veyor dan Posisi Stasiun Penggerak

Perintah agar kereta mulai bergerak dikendalikan dari stasiun penggerak untuk
menjalankan kereta dari Stasiun Awal SP1 ke Stasiun Penggerak SP2 berikutnya.
Segera setelah mulai start ke Stasiun Penggerak SP2, maka kereta segera melakukan
percepatan sesuai target kecepatan yang telah ditentukan untuk sikronisasi kecepatan
antara Stasiun Awal SP1 dan SP2. Setelah kereta sampai di Stasiun SP2, maka pada
stasiun SP2 segera melakukan perintah stop di stasiun SP1. Lihat ilustrasi lintasan
kereta pada gambar 76 di atas .

Gambar 77
Grafik Kecepatan dan Waktu Kereta di Stasiun Penggerak

Page 153 of 183


Gambar 78
Komponen Roda Penggerak dan Pelat di Sisi Kereta

Gambar 79
Stasiun Penggerak dan Posisi Sensor

Page 154 of 183


Gambar 80
Posisi Stasiun Penggerak dan Sensor

a
G

Gambar 81
Grafik Kecepatan Pergerakan Kereta pada
Proses Loading dan Unloading

Page 155 of 183


Gambar 82
Plot Posisi Roda Kereta dan Posisi Sensor
untuk Menggerakkan Roda Penggerak dan Pelat Sisi Kereta

Gambar 83
Pergerakan Kereta pada saat Proses Unloading

c. Dimensi Umum Rail-Veyor

Secara teoritis tidak ada ketentuan batasan dimensi kereta rail-veyor, hal ini berarti
bahwa ukuran panjang dan jumlah kereta terpasang ditentukan berdasarkan besarnya
kapasitas produksi batubara. Besarnya kecepatan kereta didasarkan pada besarnya
Page 156 of 183
torsi, rasio roda gigi, dan diameter ban penggerak. Kecepatan rail-veyor sampai
dengan 12 m/detik atau 32 km/jam.

Tabel 31
Dimensi Umum dan Spesifikasi Teknis Rail-Veyor

No Uraian Ukuran Spesifikasi

1 Panjang Gerbong (Car) 0.76 – 2.44 m


2 Diameter Gerbong Kereta 0.50 – 1.22 m
3 Panjang Kereta Rail-Veyor < 402 m utk 0.76 m car – 1.07 m
1.22 m car – 3.66 m
4 Diameter Loop Vertical Outside Dump
2.44 m car – 5.94 m
5 Diameter Roda Kereta 31 – 41 cm
6 Diameter Ban Penggerak 61 – 107 cm
Track Spacing:
7 81 – 178 cm
No standard gauge, Adjustable gauge rods used
8 Berat Rel per meter 10.0 – 30.0 kg/m
9 Persyaratan Track Bed Ballast Minimal or Nil
10 Pengikat Rel/Sleepers Minimal or Nil
11 Ground Loading ±3.0 psi ±0.21 bar
12 Train Density of Track System Up to 33%
Radius Belok Minimum utk Panjang Gebong 0.76 –
13 10 – 30 m
2.44 m
15 Jarak Tempuh Maksimum Tidak dibatasi
16 Kecepatan Maksimum +10 m/s
Daya Motor Penggerak : 2 set per Stasiun
17 10 – 100 HP atau 7.5 -75 kW
Penggerak
18 Grade Maksimum ±20%
Gear Reduction: Penggerak secara elektrik
19 10:1 – 34:1
(berbagai opsi sistem pengereman)
20 Sistem Monitoring Posisi Kereta & Gerbong Proximity and/or Ultrasonic
21 Jaringan kendali Ethernet

Page 157 of 183


4.4.2 Kajian Ekonomi Moda Angkutan Rail-Veyor
a. Keuntungan Penggunaan Rail Veyor
Rail-veyor merupakan teknologi kombinasi antara kereta api konvensional dan
conveyor. Perpaduan teknologi ini menciptakan alat transportasi yang unik, fleksibel,
dan sangat fungsional untuk mengangkut material.

Keuntungan penggunaan rail-veyor melalui penghematan biaya modal dan biaya


operasional, diuraikan sebagai berikut:

1) Biaya investasi yang dibutuhkan lebih rendah dan lebih hemat biaya

a) Penggunaan Rel Ringan


Rail-veyor menggunakan rel ringan (berat sekitar 20 kg/m dibandingkan dengan
rel kereta konvensional sekitar 60 kg/m) dan dibolehkan tanpa menggunakan
ballast atau pengikat rel, sehingga dapat mengurangi biaya persiapan dan biaya
instalasi rel.

Gambar 84
Bentuk Instalasi Rel Ringan pada Rail-Veyor

b) Infrastruktur Terowongan
Bentuk profil rail-veyor lebih kecil dibandingkan dengan moda angkutan
konvensional, sehingga infrastruktur lintasan jembatan dan terowongan
dapat dibuat lebih kecil dibandingkan dengan angkutan konvensional,
sehingga dapat mengurangi biaya fasilitas prasarana atau bangunan bawah
tanah yang akan dilewati.

Page 158 of 183


Gambar 85
Perbandingan Terowongan Truk dan Rail-veyor

c) Tingkat kemampuan operasional rail-veyor dapat mencapai 20%, sehingga


dapat mengurangi biaya dan waktu persiapan infrastruktur.
d) Radius belok lebih pendek (30m), sehingga dapat mengurangi biaya trek/rail
footprint.
e) Fleksibilitas dalam pemilihan rute dan topografi lahan, sehingga tidak
mengganggu fungsi lahan yang ada.

2) Penggunaan daya listrik rendah

a) Biaya penggunaan energy listrik kWh per ton-km untuk angkutan rail-veyor
lebih rendah dibandingkan dengan angkutan batubara lainnya.

Tabel 32
Perbandingan Pemakaian Energi Angkutan Batubara
Penggunaan
Jenis Angkutan
kWh per ton-km
Truk off-road 0,9 – 1,2
Pipa slurry 0,6 – 0,8
Conveyor 0,5 – 0,7
Rail-Veyor*) 0,2 – 0,3

3) Biaya operasional dan pemeliharaan lebih rendah

Biaya operasional dan pemeliharaan rail-veyor lebih rendah dibandingkan


dengan sistem pengangkutan konvensional rel kereta, truk dan conveyor, antara
lain:
Page 159 of 183
a) Sistem operasional rail-veyor adalah otomatis, sehingga dapat mengurangi
biaya tenaga kerja.

b) Sistem penggerak untuk menjalankan rail-veyor menggunakan energi yang


sangat efisien, sehingga menghasilkan biaya operasi yang rendah.

c) Muatan yang diangkut rail-veyor rendah, sehingga dapat memperbaiki


reliability dan mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan sistem.

d) Tingkat reliabilitas tinggi, karena menggunakan sistem kendali operasional


otomatis, yaitu:

 Tidak memerlukan sistem operator kendali secara langsung dan sistem


ini dapat dikendalikan secara otomatis dengan sistem GPS dan teknologi
sensor.

 Sistem rail-veyor beroperasi secara kontinyu untuk proses loading


maupun unloading.

 Proses unloading dilakukan dengan cara membalik kereta rail-veyor


untuk mengoptimalkan kinerja sistem.

 Sistem keamanan rail-veyor beroperasi secara otomatis, sehingga dapat


mengurangi jumlah operator dan peralatan.

e) Pemeliharaan rail-veyor lebih mudah

 Sistem penggerak rail-veyor menggunakan daya listrik hanya bila


berkontak dengan kereta, sehingga sangat efisien dalam menggunakan
daya listrik.

 Komponen rail-veyor sangat sederhana, sehingga dengan cepat dan


mudah dapat diperbaiki atau diganti.

 Sistem penggerak sangat sederhana, sehingga dapat diganti dengan


mudah.

4) Kapasitas muat yang lebih besar dan kontinyu dan dapat dikembangkan
lebih fleksibel dan scaleable

Page 160 of 183


a) Kapasitas muat kereta dapat diperbesar dengan menambah jumlah gerbong
muat.

b) Sistem peralatan dan layout sistem rail-veyor sangat fleksibel, sehingga


dapat dirancang dan diskalakan untuk memenuhi jarak angkut, ukuran dan
spesifikasi produk.

c) Dapat melakukan tanjakan sampai 20% dan dapat melakukan maneuver


dengan radius sampai 30 meter pada kecepatan 8 m/s.

d) Sistem rel ringan, sehingga kereta dan stasiun penggerak dapat dengan
mudah dipindahkan ke lokasi lain.

e) Sistem rail veyor dapat dirancang mengikuti kondisi alur trek yang ada.

5) Ramah Lingkungan

a) Sistem penggerak rail-veyor adalah eletrikal dan dirancang dengan


menggunakan emisi yang rendah, sehingga dapat mengurangi emisi carbon.

b) Lay-out rute dan trek dipilih untuk menjaga fungsi lahan dan mengurangi
emisi.

c) Emisi akibat dari pengangkutan material dan mengurangi pengaruhnya pada


alam dan lingkungan kerja.

b. Komponen Biaya Pembangunan Rail-Veyor

Komponen biaya yang berkaitan dengan biaya pengadaan, pembangunan,


operasional dan pemeliharaan Rail-veyor menurut Rail-Veyor Technology, Inc,
Florida Institute of Phospharte Research, 2002 1), dikelompokkan sebagai
berikut :

1) Biaya pengadaan peralatan, termasuk harga komponen rail-veyor, yaitu:


- Unit penggerak & kontrol (biaya sekitar 40%)
- Peralatan pit dan booster
- Reclaimer matrix
- Peralatan loading hopper mining stockpile
- Matrix and hydraulic pipe
- Sistem rel (12 miles), (biaya sekitar 23 %)
Page 161 of 183
- Unit gerbong kereta muat /car, (biaya sekitar 32%)
- Stasiun dumping, (biaya sekitar 5%)
- Power lines dan kabel
- Peralatan pendukung Lainnya
2) Biaya pembangunan/Instalasi rail-veyor
3) Biaya operasional/produksi, mencakup pembiayaan operasional setelah rail-
veyor beroperasi/berproduksi, termasuk pembiayaan energi penggerak.
4) Biaya pemeliharaan/maintenance, mencakup biaya untuk pengecekan fungsi
alat, biaya pemeliharaan rel, biaya perbaikan dan penggantian peralatan baik
yang rutin maupun yang emergency.

c. Perbandingan Kemampuan Operasional

Beberapa aspek utama yang dipertimbangkan sebagai kemampuan


pengoperasian rail-veyor dibandingkan dengan angkutan konvensional lainnya,
yaitu:

Table 33
Kemampuan Operasional Moda Angkutan Batubara

Uraian Rail-Veyor Truk Kereta Rel Conveyor

Sistem kendali otomatis X X

Tidak menimbulkan emisi/polusi X X

Tenaga kerja minimal X X


Maintenance komponen mekanik
X X
lebih praktis dan sederhana
Biaya maintenance peralatan X X X

Maintenance prasarana rute X X


Kemampuan loading dan
X X
unloading secara kontinyu
Lifetime peralatan tinggi X X

OPEX per ton rendah X


CAPEX per km Rendah X
Capital Expenditure
efek terhadap lingkungan Minimal X X

Mudah untuk di re-lokasi X X


Tidak membutuhkan transfer
X
point
Page 162 of 183
d. Daya Saing Ekonomi per Moda Transportasi

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan tambang


batubara COALTECH Coal Transport Investigation yang dilaksanakan oleh
Crickmay & Associates (Pty) Ltd pada tanggal 29 Agustus 2009, dijelaskan
bahwa penilaian moda transportasi batubara didasarkan antara lain, jarak
angkut, kondisi lokasi, kapasitas produksi per tahun, lokasi geografis dan
berbagai lainnya. Penilaian pada level yang lebih tinggi adalah bagaimana
memilih teknologi yang paling tepat, memenuhi persyaratan, biaya yang efektif
dan aman, dan minimalisasi dampak sosial-ekonomi

Berdasarkan hasil analisis daya saing ekonomi dari investagasi tersebut, maka
diidentifikasi sekitar 16 jenis moda transportasi batubara, sebagai berikut :

Table 34
Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Pendek2)

Jarak Angkut < 10 km 2)


Skenario A Skenario B Skenario C
Produksi 1 Juta Produksi 5 Juta Produksi 50 Juta
Metrik Ton/Tahun Metrik Ton/Tahun Metrik Ton/Tahun
Jenis Moda Rangking Jenis Moda Rangking Jenis Moda Rangking
Rail-Veyor 1 Rail-Veyor 1 Conveyor 1
Kereta 180 ton 2 Aerial Ropeway 2 Pipe Conveyor 2
Kereta 105 ton 3 Conveyor 3 Rail-Veyor 3
PBS Vehicle 48 ton 4 Pipe Conveyor 4 Rope Conveyor 4
Aerial Ropeway 5 Kereta 180 ton 5 Aerial Ropeway 5
Quantum 1 38 ton 6 Kereta 105 ton 6 Kereta 180 ton 6
Conveyor 7 PBS Vehicle 48 ton 7 Kereta 105 ton 7
Truk 31 ton 8 Quantum 1 38 ton 8 PBS Vehicle 48 ton 8
Pipe Conveyor 9 Truk 31 ton 9 Quantum 1 38 ton 9
Rope Conveyor 10 Rope Conveyor 10 Truk 31 ton 10

Berdasarkan hasil evaluasi pada tabel 34 di atas, diperoleh bahwa untuk jarak
angkut jarak pendek kurang dari 10 km dinilai bahwa dari 10 moda angkutan
batubara yang memiliki kapasitas produksi 1 juta – 5 juta ton per tahun, maka
moda angkutan rail-veyor dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat

Page 163 of 183


pertama. Sedangkan untuk produksi sekitar 50 juta ton per tahun dinilai bahwa
moda angkutan conveyor masih lebih baik dibandingkan dengan moda rail-
veyor.
Table 35
Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Sedang 2)

Jarak Angkut 10 km-100 km 2)


Skenario A Skenario B Skenario C
Produksi 1 Juta Produksi 5 Juta Produksi 50 Juta
Metrik Ton/Tahun Metrik Ton/Tahun Metrik Ton/Tahun
Rangkin
Jenis Moda Rangking Jenis Moda Rangking Jenis Moda
g

Kereta Berat 1 Rail-veyor 1 Conveyor 1


PBS Vehicle 48 ton 2 Kereta Berat 2 Pipe Conveyor 2
Quantum 1 38 ton 3 Kereta 180 ton 3 Rail-veyor 3
Kereta GFB 4 Conveyor 4 Rope Conveyor 4
Kereta 180 ton 5 Coal Log Pipeline 5 Coal Log Pipeline 5
Kereta 105 ton 6 Kereta 105 ton 6 Kereta 180 ton 6
Truk 31 ton 7 PBS Vehicle 48 ton 7 Kereta Berat 7
Coal Log Pipeline 8 Aerial Ropeway 8 Kereta 105 ton 8
Kereta Berat
Rail-veyor 9 Kereta GFB 9 9
(private)
Conveyor 10 Pipe Conveyor 10 PBS Vehicle 48 ton 10
Aerial Ropeway 11 Quantum 1 38 ton 11 Kereta GFB 11
Pipe Conveyor 12 Slurry Pipeline 12 Kereta GFB (private) 12
Slurry Pipeline 13 Truk 31 ton 13 Quantum 1 38 ton 13
Kereta GFB (private) 14 Kereta Berat (private) 14 Slurry Pipeline 14
Kereta Berat (private) 15 Kereta GFB (private) 15 Truk 31 ton 15
Rope Conveyor 16 Rope Conveyor 16 Aerial Ropeway 16
2) Hasil investigasi CRICKMAY Coaltech Transport Investigation, 28 Agustus 2009

Berdasarkan hasil evaluasi pada tabel 35 di atas, diperoleh bahwa untuk jarak
angkut sedang 10 km – 100 km dinilai bahwa dari 16 moda angkutan batubara
yang memiliki kapasitas produksi 5 juta – 50 juta metric ton per tahun, maka rail
veyor dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat pertama pada kapasitas
produksi 5 juta ton per tahun. Sedangkan untuk produksi sekitar 50 juta metric
ton per tahun moda angkutan conveyor masih lebih baik dibandingkan dengan
moda rail-veyor.

Page 164 of 183


Table 36
Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Jauh 2)

Jarak Angkut 100 km-1000 km 2)


Skenario A Skenario B Skenario C
Produksi 1 Juta Produksi 5 Juta Produksi 50 Juta
Metrik Ton/Tahun Metrik Ton/Tahun Metrik Ton/Tahun
Jenis Moda Rangking Jenis Moda Rangking Jenis Moda Rangking

Kereta Berat 1 Kereta Berat 1 Coal Log Pipeline 1

Kereta GFB 2 Coal Log Pipeline 2 Rail-veyor 2

Coal Log Pipeline 3 Slurry Pipeline 3 Kereta Berat 3

PBS Vehicle 48 ton 4 Kereta GFB 4 Slurry Pipeline 4

Kereta Berat
Quantum 1 38 ton 5 Rail-veyor 5 5
(private)

Kereta 180 ton 6 Kereta 180 ton 6 Kereta GFB 6


Kereta GFB
Truk 31 ton 7 PBS Vehicle 48 ton 7 7
(private)

Slurry Pipeline 8 Kereta 105 ton 8 Kereta 180 ton 8

Kereta 105 ton 9 Quantum 1 38 ton 9 Kereta 105 ton 9

Rail-veyor 10 Truk 31 ton 10 PBS Vehicle 48 ton 10

Kereta GFB (private) 11 Kereta GFB (private) 11 Quantum 1 38 ton 11

Kereta Berat (private) 12 Kereta Berat (private) 12 Truk 31 ton 12


2) Hasil investigasi CRICKMAY Coaltech Transport Investigation, 28 Agustus 2009

Berdasarkan hasil evaluasi pada tabel 36 di atas, diperoleh bahwa untuk jarak
angkut jauh 100 km – 1000 km dinilai bahwa dari 12 moda angkutan batubara
yang memiliki kapasitas produksi 1 juta – 50 juta ton per tahun, maka Kereta
Berat dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat pertama pada kapasitas
produksi 1-5 juta ton per tahun dan moda rail-veyor pada jarak angkut ini
mempunyai daya saing ekonomi lebih rendah. Sedangkan untuk produksi sekitar
50 juta ton per tahun moda angkutan coal log pipeline dan rail-veyor masih lebih
baik dibandingkan dengan moda lainnya.

Page 165 of 183


BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kajian Logistik Batubara

Berdasarkan uraian di BAB IV mengenai kegiatan dan pembahasan sistem logistik


batubara untuk ketahanan energi, maka kiranya direkomendasikan beberapa hal yang
harus dilakukan dalam rangka menggunakan kasus transportasi batubara di Kawasan
Timur Indonesia sebagai pijakan untuk mengembangkan sistem logistik batubara
nasional atau bahkan dalam rangka membangun sebuah sistem logistik nasional
(silognas), yaitu:

1. Sistem logistik adalah bagian dari manajemen supply chain dalam perencanaan,
pengimplementasian, dan pengontrolan aliran dan penyimpanan barang, informasi,
dan pelayanan yang efektif dan efisien dari titik asal ke titik tujuan sesuai dengan
permintaan konsumen. Untuk mengalirkan barang dari titik asal menuju titik tujuan
akan membutuhkan beberapa aktivitas yang dikenal dengan aktivitas kunci dalam
logistik diantaranya:13 1) customer service, 2) demand forecasting/planning, 3)
inventory management, 4) logistics communications, 5) material handling, 6) traffic
0and transportation, dan 7) warehousing and storage.

2. Mengingat bahwa batubara adalah komoditas yang khusus dengan sistem logistik
yang khusus, maka pemahaman supply chain batubara harus dilakukan untuk
membangun sebuah model yang menjamin kehandalan pasokan dengan biaya
transportasi yang minimal.

3. Model jaringan transportasi batubara yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk


pendekatan dalam membangun sebuah model transportasi bagi komoditas yang
juga bersifat khusus.

4. Kondisi geografis wilayah Indonesia Timur yang cukup luas disatu sisi serta
tersebarnya PLTU yang harus dilayani menyebabkan sistem transportasi batubara
menjadi cukup komplek untuk dibangun.

13Lambert, D.M.; Cooper, M.C. and Pagh, J.D. (1998): Supply chain management: implementation issues
and research opportunities, International Journal of Logistics Management, 9 (2), 1-19.

Page 166 of 183


5. Hasil-hasil kajian untuk sitem logistik menunjukan bahwa transportation network
dengan model jaringan Hub and Spoke menjadi alternatif yang cukup
menguntungkan bagi angkutan batubara di Indonesia Timur.

6. Konfigurasi jaringan transportasi Hub and Spoke yang dibarengi dengan pilihan
alternatif moda angkutan laut yang tepat dapat menjamin keamanan pasokan
dengan biaya transportasi yang relatif rendah.

7. Bersamaan dengan alternatif jenis moda transportasi laut maka harus dilakukan
sebuah pilihan tentang node atau titik yang akan dijadikan Hub dan nodes lain
yang akan dijadikan tujuan akhir.

8. Untuk kasus Indonesai Timur maka node sebagai Hub dapat berupa lokasi tetap
disebuah pulau atau mengembangkan floating storage dengan kapasitas yang
memadai.

9. Disamping pilihan model jaringan pelayanan maka teknologi angkutan darat,


teknologi angkutan sungai, teknologi angkutan laut, dan teknologi pelabuhan
dengan fasilitasnya menjadi sesuatu yang harus didalami untuk membangun
sebuah model angkutan batubara nasioanl yang efisien, aman, dan murah.

5.2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara


1. Dengan hasil analisa hidrostatika (kurva hidrostatika) maka dapat digunakan
sebagai panduan dalam penentuan besarnya pemuatan kapal dengan sarat kapal,
yang berhubungan khususnya dengan kedalaman kolam pelabuhan PLTU.
2. Dari hasil analisa stabilitas SPB 6000 DWT coal vessel diatas, dapat diberikan
rekomendasi terhadap kinerja kapal sebagai acuan dalam pengoperasian kapal.
Adapun rekomendasi dari hasil analisa stabilitas adalah sebagai berikut :

a) Pada kondisi kapal kosong, area dibawah kurva righting lever (GZ curve)
pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan tidak boleh kurang dari 3,151
m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi numerik adalah 168,456
m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak kurang dari 5,157 m.deg, nilai yang didapat dari
simulasi numerik yaitu sebesar 241,774 m.deg. Sedangkan pada sudut
oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ direkomendasikan tidak

Page 167 of 183


boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat dari simulasi numerik
yaitu sebesar 73,318 m.deg.

Maksimum GZ pada sudut oleng ≥ 30° direkomendasikan setidaknya


sebesar 0,2 m, sedangkan nilai yang didapat dari hasil simulasi numerik
sebesar 7,388 m.

Besar sudut oleng yang terjadi pada maksimum GZ direkomendasikan


tidak boleh kurang dari 25°. Nilai yang didapat dari simulasi numerik
sebesar 31,4°.

Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 40,411 m.

Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18) paragraf
3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi numerik
didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.

Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.

Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,235%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 230,256%.

Page 168 of 183


Dari nilai-nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk kondisi
kapal kosong dapat disimpulkan bahwa stabilitas kapal pada kondisi
light ship telah memenuhi desain kriteria yang telah ditetapkan IMO.

b). Pada kondisi kapal muatan penuh berangkat, area dibawah kurva righting
lever (GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan tidak boleh
kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi numerik
adalah 61,425 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak kurang dari 5,157 m.deg, nilai yang didapat dari
simulasi numerik yaitu sebesar 88,562 m.deg. Sedangkan pada sudut
oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ direkomendasikan tidak
boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat dari simulasi numerik
yaitu sebesar 27,137 m.deg.

Maksimum GZ pada sudut oleng ≥ 30° direkomendasikan setidaknya


sebesar 0,2 m, sedangkan nilai yang didapat dari hasil simulasi numerik
sebesar 2,957 m.
Besar sudut oleng yang terjadi pada maksimum GZ direkomendasikan
tidak boleh kurang dari 25°. Nilai yang didapat dari simulasi numerik
sebesar 23,9°.
Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 9,036 m.
Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18) paragraf
3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi numerik
didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.
Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.
Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
Page 169 of 183
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,541%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 232,145%.
Dari nilai-nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk kondisi
muatan penuh berangkat dapat disimpulkan bahwa stabilitas kapal
pada kondisi ini telah memenuhi desain kriteria yang telah
ditetapkan IMO, kecuali pada kriteria besar sudut oleng yang terjadi
pada maksimum GZ, yang mana nilainya lebih kecil dari nilai yang
dipersyaratkan.

c). Pada kondisi kapal muatan penuh tiba, area dibawah kurva righting lever
(GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan tidak boleh
kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi numerik
adalah 63,284 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak kurang dari 5,157 m.deg, nilai yang didapat dari
simulasi numerik yaitu sebesar 91,185 m.deg. Sedangkan pada sudut
oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ direkomendasikan tidak
boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat dari simulasi numerik
yaitu sebesar 27,901 m.deg.

Maksimum GZ pada sudut oleng ≥ 30° direkomendasikan setidaknya


sebesar 0,2 m, sedangkan nilai yang didapat dari hasil simulasi numerik
sebesar 3,045 m.
Besar sudut oleng yang terjadi pada maksimum GZ direkomendasikan
tidak boleh kurang dari 25°. Nilai yang didapat dari simulasi numerik
sebesar 23,9°.
Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 9,277 m.
Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18) paragraf

Page 170 of 183


3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi numerik
didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.
Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.
Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,469%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 231,942%.
Dari nilai-nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk kondisi
muatan penuh tiba dapat disimpulkan bahwa stabilitas kapal pada
kondisi ini telah memenuhi desain kriteria yang telah ditetapkan
IMO, kecuali pada kriteria besar sudut oleng yang terjadi pada
maksimum GZ, yang mana nilainya lebih kecil dari nilai yang
dipersyaratkan.

d). Pada kondisi kapal bermuatan ballast berangkat, area dibawah kurva
righting lever (GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan
tidak boleh kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi
numerik adalah 114,053 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah
kurva GZ direkomendasikan tidak boleh kurang dari 5,157 m.deg, nilai
yang didapat dari simulasi numerik yaitu sebesar 172,715 m.deg.
Sedangkan pada sudut oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat
dari simulasi numerik yaitu sebesar 58,662 m.deg.

Page 171 of 183


Maksimum GZ pada sudut oleng ≥ 30° direkomendasikan setidaknya
sebesar 0,2 m, sedangkan nilai yang didapat dari hasil simulasi numerik
sebesar 5,923 m.

Besar sudut oleng yang terjadi pada maksimum GZ direkomendasikan


tidak boleh kurang dari 25°. Nilai yang didapat dari simulasi numerik
sebesar 31,7°.

Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 17,384 m.

Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18)
paragraf 3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi
numerik didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.

Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.

Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,352%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 264,548%.

Dari nilai-nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk kondisi


kapal bermuatan ballast berangkat dapat diambil kesimpulan bahwa
stabilitas kapal pada kondisi tersebut telah memenuhi desain kriteria
yang telah ditetapkan IMO.
Page 172 of 183
e). Pada kondisi kapal bermuatan ballast saat tiba, area dibawah kurva
righting lever (GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan
tidak boleh kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi
numerik adalah 117,352 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah
kurva GZ direkomendasikan tidak boleh kurang dari 5,157 m.deg, nilai
yang didapat dari simulasi numerik yaitu sebesar 177,312 m.deg.
Sedangkan pada sudut oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat
dari simulasi numerik yaitu sebesar 59,96 m.deg.

Maksimum GZ pada sudut oleng ≥ 30° direkomendasikan setidaknya


sebesar 0,2 m, sedangkan nilai yang didapat dari hasil simulasi numerik
sebesar 6,052 m.

Besar sudut oleng yang terjadi pada maksimum GZ direkomendasikan


tidak boleh kurang dari 25°. Nilai yang didapat dari simulasi numerik
sebesar 32,7°.

Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 18,192 m.

Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18) paragraf
3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi numerik
didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.

Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.

Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
Page 173 of 183
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,313%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 263,14%.

Dari nilai-nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk kondisi


kapal bermuatan ballast saat tiba dapat diambil kesimpulan bahwa
stabilitas kapal pada kondisi tersebut telah memenuhi desain kriteria
yang telah ditetapkan IMO.

3. Dari hasil simulasi seakeeping SPB 6000 DWT coal vessel yang telah
dikemukakan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a) Dari berbagai variasi simulasi yang diberikan, diketahui bahwa kondisi
beam seas merupakan kondisi yang secara umum perlu diwaspadai pada
kapal, karena berpengaruh pada mode gerak roll sangat siknifikan yang
mana terkait dengan stabilitas kapal. Perubahan arah dan kecepatan
kapal sangat diperlukan untuk memperbaiki tingkat roll kapal yang lebih
baik.
b) Secara keseluruhan variasi simulasi respon gerak kapal masih dibawah
ambang limit kriteria operasional kapal yang dikeluarkan oleh NATO
STAGNAG 4154 (US Navy), US. Coast Guard dan NORDFORSK 1987.
c) Perlu dipertimbangkan operasional lapangan dan pola gerak kapal terkait
dengan jenis muatan batu bara curah yang diangkut kapal tersebut.

Page 174 of 183


5.3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara
Dari hasil survei dan analisa data di beberapa lokasi pelabuhan di Sorong maka dapat
disimpulkan bahwa:
Pelabuhan
Kesimpulan Pelabuhan Katimin Pelabuhan Logging
Petikemas
1 Pelabuhan Pelabuhan Katimin Pelabuhan Logging
Petikemas ini memungkinkan memungkinkan
memungkinkan untuk pelabuhan untuk pelabuhan
untuk pelabuhan batubara batubara
batubara
2 Pelabuhan Pelabuhan Katimin Pelabuhan Logging
Petikemas memiliki pulau memiliki pulau
memiliki pulau pelindung pelindung
pelindung dan
rambu laut yang
memudahkan
untuk berlabuh
3 Pelabuhan Pelabuhan Katimin Pelabuhan Logging
Petikemas dapat dapat dilengkapi dapat dilengkapi
dilengkapi dengan dengan floating port dengan floating port
floating port yang yang digunakan yang digunakan
digunakan untuk untuk dam truck untuk dam truck
dam truck

Rekomendasi
Kondisi dan Pelabuhan
Pelabuhan Katimin Pelabuhan Logging
Analisa Petikemas
Pelabuhan ini Pelabuhan ini tidak
Pelabuhan ini dapat
dapat segera dapat segera
Rekomendasi segera digunakan
digunakan dalam digunakan dalam
dalam waktu dekat
waktu dekat waktu dekat
Pengerasan jalan,
Stock pile,
Long Conveyor,
Floating Port, Stock pile, Floating
Fasilitas yang Stock pile, Floating
Conveyor, coal Port, Conveyor, coal
diperlukan Port, Short
loader, truck, loader, truck, dozer
Conveyor, coal
dozer
loader, truck, dozer

5.4 Kajian Sistem Railveyor untuk Transportasi Logistik Batubara

Pertimbangan pemilihan moda angkutan batubara adalah bagaimana memilih moda angkutan
dengan teknologi yang paling tepat, memenuhi persyaratan dan standar, biaya yang efektif,
aman, dampak negatif sosial-ekonomi yang minimal dan ramah lingkungan, maka kriteria
desain dirumuskan, sebagai berikut:

Page 175 of 183


a) Memenuhi kemampuan untuk mengangkut batubara sesuai dengan jarak angkut dan
kapasitas produksi tambang.

b) Memenuhi keandalan sistem angkutan batubara untuk tetap beroperasi secara


kontinyu, walaupun ada bagian dari sistem mengalami kegagalan/rusak.

c) Memenuhi fleksibilitas sistem angkutan batubara, walaupun ada perubahan kapasitas


atau terjadi peningkatan produksi secara signifikan, seperti dapat berpindah lokasi
(moveable) atau dikembangkan lebih luas (scalable).

d) Memenuhi kelayakan finansial yang ditentukan berdasarkan oleh biaya per metrik ton
untuk mengangkut batubara dari lokasi tambang ke lokasi tujuan. Unit Biaya (seperti
biaya investasi/modal, pemeliharaan dan operasional) memiliki pengaruh besar dalam
memutuskan sistem transportasi yang akan dipilih.

1) Keuntungan penggunaan moda angkutan rail-veyor untuk logistik


batubara, sebagai berikut:

a) Biaya investasi yang dibutuhkan relatif lebih rendah dan lebih hemat biaya dibanding
dengan moda angkutan lainnya, seperti penggunaan rel yang ringan, kebutuhan
infrastruktur terowongan yang lebih kecil dan fleksibilitas dalam pemilihan rute dan
topografi lahan, sehingga tidak mengganggu fungsi lahan yang ada.
b) Penggunaan daya listrik yang relatif rendah (0,2-0,3 KWh/ton/km) dibandingkan
dengan angkutan batubara lainnya, seperti truk dan conveyor.
c) Penggunaan biaya operasional dan biaya pemeliharaan lebih rendah dibandingkan
dengan sistem pengangkutan konvensional rel kereta, truk dan conveyor, antara lain
karena menggunakan sistem kendali secaraotomatis, menggunakan energy listrik
yang efisien.

d) Kapasitas muat yang lebih besar dan kontinyu dan dapat dikembangkan lebih
fleksibel dan scaleable, seperti penambahan gerbong, peralatan yang fleksibel
untuk memenuhi jarak angkut, ukuran dan spesifikasi produk dan moda rail
veyor dapat dirancang mengikuti kondisi alur trek yang ada.

e) Sistem penggerak rail-veyor adalah eletrikal dan dirancang ramah lingkungan


dengan menggunakan emisi yang rendah, sehingga dapat mengurangi emisi
carbon dan lay-out rute dipilih untuk menjaga fungsi lahan dan mengurangi
emisi.

Page 176 of 183


2) Berdasarkan hasil investigasi daya saing ekonomi terhadap 16 moda angkutan
batubara dari Asosiasi COALTECH Coal Transport Investigation yang
dilaksanakan oleh Crickmay & Associates (Pty) Ltd pada tanggal 29 Agustus
2009, diperoleh bahwa:
a) Pada kondisi jarak angkut kurang dari 10 km dinilai bahwa dari 10 moda
angkutan batubara yang memiliki kapasitas produksi 1 juta - 5 juta metrik ton
per tahun, maka moda angkutan rail-veyor mempunyai daya saing ekonomi
tertinggi (peringkat 1). Sedangkan untuk jarak angkut kurang dari 10 km dan
produksi sekitar 50 juta metrik ton per tahun dinilai bahwa moda angkutan
conveyor masih lebih baik dibandingkan dengan moda rail-veyor.
b) Pada kondisi jarak angkut sedang (10 km – 100 km) dinilai bahwa dari 16
moda angkutan batubara dan kapasitas produksi 5 juta – 50 juta metrik ton per
tahun, maka rail veyor dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat
pertama pada kapasitas produksi 5 juta metrik ton per tahun. Sedangkan untuk
produksi sekitar 50 juta metrik ton per tahun moda angkutan conveyor masih
lebih baik dibandingkan dengan moda rail-veyor.
c) Pada kondisi jarak angkut jauh (100 km – 1000 km) dinilai bahwa dari 12 moda
angkutan batubara yang memiliki kapasitas produksi 1 juta – 50 juta metrik ton
per tahun, maka Kereta Berat dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat
pertama pada kapasitas produksi 1-5 juta metrik ton per tahun dan moda
angkutan rail-veyor pada jarak angkut ini mempunyai daya saing ekonomi lebih
rendah. Sedangkan untuk kapasitas produksi sekitar 50 juta metrik ton per
tahun moda angkutan coal log pipeline dan rail-veyor masih lebih baik
dibandingkan dengan moda lainnya.

3) Berdasarkan kriteria desain, keuntungan dan daya saing ekonomi yang


dimiliki oleh moda angkutan rail-veyor seperti yang diuraikan di atas,
maka melalui kajian teknologi ini direkomendasikan sebagai berikut:

a) Rail‐Veyor merupakan moda transportasi batubara yang memenuhi syarat

kriteria dan kelayakan teknologi untuk jarak tempuh kurang dari 10 km dan
kapasitas 1 juta- 5 juta metrik ton per tahun.

Page 177 of 183


b) dari 16 moda angkutan batubara dan kapasitas produksi 5 juta – 50 juta metrik
ton per tahun, maka rail veyor dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat
pertama pada kapasitas produksi 5 juta metrik ton per tahun

c) Sedangkan untuk jarak di atas 100 km moda angkutan rail-veyor mempunyai


daya saing ekonomi lebih rendah dibanding dengan Kereta Berat dan
Conveyor.

d) Komponen teknis dan ekonomis yang diperlukan dalam perancangan rail-veyor adalah
biaya pengeluaran: biaya modal, biaya operasi, biaya maintenance material / spare,
Lokasi dan Rute Rail-Veyor: peta lokasi, rute pengangkutan, rute topografi data
geoteknik, data geografi dan data iklim, Sistem Desain Loading – Unloading, Power
Supply (Volt, Ph, Hz, Amps), meliputi ketersediaan daya di lokasi, akses daya menuju
lokasi, keamanan lokasi dan tambahan penerangan dan ketersediaan
Sumber/Fasilitas Lokal (local contracting, local fabrication)

e) Perlu dilakukan pendalaman riset lebih lanjut terkait dengan sistem rail-veyor
untuk dapat diterapkan di wilayah tambang batubara di Indonesia untuk
mendukung kontinyuitas pasokan logistik batubara pada PLTU mulut tambang.

Page 178 of 183


BAB 6 REFERENSI

1. Christiaan Joppe , Feasibility Study Coal Transport Kalimantan,Delft Univerity of


Technology, December 2011,
2. BPPT Press, Outlook Energi 2012
3. Du T, Wang F K, & Lu P. (2007). A Real Time Vehicle Dispathing Sistem for
Consolidating Milkruns. Transportation Research Part E 43:565-577
4. Froechlich, Lisa. (1999). Milkruns. Denso Production Control Supplier Manual
Policies and Guidelines (http://www.densocorp-na-dmmi.com)
5. Gianpaolo Ghiani, et.al., Introduction to Sistem Planning and Control (West
Sussex:John Wiley and Sons, 2004)
6. Lambert, D.M.; Cooper, M.C. and Pagh, J.D. (1998): Supply chain management:
implementation issues and research opportunities, International Journal of
Logistics Management, 9 (2).
7. World Bank, State of Logistics Indonesia 2013, Agustus 2013
8. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM
9. Program Manual Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara Untuk Ketahanan
Energi Tahun Anggran 2013.
10. Produk sistem informasi dan sistem pelaporan di WBS 1.0– Kajian
SistemLogistik Batubara;
11. PT. PLN (Persero), RUPTL 2012-2021
12. Siswanto, (2007). “ Operasition Research jilid 1. Arlangga, Yogyakarta
13. Daftar Pasang Surut Dishidros tahun 2013
14. Daftar Arus Pasang Surut Dishidros tahun 2013
15. Peta Cuaca Dishidros tahun 2013
16. Peta Dishidros Papua No 151
17. Peta Dishidros Papua No 185
18. Peta Dishidros Papua No 218
19. Peta Dishidros Papua No 219
20. Rail-Veyor Bulk Material Transport System, Florida Institute of Phospate Research,
2002.

Page 179 of 183


21. Crickma., “COALTECH Project 10.1Coal Transport Investigation By Crickmay &
Associates (Pty) Ltd. December 2009.
22. Program Manual, “Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara” BPPT, tahun 2013
23. Desain Manual Sistem Rail-Veyor Untuk Logistik Batubara -Rekomendasi Teknologi
Logistik Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi, Tahun 2013.
24. Brian H. Bowen, Marty W. Irwin “The Energy Center at Discovery Park Purdue
University CCTR, Potter Center, 500 Central Drive West Lafayette, IN 47907-
2022,http://www.purdue.edu/dp/energy/CCTR/;Email: cctr@ecn.purdue.edu, April 2007.
25. Norm Tollinsk., “Railveyor poised for breakthrough” December 1, 2010
26. Technical Report, Nomor : 07/TR/L-4.2/WBS-4.0/RT-Lobara/XI/2013
27. Technical Report, Nomor : 08/TR/L-4.2/WBS-4.0/RT-Lobara/XII/2013
28. www.railveyor.com

Page 180 of 183


HASIL PELAKSANAAN PROGRAM TAHUN ANGGARAN 2013

Form A

ANGGARAN (dalam ribuan) LUARAN


SDM
No. NAMA PROGRAM KETERANGAN
Realisas (org)
Pagu (Rp.) % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
i (Rp.)

1. REKOMENDASI DIPA 576.113 574.073 99,65 35 1 Rekomendasi


TEKNOLOGI Sistem Logistik
LOGISTIK Batubara untuk
BATUBARA PNBP PLTU
UNTUK
MENDUKUNG
KETAHANAN PHLN
ENERGI

Keterangan nomor 1 – 10 adalah sebagai berikut :

1. Rekomendasi 6. Jasa Operasional


2. Advokasi 7. Pilot Project
3. Alih Teknologi 8. Pilot Plant
4. Konsultasi 9. Prototype
5. Pengujian 10. Survey

Page 181 of 183


FORM B

LAPORAN RINGKAS PROGRAM TAHUN 2013

REKOMEDASI TEKNOLOGI LOGISTIK BATUBARA UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI

TUJUAN PROGRAM

Tujuan Program adalah untuk mengkaji dan


merumuskan suatu sistem logistik di mana batubara
bisa dipasok secara berkelanjutan, tepat waktu dan
dengan kualitas tetap terjaga sesuai dengan yang
dibutuhkan PLTU di Indonesia

PROGRAM YANG DILAKSANAKAN


Rencana Garis Kapal Khusus Batubara
Konsep Hub and Spoke Transportasi
Batubara PLTU di KTI
Untuk tahun 2013 program yang dilaksanakan terdiri
dari 4 WBS, yaitu:

 WBS 1 Kajian Logistik Batubara


 WBS 2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus
Pengangkut Batubara
 WBS 3 Pengembangan Pelabuhan Khusus
Batubara
 WBS 4 Kajian Teknologi Railveyor untuk
Transportasi Batubara
Kandidat Lokasi Pelabuhan Batubara Sorong Kriteria Desain Rail Coal Veyor
HASIL PROGRAM

Bidang : Transportasi Unit Kerja : PTIST Dana DIPA : Rp. 576.113.000,- Konsep sistem logistik batubara PLTU di Kawasan
Lokasi : Serpong Kepala Program : Dr.Ir.Iskendar,MSc Dana Mitra : --- Timur Indonesia, Konsep desain kapal khusus
Durasi : 2013 s/d 2015 Program Meneger : Drs. Sucipto, MM Nama Mitra : PT. PLN Batubara
Tahun ke : 1 / 3 tahun Chief Engineer : Ir. Abdul Kadir, M.Eng Pengguna :
batubara, Kriteria lokasi pelabuhan batubara di Sorong
Alamat : Gedung Teknologi 2 Lt.3- dan Rekomendasi teknologi Rail Veyor untuk
BPPT PT. PLN BB, Galangan, Operator transportasi batubara PLTU.
Telepon : 021-75875944 Ext.147 Angkutan, Pemda

Page 182 of 183


Page 183 of 183

Anda mungkin juga menyukai