Nomor : 01/PD/LOBARA/XII/2013
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI Tanggal : 27 Desember 2013
PROGRAM DOCUMENT
REKOMENDASI TEKNOLOGI LOGISTIK BATUBARA UNTUK
MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI
TAHUN 2013
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang maha Esa, bahwa atas rahmat dan
hidayahNya Laporan Akhir kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk
Mendukung Ketahanan Energi tahun anggaran 2013 dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan akhir ini merupakan uraian tentang maksud dan tujuan, sasaran,
metodologi, tahapan pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan
Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung Ketahanan Energi
tahun anggaran 2013
Dalam pelaksnaannya kegiatan ini terdiri dari 4 (empat) Work Breakdown Stucture
(WBS) dan 8 (delapan) Work Package (WP) yang didukung oleh lebih dari 30 orang
staf perekayasa dan peneliti dari Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi
dan melibatkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengkajian dan Penelitian
Hidrodinamika (UPT-BPPH) Surabaya.
Page 2 of 183
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . 2
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . 3
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . 5
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . 9
ABSTRAK . . . . . . . . . . . 11
BAB 1 PENDAHULUAN . . . . . . . . 12
BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN . . . . . . . 16
2.1 Tujuan . . . . . . . . . 16
2.2 Sasaran . . . . . . . . . 16
Page 3 of 183
4.1.1 Kajian Transportasi Batubara Jaringan Darat . . . 36
Page 4 of 183
DAFTAR GAMBAR
Gambar.18 Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2012 dan 2021 . 69
Program Phase II . . . . . . . . 73
Page 5 of 183
Gambar.21 Sumber Batubara PLN Batubara dan PLTU Tujuan . . . 76
Gambar.29 Ilustrasi stress yang terjadi pada sekat melintang dengan dek . 91
Page 6 of 183
Gambar.46 Grafik Limiting KG SPB 6000 DWT . . . . . 114
Gambar.47 Kurva stabilitas pada kondisi light ship dan free to trim . . . 116
Gambar.49 Kurva stabilitas pada kondisi full loaded arrival dan free to trim . 120
Gambar.50 Kurva stabilitas pada kondisi ballast in departure dan free to trim . 122
Gambar.51 Kurva stabilitas pada kondisi ballast in arrival dan free to trim . . 124
Gambar.55 RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 0.5 m, Tp = 7. 5 sec. . 128
Gambar.56 RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 1.0 m, Tp = 7. 5 sec . . 129
Gambar.57 RMS gerak kapal SPB 6000 DWT, Hs = 2.0 m, Tp = 7. 5 sec . . 130
Page 7 of 183
Gambar.70 Rel Ringan pada Sistem Rail-Veyor . . . . . 148
Page 8 of 183
DAFTAR TABEL
Page 10 of 183
ABSTRAK
Kajian terhadap logistik batubara yang efisien dan efektif penting dilakukan untuk
mendukung program pemerintah dalam menjamin ketersediaan pasokan batubara
sebagai sumber energi yang akan mencapai 34 persen dari total sumber energi
nasional pada tahun 2025. Di samping itu kewajiban PT. PLN Batubara (Persero)
sebagai pengguna hasil kajian logistik batubara adalah penanggung jawab terhadap
ketersediaan pasokan batubara yang baru mencapai sekitar 20 % dari total kebutuhan
batubara PLTU saat ini.
Metodologi untuk pencapaian sasaran tersebut di atas mengacu kepada tata kerja
kerekayasaan dan operasionalisasi konsep Sistem Inovasi yang diawali dengan
kegiatan penyusunan dan perumusan design requirements objective (DR&O) yang
dilanjutkan dengan proses engineering untuk menghasilkan rekomendasi system
logistic batubara untuk mendukung ketahanan energy.
Untuk tahun 2013 program yang dilaksanakan terdiri dari 4 WBS, yaitu:
1. WBS 1 Kajian Logistik Batubara
2. WBS 2 Pengembangan Teknologi Kapal Khusus Pengangkut Batubara
3. WBS 3 Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara
4. WBS 4 Kajian Teknologi Railveyor untuk Transportasi Batubara
Pelaksanaan pengkajian “Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung
Ketahanan Energi Nasional” pada tahun 2013 ini adalah merupakan bagian dari
pembelajaran bagaimana meningkatkan kinerja logistik nasional yang secara terus
menerus agar pembiayaan logistik nasional menjadi semakin seimbang untuk
pembangunan nasional.
Page 11 of 183
BAB 1 PENDAHULUAN
Untuk menjamin keamanan pasokan energi di dalam negeri, pemerintah mengeluarkan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional, yang di dalamnya antara lain berisi kenaikan peranan batubara dalam
bauran energi (energi mix) dari 14% (2005) menjadi 33% (2025). Hal ini tidak terlepas
dari kondisi jumlah sumber daya batubara yang sangat besar, yakni 61,3 miliar ton,
serta dapat digunakan sebagai sumber energi, baik secara langsung maupun
dikonversi menjadi gas atau cair. Di samping itu, teknologi pemanfaatan batubara yang
ramah lingkungan telah berkembang pesat, sehingga memungkinkan batubara dapat
digunakan secara massal tanpa atau hanya sedikit mengganggu lingkungan.
Selama periode 1992 – 2005, produksi batubara Indonesia naik rata-rata 15,68%,
penjualan di dalam negeri naik rata-rata 14,4% dan ekspornya naik rata-rata 16%.
Pada tahun 2005, produksi batubara telah mencapai 151,594 juta ton, sebanyak
41,306 juta ton dipasarkan didalam negeri dan ekspor sebanyak 106,787 juta ton.
Produksi batubara diperkirakan akan mencapai 628 juta ton pada tahun 2025, 181 juta
ton dipasarkan di dalam negeri dan sisanya (438 juta ton) diekspor. Hal ini
bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang mempunyai target produksi 300 juta
ton pada tahun 2025 dengan komposisi 214 juta untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri dan sisanya untuk diekspor. Oleh karena itu pemerintah harus mengeluarkan
kebijakan baru tentang pengendalian produksi dan perlu menjamin pasokan batubara
di dalam negeri. Kebijakan ini juga ditujukan untuk mengamankan pencapaian peranan
batubara di dalam bauran energi nasional sebesar 33% pada tahun 2025.
Page 12 of 183
Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam rangka HUT ke- 67
Proklamasi kemerdekaan di depan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah pada tanggal 16 Agustus 2012 menegaskan bahwa sesuai dengan arah
kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010-2014,
sasaran pencapaian ketahanan energi nasional untuk menjamin kelangsungan
pertumbuhan nasional dilaksanakan melalui restrukturisasi kelembagaan dan
optimalisasi pemanfaatan energi alternatif seluas-luasnya.
Sasaran utama dari ketahanan energi nasional adalah: (1) peningkatan kapasitas
pembangkit listrik sebesar rata-rata 3.000 megawatt (MW) pertahun mulai 2010 dengan
rasio elektrifikasi yang mencakup 67,2 persen pada 2010 dan 80 persen pada 2014;
(2) produksi minyak bumi sebesar 1,01 juta barel perhari mulai 2014; dan (3)
peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk energi panas bumi
sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya
eksplorasi coal bed methane (CBM) dalam rangka mendukung pasokan gas untuk
kelistrikan pada tahun 2011 dan disertai dengan pemanfaatan potensi tenaga surya,
mikro hidro, bioenergi, serta diantisipasinya pemanfaatan nuklir secara bertahap
dengan memperhatikan faktor keselamatan dan keamanan yang harus disiapkan.
Page 13 of 183
dari 48% (2030). Konsumen domestik yang meningkat kebutuhannya adalah
pembangkit listrik dengan tingkat pertumbuhan 12% per tahun atau lebih dari sembilan
kali lipat, yaitu dari hampir 29 juta ton (2010), menjadi 283 juta ton (2012). Peningkatan
kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik tersebut sesuai kebijakan Pemerintah
sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan listrik di seluruh Indonesia.1
Kebutuhan listrik nasional apabila dilihat dari kondisi kewilayahan, maka Indonesia
seperti terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah Kawasan Barat Indonesia
yang telah lama dipahami memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dengan
dilengkapi oleh infrastruktur pembangunan yang lebih lengkap. Pada sisi yang lain,
pembangunan ekonomi nasional di Kawasan Timur Indonesia jauh tertinggal apabila
dibandingkan dengan pembangunan di Kawasan Barat Indonesia, termasuk di
dalamnya masalah kelistrikan.
Menurut PT. PLN (persero) pertumbuhan rasio elektrofikasi yang tidak merata pada
masing-masing daerah, dengan rincian sebagai berikut:
Hambatan geografis yang ada di Indonesia bagian Timur merupakan penomena yang
menarik untuk didalami apabila dilihat dari pembangunan kelistrikan dalam kerangka
ketahanan energi. Oleh karenanya uraian rinci dari Technical Document (TD) ini akan
membahas masalah transportasi batubara untuk Pembangkit Lisrik Tenaga Uap
(PLTU) batubara yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia, utamanya dilihat dari sisi
jaringan pelayanan dari sumber tambang batubara sampai kepada PLTU.
Page 15 of 183
BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN
2.1 TUJUAN
Tujuan Kegiatan adalah untuk mencari dan merumuskan suatu sistem logistik di mana
batubara bisa dipasok secara berkelanjutan, tepat waktu dan dengan kualitas tetap
terjaga sesuai dengan yang dibutuhkan PLTU di Indonesia.
2.2 SASARAN
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, maka dibentuk organisasi
fungsional pelaksana kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk
Mendukung Ketahanan Energi tahun 2013 yang terdiri dari 4 WBS, yaitu:
Page 16 of 183
Gambar. 1
Organisasi Kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara untuk Mendukung
Ketahanan Energi
Page 17 of 183
BAB 3 KEGIATAN PROGRAM
Page 18 of 183
3.1.1 WP 1.1 Kajian Transportasi Batubara Jaringan Darat
Page 19 of 183
3.2 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KAPAL KHUSUS PENGANGKUT
BATUBARA
Pelaksanaan kegiatan ini mempunyai ruang lingkup kegiatan WBS 2.0 yang mencakup
:
1) Persiapan administrasi, tinjauan pustaka, survei data,
2) Penyusunan parameter tinjauan pustaka tentang sarana kapal khusus
pengangkut batubara yang digunakan dalam transportasi batubara,
3) Penyusunan parameter tinjauan pustaka tentang perangkat lunak desain sarana
kapal,
4) Perumusan hasil tinjauan pustaka sarana kapal khusus pengangkut batubara
yang digunakan dalam transportasi batubara,
5) Perumusan hasil tinjauan pustaka perangkat lunak desain sarana kapal,
6) Pelaporan
Kegiatan keseluruhan dari WP 2.1 adalah Desain Kapal yang dirinci lebih lanjut,
sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 2.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang desain
kapal khusus pengangkut batubara.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer kapal khusus
pengangkut batubara
4) Mengidentifikasi permasalahan desain kapal khusus pengangkut batubara di
Indonesia.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder kapal
khusus pengangkut batubara di Indonesia.
6) Menyusun D,R & O kapal khusus pengangkut batubara khususnya untuk suplai
ke PLTU Wilayah Timur Indonesia
7) Memberikan materi rekomendasi desain kapal khusus pengangkut batubara
khususnya untuk suplai ke PLTU Wilayah Timur Indonesia
8) Pelaporan.
Page 20 of 183
3.2.2 WP 2.2 Pemodelan Kapal
Kegiatan keseluruhan WP 2.2 adalah Pemodelan yang dirinci lebih lanjut, sebagai
berikut:
1) Penentuan jenis kapal khusus pengangkut batubara untuk Wilayah Timur
Indonesia.
2) Pembuatan desain kapal (lines plan)
3) Pemodelan berupa analisa uji numerik untuk ship powering dan ship stability.
4) Memberikan presentasi hasil kegiatannya dalam pertemuan berkala tim lobara.
5) Rekomendasi desain awal (preliminiary) kapal khusus pengangkut batu bara
untuk Wilayah Timur Indonesia.
6) Pembuatan dokumen DR&O kapal khusus pengakut batubara untuk Wilayah
Timur Indonesia dan saran tindak lanjut desain.
7) Pelaporan
Pembangunan PLTU tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini PLTU yang sudah
beroperasi maupun yang rencana dibangun berada di kawasan Barat Indonesia dan
kawasan Timur Indonesia. Khususnya untuk kawasan Barat Indonesia, kepelabuhanan
yang diperlukan bagi pasokan batubara PLTU dirasakan sudah dapat dinilai berjalan
dengan baik, meskipun perlu terus ditingkatkan kinerjanya. Sedangkan di kawasan
Timur Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, terutama belum seimbangnya
kebutuhan pasokan batubara yang diperlukan dengan kapasitas sarana-prasarana
transportasi laut yang tersedia. Untuk suatu kebutuhan batubara yang diperlukan, di
samping pelabuhan penerima batubara belum tersedia, ukuran kapal juga pada
umumnya terlalu besar. Sehingga sistem jaringan transportasi pasokan batubara yang
tepat untuk pasokan PLTU di Kawasan Timur Indonesia masih terus dipelajari oleh PT.
PLN Batubara.
Page 21 of 183
- Tentukan faktor-faktor kerekayasaan yang tepat bagi kebutuhan pelabuhan
batubara di kawasan Timur Indonesia dengan koordinasi bersama dengan tim
studi sarana transportasi batubara, maupun tim studi sistem logistik batubara;
Kegiatan keseluruhan dari WP 3.1 adalah Desain Pelabuhan yang dirinci lebih lanjut,
sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 3.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang desain
pelabuhan batubara.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer pelabuhan batubara
4) Mengidentifikasi permasalahan pelabuhan batubara di Indonesia.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder pelabuhan
batubara di Indonesia.
6) Menyusun D,R & O pelabuhan batubara khususnya di PLTU Wilayah Timur
Indonesia
7) Memberikan materi rekomendasi desain pelabuhan batubara khususnya di
PLTU Wilayah Timur Indonesia
8) Pelaporan.
Page 22 of 183
3.3.2 WP 3.2 Pemodelan Pelabuhan
Kegiatan keseluruhan WP 3.2 adalah Kriteria Pemodelan yang dirinci lebih lanjut,
sebagai berikut:
1) Penentuan jenis pelabuhan batubara untuk Wilayah Timur Indonesia.
2) Pembuatan kriteria desain pelabuhan.
3) Memberikan presentasi hasil kegiatannya dalam pertemuan berkala tim lobara.
4) Rekomendasi kriteria desain awal (preliminiary) pelabuhan batubara untuk
Wilayah Timur Indonesia.
5) Pembuatan dokumen DR&O pelabuhan batubara untuk Wilayah Timur
Indonesia dan saran tindak lanjut desain.
6) Pelaporan
Page 23 of 183
- Melakukan elaborasi peran BPPT dalam intermediasi pemanfaatan teknologi
Negara maju ke Indonesia dengan memperhatikan potensi industry dalam
negeri;
- Melakukan focus group discussion penerapan teknologi rail coal veyor di
Indonesia berdasarkan konsep penerapan sistem inovasi nasional dan daerah.
- Merumuskan rekomendasi hasil kajian untuk pengembangannya lebih lanjut
kepada para stake holder terkait.
Kegiatan keseluruhan dari WP 4.1 adalah Kajian Teknologi Moda Angkutan Rail-
Veyor yang dirinci lebih lanjut, sebagai berikut:
1) Mempersiapkan dan rencana pelaksanaan kegiatan WP 4.1
2) Melakukan tinjauan pustaka untuk mendapatkan data sekunder tentang
teknologi rail veyor.
3) Melakukan persiapan dan pelaksanaan survei data primer rail veyor dan moda
transportasi lain yang sejenis
4) Mengidentifikasi permasalahan tekkologi rail veyor.
5) Melakukan pertemuan, wawancara dan diskusi dengan stake holder rail veyor
atau yang sejenis di Indonesia.
6) Memberikan materi rekomendasi criteria teknis penggunaan rail veyor untuk
transporatsi batubara PLTU di Indonesia.
7) Pelaporan.
Begitu juga dalam hal pelaksanaan program/ kegiatan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Untuk Transportasi Masal, dengan output atau sub kegiatan Rekomendasi
Teknologi Logistik batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi, maka untuk
menjamin tercapainya pelaksanaan program/ kegiatan sebagaimana yang telah
dituangkan penjelasannya dalam Program Manual Rekomendasi Teknologi Logistik
Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi pada Tahun Anggaran 2013, perlu
dilakukan pengendalian secara terpadu terhadap pelaksanaan program/ kegiatan
tersebut.
Pengendalian itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang berlangsung
secara terus menerus yang dilakukan oleh semua unsur pengendali terhadap aktivitas
program/ kegiatan, yang dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan.
Pengendalian harus dilandasi oleh analisis capaian program dan jumlah anggaran
yang dilaksanakan melalui kegiatan pemantauan.
3.5.1 TUJUAN
Page 26 of 183
WBS 3, Pengembangan Pelabuhan Khusus Batubara
WP. 3.1. Desain Pelabuhan Khusus Batubara
WP. 3.2. Pemodelan Pelabuhan Khusus Batubara
Hasil PCM atas Program/ Kegiatan Rekomendasi Teknologi Logistik batubara Untuk
Mendukung Ketahanan Energi pada periode Januari s/d Desember 2013 adalah
sebagaimana tersaji dalam skedul kegiatan sebagai berikut :
Tabel 2
Skedul Kegiatan
Rekomendasi Teknologi Logistik Batubara Untuk Mendukung Ketahanan Energi
BULAN KE
AKTIVITAS 2013 KETERANGAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Page 27 of 183
Tabel 3
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 1
Periode Januari s/d Desember 2013
Tabel 4
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 2
Periode Januari s/d Desember 2013
Tabel 5
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 3
Periode Januari s/d Desember 2013
Page 28 of 183
Tabel 6
Progress Control and Monitoring (PCM) WBS 4
Periode Januari s/d Desember 2013
Pada awal kegiatan berjalan, yaitu mulai tahap persiapan pada Triwulan I, hingga
tahap survey dan koordinasi teknis pada Triwulan II, dan berlanjut ke tahap analisis
pada Triwulan III, serta terakhir tahap pelaporan dan rekomendasi pada Triwulan IV,
maka realisasi penyerapan sampai dengan bulan terakhir kegiatan, yaitu bulan
Desember 2013 adalah sebagaimana tersaji pada Tabel.6 berikut.
Dalam perjalanannya anggaran DIPA telah mengalami beberapa kali efisiensi sesuai
arahan Pimpinan di BPPT, sehingga akhirnya pada akhir bulan Oktober 2013 telah
keluar hasil Revisi ke 03 DIPA 2013 dari Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan,
sehingga total pagu anggaran kegiatan ini menjadi berubah sebagaimana tabel berikut.
Berdasarkan hasil Revisi tersebut khususnya pada mata anggaran perjalanan dinas
telah diusulkan untuk direvisi kembali secara internal, mengingat banyak tujuan
perjalanan dinas yang sudah direalisasikan namun dalam revisi tersebut ada beberapa
yang ternyata diblokir, sehingga harus mengganti dengan sisa perjalanan dinas yang
belum direalisasikan melalui revisi internal BPPT. Akhirnya usulan revisi tersebut telah
disetujui Sekretaris Utama/ selaku KPA satker BPPT.
Page 29 of 183
Tabel 7
Realisasi Penyerapan Anggaran
Per Desember 2013
Kegiatan WBS 1, yang dalam hal ini adalah kajian logistik batubara, yang terdiri dari
kajian jaringan darat dan kajian jaringan laut, maka secara garis besar aktivitasnya
yang dimulai dengan tahapan persiapan pada Triwulan I, tahap survey dan
koordinasi teknis pada Triwulan II, tahap analisis pada Triwulan III dan tahap
pelaporan maupun rekomendasi pada Triwulan IV, pelaksanaannya berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan;
Kegiatan WBS 4, dalam hal kajian system rail veyor untuk transportasi logistik
batubara, yang terdiri dari kajian teknis rail veyor, dan kajian ekonomis rail veyor,
secara garis besar aktivitasnya yang dimulai dengan tahapan persiapan pada
Triwulan I, tahap survey dan koordinasi teknis pada Triwulan II, tahap analisis pada
Triwulan III dan tahap pelaporan maupun rekomendasi pada Triwulan IV,
pelaksanaannya berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan;
Page 31 of 183
BAB 4 HASIL KEGIATAN PROGRAM DAN
PEMBAHASAN
2
Lambert, D.M.; Cooper, M.C. and Pagh, J.D. (1998): Supply chain management: implementation issues
and research opportunities, International Journal of Logistics Management, 9 (2), 1-19.
Page 32 of 183
Setiap kali si penjual susu tiba di muka rumah pelanggannya, ia akan mengambil botol
susu kosong yang ada didepan pintu yang telah disiapkan sebelumnya dan
menggantinya dengan botol susu yang berisi susu segar dari peternakannya. Model
pengiriman susu pada abad ke 19 di daratan eropa tersebut kemudian berkembang
menjadi salah satu model network logistic sistem – milkrun.
Gambar 2.
Model Jaringan Milkrun
Sistem milkrun procurement yang diadopsi dari model pengiriman susu di eropa pada
abad ke 19 dikembangkan menjadi suatu sistem distribusi barang dari dan sejumlah
pemasok dengan menggunakan satu kendaraan dan pada waktu yang bersamaan.
Secara sederhana dapat digambarkan pada sebuah industri pakaian jadi dimana
produksi terbagi menjadi beberapa rantai produksi. Kelompok pertama adalah
Kelompok tukang potong kain sesuai dengan disain, kelompok kedua adalah kelompok
tukang obras dari kain yang sudah dipotong, kelompok ketiga adalah kelompok tukang
jahit, dan kelompok keempat adalah kelompok akhir yang tugasnya memasang
menjahit, memasang kancing, dan memasukan kedalam plastik. Maka bekerjanya
sistem milkrun adalah sebuah kendaraan yang pada awalnya membawa kain dan
menyerahkan kain tersebut pada kelompok pertama sambil membawa hasil
pemotongan kepada kelompok kedua dan seterusnya3.
3
Froechlich, Lisa. (1999). Milkruns. Denso Production Control Supplier Manual Policies and Guidelines
(http://www.densocorp-na-dmmi.com)
Page 33 of 183
Sistem milkrun diterapkan pertama kali di industri otomotf di Indonesia pada tahun
1995. Dalam perkembangannya sistem ini telah diterapkan pada berbagai macam
industri dan perusahaan manufaktur otomotif.4 Hal-hal yang melatarbelakangi
pengembangan sistem milkrun adalah tingginya biaya transportasi, rendahnya efisiensi
kendaraan, tanggung jawab dan disiplin pemasok serta sulitnya pengontrolan
pengiriman oleh pembeli. Kurangnya disiplin pelayanan diindikasikan dengan
keterlambatan kedatangan.
Pelaksanaan sistem milkrun dapat menentukan rute, jadwal (waktu), jenis dan jumlah
komponen yang akan dikirim oleh beberapa truk dari para pemasok dengan asumsi
bahwa seluruh truk harus mengembalikan palet kosong ke pusat permintaan pesanan
(pabrik/perusahaan Keuntungan konsep milkrun adalah: (a) memperpendek jarak
tempuh rute peralanan; (b) meningkatkan efisiensi muatan kendaraan , (c) mengurangi
jumlah kendaraan yang digunakan; dan (c) penjadwalan yang lebih efisien.
Gambar. 3
Model Jaringan Point to Point
4
Du T, Wang F K, & Lu P. (2007). A Real Time Vehicle Dispathing Sistem for Consolidating Milkruns.
Transportation Research Part E 43:565-577
Page 34 of 183
Namun sejak diberlakukannya The Airlines Deregulatian Act tahun 1978 sistem
pelayanan penerbagan berubah dan mengadopsi Hub and Spoke network sistem.
Gambar. 4
Model Jaringan Hub and Spoke
Page 35 of 183
Karena pola jaringan yang sentralistik maka operasi day-to-day relatif tidak
flexible. Perubahan yang terjadi di Hub akan dengan sendirinya membawa
pengaruh terhadap pola pelayanan di Spoke.
Total kapasitas barang dan jasa yang bisa dilayani oleh spoke akan sangat
tergantung dari kapasitas Hub sehingga perhitungan logistik untuk keseluruhan
pelayanan harus cermat dilakukan di Hub.
Gambar 5.
Sumber dan Terminal Batubara
Di Kalimantan Selatan
Lokasi tambang batubara Antang Gunang Meratus Coalmine (AGM) terletak di Ida
Manggala sedangkan lokasi tambang Sumber Kuria Coalmine (SKB) terletak di Pualam
Sari. Batubara yang ditambang di Ida manggala diangkut ke Tatakan sebagai tempat
transit stockpile melalui jalur darat dengan truk 30 Ton. Jarak tempuh dari Ida
Manggala ke Tatakan adalah 26 Km. Demikian pula dengan batubara yang ditambang
oleh Sumber Kuria Coalmine (SKB). Batubara hasil tambang SKB diangkut dari
Pualam Sari melalui jalur darat dengan truk 30 ton. Jarak tempuh dari Pualam sari ke
ke Tatakan relatif pendek, yaitu sejauh 10 Km.
Batubara hasil tambang AGM dan SKB yang dikumpulkan di Tatakan sebagai tempat
transit stockpile. Dari Tatakan stockpile, batubara diangkut ke Lok Buntar dengan
menggunakan beberapa truk yang masing-masing memiliki kapasitas 10 ton, jarak dari
Tatakan ke Lok Buntar adalah sejauh 2 Km. Batubara yang terkumpul di Lok Buntar
Page 38 of 183
stockpile kemudian dimuat ke kapal tongkang 180 feet. Tongkang 180 feet kemudian
berlayar sejauh 29 Km menuju Sungai Puting. Selanjutnya dari Sungai Putting
stockpile batubara dipindahkan ke kapal tongkang yang lebih besar, 390 feet, untuk
diangkut sejauh 100 Km melalui sungai Barito ke Banjarmasin untuk diangkut ke tujuan
akhir melalui jalur laut dan menggunakan kapal batubara dengan bobot mati yang lebih
besar.
Gambar. 6
Jaringan dan Moda Transportasi Batubara
Di Kalimantan Selatan
Gambar. 7
Pelabuhan Khusus Batubara
Sungai Putting, Kalimantan Selatan
Page 39 of 183
Gambar. 8
Pelabuhan Muat Batubara Trisakti
Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Page 40 of 183
pelabuhan ini mempunyai fasilitas khusus yang dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu fasilitas pelabuhan hanya untuk pemuatan dan fasilitas pelabuhan hanya untuk
pembongkaran
Dalam melakukan kegiatan pembongkaran maupun pemuatan batubara dari dan atau
ke kapal, dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu:
a. Pembongkaran muatan sendiri (self-unloading vessel), yaitu pembongkaran
muatan batubara yang dilakukan sendiri oleh kapal pengangkut batubara dengan
menggunakan belt conveyor pada kapal. Self-unloading vessel ditunjukkan pada
gambar berikut ini.
b. Loading dan unloading oleh suatu menara dibedakan menjadi dua macam
berdasarkan jenis gerakannya:
Fix loader/unloader adalah suatu cara pembokaran maupun pemuatan
batubara dimana diperlukan pergerakan kapal disepanjang dermaga dalam
melakukan kegiatannya. Dalam hal ini alat pembongkaran maupun
pemuatan bersifat tetap atau tidak bergerak.
Moving Loader/Unloader adalah salah satu cara pembongkaran maupun
pemuatan muatan di mana alat pembongkaran maupun pemuatan akan
bergerak dari satu palka (hold) ke palka yang lainnya dengan kapal tetap
tinggal pada suatu posisi yang tetap. (Tsinker, 2004)
Gambar. 9
Fixed Loader and Continues Bucket Ladder Unloader
Di Sungai Missipi, USA
Page 41 of 183
1) Pelabuhan Muat/Loading
Pelabuhan muat biasanya dilengkapi dengan alat pemuat yang berada di tepi pantai
untuk menuangkan muatan yang dibawanya dengan belt conveyor ke badan kapal.
Untuk menjaga keseimbangan kapal saat muat ataupun bongkar, harus ditentukan
palka mana yang dimuat atau dibongkar terlebih dahulu. Palka (hold) merupakan
semacam lubang pada ruang kapal yang berfungsi menyimpan barang-barang,
termasuk batubara. Misal pada kapal tersebut ada sembilan palka, maka pemuatan
atau pembongkaran harus dilakukan sedemikian rupa sehingga keseimbangan kapal
tetap terjaga. Ada tiga metode loading yang digunakan pada pemuatan batubara, yaitu:
pemuatan homogen (homogeneous loading), pemuatan metode palka bergantian
(alternate hold loading), dan pemuatan blok (block loading).
a) Metode homogeneous loading ditunjukkan pada gambar 2.3 adalah salah satu
cara di mana jumlah yang sama dari muatan diisi seragam pada masing-masing
hold. Metode ini adalah yang paling sering digunakan pada pemuatan batubara.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada perencanaan muatan yang homogen
untuk mengurangi resiko muatan bergeser.
b) Metode alternate hold loading digunakan ketika muatan dengan kepadatan
tinggi diangkut untuk menaikkan titik pusat gravitasi. Yang perlu diperhatikan
pada metode alternate hold loading adalah pada tahapan desain. Struktur lokal,
dinding pemisah kapal (bulkheads), puncak tangki (tanktop), dan corong tuang
(hopper) harus berukuran cukup untuk menerima penambahan berat. Supaya
ketinggian dinding baja aman dan tidak dibangun berlebihan pada semua hold,
hanya hold ini yang akan diisi dan diperkuat. Sebagai tambahan pada struktur
lokal, pemuatan ini bisa mempengaruhi tinggi dan kekuatan pada dinding
pemisah kapal (bulkheads).
c) Metode block loading ditunjukkan pada gambar 2.5 adalah serupa dengan
metode alternate hold loading kecuali pada hold yang bersebelahan bisa diisi
pada blok rencana. Dengan kata lain, dua pasang dari hold yang bersebelahan
akan diisi dengan satu hold kosong di antara mereka. Skema pemuatan ini
digunakan ketika sebuah kapal terisi sebagian. Ketika merencanakan block
loading, hal ini sangat penting, mengingat akan berat dan distribusi daya apung
pada blok kargo.
Pada proses pemuatan batubara sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a)
fix-loader, yaitu cara pemuatan batubara di mana diperlukan pergerakan kapal
Page 42 of 183
sepanjang dermaga dalam melakukan kegiatannya. Dalam hal ini alat pembongkaran
maupun pemuatan bersifat tetap atau tidak bisa bergerak. (b) moving-loader, yaitu cara
pemuatan batubara di mana alat pemuatan akan bergerak dari satu palka (hold) ke
palka yang lainnya dengan kapal tetap tinggal pada suatu posisi yang tetap. Pada cara
moving-loader ini dapat dikelompokan lagi menjadi traveling loader, radial loader, dan
linier loader, dengan banyak variasi dari tiap-tiap jenisnya.
2) Pelabuhan Bongkar/Unloading
Pelabuhan pembongkaran dilengkapi dengan kran yang dapat bergerak di sepanjang
dermaga dengan menggunakan rel. Pada kran tersebut digantungkan ember (bucket)
yang dapat diturunkan di kapal untuk mengeruk muatan. Kemudian ember dan isinya
bergerak untuk menuangkan isinya di lapangan penimbunan, atau langsung ke alat
pengangkut di darat seperti truk, kereta api, atau belt conveyor. Meskipun muatan bisa
langsung dipindah dari kapal ke alat pengangkut di darat, namun sebaiknya juga tetap
disediakan lapangan penimbunan sementara di belakang dermaga supaya
pembongkaran di kapal tidak terganggu apabila terjadi keterlambatan/ kerusakan alat.
Berikut ini adalah contoh aktivitas pembongkaran batubara pada Pelabuhan Batubara
PLTU Tanjung Jati yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar.10
Pembongkaran Batubara
di Pelabuhan Batubara PLTU Tanjung Jati
Page 43 of 183
Beberapa cara pembongkaran batubara antara lain:
Gambar. 11
Traveling Clamshell Unloader di Ashkelon, Israel
Page 44 of 183
Gambar. 12
KONE Shipunloader
c) Bucket-ladder continuous unloaders, yang mana terdiri dari sebuah garis sabuk
dari bucket yang dihubungkan lewat kawat tali atau rantai dan bersuspensi dari
sebuah lengan berengsel dan sistem elevator bucket untuk menyediakan
continuous unloading pada kapal. Bucket-ladder continuous unloaders ini secara
struktural didesain dengan koneksi bidang yang tetap dan diperlukan desain
tiang topang tanpa mengganggu kebebasan pergerakan yang lebih ketika
tongkang dipindahkan keluar dan masuk. Bucket-ladder continuous unloaders
berada tergantung di atas tiang topang sedangkan kapal yang berisi muatan
berada di bawahnya. Unloader bergerak sepanjang kapal dan memiliki lengan
yang bergerak sehingga memungkinkan akses ke seluruh area palka (hold)
kapal. Dari bucket ini muatan dibawa ke sistem conveyor untuk dibongkar dan
dibawa ke lokasi selanjutnya.
Gambar. 13
Bucket-ladder Unloaders Coal Unloader di Ghent, KY
Page 45 of 183
4.1.2.2 Kapal Khusus Batubara
a. Tongkang (Barges)
Untuk angkutan batubara ada dua jenis tongkang yang dapat dipergunakan, yaitu: (1)
Tug and Barge atau kapal tunda yang menarik tongkang dan (2) Self Propelled Barge
(SPB) atau kapal tongkang yang memiliki tenaga penggerak atau dikenal sebagai
tongkang bermesin.
Sistem Tug - Barge adalah sistem pengangkutan yang menggunakan sarana angkut
berupa tongkang sebagai ruang muat dan kapal tunda sebagai mesin penggeraknya.
Pengertian tongkang itu sendiri adalah alat apung yang berbadan lebar dan beralas
rata, serta umumnya mempunyai geladak yang digunakan untuk pengangkutan antara
daratan dan lautan.
Berdasarkan posisi muatan tongkang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu muatan atas
geladak dan didalam palka. Untuk tongkang yang membawa muatan dalam palka
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Tongkang yang membawa muatan cair seperti minyak (oil), bahan bakar, air
tawar dan sebagainya. Tongkang jenis ini biasanya beroperasi di pelabuhan,
digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak atau air tawar bagi kapalkapal
yang sedang berlabuh dan biasanya berukuran kecil. Untuk oil barge yang
beroperasi di sungai-sungai besar mempunyai kapasitas yang relative lebih
besar, pada jenis ini biasanya dilengkapi dengan pompa-pompa untuk
pengosonganmuatan (discharging pump).
2) Tongkang Lumpur, untuk melayani kapal keruk pada pengerukan pelabuhan,
sungai dan sebagainya. Tongkang jenis ini dibuat tanpa tutup palkah (hatch
cover)
3) Tongkang barang, pembawa muatan bulk (muatan curah), general cargo serta
muatan yang dimasukkan dalam karung (barge cargo). Jenis ini mempunyai
ruang palkah sebagaimana layaknya kapal barang atau bulk carrier. Ada yang
dirancang dengan penutup palkah ada pula yang dirancang tanpa penutup
palka.
Untuk batu bara kebanyakan menggunakan tongkang dengan jenis deck barge atau
muatan diatas geladak. Tongkang tidak memiliki consumables (bahan bakar dan air
tawar) namun memiliki tangki ballast dan pengaturan trim. Sedangkan kapal tunda
dapat diartikan sebagai kapal yang digunakan untuk mendorong atau membantu kapal
Page 46 of 183
lain dilaut dan untuk menarik tongkang-tongkang dipelabuhan, dan kapal ini memiliki
daya mesin yang besar.
Berdasarkan teknologi yang digunakan, sistem tug-barge ini dapat dibedakan menjadi:
1) Pull-Toward Tug-Barge Sistem, sistem ini menggunakan sistem tarik, sehingga
kapal tunda yang digunakan berfungsi untuk menarik tongkang dimana tali yang
digunakan menggunakan tali khusus yang dapat disesuiakan dengan
kebutuhan.
2) 1st Generation Push-Towed Tug-Barge, pada sistem ini tongkang yang
digunakan dirancang dengan notch berukuran kecil dibagian belakang sehingga
pada sistem ini tongkang hanya dapat didorong pada saat cuaca baik dan
gelombang yang kecil, untuk selebihnya maka tongkang harus ditarik.
3) 2nd Generation Push-Towed Tug-Barge Sistem, pada sistem ini tongkang
didesain dengan notch yang lebih dalam dan sudah menggunakan coupling
sehingga memungkinkan untuk kapal tunda mendorong tongkang pada saat
berlayar dilaut. Kelemahan pada sustem ketiga ini adalah kemampuan coupling
untuk mengikat kapal dengan tongkang yang terbatas pada saat sistem ini
berlayar pada cuaca yang buruk dan kondisi gelombang yang besar.
4) 3rd Generation Push-Towed Tug-Barge Sistem, ini adalah sistem tug-barge
yang telah menggunkan teknologi coupling lebih baik daripada sistem
sebelumnya, maka kapal dapat mendorong tongkang dalam segala kondisi
gelombang dan cuaca.
Karakteristik dari sistem tug-barge yang saat ini digunakan adalah :
1) Dengan menggunakan dua unit yaitu kapal tunda sebagai unit penggerak dan
tongkang sebagai unit muatan maka memungkinkan sistem operasi ini memiliki
fleksiblitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapal pada umumnya.
Dengan terpisahnya sistem ini menjadi dua unitt memungkinkan juga sistem ini
melakukan pola operasi drop and swap.
2) Biaya investasi yang dikeluarkan lebih rendah dibandingkan dengan kapal
dengan kapasitas yang sama. Total biaya konstruksi tug-barge 57%-68% lebih
rendah dan juga biaya awak kapal dan provision 55%-60% lebih rendah bila
dibandingkan dengan kapal yang memiliki kapasitas yang sama, hal ini dengan
catatan bahwa kecepatan tug-barge adalah 10-12 knot sedangkan kecepatan
kapal13-15 knot.
Page 47 of 183
3) Bila dibandingkan dengan kapal dengan kapasitas yang sama sistem ini
memiliki sarat air yang lebih rendah sekitar 65%-75%. Karakteristik ini
menguntungkan karena dapat digunakan sebagai alat angkut dengan kapasitas
yang lebih besar pada alur yang memiliki sarat air terbatas.
4) Dari segi pembangunan sistem tug-barge lebih mudah pada saat pembangunan
dan lebih mudah juga pada saat diadakan perbaikan. Konstruksi tongkang relatif
sederhana sehingga akan lebih mudah pada proses pembangunan dan
perbaikan.
Self Propelled Barge (SPB) ialah kapal yang mempunyai bentuk seperti tongkang
namun menggunakan tenaga pendorong sendiri. Bila dibandingkan dengan biaya
pembangunan kapal pada umumnya terlebih dengan kapal bulk carier, SPB
mempunyai biaya pembangunan yang lebih rendah 1/3 kali dari kapal bulk carier.
sehingga dapat disimpulkan pula bahwa biaya operasional SPB lebih rendah
dibandingkan dengan kapal bulk carier.
Energi Enterprise
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : USA
Terdaftar : New Orleans
Pemilik : Enterprise Ship Co. Inc
Panjang Keseluruhan : 665’ 113/16”
Panjang B.P : 643’ 5”
Breadth Moulded : 56’ 00”
Draft (SSW) : 34’ 11/16”
Deadweight (SSW) : 38.234 LT
Page 48 of 183
Displacement (SSW) : 48.800 LT
Lightship Weight : 10.556 LT
Gross Registered Tons : 24.900 Tons
Net Registered Ton : 16.131 Tons
Holds/Cargo Tanks : 5
Service Speed : 14,47 Knots
Sage Sagittarius
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : Japan
Pemilik : Nippon Yusen kaisha
L(oa) x L (bp) x B x D : 234,90 m x 226,00 m x 43.00 m x 25,40 m
DWT/GT : 105.500 t / 73.427 t
Peluncuran : Maret 2001
Kapasitas Unloading 2.240 M3/jam
:
Gambar. 14
Sage Sagittarius
Page 49 of 183
Gurita Lintas Samudra
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : Japan
Pemilik : Nippon Yusen kaisha
L(oa) x L (bp) : 185,84 m x 177,00 m
DWT/GRT/NRT : 43.594/26.014/13.673
Kecepatan : 13,5 Knots
Tahun Pembuatan : 1986
Grain Space : 53.074,4 m3
Bale Space 52.279,8 m3
Maple Hill
Tipe : Coal Carrier
Kebangsaan : Japan
Pemilik : Ambitious Line S. A.
189.94 m x 182 m x 32.26 m x
L(oa) x L (bp) x B x D x d :
17,3 m x 12,282 m
DWT/GT : 53,452 t / 30,002 t
Peluncuran : 30 Maret 2006
Kapasitas Hold : 68,927.4 M3
Gambar. 15
Maple Hill
Page 50 of 183
4.1.2.3 Model Dasar Transportasi Laut Batubara
Secara khusus model transportasi berkaitan dengan masalah pendistribusian barang-
barang dari pusat – pusat pengiriman atau sumber ke pusat-pusat penerimaan atau
tujuan. Persoalan yang ingin dipecahkan oleh model transportasi adalah penentuan
distribusi barang yang akan meminimumkan biaya total distribusi. 5 Sehingga menjadi
sebuah keharusan apabila perencana transportasi memperhitungan faktor biaya
minimal dalam menentukan rute yang akan ditempuh, jenis angkutan yang akan
dipergunakan, serta kapasitas angkutan yang akan dipergunakan. Berkaitan dengan
uraian mengenai jaringan transportasi, kiranya menjadi sebuah pilihan apakah
batubara yang akan diangkut dari tempat asal ke tempat tujuan akan menggunakan
model pelayanan Milkrun, Point to Point, atau model jaringan transportasi Hub and
Spoke.
Gambar 16 tetang Model Dasar Jaringan transportasi memberi ilustrasi bahwa pilihan
pelayanan dapat dilakukan dari tempat asal barang (A1, A2, A3, Ain) menuju sebuah
pelabuhan atau terminal (P) setelah barang terkumpul di P maka selanjutnya
didistribusikan ke tempat tujuan (T1, T2, Tjn), dimana pelabuhan P berfungsi sebagai
HubNetwork transportasi seperti ini dikenal dengan pola jaringan Hub and Spoke.
Dapat juga terjadi barang dari A1 tidak dikumpulkan di P tapi langsung diangkut ke T1,
T2, dan Tjn. Network konfigurasi yang bersifat langsung dari A ke T disebut Point to
Point.
Konfigurasi jaringan pelayaran Hub and Spoke atau Point to Point seperti diuraikan
didepan menjadi dasar penentuan jenis kapal yang akan dipergunakan untuk sarana
angkuta. Secara teoritis pilihan terhadap konfigurasi pelayanan dan pilihan terhadap
jenis kapal yang dipergunakan bertujuan untuk meminimumkan biaya total distribusi,
yaitu:
5
Siswanto, (2007). “ Operasition Research jilid 1. Arlangga, Yogyakarta.
Page 51 of 183
A1
A2 T1
P
A3 T2
A..in T..jn
Gambar. 16
Model Dasar Jaringan Transportasi
MinCIj
Dimana:
Ai : Asal barang yang akan diangkut, untuk i ; 1, 2, …, n
Tj : Tujuan barang , untuk j ; 1,2, …. n
Ij : Biaya distribusi dari Ai ke Tj
P : Pelabuhan atau terminal sebagai tempat barang transit.
Karena ada i sumber dan j tujuan maka ada i x j kemungkinan distribusi dari
sumbersumber ke tujuan-tujuan. Di samping itu, masing-masing sumber mempunyai
kemampuan terbatas untuk menyediakan barang, sedangkan masing-masing tujuan
mempunyai tingkat permintaan tertentu untuk dipenuhi. Persoalan itu menjadi rumit
karena biaya angkut per satuan barang dari sumber i ke tujuan j berbeda. Oleh karena
itu, model harus bisa menentukan distribusi yang akan meminimumkan biaya total
distribusi dengan asumsi bahwa permintaan tidak melebehi kapasitas barang ceteris
paribus.
Tujuan dasar perencanaan transportasi adalah memperkirakan jumlah serta lokasi
kebutuhan akan transportasi pada masa mendatang atau pada tahun rencana yang
akan digunakan untuk berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi.6
6
Tamin O.Z, (2000), “Perencanaan dan Pemodelan Transportasi”, ITB, Bandung
Page 52 of 183
Pemilihan moda transportasi dari satu wilayah ke wilayah lain didasarkan pada
perbandingan antara berbagai karakteristik operasional moda transportasi yang
tersedia, baik waktu tempuh, tarif, waktu tunggu dan faktor lainnya. Demikian pula
halnya dengan rute, dimana pemilihan rute didasarkan pada perbandingan karakteristik
operasional setiap alternatif rute untuk setiap moda transportasi yang tersedia.
Dalam upaya menekan biaya transportasi maka perencanaan kebutuhan kapal untuk
angkutan batubara antar pulau perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:7
a. Besaran, fluktuasi, estimasi durasi dan arus alami
Informasi mengenai potensi arus barang dan penumpang lengkap dengan
proyeksi masa depan pada trayek yang direncanakan perlu diketahui agar dapat
ditentukan kelayakan pengadaan kapal serta dimensi dan jenis kapal. Kapal yang
akan dioperasikan harus memiliki nilai ekonomis berupa pendapatan yang akan
digunakan untuk membiayai biaya investasi, biaya operasional dan keuntungan
bagi operator untuk menjamin kelangsungan kapal dan operator. Dalam
prakteknya kapal juga memiliki nilai sosial, yaitu ikut dalam memperlancar
transportasi antar pulau yang berujung pada peningkatan pembangunan,
sehingga pada rute-rute tertentu walau secara ekonomis kurang menguntungkan
tetapi tetap dioperasikan dengan dukungan subsidi pemerintah.
b. Lokasi dan jarak antara pelabuhan
Penentuan lokasi dan jarak antar pelabuhan diperlukan untuk aspek ekonomis
yaitu penentuan tarif terhadap barang dan jasa dan aspek teknis yaitu penentuan
kapasitas consumable kapal yang berujung pada dimensi dan kapasitas total
kapal.
c. Jalur pelayaran dan panduan navigasi
Jalur pelayaran dan kondisi navigasi menentukan karasteristik bangunan kapal
dan perlengkapan kapal, termasuk perlengkapan keselamatan. Untuk kapal
dengan jalur pelayaran yang ramai atau rawan kecelakaan tentu akan berbeda
dengan kapal yang beroperasi pada jalur pelayaran yang sepi. Demikian juga
dengan kondisi alam sekitar jalur pelayaran.
d. Keandalan dari Pelayanan Pelabuhan
7
Erichsen Stian (1989),. “Management of Marine Design”, Butterworths, London Boston, Norwegian
Institute of Technology, Troundheim, Norway
Page 53 of 183
Pelayanan yang diberikan pelabuhan pada kapal mempengaruhi waktu sandar
dan operasional kapal di pelabuhan. Sehingga perencanaan kapal perlu
mempertimbangkan karakteristik pelayanan pelabuhan yang akan disinggahi agar
kapal dapat memberi kemudahan bagi pelayanan pelabuhan.
e. Fasilitas Pelabuhan
Fasilitas yang dimiliki pelabuhan sangat berpengaruh terhadap perencanaan
perlengkapan kapal, seperti penyediaan alat untuk material handling derek atau
crane, dan sebagainya. Atau bisa berpengaruh juga terhadap desain kapal secara
keseluruhan.
Disamping perencanaan kapal dan pelabuhan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah
pemilihan rute pelayaran. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan rute
pada saat seseorang melakukan perjalanan. Untuk transportasi laut dengan kapal
adalah satu-satunya pilihan moda transportasi, waktu tempuh, jarak dan biaya
merupakan parameter yang sangat mempengaruhi pemilihan rute. Salah satu
pendekatan yang paling sering digunakan adalah mempertimbangkan dua faktor utama
dalam pemilihan rute, yaitu biaya pergerakan dan nilai waktu. Biaya pergerakan
dianggap proporsional dengan jarak tempuh. Dalam beberapa model pemilihan rute
dimungkinkan penggunaan bobot yang berbeda bagi faktor waktu tempuh dan faktor
jarak tempuh untuk menggambarkan persepsi pengguna jasa transportasi dalam kedua
faktor tersebut. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa waktu tempuh
mempunyai bobot lebih dominan daripada jarak tempuh bagi pergerakan dalam satu
wilayah.
Waktu pelayaran untuk transportasi laut sangat dominan dalam pemilihan rute
pelayaran. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi waktu pelayaran semakin besar
biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa maupun oleh pihak penyedia jasa
pelayaran (kapal). Biaya operasional kapal akan meningkat seiring dengan
meningkatnya waktu berlayar. Permintaan jasa transportasi laut per tahun dapat
dijadikan sebagai dasar perencanaan rute. Besaran permintaan barang dan
penumpang per tahun tersebut kemudian menjadi indikator kapasitas transportasi dari
moda transportasi dalam bentuk rute-rute. Nilai kapasitas transportasi inilah yang
kemudian menjadi referensi dasar perhitungan rancangan parameter-parameter
operasional lain yang lebih detail, terutama dalam mengestimasi kapasitas angkut per
kapal, jumlah kapal, dan kapasitas angkut kapal secara total per tahunnya.
Page 54 of 183
Model umum penawaran ( supply ) ditujukan untuk mencari / mendapatkan total
kapasitas angkut yang harus disediakan. Pemodelan penawaran merupakan fungsi
dari jumlah armada, kapasitas angkut dan jarak yang ditempuh dapat dinyatakan
sebagai berikut :8
S = f (Q)
Dimana
Q : f0 + fr
f : Nk x P
P : Lf x Cp x R trip
Rtrip : (365-Z)/T
T : Tsea + Tport
Lf : Load faktor
8
Stopford M. (1988)] , “ Maritime Economics “ Unwin Hyman Ltd, London
Page 55 of 183
Rtrip : Total trip kapal per-tahun (jam)
Selanjutnya, muatan bersih ( pay load ) dari kapal yang direncanakan dapat ditentukan
dengan menggunakan hubungan, sebagai berikut :9
9
Phoels H. , [ 1982 ], “ Ship Design And Ship Theory “ University of Hanover
Page 56 of 183
dalam membuat rencana pengembangan kapasitas jangka panjang, namun dalam
jangka pendek diperhitungkan untuk menggambarkan upaya PLN dalam mengatasi
kondisi krisis kelistrikan.
Namun demikian, sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk lebih banyak
mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan, pengembangan panas bumi
dan tenaga air tidak mengikuti kriteria least cost, sehingga dalam proses perencanaan
mereka diperlakukan sebagai fi xed plant. Namun perencanaan pembangkit panas
bumi dan tenaga air tetap memperhatikan keseimbangan supply – demand dan besar
cadangan yang tidak berlebihan, serta status kesiapan pengembangannya.
Pada beberapa daerah yang merupakan sumber utama energi primer nasional namun
telah lama menderita kekurangan pasokan tenaga listrik, yaitu Sumatera dan
Kalimantan, PLN mempunyai kebijakan untuk membolehkan rencana reserve margin
yang tinggi. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pelaksanaan proyek-proyek
pembangkit di Kalimantan dan Sumatera seringkali mengalami keterlambatan,
pembangkit existing telah mengalami derating yang cukup besar dan adanya
keyakinan bahwa tersedianya tenaga listrik yang banyak di Sumatera dan Kalimantan
akan memicu tumbuhnya demand listrik yang jauh lebih cepat11.
Untuk mengantisipasi terjadinya kelebihan pasokan pada sistem kelistrikan tertentu
yang reserve marginnya direncanakan sangat tinggi, PLN akan memonitor progres
implementasi proyek pembangkit dari tahun ke tahun. Apabila progres fi sik proyek
pembangkit berjalan baik, maka PLN akan mengimbanginya dengan mitigasi tertentu.
Mitigasi tersebut misalnya pemasaran agresif untuk menyeimbangkan penjualan
dengan pasokan, memastikan interkoneksi dengan sistem kelistrikan lain sehingga
dapat dilakukan power exchange, dan menunda jadwal proyek-proyek pembangkitan
berikutnya.
Pemilihan lokasi pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan
sumber energi primer setempat atau kemudahan pasokan energi primer, kedekatan
dengan pusat beban, prinsip regional balance¸ topologi jaringan transmisi yang
dikehendaki, kendala pada sistem transmisi, dan kendalakendala teknis, lingkungan
dan sosial.
Untuk memenuhi kebutuhan beban puncak, pembangkit berbahan bakar BBM tidak
direncanakan lagi. Untuk selanjutnya PLN hanya merencanakan pembangkit beban
puncak yang beroperasi dengan gas (LNG, mini LNG, CNG). Apabila ada potensi, PLN
lebih mengutamakan pembangkit hidro, seperti pumped storage, PLTA peaking
Page 57 of 183
dengan reservoir. Proyek PLTGU berbahan bakar gas lapangan (gas pipa) hanya
direncanakan apabila terdapat kepastian pasokan gas. Dalam hal tidak tersedia
pasokan gas lapangan, maka PLTGU sebagai pembangkit medium (pemikul beban
menengah) menjadi tidak dapat direncanakan. Konsekuensinya sebagian pembangkit
beban dasar, yaitu PLTU batubara, dapat dioperasikan sebagai pemikul beban
menengah dengan capacity factor yang relatif rendah, walaupun untuk fungsi tersebut
PLTU batubara perlu dibantu oleh pembangkit jenis lain yang mempunyai ramping rate
tinggi seperti PLTG.
Pengembangan PLTU batubara skala kecil dan PLTGB (pembangkit listrik tenaga
gasifi kasi batubara) skala kecil merupakan program untuk menggantikan pembangkit
listrik berbahan-bakar BBM pada sistem kelistrikan skala kecil yang belum dapat
dilayani melalui grid extension dalam waktu cukup dekat. Untuk sistem kelistrikan
Jawa-Bali, PLN telah merencanakan PLTU batubara kelas 1.000 MW dengan teknologi
ultra super critical untuk memperoleh efi siensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang
lebih rendah. Penggunaan ukuran unit sebesar ini dimotivasi oleh manfaat economies
of scale dan didorong oleh semakin sulitnya memperoleh lahan untuk membangun
pusat pembangkit skala besar di Pulau Jawa. Pertimbangan lainnya adalah ukuran
sistem Jawa-Bali telah cukup besar untuk mengakomodasi unit pembangkit kelas 1.000
MW.
Secara umum pemilihan lokasi pembangkit diupayakan untuk memenuhi prinsip
regional balance. Regional balance adalah situasi dimana kebutuhan listrik suatu
region dipenuhi sebagian besar oleh pembangkit yang berada di region tersebut dan
tidak banyak tergantung pada transfer daya dari region lain melalui saluran transmisi
interkoneksi. Dengan prinsip ini, kebutuhan transmisi interkoneksi antar region akan
minimal. Namun demikian kebijakan regional balance ini tidak membatasi PLN dalam
mengembangkan pembangkit di suatu lokasi dan mengirim energinya ke pusat beban
melalui transmisi, sepanjang hal tersebut layak secara teknis dan ekonomis. Hal ini
tercermin dari adanya rencana untuk mengembangkan PLTU mulut tambang skala
besar di Sumatera Selatan dan menyalurkan sebagian besar energi listriknya ke pulau
Jawa melalui transmisi arus searah tegangan tinggi (high voltage direct current
transmission atau HVDC).
Situasi yang sama juga terjadi di sistem Sumatera, dimana sumber daya energi
(batubara, panas bumi dan gas) lebih banyak tersedia di Sumbagsel, sehingga di
Page 58 of 183
wilayah ini banyak direncanakan PLTU batubara dan PLTP yang sebagian energinya
akan ditransfer ke Sumbagut melalui sistem transmisi tegangan ekstra tinggi.
Kepemilikan proyek-proyek pembangkitan yang direncanakan dalam RUPTL
disesuaikan dengan kemampuan pendanaan PLN. Mengingat kebutuhan investasi
sektor ketenagalistrikan yang sangat besar, PLN tidak dapat secara sendirian
membangun seluruh kebutuhan pembangkit baru. Dengan demikian sebagian proyek
pembangkit akan dilakukan oleh listrik swasta sebagai independent power producer
(IPP). Berikut ini kebijakan PLN dalam mengalokasikan ownership proyek kelistrikan:
Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek PLN apabila PLN telah
mendapat pendanaan dari lender, telah mempunyai kontrak EPC/penunjukan
pemenang lelang EPC, atau ditugaskan oleh pemerintah untuk melaksanakan
sebuah proyek pembangkit.
Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek IPP apabila PLN telah
menandatangani PPA/Letter of Intent, PLN telah menyampaikan usulan kepada
pemerintah bahwa suatu proyek dikerjakan oleh IPP, atau pengembang swasta
telah memperoleh IUPTL dari Pemerintah.
Proyek pembangkit yang belum direncanakan sebagai proyek PLN atau IPP
dimasukkan dalam kelompok proyek “unallocated”.
PLTP: Sesuai dengan peraturan dan perundangan di sektor panas bumi,
pengembangan PLTP pada umumnya didorong untuk dikembangkan oleh swasta
dengan proses pemenangan WKP melalui tender oleh Pemda sebagai total
project. Sedangkan potensi panas bumi yang WKP-nya dimiliki oleh Pertamina
berdasar regulasi terdahulu, Pertamina dan PLN dapat bekerja sama
mengembangkan PLTP. Beberapa WKP PLTP di Indonesia Timur yang dimiliki
PLN akan dikembangkan sepenuhnya sebagai proyek PLN.
Page 59 of 183
Tabel 9
Penjualan Tenaga Listrik PLN (Twh)
Menurut Wilayah: 2007-2011
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pertumbuhan rata-rata penjualan listrik di Jawa-Bali
(6,3% per tahun) relatif lebih rendah daripada pertumbuhan rata-rata di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan penjualan
yang rendah di Jawa-Bali pada tahun 2007 disebabkan oleh adanya pengendalian
penjualan akibat keterbatasan kapasitas pembangkit pada tahun tersebut. Selanjutnya
pada tahun 2008 mulai terjadi krisis f nansial global hingga akhir tahun 2009 yang
menyebabkan penjualan tenaga listrik tahun 2009 hanya tumbuh 3,3%. Pertumbuhan
di Jawa pulih kembali dari dampak krisis keuangan global mulai tahun 2010.
Penjualan tenaga listrik di Sumatera tumbuh jauh lebih tinggi, yaitu rata-rata 9,6% per
tahun. Pertumbuhan ini tidak seimbang dengan penambahan kapasitas pembangkit
yang hanya tumbuh rata-rata 5,2% per tahun, sehingga di banyak daerah terjadi krisis
daya yang kronis hingga tahun 2009 dan diatasi dengan sewa pembangkit sepanjang
tahun 2010. Penjualan tenaga listrik di Kalimantan tumbuh rata-rata 9,2% per tahun,
Page 60 of 183
sedangkan penambahan kapasitas pembangkit rata-rata hanya 1% per tahun,
sehingga di banyak daerah terjadi krisis daya dan penjualan dibatasi.
Penjualan tenaga listrik di Sulawesi tumbuh rata-rata 9,6% per tahun, sementara
penambahan kapasitas pembangkit rata-rata hanya 2,7% per tahun. Hal ini telah
mengakibatkan krisis penyediaan tenaga listrik yang cukup parah hingga tahun 2009
khususnya di Sulawesi Selatan, dan pada tahun 2010 diatasi dengan sewa
pembangkit. Hal yang sama terjadi di daerah Indonesia Timur lainnya, yaitu Maluku,
Papua, dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Indonesia Timur diperkirakan masih berpotensi untuk meningkat lebih tinggi karena
daftar tunggu yang tinggi akibat keterbatasan pasokan dan rasio elektrifi kasi yang
akan terus ditingkatkan.
c. Ratio Elektifikasi
Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik
dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada. Perkembangan rasio elektrifi kasi
secara nasional dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 60,8% pada tahun
2007 menjadi 71,2% pada tahun 2011. Pada periode tersebut kenaikan rasio elektrifi
kasi pada wilayah-wilayah Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau
lainnya diperlihatkan pada Gambar 17.
Gambar 17.
Rasio Elektrifikasi Di Indonesia
Menurut Wilayah: 2007-2014
Page 61 of 183
Menurut PT. PLN (persero) pertumbuhan rasio elektrifi kasi yang tidak merata pada
masingmasing daerah, dengan rincian sebagai berikut:
1) Sumatera: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan sekitar 2,5% per tahun.
2) Sulawesi: pertumbuhan rasio elektrifikasinya sekitar 2,6% per tahun. Rasio
elektrifikasi naik cukup tajam pada tahun 2010 karena adanya pembangkit sewa.
3) Jawa-Bali: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan sekitar 1,2% per tahun.
4) Kalimantan: rasio elektrifikasi mengalami kenaikan cukup signifi kan mulai
tahun 2009 karena teratasinya masalah pembangkitan dengan adanya
beberapa pembangkit sewa.
5) Indonesia bagian Timur: rasio elektrifikasi mengalami pertumbuhan 2,7% per
tahun. Kesulitan utama adalah keterbatasan kemampuan pembangkit dan
situasi geografis yang tersebar.
1) Masalah Mendesak
Masalah mendesak yang saat ini dihadapi PLN antara lain upaya memenuhi daerah-
daerah yang kekurangan pasokan listrik dan mengganti pembangkit berbahan bakar
minyak dengan bahan bakar non minyak serta melistriki daerah yang belum
Page 62 of 183
mendapatkan pasokan listrik, termasuk daerah-daerah perbatasan dan terpencil, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pada tahun 2011 sistem kelistrikan Sumatera pada dasarnya mengalami kekurangan
pasokan daya. Sistem Sumbagut hampir sepanjang tahun tidak mempunyai cadangan
operasi, sering mengalami defi sit dan mengoperasikan banyak pembangkit berbahan
bakar BBM (lebih dari 60%). Sistem Sumbagsel juga mengalami hal yang sama, yaitu
hampir sepanjang tahun tidak mempunyai cadangan operasi yang cukup, bahkan kira-
kira 4 bulan dalam setahun dalam kondisi defi sit daya. Gas, batubara dan hidro sudah
mengambil peran besar dalam pembangkitan di Sumbagsel.
Pada saat ini hampir 100% pasokan listrik di Kalimantan Barat bersumber dari
pembangkit berbahan BBM. Kecukupan dan keandalan pasokan masih relatif rendah
dengan cadangan pembangkitan yang tidak memadai. Kebutuhan listrik untuk daerah
perdesaan di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Sarawak juga masih belum
tercukupi.
Sistem kelistrikan di wilayah operasi Indonesia Timur tahun 2011 banyak yang dalam
kondisi krisis termasuk pada sistem-sistem yang melayani ibukota Provinsi yaitu sistem
Barito dan Mahakam di Kalimantan, sistem Sulsel, Kendari, Minahasa-Gorontalo dan
Palu di Sulawesi, sistem Lombok, Ambon, Ternate dan sistem Jayapura. Sistem-sistem
tersebut beroperasi dalam kondisi tanpa cadangan yang cukup sehingga apabila terjadi
gangguan pada salah satu pembangkit akan mengakibatkan pemadaman. Demikian
juga dengan kondisi sistem kecil yang melayani ibukota kabupaten, beberapa
diantaranya mengalami krisis dan bahkan sebagian diantaranya sudah mengalami defi
sit daya sehingga sering terjadi pemadaman.
Realisasi operasi sistem kelistrikan Jawa-Bali sepanjang tahun 2011 pada umumnya
berjalan normal dan aman, namun selama perioda beban puncak mengalami defi sit
daya sebanyak 165 kali sehingga dilakukan load curtailment, dan 104 kali dalam
kondisi kurang cadangan operasi. Hidrologi waduk kaskade Citarum selama tahun
2011 termasuk kategori kering, sehingga hanya berpoduksi 75% dari rencana. Transfer
listrik dari region timur/tengah ke region barat masih dalam batas termal dan stabilitas.
Sebagian besar GITET 500 kV mengalami tegangan di bawah standar37, demikian
juga dengan GI 150 kV. Namun demikian masih terdapat banyak ruas transmisi 150 kV
yang pembebannya telah melampaui kriteria keadalan N-1, terutama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Pembebanan sebagian besar trafo IBT 500/150 kV telah sangat
Page 63 of 183
tinggi, yaitu mendekati 80%-100%, demikian pula halnya dengan pembebanan trafo
150/20 kV.
Page 64 of 183
c) Mempercepat pembangunan proyek-proyek pembangkit lainnya yang terdapat
dalam neraca daya
d) Secara khusus berikut ini disebutkan proyek-proyek pembangkit peaker untuk
memenuhi kebutuhan sistem kelistrikan:
PLTG/MG Arun 200 MW dan PLTG/MG Pangkalan Brandan 200 MW yang
keduanya direncanakan beroperasi dengan gas yang akan dipasok dari
regasifi kasi LNG di Arun.
PLTMG Sei Gelam 104 MW yang akan dipasok dari gas CNG Sei Gelam
sebesar 4,5 bbtud.
PLTG/MG Jaka Baring 50 MW yang akan dipasok dari gas CNG Jaka Baring
sebesar 3 bbtud.
PLTG/MG Riau 200 MW yang direncanakan akan dipasok dari gas Jambi
Merang sebesar 10 bbtud dan disimpan sebagai CNG.
PLTG/MG Jambi 100 MW yang diharapkan dapat memperoleh gas dari
Jambi Merang dan disimpan sebagai CNG.
PLTG/MG Lampung 100 MW yang diharapkan akan mendapatkan gas dari
beberapa alternatif sumber gas, juga perlu disimpan sebagai CNG.
PLTG/MG Bangkanai 280 MW yang akan beroperasi dengan gas Bangkanai
20 bbtud dengan membangun fasilitas CNG.
PLTG/ MG Makassar 150 MW dan PLTG/MG Minahasa 50 MW
direncanakan akan dipasok dari mini LNG. PLTG/MG Lombok 60 MW
direncanakan akan dipasok dengan gas CNG marine.
Page 68 of 183
Tabel 10
Pertumbuhan Ekonomi dan Proyeksi Kebutuhan
Tenaga Listrik dan Beban Puncak 2012-2018
Pertumbuhan Penjualan
Tahun Jumlah Beban Puncak
Ekonomi (%) Twh
2012 6,5 172,3 30,237
2013 7,2 187,8 32,770
2014 7,4 305,8 35,872
2015 6,9 225,1 39,209
2016 6,9 246,2 42,796
2017 6,9 266,8 46,291
2018 6,9 287,3 49,891
Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021
Proyeksi prakiraan kebutuhan listrik periode 2012–2021 ditunjukkan pada Gambar 18.
Pada periode 2012-2021 kebutuhan listrik sistem Jawa Bali diperkirakan akan
meningkat dari 132,4 TWh pada tahun 2012 menjadi 259,4 TWh pada tahun 2021,
atau tumbuh rata-rata 7,9% per tahun. Untuk Indonesia Timur pada periode yang
sama, kebutuhan listrik akan meningkat dari 14,2 TWh menjadi 36,7 TWh atau tumbuh
rata-rata 11,4% per tahun. Wilayah Indonesia Barat tumbuh dari 25,7 TWh pada tahun
2012 menjadi 62,2 TWh pada tahun 2021 atau tumbuh rata-rata 10,5% per tahun.
Gambar 18.
Proyeksi Penjualan Tenaga Listrik PLN Tahun 2012 dan 2021
Page 69 of 183
d. Rencana Pengembangan Pembangkit
Kandidat pembangkit yang digunakan pada simulasi penambahan pembangkit di
Indonesia Barat dan Timur cukup bervariasi tergantung kepada kapasitas sistem.
Untuk sistem Sumatera misalnya, kandidat PLTU batubara adalah 100 MW, 200 MW,
300 MW dan 400 MW. PLTG pemikul beban puncak 100 MW. Untuk sistem Kalimantan
dan Sulawesi, kandidat PLTU batubara adalah 25 MW, 50 MW dan 100 MW dengan
PLTG pemikul beban puncak 25-30 MW dan 50 MW. Sistem lainnya menggunakan
kandidat pembangkit yang lebih kecil.
Pada sistem Jawa-Bali, kandidat pembangkit yang dipertimbangkan untuk rencana
pengembangan adalah PLTU batubara ultra supercritical kelas 1.000 MW dan
supercritical 600 MW, PLTGU LNG/gas alam 750 MW, PLTG BBM pemikul beban
puncak 200 MW dan PLTA Pumped Storage 250 MW52. Selain itu terdapat beberapa
PLTP kelas 55 MW dan 110 MW, serta PLTA. PLTN jenis pressurised water reactor
kelas 1.000 MW juga disertakan sebagai kandidat dalam model optimisasi
perencanaan pembangkitan.
Pemilihan ukuran unit PLTU batubara untuk sistem Jawa-Bali sebesar 1.000 MW per
unit didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan kesesuaian dengan ukuran sistem
tenaga listrik Jawa-Bali yang beban puncaknya sudah akan melampaui 25.000 MW.
Asumsi harga bahan bakar dapat dilihat pada Tabel .11.
Tabel 11
Asumsi Harga Bahan Bakar
Page 70 of 183
e. Program Percepatan Pembangkit Berbahan Bakar Batubara (Perpres No.
71/2006 jo Perpres No.59/2009)
Dengan Peraturan Presiden No. 71 tahun 2006 yang direvisi dengan Peraturan
Presiden No. 59 tahun 2009, Pemerintah telah menugaskan PT PLN (Persero) untuk
membangun pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebanyak kurang lebih 10.000
MW untuk memperbaiki fuel mix dan sekaligus juga memenuhi kebutuhan demand
listrik di seluruh Indonesia. Program ini dikenal sebagai “Proyek Percepatan
Pembangkit 10.000 MW”. Berdasar penugasan tersebut PLN pada saat ini tengah
membangun sejumlah proyek pembangkit dengan kapasitas dan perkiraan tahun
operasi diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12
Proyek Percepatan Pembangkit 10.000 MW Tahap I
Di Indonesia Timur - Peraturan Presiden No.71/2006 jo
PerPres No.59/2009 – September 2012
Kapasitas
Nama Pembangkit COD
(MW)
PLTU 1 di Kalbar (Parit Baru) 2 x 50 2014
PLTU di Kaltim (Kariangau) 2 x 110 2014
PLTU 1 di Kalteng (Pulang Pisau) 2 x 60 2014
PLTU di Kalsel (Asam-asam) 2 x 65 2013
PLTU 2 di Sulut (Amurang) 2 x 25 2012
PLTU di Gorontalo 2 x 25 2014
PLTU di Maluku Utara (Tidore) 2x7 2013
PLTU 2 di Papua (Jayapura) 2 x 10 2013
PLTU 1 di Papua (Timika) 2x7 Batal
PLTU di Maluku (Ambon) 2 x 15 2013-2014
PLTU di Sultra (Kendari) 2 x 10 2012
PLTU di Sulsel (Barru) 2 x 50 2012-2013
PLTU 2 di NTB (Lombok) 2 x 25 2013
PLTU 1 di NTT (Ende) 2x7 2013
PLTU 2 di NTT (Kupang) 2 x 16,5 2013
PLTU 1 di NTB (Bima) 2 x 10 2014
PLTU 1 di Sulut 2 x 25 2014
PLTU 2 di Kalteng 2x7 Batal
Sumber: PT.PLN (persero), RUPTL 2012-2021
Sampai dengan September 2012 pembangunan Proyek PerPres 71 yang telah selesai
dan beroperasi komersial adalah PLTU Labuan (2x300 MW), Suralaya Unit 8 (625
MW), Indramayu (3x330 MW), Lontar (3x315 MW), Rembang (2x315 MW) dan Paiton
Page 71 of 183
Unit 9 (660 MW). Untuk Indonesia Barat dan Timur belum ada proyek PLTU batubara
yang beroperasi komersial per September 2012.
Gambar 19.
10.000 MW Fast Track Program Phase I10
10
INDONESIAN Energi Council 2011
Page 72 of 183
Proyek-proyek berikut telah dibatalkan dari FTP2: PLTGU Muara Tawar add-on Blok 3-
4, PLTU Bali Timur, PLTP Darajat, PLTP Salak, PLTGU Senoro, PLTU Masohi, PLTU
Waingapu, PLTU Moutong. Selain itu juga terdapat proyek yang dikeluarkan dari FTP2
karena telah didanai dengan APBN yaitu PLTU Sampit, PLTU Kotabaru, PLTU Tidore
dan PLTG Kaltim (peaking).
Gambar 20
Komposisi Pembangkit Listrik
10.000 MW Fast Track Program Phase II11
Di samping itu juga terdapat beberapa proyek yang telah berubah status, yaitu PLTGU
Bangkanai (IPP) menjadi PLTG/PLTMG Bangkanai (PLN), dan beberapa PLTU kecil
menjadi PLTGB. Beberapa proyek pembangkit EBT khususnya PLTA dan PLTP telah
ditambahkan dalam FTP2, yaitu PLTA Rajamandala, PLTA Bonto Batu, PLTA Malea,
PLTA Wampu, PLTA Semangka, PLTA Hasang dan PLTA Peusangan-4. Sedangkan
proyek PLTP tambahan adalah PLTP Gunung Endut, PLTP Gunung Ciremai, PLTP
Suoh Sekincau, PLTP Wai Ratai, PLTP Danau Ranau, PLTP Simbolon Samosir, PLTP
Sipoholon Ria-Ria, PLTP Bonjol dan PLTP Mataloko.
Porsi pembangkit EBT (PLTP dan PLTA) dalam FTP2 akan menjadi 66%.
Pengembangan ini merupakan bagian dari rencana yang lebih besar lagi dalam
RUPTL yang mencapai 12.126 MW hingga tahun 2020. Program Percepatan
Pembangunan Pembangkit Tahap 2 sebesar 10.047 MW tersebut terdiri atas 3.757
MW sebagai proyek PLN dan 6.290 MW sebagai proyek IPP.
11
INDONESIAN Energi Council 2011
Page 73 of 183
4.1.5 Kebutuhan Batubara dan Sistem Tranportasi PLTU di Kawasan Timur
Indonesia
Untuk mendapatkan jaminan pasokan batubara bagi seluruh pembangkit-
pembangkitnya, PT PLN (Persero) melakukan pengikatan kontrak pasokan batubara
jangka panjang. Agar kontrak jangka panjang tersebut dapat berjalan dengan baik,
PLN perlu mendapatkan pemasok-pemasok batubara yang handal. Sebagaimana
pembangkit batubara eksisting, untuk penyediaan batubara bagi pembangkit-
pembangkit yang masuk dalam program Percepatan 10.000 MW Tahap 1, PLN sudah
membuat beberapa Perjanjian Jual Beli Batubara (PJBB) dengan beberapa pemasok
yang pasokannya seluruhnya berasal dari pulau Sumatera maupun Kalimantan.
Sumber pasokan batubara ini umumnya jauh dari lokasi PLTU, sehingga membutuhkan
transportasi laut dengan tongkang atau kapal. Bahkan sebagian masih memerlukan
tambahan angkutan melalui sungai, ataupun jalan darat dengan truk ataupun kereta
api. Namun, pada beberapa lokasi, PLN berhasil mendapatkan pasokan batubara dari
tambang-tambang di sekitar PLTU, yang mana hal tersebut lebih menjamin keandalan
pasokan batubara, harga relatif lebih murah dan sekaligus memberikan manfaat bagi
masyarakat dan ekonomi setempat. Besarnya tingkat kebutuhan batubara untuk
energi pembangkit listrik, dan terpusatnya daerah penambangan batubara serta
penyebaran pembangkit listrik di seluruh wilayah Indonesia, menyebabkan sistem
transportasi dan logistik guna memenuhi kebutuhan batubara di setiap PLTU menjadi
persolan yang memerlukan pemecahan.
Permintaan terhadap batubara yang relatif besar juga dibutuhkan untuk pembangkit
PLTU di kepulauan Maluku. Seperti ditunjukan oleh Tabel 14, tiga tempat di Maluku,
yaitu Tidore, Ambon, dan Sofifi membutuhkan 299 ribu ton batubara per-tahun. Namun
rata-rata kebutuhan per-bulan untuk ketiga daerah kepulauan tersebut relatif kecil
sehingga pilihan moda transportasi laut yang tepat harus dilakukan agar biaya
Page 75 of 183
transportasi menjadi minimum. Disamping itu, daerah pemasok batubara menjadi
penting bagi Tidore, Ambon, dan Sofifi. Pilihan yang ada dapat dilakukan dengan
memilih batubara dari Kalimantan atau dari Papua karena kedua daerah ini merupakan
memiliki sumber batubara.
Gambar 21
Sumber Batubara PLN Batubara dan PLTU Tujuan12
Secara visual, Gambar 21 menunjukan bahwa untuk PLTU yang sudah dan akan
dibangun di kepulauan Maluku maka sumber yang berasal dari kepala burung Papua
yaitu Sorong, memiliki jarak yang relatif dekat apabila dibandingkan dengan sumber
batubara di kalimantan Timur maupun Kalimantan selatan.
Pada sisi lain, PLTU yang tersebar di Nusa Tenggara barat dan Nusa Tenggara Timur
akan lebih dekat apabila dipasok dari sumber batubara di kalimantan Selatan. Tabel 14
menunjukan bahwa PLTU di NTB dan NTT masing-masing membutuhkan pasokan
batubara sebanyak 298 ribu ton dan 200 ribu ton per-tahun. Empat PLTU yang terletak
di NTB dan NTT membutuhkan rata-rata kurang dari 15 ribu ton per bulan. Sebuah
jumlah yang relatif kecil apabila harus dilayani dengan kapal dengan ukuran yang
besar, meskipun ongkos angkut per-ton untuk kapal dengan ukuran besar relatif lebih
murah. Oleh karenanya konfigurasi transportasi dengan sistem Hub and Spoke
mungkin bisa dijadikan alternatif pelayanan untuk menekan biaya angkut batubara
12
PT PLN (Persero) Batubara, unpublihed data
Page 76 of 183
b. Sistem Transportasi Batubara PLTU Indonesia Timur.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa secara teoritis ada tiga pendekatan yang dikenal
apabila kita dihadapkan dengan network konfigurasi jaringan pelayanan jasa
transportasi, termasuk untuk angkutan batubara, yaitu: (1) Milkrun, (2) Point to Point,
dan (3) Hub and Spoke. Ketiga jenis transportation network tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan. Akan tetapi apabila pilihannya adalah mendapatkan biaya angkut
yang minimum maka sistem operasi yang mempertimbangkan pencapaian skala
ekonomis harus menjadi pilihan.
Berbagai studi menunjukan bahwa akibat penerapan Airines Deregulatian Act 1978 di
Amerika Serikat, jaringan pelayanan transportasi udara di Amerika Serikat mengalami
perubahan dari yang semula bersifat Point to Point menjadi sitem pelayanan Hub and
Spoke. Perubahan sistem jaringan pelayanan transportasi udara tersebut mendorong
semua maskapai penerbangan di Amerika Serikat menentukan satu atau dua airport
menjadi Hub dan menetapkan airport lainnya sebagai Spoke. Akibatnya, maskapai
penerbangan di Amerika Serikat memungkinkan untuk menggunakan pesawat
berbadan lebar dengan biaya per seat miles relatif murah, kompetisi antar maskapai
penerbangan menjadi terjadi dan pengguna jasa penerbangan membayar ongkos yang
relatif lebih murah untuk rute yang sama apabila dibandingkan dengan tarif
penerbangan sebelumnya
Keuntungan yang diperoleh dari sistem jaringan Hub and Spoke di dunia penrebangan
pada gilirannya diadopsi oleh moda transportasi laut maupun darat. Untuk moda
transpotasi laut, hasil studi yang dilakukan oleh Mihiro Sasaki – Nanzan Univerity dan
Masao Fukushima- Kyoto University pada tahun 2003 “ On The Hub-and-Spoke Model
With Arc Capacity Constraints” menunjukan keuntungan yang diperoleh melalui model
jaringan Hub and Spoke untuk operasi kapal laut. Pemikiran yang sama juga dihasilkan
oleh V. Zarei, I. Mahdavi *, R. Tavakkoli-Moghaddam & N. Mahdavi-Amiri melalui
kajiannya “ A Multi-Level Capacity Approach to the Hub and Spoke Network” yang
diterbitkan di International Journal of Industrial Engineering & Production Research
pada tahun 2013.
Secretariat of the Pacific Comumnity sebuah organisasi persemakmuran negara-
negara yang terletak di laut Pacifc mengajukan proposal tentang jaringan transportasi
laut dengan model Hub and Spoke untuk jaringan distribusi barang dan jasa bagi
negara-negara kecil di laut Pacific. Proposal yang diberi judul “Perspectives on
potential hub & spoke networks” menunjukan bahwa jaminan kebutuhan di negara-
Page 77 of 183
negara pacific dapat terlayani dengan baik dengan sistem jaringan yang menyerupai
ban sepeda ini.
Gambar 22
Shipping Routes, Mini-hubs and Transhipment Port
In the Pacific Regions
Sistem jaringan transportasi batubara di Indonesia Timur tampaknya tidak akan jauh
berbeda dengan transportation network di negara-negara Pacific. Hasil kajian yang
dilakukan oleh Chairani Rachmatullah (2012) “ Kemanan Pasokan Batubara Jangka;
Model jaminan Pasokan Batubara untuk PLTU di Indonesia Timur” menunjukan bahwa
sistem jaringan Hub and Spoke menunjukan adanya kesinambungan pasokan
batubara dengan biaya transportasi laut yang relatif rendah.
Dengan menggunakan 11 PLTU di Nusa Tenggara Timur sebagi bahan studi, Chairani
Rachmatullah menunjukan bahwa disamping pilihan asal pasokan batubara yang
berpengaruh terhadap biaya transportasi, konfigurasi angkutan batubara sangat besar
artinya pada biaya yang dapat dihemat oleh PLTU di Nusa Tenggara Timur. Seperti
ditunukan oleh Tabel 15, keseluruhan PLTU di Nusa Tenggara Timur membutuhkan
lebih dari 809 ribu ton batu bara per-tahun atau lebih dari 67 ribu ton per-bulan.
Page 78 of 183
Tabel 15.
PLTU Di Nusa Tenggara Timur dan Kebutuhan Batubara
Kebutuhan (ton)
PLTU MW Asal Pasokan
Tahun Bulan
PLTU Jiranjang 25 Kalsel/Kaltim 91,980 7,665
PLTU Sumbawa Barat 14 Kalsel/Kaltim 51,509 4,292
PLTU IPP Sumbawa 20 belum 73,584 6,132
PLTU Bima 20 Kalsel/Kaltim 73,584 6,132
PLTU Endog 50 Kalsel/Kaltim 183,960 15,330
PLTU Alor 6 Kalsel/Kaltim 22,075 1,840
PLTU Rote 6 Kalsel/Kaltim 22,075 1,840
PLTU Atambua 24 belum 88,301 7,358
PLTU Ende Ropa 14 Kalsel/Kaltim 51,509 4,292
PLTU Kupang 33 Kalsel/Kaltim 121,414 10,118
PLTGB IPP Larantuka 8 belum 29,434 2,453
Total 220 809,424 67,452
Sumber : Chairani Rachmatullah “ Kemanan Pasokan Batubara Jangka; Model jaminan Pasokan
Batubara untuk PLTU di Indonesia Timur” Agustus 2012
Untuk memenuhi kebutuhan batubara untuk pembnagkit listrik (PLTU) di NTT, PLN
Batubara mengupayakan pengadaan batubara dari Kalimantan Selatan atau
Kalimantan Timur. Jarak antara asal pasokan di Kalimantan Selatan atau Kalimantan
Timur adalah sekitar 80o Nautical Miles (NM) dari lokasi PLTU di NTT maka alternatif
pilihan transportasi batubara dari asal pasokan adalah menggunakan kapal tongkang
dengan bobot mati 10.000 DWT atau kapal curah dengan bobot mati 23.000 DWT.
Apabila jenis angkutan yang dipergunakan adalah kapal tongkang dengan bobot mati
10.000 DWT maka konfigurasi pelayanan adalah dedicated atau Point to Point dimana
kapal tongkang akan mengangkut 10.000 ton batubara dari tempat asal kemudian
disitribusikan ke 11 PLTU di NTT. Pilihan lain sebagai altenatif adalah menggunakan
kapal curah dengan bobot 23.000 ton batubara namun konfigurasi jaringan
menggunakan sistem Hub and Spoke. Terdapat penghematan biaya yang cukup
signifikan dari penggunaan kedua sistem jaringan transportasi. Gambaran yang lebih
jelas dari kedua alternatif jaringan transportasi batubara adalah sebagai berikut:
1) Jarak tempuh rata-rata : 800 NM
2) Kebutuhan batubara : 70.000 ton per bulan
3) Desain lama : dedicated, dengan tongkang 10.000 DWT
Page 79 of 183
4) Desain baru : hub and spoke, dengan vessel 23.000 DWT
Berdasarkan asumsi tersebut diatas, diperoleh hasil studi yang menunjukan bahwa
jaringan transportasi batubara dari Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur ke PLTU
di Nusa Tenggara Timur dengan konfigurasi Hub and Spoke menghemat biaya sebesar
Rp 15,8 milayar per-tahun. Penghematan dihasilkan dari beberapa faktor:
1) Penggunan kapal angkut batubara dengan kapasitas yang lebih besar untuk
volme angkut yang sama yaitu 809.424 ton per-tahun;
2) Ongkos angkut per-ton batubara lebih murah, yaitu sevesar Rp.19,6 per-ton
3) Trip pelayaran lebih sedikit untuk jarak yang sama, yaitu sebanyak 3 kali dalam
sebulan;
4) Jumlah hari layar lebih pendek yaitu sebanyak 12 hari.
Disamping faktor-faktor yang bersifat finansial, faktor lain yang sangat berarti dari
operasi pelayaran adalah kelancaran pelayaran sekalipun gelobang laut relatif tinggi,
yaitu 2,5 m atau lebih. Faktor kondisi laut dalam pelayaran menjadi penting karena
hambatan tinggi gelombang akan berpengaruh terhadap kesinambungan pasokan dari
tempat asal batubara ke tempat dimana PLTU berada. Kalkulasi biaya secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini:
Tabel 16.
Kalkulasi Biaya Angkut Batubara Untuk PLTU
di Nusa Tenggara Timur
Hub and
Kriteria Dedicated Milk Run
Spoke
1 Risiko Pelayaran tinggi
2 Waktu pelayaran > 20 hari
Penghematan biaya angkut batubara yang diperoleh dari simulasi sistem jaringan
transportasi batubara Hub and Spoke untuk PLTU di Nusa Tenggara Timur akan bisa
diperoleh untuk jaringan pelayanan di Papua, Maluku, dan Sulawesi. Akan tetapi
pemikiran ini masih bersifat premature apabila digunakan sebagai alat penentu
kebijaksanaan. Kedepan diperlukan langkah-langkah yang lebih strategis melalui kajian
yang cukup mendalam apabila sistem transportasi batubara akan digunakan. Karena
sebuah sistem transportasi batubara yang murah, aman dan handal adalah sebuah
sistem yang harus dibangun secara komprehensif. Artinya, untuk sistem tarnsportasi
laut maka pilihan pelabuhan asal dan pelabuhan tujuan angkutan batu bara, moda laut
yang dipergunakan, dan sistem penangan di pelabuhan dan stockpile harus efektif dan
efisien. Demikian pula halnya untuk sistem transportasi darat.
Untuk itu, pendalaman mengenai sistem logistik batubara di Kawasan Timur Indonesia
harus dilakukan sampai ditemukannya sebuah model jaringan transportasi yang sesuai
dengan kondisi geografis wilayah.
Page 81 of 183
4.2 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KAPAL KHUSUS PENGANGKUT
BATUBARA
Gambar 23
Pull - Toward Tug - Barge System
Page 83 of 183
Kombinasi tongkang dorong jauh lebih pendek daripada kombinasi tongkang yang
ditarik tugboat dengan menggunakan tali. Dari kombinasi ini tongkang dorong
memiliki tingkat keselamatan lebih tinggi.
Tongkang dorong dapat menghentikan dirinya sendiri dengan daya sendiri,
sedangkan tongkang tarik tidak memiliki daya untuk menghentikan dirinya sendiri.
Tongkang dorong dapat menentukan arah perjalanannya sendiri sedangkan
tongkang tarik tidak bisa melakukannya. Kombinasi point 2 dan 3 menyebabkan
tongkang dorong memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi serta maneuver
yang lebih baik daripada tongkang tarik.
Tongkang dorong dapat bersandar di dermaga sendiri dengan cepat. Tongkang
tarik pada umumnya dalam proses berlabuhnya menghabiskan banyak waktu dan
sangat merepotkan.
Kecepatan tongkang dorong secara signifikan tidak lebih tinggi dari tongkang tarik
pada bobot mati dan tenaga mesin yang sama.
Tongkang dorong memiliki kemampuan untuk mengontrol gerak lebih baik
daripada tongkang tarik yang sering berayun ke kiri dan ke kanan ketika ditarik.
Hal ini karena lambung pusher (kapal pendorong) terhubung pada buritan
tongkang yang berfungsi sebagai skeg besar untuk menjaga arah gerak dari
tongkang.
Ketika beberapa tongkang harus dijalankan secara bergantian pada rute pendek,
waktu yang dibutuhkan untuk pertukaran tongkang sangatlah penting. Pertukaran
tongkang akan membutuhkan waktu 20-30 menit, selain itu setidaknya satu
anggota awak kapal harus pergi ke tongkang untuk menangani tali penariknya.
Sedangkan kapal pendorong (pusher) yang memiliki coupler mekanik hanya
membutuhkan waktu 30-40 detik untuk memutus atau menyambung koneksi
secara berturut-turut sehingga pertukaran tongkang dapat selesai dalam
beberapa menit saja dan juga tidak ada ABK yang harus pergi ke tongkang.
Perbedaan ini berpengaruh pada angka ketersediaan layanan per hari.
Tongkang tarik kecil sering memiliki kemudi sendiri, oleh karenanya perlu juru
mudi di atasnya. Untuk tongkang besar pada umumnya tidak memiliki kemudi,
sehingga sangat sulit dalam bermanuver. Sebaliknya, kemampuan manuver dari
tongkang dorong adalah sama seperti kapal berpenggerak sendiri.
Page 84 of 183
Ada dua jenis sambungan dalam kombinasi tongkang dorong, yaitu sambungan tali
dan sambungan mekanik. Sebagai perbandingannya adalah seperti diuraikan berikut:
Page 85 of 183
Pada kombinasi tongkang dorong yang terhubung dengan tali ada rubber fender
disisipkan antara kapal pendorong dengan tongkangnya. Terjadinya guncangan,
getaran dan suara-suara berisik pada fender akan menyebabkan ketidak-
nyamanan pada kru kapal. Pada kombinasi tongkang dorong berpenghubung
mekanik hal tersebut nyaris tidak terjadi.
Gambar 24
Push - Towed Tug - Barge System
Page 86 of 183
3) Self Propelled Barge (SPB) yaitu kapal tongkang dengan mesin penggerak
sendiri
Gambar 25
Self Propelled Barge
Kelebihan;
(1) Memiliki bentuk overhull yang sederhana sehingga meminimalkan harga produksi.
(2) Bentuknya yang besar dengan bagian bawah yang datar sehingga memiliki
kestabilan melintang yang bagus.
(3) Memiliki Cb (koefisien blok) yang besar sehingga gaya angkat (buoyancy) juga
besar.
(4) Sangat cocok untuk perairan dangkal karena memiliki tinggi sarat yang relatif
lebih rendah dibanding kapal konvensional dengan ukuran yang sama.
Page 87 of 183
Kekurangan;
(1) Manuverability kurang bagus.
(2) Dengan dimensi sama dengan kapal konvensional, barge memiliki hambatan
yang sangat besar. Hal ini menyebabkan efisiensi energinya rendah sehingga
hanya cocok untuk kecepatan rendah.
Page 88 of 183
Gambar 26
Bulk carrier system
Berat dan tingginya berat jenis (density) dari muatan (biji mineral dan batubara)
membuat tingginya persyaratan pasa struktur kapal bulk carrier khususnya pada area
ruang muat. Kapal jenis bulk carrier batubara ini harus diperlakukan dengan hati-hati
selama di pelabuhan sebagaimana pada saat pengoperasian di lautan. Kru bongkar
muat dan ship officer yang mempunyai tanggung jawab berkenaan dengan hal ini.
Riset dari IACS menunjukkan bahwa penanganan yang tidak tepat, tingginya density
muatan selama bongkar muat bisa menyebabkan stress berlebih dan kerusakan fisik
terhadap ruang muat dan sekat sehingga lama-kelamaan akan mengurangi atau
mengancam keselamatan struktur ketika kapal berlayar dalam kondisi cuaca buruk.
Gambar 27
Konfigurasi struktur ruang muat kapal bulk carrier
Page 89 of 183
Staf pengoperasian dan ship officer diharapkan mempunyai kesadaran bahwa
tingginya berat jenis muatan pada kapal bulk carrier akan menyebabkan resiko over-
stressing serta konsekuensi kelemahan struktur setempat atau lambung kapal.
Gambar 28
Kerusakan mekanik dan coating selama proses bongkar muat
Page 90 of 183
Gambar 29
Ilustrasi stress yang terjadi pada sekat melintang dengan dek
Peralatan cargo handling dapat menyebabkan kerusakan struktur kapal, melalui beban
impact dan pelindung coating ruang muat yang pada akhirnya bisa mengakibatkan
kelemahan struktur setempat dan merusak integritas kekedapan.
Gambar 30
Kerusakan yang diakibatkan peralatan mekanik pada cargo handling
Page 91 of 183
Teknologi kapal tongkang adalah kapal dengan badan lebar dan beralas rata, untuk
tongkang batubara pada umumnya menggunakan tongkang jenis muatan diatas
geladak (deck barge). Sistem tongkang sebagai unit muatan tidak memiliki
consumables (bahan bakar dan air tawar) namun memiliki tangki ballast untuk
pengaturan trim, sedangkan tug boat yang difungsikan untuk menarik atau mendorong
tongkang selama perjalanan maupun di pelabuhan dan kapal ini mempunyai daya
mesin yang besar. Dengan terpisahnya sistem ini menjadi dua unit memungkinkan juga
sistem ini melakukan pola operasi drop and swap.
Kapal muatan curah (bulk carier) batubara merupakan jenis kapal dengan dengan
konstruksi khusus dibandingkan dengan bulk carier muatan lainnya dikarenakan faktor
kemungkinan terjadinya pembakaran spontan saat pemuatan sehingga diperlukan
sistem ventilasi, dan faktor pergeseran muatan saat berlayar yang menyebabkan
mempengaruhi stabilitas kapal.
a. Rencana Garis
Untuk merancang sebuah kapal maka yang pertama dilakukan adalah pembuatan
rencana garis. Dalam pembuatan rencana garis ini digunakan software Maxsurf.
Caranya adalah dengan perpaduan antara maxsurf dengan AutoCad.
Page 92 of 183
Rencana garis untuk barge ini dibuat dengan memodelkan desain awalnya dengan
membuat surface model box. Kemudian membuat model menjadi desain yang
diinginkan dengan tidak mengurangi dasar-dasar gambar barge. Sehingga diperoleh
gambaran karakteristik awal model. Dari model kemudian dimasukkan ukuran yang
diinginkan, maka bentuk lines baru telah didapatkan. Penggunaan metode ini harus
memperhatikan beberapa aspek. Yaitu tipe kapal, Cb, dan Lcb.
Fungsi hidrostatik adalah untuk mengetahui sifat-sifat badan kapal yang tercelup di
dalam air, atau dengan kata lain untuk mengetahui sifat-sifat karene.
Koefisien bentuk kapal adalah merupakan suatu besaran yang merupakan fungsi dari
dimensi utama kapal (main dimension). Koefisien–koefisien yang diperoleh akan
digunakan dalam perhitungan desain kapal.
a) Kurva Hidrostatika
Untuk keselamatan dan efisiensi dari pengoperasian kapal, sangat penting pihak
desainer kapal dan operator untuk mengetahui karakterisktik kapal terutama
karakteristik bagian badan kapal yang berada di bawah permukaan air
Cara yang paling umum untuk menggambarkan kurva - kurva hidrostatik adalah
dengan membuat dua sumbu saling tegak lurus. Sumbu mendatar adalah garis dasar
kapal (base-line) sedangkan garis vertikal menunjukkan sarat tiap water line yang
dipakai sebagai titik awal pengukuran kurva- kurva hidrostatik.
Page 93 of 183
4,5
MTc
3,5
Immersion (TPc)
3
KML
KMt
2,5
Draft m
KB
2
LCF
1,5 LCB
WPA
Wet. Area
0,5 Disp.
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Displacement tonne
800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600
Area m^2
-2 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5
LCB, LCF, KB m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
KMt m
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500
KML m
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Immersion tonne/cm
50 60 70 80 90 100 110 120 130 140
Moment to Trim tonne.m
Gambar 31
Kurva hidrostatika SPB 6000 DWT
Page 94 of 183
4,5
3,5
Waterplane Area
3
Draft m
Block
1,5
1
Prismatic
0,5
0
0,8 0,825 0,85 0,875 0,9 0,925 0,95 0,975 1
Coefficients
Gambar 32
Kurva koefisien bentuk SPB 6000 DWT
b. Rencana Umum
Setelah rencana garis selesai dibuat, selanjutnya adalah pembuatan rencana umum.
Rencana umum berisi perencanaan peletakan muatan, peletakan perlengkapan dan
peralatan, pembagian sekat, dan sebagainya
Ship powering merupakan salah satu aspek yang sangat penting di dalam
perancangan kapal. Perhitungan ship powering meliputi perhitungan tahanan kapal,
perhitungan faktor propulsif, dan perhitungan tenaga penggerak kapal. Dalam kegiatan
TA 2013 akan dilakukan analisa numerik untuk mengetahui besaran tenaga penggerak
kapal (Ship Powering) dari rencana desain kapal khusus pengangkut batubara untuk
PLTU Wilayah Operasi Timur Indonesia. Analisa numerik untuk mengetahui besaran
tenaga penggerak utama kapal menggunakan perangkat lunak (software) DESPPC
dengan kriteria sebagai berikut :
DESP ini tingkat keakuratan bagus pada Froude Number (Fn) sampai dengan 0.25
atau 0.3. Dengan menggunakan DESP ini dalam optimasi bentuk badan kapal dapat
dioptimalkan 5 – 10 %. DESP tidak dapat digunakan untuk planning craft.
Tabel 18
Ukuran utama kapal SPB 6000 DWT coal vessel
Page 96 of 183
dan blade area ratio untuk mendapatkan propeller dengan efisiensi yang optimum pada
kecepatan dinas kapal. Dari perhitungan optimisasi propeller diperoleh propeller
optimum dengan parameter sebagai berikut :
Tabel 19
Desain propeller SPB 6000 DWT coal barge
Jumlah daun 4
Diameter 2.2 m
Hasil perhitungan tahanan kapal untuk kapal pengangkut batubara SPB 6000 DWT
ditampilkan pada gambar 33. sedangkan hasil perhitungan untuk tenaga mesin dan
putaran propeller ditampilkan pada gambar 3. Pada kecepatan dinas 10 knot kapal
mempuyai tahanan total sebesar 122.7 kN dan memerlukan tenaga mesin sebesar
1183 kW pada putaran propeller 252.2 rpm.
Page 97 of 183
250
200
.
150
Resistance (kN)
100
50
0
5 6 7 8 9 10 11 12 13
Speed (knots)
Gambar 33
Resistance curve
Page 98 of 183
PS & RPM Curves
3500 350
PS
2500 250
.
2000 200
.
PS (kW)
RPM
1500 150
1000 100
500 50
0 0
5 6 7 8 9 10 11 12 13
Speed (knots)
Gambar 34
PS and RPM curves
Kapal SPB 6000 DWT coal barge didesain menggunakan 2 mesin utama. Dari
perhitungan di atas maka dipilih daya mesin penggerak kapal = 2 x 1000 HP.
1. Input Program
Input program (Lampiran 2) meliputi :
a. Rencana Garis (Lines Plan)
b. Definisi dari rencana tangki-tangki dan kompartemen kapal.
c. Sarat kapal (draft) desain.
d. Load Case berdasarkan IMO pada kondisi :
Light Ship (kapal kosong),
Fully Loaded Departure (pemuatan penuh berangkat)
Fully Loaded Arrival (pemuatan penuh tiba)
Ballast in Departure (pemuatan balas saat berangkat)
Ballast in Arrival (pemuatan balas saat tiba)
2. Output Program
Dari hasil analisa perhitungan diperoleh suatu output program perhitungan
stabilitas kapal meliputi :
a. Tank Calibration.
1) Tank Calibrations - FOT (Portside)
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Capacity tonne
-12 -8 -4 0 4 8 12 16 20 24 28
Centre of Gravity m
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 35
Kurva kalibrasi tangki padkondisi FOT (Portside)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Capacity tonne
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Centre of Gravity m
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 36
Kurva kalibrasi tangki pada kondisi FOT (Starboard)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Capacity tonne
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 37
Kurva kalibrasi tangki pada No. 3 WBT (Portside)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Capacity tonne
0 2.5 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 38
Kurva kalibrasi tangki pada No 3 WBT (Starboard)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Capacity tonne
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Centre of Gravity m
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 39
Kurva kalibrasi tangki pada No. 2 WBT (Portside)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Soundings & Ullage m
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Capacity tonne
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Centre of Gravity m
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 40
Kurva kalibrasi tangki pada No. 2 WBT (Starboard)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Capacity tonne
-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 41
Kurva kalibrasi tangki pada No. 1 WBT (Portside)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Soundings & Ullage m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Capacity tonne
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 42
Kurva kalibrasi tangki pada No. 1 WBT (Starboard)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Capacity tonne
-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 43
Kurva kalibrasi tangki pada FWT (Portside)
120
100
FSM
80
VCG
% Full
TCG
60
LCG
40 Capacity
Ullage
20
Sounding
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Soundings & Ullage m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Capacity tonne
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Centre of Gravity m
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Free Surface Moment tonne.m
Gambar 44
Kurva kalibrasi tangki pada FWT (Starboard)
10
9
40 deg. KN
30 deg. KN
8
20 deg. KN 50 deg. KN
7 60 deg. KN
10 deg. KN
6 70 deg. KN
KN m
5 80 deg. KN
4 90 deg. KN
0 0 deg. KN
-1
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Displacement tonne
Gambar 45
Grafik KN SPB 6000 DWT
Criteria tested:
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.1:
Area 0 to 30
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.1:
Area 0 to 40
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.1:
Area 30 to 40
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.2: Max
GZ at 30 or greater
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.3:
Angle of maximum GZ
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.4:
Initial GMt
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.5:
Passenger crowding: angle of equilibrium
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.1.2.6:
Turn: angle of equilibrium
A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to all ships 3.2.2:
Severe wind and rolling
4
KG m
-1
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Displacement tonne
Gambar 46
Grafik Limiting KG SPB 6000 DWT
VCG
fluid=
2.108
10
5
GZ m
2.5
-2.5
-5
-7.5
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.
Gambar 47
Kurva stabilitas pada kondisi light ship dan free to trim
1
GZ m
-1
-2
-3
-4
-5
-6
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.
Gambar 48
Kurva stabilitas pada kondisi full loaded departure dan free to trim
VCG
fluid=
5.986
4
Max GZ = 3.163 m at 23.9 deg.
2
GZ m
-2
-4
-6
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.
Gambar 49
Kurva stabilitas pada kondisi full loaded arrival dan free to trim
No.3 WBT (P) 100% 463.4 17.393 3.051 -7.730 0.000 Maximum
No.3 WBT (S) 100% 463.4 17.393 3.051 7.730 0.000 Maximum
No.2 WBT (P) 100% 557.4 38.430 3.047 -7.735 0.000 Maximum
No.2 WBT (S) 100% 557.4 38.430 3.047 7.735 0.000 Maximum
No.1 WBT (P) 100% 260.6 80.047 3.533 -7.001 0.000 Maximum
No.1 WBT (S) 100% 260.6 80.047 3.533 7.001 0.000 Maximum
7.5
Max GZ = 5.923 m at 31.7 deg.
5
GZ m
2.5
-2.5
-5
-7.5
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.
Gambar 50
Kurva stabilitas pada kondisi ballast in departure dan free to trim
Tabel 25
Pembebanan pada kondisi kapal tiba dengan balas dan sarat rata
7,5
Max GZ = 6,052 m at 32,7 deg.
5
GZ m
2,5
3.2.2:
3.1.2.5:Severe
3.1.2.6: w ind crow
Passenger
Turn: angle and rolling Wind Heeling
of equilibrium
ding: angle (gust)
of equilibrium
(steady)
0
-2,5
-5
-7,5
-20 0 20 40 60 80
Heel to Starboard deg.
Gambar 51
Kurva stabilitas pada kondisi ballast in arrival dan free to trim
b. Program simulasi
Input program terdiri atas ukuran utama kapal, body plan kapal, tinggi titik
metasenter, posisi titik berat kapal, jari-jari girasi untuk gerakan roll, pitch
dan yaw serta kecepatan kapal, lihat Tabel 26 dan gambar 52. Pada
simulasi ini digunakan gelombang irregular tipe spektrum Pierson
Moskovitz (PM) dengan Hs = 0.5, 1.0 dan 2.0 m dengan Tp = 7.5 sec.
Formulasi spektrum Pierson-Moskowitz diformulasikan sebagai berikut :
S ( ) 172.8 T1 ( w1 / 3 ) 2 T1 .ω exp 691T1 .ω
5 4
dimana : = circular frequency, w1/ 3 = significant wave height, T1 =
average wave period, Tp / T 1 = 1.296, Tp = peak period
Tabel 26
Ukuran Utama SPB 6000 DWT
Gambar 52
Body Plan SPB 6000 DWT
Gambar 53
Arah gelombang relatif terhadap gerak kapal
0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]
Gambar 55
0.8 0.8 0.8
0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]
Gambar 56
1.6 1.6 1.6
0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
0 4 8 12 0 4 8 12 0 4 8 12
Vs [ knot ] Vs [ knot ] Vs [ knot ]
Gambar 57
3 3 3
2 2 2
1 1 1
Tabel 27
Operability Criteria
NATO US. COAST GUARD NORDFORSK
ITEM STANAG 4154 1987
cutter certification
(us. navy) plan
Roll amplitude (deg) 4o (RMS) 8o (SSA) 6o (RMS)
Pitch amplitude (deg) 1.5o (RMS) 3o (SSA) -
Heave amplitude (m) 1 (RMS) 2 (SSA) -
*) SSA = 2 x RMS
Untuk mode gerak yang termasuk dikriterian hanya roll yang terlihat
dominan dipengaruhi sudut arah datang gelombang. Sudut heading 90
deg mengasilkan respon roll yang siknifikan dibandingkan dari heading
yang lain. Hal ini dimengerti mengapa kapal dalam operasionalnya
menghindari gelombang dari samping secara langsung. Kombinasi
variasi kecepatan dan heading yang optimum akan menghasilkan
respon roll yang optimal pula.
Dari hasil simulasi model SPB 6000 DWT coal vessel ini diketahui
bahwa tidak ada perubahan pola/tren yang siknifikan dari tiap mode
gerak dalam variasi kecepatan maupun heading kapal, besaran respon
gerak terjadi kenaikan seiring kenaikan tinggi gelombang. Kanaikan
respon pada semua mode gerak diketahui hampir sama yaitu dua kali
lipat dari respon pada tinggi gelombang di bawahnya.
Sebagian besar PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia saat ini saat ini memiliki
pelabuhan sendiri atau pelabuhan khusus untuk bongkar batubara. Hal ini dikarenakan
kebutuhan batubara harus disuplai dari tempat lain yang membutuhkan sarana dan
prasarana transportasi yang memadai. Kelancaran pasokan batubara sangat
dipengaruhi oleh kondisi prasarana pelabuhan baik pelabuhan muat atau pelabuhan
asal maupun pelabuhan bongkat atau pelabuhan tujuan (PLTU). Kondisi kedalaman
perairan disekitar PLTU akan menentukan kapasitas pelabuhan yang dapat dibangun.
Semakin dalam perairan maka kemungkinan akan semakin besar kapasitas kapal yang
bisa dilayani.
a. Lokasi pelabuhan
Lokasi pelabuhan PLTU diupayakan sedekat mungkin dengan kawasan PLTU agar
proses transportasi batubara dari pelabuhan ke stockpile tidak membutuhkan banyak
waktu. Sarana transportasi batubara dari pelabuhan ke stockpile pada umumnya
menggunakan konveyor yang memiliki jarak jangkauan terbatas.
b. Panjang dermaga
Panjang dermaga akan menentukan ukuran kapal yang bisa sandar atau jumlah kapal
yang bisa sandar pada waktu bersamaan. Semakin panjang dermaga maka
c. Lebar tambatan
Lebar tambatan dari sisi darat berkaitan dengan ketersediaan ruang untuk
menempatkan sarana dan prasarana bongkar muat batubara dari kapal ke stockpile.
Dari sisi laut lebar tambatan akan menentukan jumlah kapal yang bisa diakomodasi
dalam satu satuan waktu.
d. Kedalaman kolam
Kedalaman kolam merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk
memastikan kapal yang memiliki kapasitas tertentu bisa sandar ke dermaga. Untuk
mencapai kedalaman kolam yang disyaratkan, pada umumnya PLTU melakukan
proses pengerukan atau membuat dermaga dengan menggunakan Jety yang menjorok
ke laut.
e. Lebar alur
Pada lokasi PLTU tertentu, lebar alur akan mempengaruhi jumlah kapal yang bisa ke
area pelabuhan dalam satu satuan waktu. Untuk lokasi PLTU dengan alur sempit maka
perlu menyesuaikan antara jumlah kebutuhan konsumsi batubara dengan jumlah kapal
yang bisa melewati alur masuk pelabuhan.
f. Tinggi pasut
Aktifitas bongkar batubara di pelabuhan seringkali terkendala dengan kondisi pasang
surut. Pada kondisi air surut, maka posisi kapal batubara menjadi lebih dalam dan
jangkauan alat bongkar muat harus menyesuaikan.
g. Tinggi gelombang
Secara umum tinggi gelombang maksimal yang disyaratkan pada saat proses bongkar
muat dilakukan adalah 0.5 meter. Kondisi ini hanya bisa terpenuhi apabila kondisi
perairan disekitar PLTU tenang atau terlindung dari laut bebas. Pada saat kondisi
gelombang tinggi, maka aktifitas bongkar muat akan terganggu.
h. Kecepatan arus
Kecepatan arus akan berpengaruh terhadap konstruksi dasar pelabuhan dan dasar
perairan disekitar pelabuhan. Kecepatan arus bisa juga mempengaruhi aktifitas
i. Kecepatan angin
Aktifitas pelabuhan dari sisi darat juga dipengaruhi oleh kondisi angin, dimana arah dan
kecepatan angin menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam menentukan lokasi
bongkar muat batubara serta posisi tempat penampungan batubara.
j. Break water
Setiap pelabuhan harus memiliki pemecah gelombang (break water) hal ini untuk
membuat kondisi kolam pelabuhan menjadi aman untuk aktifitas bongkar muat.
Beberapa pelabuhan memiliki break water alami dimana posisi pelabuhan sudah
terlindungi oleh pulau atau alam dari terpaan gelombang besar. Selain itu, break water
biasanya dibuat dari tumpukan beton yang menjorok ke pantai untuk melindungi
pelabuhan. Inovasi teknologi break water akan mengkaji kemungkinan pemakaian
konstruksi terapung khususnya untuk pelabuhan yang memiliki dasar perairan yang
dalam.
Saat ini Sorong memiliki beberapa pelabuhan yang berprospek untuk dikembangkan
dimasa yang akan datang. Salah satu diantaranya adalah untuk dikembangkan
sebagai pelabuhan batubara.
1) Rendah : 0 – 100 mm
2) Menengah : 101 – 300 mm
3) Tinggi : 301 – 400 mm
4) Sangat Tinggi : > 400 mm
Data Curah hujan bulanan di Sorong dapar dikategorikan sebagai curah hujan
menengah hingga tinggi. Bulan Mei dan Juni 2013 adalah maksimum 317 mm di bulan
juni 2013. Pada saat tertentu kondisi cuaca sering hujan setempat sehingga tidak
merata.
Untuk melakukan kajian teradap pelabuhan di Sorong maka perlu survei baik darat dan
laut yang mana akan memerlukan dana yang cukup besar sedhingga Mitra BPPT
dalam hal ini PT PLN Batubara dapat berperan memberikan fasilitas untuk survei di
Sorong. Berikut beberapa pelabuhan yang disurvei :
Tabel.28
Analisa Pelabuhan Petikemas
No Kondisi dan Analisa Satuan Pelabuhan Petikemas
1 Darat
Jarak ke Lokasi Tambang km 32
Kondisi Jalan jalan aspal
Kelas Jalan Kelas 1
2 Pelabuhan
Jetty ada
Kedalaman Jetty m 9
Panjang Jetty m 190 meter
Kolam tidak ada
Pelindung P Yawyaw
Coal Loader Facility tidak ada
Stockpile tidak ada
Penduduk sekitar ada
Rambu Laut ada
Pelabuhan Lain Semen,Petikemas,LPG
3 Laut
Jarak ke Sorong nmiles 10
Panjang Alur Selat Salawati nmiles 57
Panjang Alur Selat Sele nmiles 38
Arus (Max) knot 19
Curah Hujan mm sedang
Surut ( Min ) m 0.2
Pasang ( Max ) m 1.8
Rata-rata m 1.4
Angin knot 18
Gambar 59
Pelabuhan Semen
Gambar. 60
Pelabuhan LPG Petro China
Gambar 62
Pelabuhan Perikanan Katimin
2 Pelabuhan
Jetty ada
Kedalaman Jetty m 9
Panjang Jetty m 190 meter
Kolam tidak ada
Pelindung P Makmak
Coal Loader Facility tidak ada
Stockpile tidak ada
Penduduk sekitar ada
Rambu Laut ada
Pelabuhan Lain Perikanan
3 Laut
Jarak ke Sorong nmiles 16
Panjang Alur Selat nmiles 63
Salawati
Panjang Alur Selat nmiles 32
Sele
Arus (Max) knot 19
Curah Hujan mm sedang
Surut ( Min ) m 0.2
Pasang ( Max ) m 1.8
Rata-rata m 1.4
Angin knot 18
3) Pelabuhan Logging
Gambar. 64
Pelabuhan Logging
2 Pelabuhan
Jetty tidak ada
Kedalaman Jetty m 6
Panjang Jetty m 190 meter
Kolam tidak ada
Pelindung P Kararabu
Coal Loader Facility tidak ada
Stockpile tidak ada
Penduduk sekitar tidak ada
Rambu Laut tidak ada
Pelabuhan Lain tidak ada
3 Laut
Jarak ke Sorong nmiles 21
Panjang Alur Selat nmiles 68
Salawati
Panjang Alur Selat nmiles 27
Sele
Arus (Max) knot 19
Curah Hujan mm sedang
Surut ( Min ) m 0.2
Pasang ( Max ) m 1.8
Rata-rata m 1.4
Angin knot 18
Pada saat ini diperkirakan puluhan juta ton batubara diangkut melalui jalan raya dan
akibatnya sangat berdampak pada kenaikan biaya produksi. Oleh karena itu
diperlukan kajian teknologi angkutan batubara yang lebih efisien dengan teknologi
yang sesuai dengan pensyaratan dan standar pengakutan batubara.
6) Power Supply (Volt, Ph, Hz, Amps), meliputi ketersediaan daya di lokasi,
akses daya menuju lokasi, keamanan lokasi dan tambahan penerangan.
Gerbong kereta rel yang pertama dari sistem rail-veyor mempunyai 4 roda dan gerbong
selanjutnya mempunyai 2 roda. Konstruksi gerbong kereta rail-veyor mempunyai sendi
yang dapat berputar permanen atau semi-permanen, sehingga kereta dapat berputar
lebih tajam sepanjang rel.
Gambar 66
Gerbong Kereta Rail-Veyor
Gerbong kereta rail-veyor dirancang untuk beroperasi dalam posisi terbalik dengan
menggunakan rel ganda yang diposisikan secara paralel. Inovasi ini memberikan
kemudahan untuk melakukan bongkar-muat secara kontinyu dengan menggunakan
teknologi roller coaster. Berat kereta rail-veyor untuk kondisi beban penuh kurang dari
3 ton, sedangkan berat gerbongnya sendiri sekitar 0,68 ton dan dapat menyimpan 1
ton produk.
Gambar 67
Gerbong Kereta Rail-Veyor Posisi Terbalik
Gambar 68
Terowongan Perlintasan Kereta Rail-Veyor
Gerbong pada rail-veyor didesain dalam berbagai ukuran lebar, antara lain 0,6 m, 0,76
m, dan 0,91 m untuk aplikasi bawah tanah (terowongan) dan lebar rel sampai 1,22
meter untuk aplikasi di atas permukaan.
Gambar 69
Bentuk Gerbong Kereta Rail-Veyor
2) Jalan Rel
Jenis rel yang digunakan termasuk rel ringan, dilengkapi 2 roda kereta untuk setiap
gerbong kereta. Rancangan gerbong kereta rail-veyor disesuaikan dengan besarnya
kapasitas tonase yang diperlukan, panjang kereta, bentuk lintasan, proses dumping
pada saat pembongkaran muatan serta jarak antara kereta dimana flap terpasang
secara fleksibel untuk menjaga terjadinya kebocoran atau tumpahnya material dari
gerbong.
Gambar 70
Rel Ringan pada Sistem Rail-Veyor
Rel pada sistem rail veyor menggunakan rel ringan dan kereta gerbong ringan dan
hanya menggunakan ballast minimal atau tanpa ballast dan dapat menggunakan
sleeper.
Page 148 of 183
Gambar 71
Roda dan Pelat pada Gerbong Kereta Rail-Veyor
Rail–veyor menggunakan sumber listrik yang dapat dikendalikan jarak jauh melalui
pusat kendali. Pemakaian listrik pada sistem operasi rail-veyor dapat dihemat secara
efisien dengan menggunakan sistem penggerak yang dipasang pada setiap sub
stasiun.
Sistem pengamanan kereta dan pemberhentian kereta dalam keadaan darurat dapat
dilakukan melalui sistem pengereman pada stasiun penggerak. Sistem kereta, lintasan
trek dan sistem penggerak dirancang sedemikian rupa agar kereta mampu beroperasi
pada posisi menanjak dan menurun. Dengan konfigurasi ini, kereta dapat dengan
mudah melakukan proses dumping dan secara kontinyu melakukan proses loading dan
unloading dengan menggunakan teknologi roller coaster.
Kondisi optimum sistem operasi rail-veyor hampir sama dengan sistem operasi belt
conveyor ataupun sistem pada kereta, namun rail-veyor mempunyai kelebihan dapat
beroperasi pada kondisi kemiringan tanjankan sampai dengan 20% dan jari-jari putaran
minimum 30 meter pada kecepatan yang tinggi. Dengan ukuran kereta yang kecil dan
sistem muatan ringan, maka rancangan kereta ini dapat melintasi jembatan,
terowongan, sungai dan rintangan lainnya.
4) Rangka Pendukung
Loading adalah kondisi posisi kereta dimana muatan batubara dimasukkan ke dalam
gerbong. Sedangkan unloading/dumping adalah posisi dimana muatan dikeluarkan dari
gerbong kereta.
Gambar 74
Proses Loading/Unloading
Pada sistem rail-veyor, desain konfigurasi gerbong, trek dan sistem penggerak diatur
sedemikian serupa dengan desain roller coaster, sehingga mampu mengoperasikan
gerbong di kedua posisi tegak dan pada kondisi kereta terbalik. Konfigurasi ini
memungkinkan gerbong dengan mudah membuang material dan terus melakukan
loading dan unloading. Rail-Veyor dapat melakukan konfigurasi dimana gerbong kereta
melakukan dumping dalam posisi tegak pada bidang horizontal.
Rail-veyor merupakan salah satu alat angkut material yang dapat digunakan untuk
pengangkutan material di permukaan maupun di bawah permukaan tanah.
Gambar 75
Ruang Pusat Kendali Rail-Veyor
Daya elektrikal pada sistem rail-veyor dikendalikan secara jarak jauh melalui stasiun
Pusat Kendali yang terkoneksi dengan trek rel dengan rangkaian lebih dari satu kereta.
Setiap gerbong pada rangkaian rail-veyor dikonstruksikan secara serie dengan
menggunakan 2 roda.
Perintah agar kereta mulai bergerak dikendalikan dari stasiun penggerak untuk
menjalankan kereta dari Stasiun Awal SP1 ke Stasiun Penggerak SP2 berikutnya.
Segera setelah mulai start ke Stasiun Penggerak SP2, maka kereta segera melakukan
percepatan sesuai target kecepatan yang telah ditentukan untuk sikronisasi kecepatan
antara Stasiun Awal SP1 dan SP2. Setelah kereta sampai di Stasiun SP2, maka pada
stasiun SP2 segera melakukan perintah stop di stasiun SP1. Lihat ilustrasi lintasan
kereta pada gambar 76 di atas .
Gambar 77
Grafik Kecepatan dan Waktu Kereta di Stasiun Penggerak
Gambar 79
Stasiun Penggerak dan Posisi Sensor
a
G
Gambar 81
Grafik Kecepatan Pergerakan Kereta pada
Proses Loading dan Unloading
Gambar 83
Pergerakan Kereta pada saat Proses Unloading
Secara teoritis tidak ada ketentuan batasan dimensi kereta rail-veyor, hal ini berarti
bahwa ukuran panjang dan jumlah kereta terpasang ditentukan berdasarkan besarnya
kapasitas produksi batubara. Besarnya kecepatan kereta didasarkan pada besarnya
Page 156 of 183
torsi, rasio roda gigi, dan diameter ban penggerak. Kecepatan rail-veyor sampai
dengan 12 m/detik atau 32 km/jam.
Tabel 31
Dimensi Umum dan Spesifikasi Teknis Rail-Veyor
1) Biaya investasi yang dibutuhkan lebih rendah dan lebih hemat biaya
Gambar 84
Bentuk Instalasi Rel Ringan pada Rail-Veyor
b) Infrastruktur Terowongan
Bentuk profil rail-veyor lebih kecil dibandingkan dengan moda angkutan
konvensional, sehingga infrastruktur lintasan jembatan dan terowongan
dapat dibuat lebih kecil dibandingkan dengan angkutan konvensional,
sehingga dapat mengurangi biaya fasilitas prasarana atau bangunan bawah
tanah yang akan dilewati.
a) Biaya penggunaan energy listrik kWh per ton-km untuk angkutan rail-veyor
lebih rendah dibandingkan dengan angkutan batubara lainnya.
Tabel 32
Perbandingan Pemakaian Energi Angkutan Batubara
Penggunaan
Jenis Angkutan
kWh per ton-km
Truk off-road 0,9 – 1,2
Pipa slurry 0,6 – 0,8
Conveyor 0,5 – 0,7
Rail-Veyor*) 0,2 – 0,3
4) Kapasitas muat yang lebih besar dan kontinyu dan dapat dikembangkan
lebih fleksibel dan scaleable
d) Sistem rel ringan, sehingga kereta dan stasiun penggerak dapat dengan
mudah dipindahkan ke lokasi lain.
e) Sistem rail veyor dapat dirancang mengikuti kondisi alur trek yang ada.
5) Ramah Lingkungan
b) Lay-out rute dan trek dipilih untuk menjaga fungsi lahan dan mengurangi
emisi.
Table 33
Kemampuan Operasional Moda Angkutan Batubara
Berdasarkan hasil analisis daya saing ekonomi dari investagasi tersebut, maka
diidentifikasi sekitar 16 jenis moda transportasi batubara, sebagai berikut :
Table 34
Peringkat Daya Saing Ekonomi per Moda Angkutan Batubara
Angkutan Jarak Pendek2)
Berdasarkan hasil evaluasi pada tabel 34 di atas, diperoleh bahwa untuk jarak
angkut jarak pendek kurang dari 10 km dinilai bahwa dari 10 moda angkutan
batubara yang memiliki kapasitas produksi 1 juta – 5 juta ton per tahun, maka
moda angkutan rail-veyor dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat
Berdasarkan hasil evaluasi pada tabel 35 di atas, diperoleh bahwa untuk jarak
angkut sedang 10 km – 100 km dinilai bahwa dari 16 moda angkutan batubara
yang memiliki kapasitas produksi 5 juta – 50 juta metric ton per tahun, maka rail
veyor dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat pertama pada kapasitas
produksi 5 juta ton per tahun. Sedangkan untuk produksi sekitar 50 juta metric
ton per tahun moda angkutan conveyor masih lebih baik dibandingkan dengan
moda rail-veyor.
Kereta Berat
Quantum 1 38 ton 5 Rail-veyor 5 5
(private)
Berdasarkan hasil evaluasi pada tabel 36 di atas, diperoleh bahwa untuk jarak
angkut jauh 100 km – 1000 km dinilai bahwa dari 12 moda angkutan batubara
yang memiliki kapasitas produksi 1 juta – 50 juta ton per tahun, maka Kereta
Berat dinilai mempunyai daya saing ekonomi peringkat pertama pada kapasitas
produksi 1-5 juta ton per tahun dan moda rail-veyor pada jarak angkut ini
mempunyai daya saing ekonomi lebih rendah. Sedangkan untuk produksi sekitar
50 juta ton per tahun moda angkutan coal log pipeline dan rail-veyor masih lebih
baik dibandingkan dengan moda lainnya.
1. Sistem logistik adalah bagian dari manajemen supply chain dalam perencanaan,
pengimplementasian, dan pengontrolan aliran dan penyimpanan barang, informasi,
dan pelayanan yang efektif dan efisien dari titik asal ke titik tujuan sesuai dengan
permintaan konsumen. Untuk mengalirkan barang dari titik asal menuju titik tujuan
akan membutuhkan beberapa aktivitas yang dikenal dengan aktivitas kunci dalam
logistik diantaranya:13 1) customer service, 2) demand forecasting/planning, 3)
inventory management, 4) logistics communications, 5) material handling, 6) traffic
0and transportation, dan 7) warehousing and storage.
2. Mengingat bahwa batubara adalah komoditas yang khusus dengan sistem logistik
yang khusus, maka pemahaman supply chain batubara harus dilakukan untuk
membangun sebuah model yang menjamin kehandalan pasokan dengan biaya
transportasi yang minimal.
4. Kondisi geografis wilayah Indonesia Timur yang cukup luas disatu sisi serta
tersebarnya PLTU yang harus dilayani menyebabkan sistem transportasi batubara
menjadi cukup komplek untuk dibangun.
13Lambert, D.M.; Cooper, M.C. and Pagh, J.D. (1998): Supply chain management: implementation issues
and research opportunities, International Journal of Logistics Management, 9 (2), 1-19.
6. Konfigurasi jaringan transportasi Hub and Spoke yang dibarengi dengan pilihan
alternatif moda angkutan laut yang tepat dapat menjamin keamanan pasokan
dengan biaya transportasi yang relatif rendah.
7. Bersamaan dengan alternatif jenis moda transportasi laut maka harus dilakukan
sebuah pilihan tentang node atau titik yang akan dijadikan Hub dan nodes lain
yang akan dijadikan tujuan akhir.
8. Untuk kasus Indonesai Timur maka node sebagai Hub dapat berupa lokasi tetap
disebuah pulau atau mengembangkan floating storage dengan kapasitas yang
memadai.
a) Pada kondisi kapal kosong, area dibawah kurva righting lever (GZ curve)
pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan tidak boleh kurang dari 3,151
m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi numerik adalah 168,456
m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak kurang dari 5,157 m.deg, nilai yang didapat dari
simulasi numerik yaitu sebesar 241,774 m.deg. Sedangkan pada sudut
oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ direkomendasikan tidak
Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 40,411 m.
Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18) paragraf
3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi numerik
didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.
Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.
Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,235%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 230,256%.
b). Pada kondisi kapal muatan penuh berangkat, area dibawah kurva righting
lever (GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan tidak boleh
kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi numerik
adalah 61,425 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak kurang dari 5,157 m.deg, nilai yang didapat dari
simulasi numerik yaitu sebesar 88,562 m.deg. Sedangkan pada sudut
oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ direkomendasikan tidak
boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat dari simulasi numerik
yaitu sebesar 27,137 m.deg.
c). Pada kondisi kapal muatan penuh tiba, area dibawah kurva righting lever
(GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan tidak boleh
kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi numerik
adalah 63,284 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak kurang dari 5,157 m.deg, nilai yang didapat dari
simulasi numerik yaitu sebesar 91,185 m.deg. Sedangkan pada sudut
oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ direkomendasikan tidak
boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat dari simulasi numerik
yaitu sebesar 27,901 m.deg.
d). Pada kondisi kapal bermuatan ballast berangkat, area dibawah kurva
righting lever (GZ curve) pada sudut oleng 0°-30°, direkomendasikan
tidak boleh kurang dari 3,151 m.deg, nilai yang didapatkan pada simulasi
numerik adalah 114,053 m.deg. Pada sudut oleng 0°-40°, area di bawah
kurva GZ direkomendasikan tidak boleh kurang dari 5,157 m.deg, nilai
yang didapat dari simulasi numerik yaitu sebesar 172,715 m.deg.
Sedangkan pada sudut oleng antara 30°-40°, area di bawah kurva GZ
direkomendasikan tidak boleh kurang dari 1,719 m.deg, nilai yang didapat
dari simulasi numerik yaitu sebesar 58,662 m.deg.
Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 17,384 m.
Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18)
paragraf 3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi
numerik didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.
Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.
Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,352%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 264,548%.
Tinggi metacentric awal (initial GMt) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Nilai
yang didapat dari simulasi numerik adalah 18,192 m.
Sudut oleng yang terjadi saat penumpang berpindah dari satu sisi ke sisi
yang lain sebagaimana didefinisikan dalam IMO Res. A. 749(18) paragraf
3.5.2.6 sampai 3.5.2.9, tidak boleh lebih dari 10°. Pada simulasi numerik
didapatkan nilai sudut oleng pada kondisi tersebut sebesar 0°.
Sudut oleng pada saat kondisi kapal belok, disyaratkan tidak boleh lebih
dari 10°. Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik untuk sudut oleng
pada saat belok adalah sebesar 0°.
Kemampuan kapal untuk menahan efek gabungan dari tiupan angin dan
rolling harus dibuktikan untuk setiap standar pembebanan. Pada kondisi
kapal terkena efek angin dan rolling, IMO mensyaratkan sudut oleng yang
terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh lebih dari 16°. Pada
simulasi numerik didapatkan besar sudut oleng yang terbentuk adalah
0,1°. Sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin stabil tidak boleh
lebih dari 80% sudut tepi deck yang tercelup air, dengan kata lain
perbandingan besar sudut oleng yang terbentuk pada saat tiupan angin
Page 173 of 183
stabil dengan sudut tepi deck yang tercelup air tidak boleh lebih dari 80%.
Nilai yang didapatkan dari simulasi numerik adalah 0,313%.
Perbandingan area 1 dengan area 2 seperti pada penjelasan IMO Res. A.
749(18) paragraf 3.2.2.1 tidak boleh kurang dari 100%. Nilai yang didapat
dari simulasi numerik adalah 263,14%.
3. Dari hasil simulasi seakeeping SPB 6000 DWT coal vessel yang telah
dikemukakan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a) Dari berbagai variasi simulasi yang diberikan, diketahui bahwa kondisi
beam seas merupakan kondisi yang secara umum perlu diwaspadai pada
kapal, karena berpengaruh pada mode gerak roll sangat siknifikan yang
mana terkait dengan stabilitas kapal. Perubahan arah dan kecepatan
kapal sangat diperlukan untuk memperbaiki tingkat roll kapal yang lebih
baik.
b) Secara keseluruhan variasi simulasi respon gerak kapal masih dibawah
ambang limit kriteria operasional kapal yang dikeluarkan oleh NATO
STAGNAG 4154 (US Navy), US. Coast Guard dan NORDFORSK 1987.
c) Perlu dipertimbangkan operasional lapangan dan pola gerak kapal terkait
dengan jenis muatan batu bara curah yang diangkut kapal tersebut.
Rekomendasi
Kondisi dan Pelabuhan
Pelabuhan Katimin Pelabuhan Logging
Analisa Petikemas
Pelabuhan ini Pelabuhan ini tidak
Pelabuhan ini dapat
dapat segera dapat segera
Rekomendasi segera digunakan
digunakan dalam digunakan dalam
dalam waktu dekat
waktu dekat waktu dekat
Pengerasan jalan,
Stock pile,
Long Conveyor,
Floating Port, Stock pile, Floating
Fasilitas yang Stock pile, Floating
Conveyor, coal Port, Conveyor, coal
diperlukan Port, Short
loader, truck, loader, truck, dozer
Conveyor, coal
dozer
loader, truck, dozer
Pertimbangan pemilihan moda angkutan batubara adalah bagaimana memilih moda angkutan
dengan teknologi yang paling tepat, memenuhi persyaratan dan standar, biaya yang efektif,
aman, dampak negatif sosial-ekonomi yang minimal dan ramah lingkungan, maka kriteria
desain dirumuskan, sebagai berikut:
d) Memenuhi kelayakan finansial yang ditentukan berdasarkan oleh biaya per metrik ton
untuk mengangkut batubara dari lokasi tambang ke lokasi tujuan. Unit Biaya (seperti
biaya investasi/modal, pemeliharaan dan operasional) memiliki pengaruh besar dalam
memutuskan sistem transportasi yang akan dipilih.
a) Biaya investasi yang dibutuhkan relatif lebih rendah dan lebih hemat biaya dibanding
dengan moda angkutan lainnya, seperti penggunaan rel yang ringan, kebutuhan
infrastruktur terowongan yang lebih kecil dan fleksibilitas dalam pemilihan rute dan
topografi lahan, sehingga tidak mengganggu fungsi lahan yang ada.
b) Penggunaan daya listrik yang relatif rendah (0,2-0,3 KWh/ton/km) dibandingkan
dengan angkutan batubara lainnya, seperti truk dan conveyor.
c) Penggunaan biaya operasional dan biaya pemeliharaan lebih rendah dibandingkan
dengan sistem pengangkutan konvensional rel kereta, truk dan conveyor, antara lain
karena menggunakan sistem kendali secaraotomatis, menggunakan energy listrik
yang efisien.
d) Kapasitas muat yang lebih besar dan kontinyu dan dapat dikembangkan lebih
fleksibel dan scaleable, seperti penambahan gerbong, peralatan yang fleksibel
untuk memenuhi jarak angkut, ukuran dan spesifikasi produk dan moda rail
veyor dapat dirancang mengikuti kondisi alur trek yang ada.
kriteria dan kelayakan teknologi untuk jarak tempuh kurang dari 10 km dan
kapasitas 1 juta- 5 juta metrik ton per tahun.
d) Komponen teknis dan ekonomis yang diperlukan dalam perancangan rail-veyor adalah
biaya pengeluaran: biaya modal, biaya operasi, biaya maintenance material / spare,
Lokasi dan Rute Rail-Veyor: peta lokasi, rute pengangkutan, rute topografi data
geoteknik, data geografi dan data iklim, Sistem Desain Loading – Unloading, Power
Supply (Volt, Ph, Hz, Amps), meliputi ketersediaan daya di lokasi, akses daya menuju
lokasi, keamanan lokasi dan tambahan penerangan dan ketersediaan
Sumber/Fasilitas Lokal (local contracting, local fabrication)
e) Perlu dilakukan pendalaman riset lebih lanjut terkait dengan sistem rail-veyor
untuk dapat diterapkan di wilayah tambang batubara di Indonesia untuk
mendukung kontinyuitas pasokan logistik batubara pada PLTU mulut tambang.
Form A
TUJUAN PROGRAM
Bidang : Transportasi Unit Kerja : PTIST Dana DIPA : Rp. 576.113.000,- Konsep sistem logistik batubara PLTU di Kawasan
Lokasi : Serpong Kepala Program : Dr.Ir.Iskendar,MSc Dana Mitra : --- Timur Indonesia, Konsep desain kapal khusus
Durasi : 2013 s/d 2015 Program Meneger : Drs. Sucipto, MM Nama Mitra : PT. PLN Batubara
Tahun ke : 1 / 3 tahun Chief Engineer : Ir. Abdul Kadir, M.Eng Pengguna :
batubara, Kriteria lokasi pelabuhan batubara di Sorong
Alamat : Gedung Teknologi 2 Lt.3- dan Rekomendasi teknologi Rail Veyor untuk
BPPT PT. PLN BB, Galangan, Operator transportasi batubara PLTU.
Telepon : 021-75875944 Ext.147 Angkutan, Pemda