Pada penggunaan anti mikroba khususnya antibiotika sering menimbulkan kegagalan
dalam terapi. Ada dua faktor yang ber-pengaruh terhadap keadaan tersebut antara lain adalah 1) resisten-nya mikroorganisme terhadap suatu anti mikroba atau antibiotika yang digunakan, 2) terjadinya superinfeksi. Yang akan diuraikan pada bagian ini adalah tentang resistennya suatu mikroorganisme terhadap suatu zat anti mikroba (antibiotika). Istilah resisten itu menunjukkan bahwa suatu mikroorganisme, sudah tidak peka terhadap suatu zat atau sediaan antimikroba atau antibiotika, sehing-ga akan membawa masalah dalam terapi atau bahkan menggagalkan terapi dengan suatu antibiotika terhadap agen penyebab infeksi. Resisten adalah ketahanan suatu mikroorganisme terhadap suatu anti mikroba atau antibiotika tertentu. Resisten tersebut dapat berupa resisten alamiah, resisten karena adanya mutasi spontan (resisten krosomonal) dan resistensi karena danya faktor R pada sitO-plasma (resistensi ekstrakromosomal) atau resisten karena terjadinya pemin-dahan gen yang resisten atau faktor R atau plasmid R atau plasmid (resisten silang) atau dapat dikatakan bahwa suatu mikroorganisme dapat resisten terhadap obat-obat anti mikroba, karena mekanisme genetik atau non-genetik. Faktor yang mengatur atau atau menentu-kan sifat resistensi atau sensitifitas mikroorganisme terhadap suatu anti mikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Pada umumnya organisme yang resiten mengalami perubahan genetik kromosom ( resisten kromosomal) atau ekstra kromosom (resisten ekstrakromosomal) yang dikkuti proses seleksi. Resisten secara koromosomal merupakan mutasi spontan dari elemen genetik yang berbeda secara genetik dari populasi sebelum-nya, dimana mikroorganisme tersebut menjadi resisten dan dapat bertahan terhadap kerja obat, dan dapat meningkatkan populasi yang resistensi terhadap obat baru. Resisten kromosomal terjadi karena mutasi spontan pada kro-mosom dengan frekuensi 1: 10 7 sampai 1 : 10 12 . Kromosom yang telah termutasi ini dapat dipindahkan sehingga terjadi populasi yang resistensi. Pada mutasi spontan terjadi seleksi oleh antibiotika, dima-na mikroorganisme yang peka akan musnah dan mikroorganisme yang resisten tetap hidup dan berkembang biak. Resisten kromosomal dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1. Resisten kromosomal primer dimana mutasi terjadi sebelum pengobatan dengan antimikroba (antibiotika) dan selama pengobatan terjadi seleksi mikroorganisme yang resis-tensi. 2. Resisten kromosomal sekunder dimana mutasi terjadi se-lama kontak dengan anti mikroba (antibiotika), kemudia ter-jadi seleksi mikroorganisme yang resistensi Kecepatan timbulnya resisten bervariasi untuk setiap anti mikroba (antibiotika). Kelompok antibiotika seperti golongan aminoglikosida, makrolida, dan rifampisin termasuk kelompok yang cepat menimbul-kan resistensi. Sedangkan kelompok yang tidak terlampau cepat menyebabkan resistensi seperti tertrasiklin, kloramfenikol. Penyebab terjadinya resistensnya mikrooranisme adalah peng-gunaan antibiotika yang tidak tepat, misalnya penggunaan dengan dosis yang tidak memadai, pemakaian yang tidak teratur atau tidak kontinyu, demikian juga waktu pengobatan yang tidak cukup lama, sehingga untuk mencegah atau memperlambat terjadinya resisten tersebut, maka cara pemakaian antibiotika perlu diperhatikan . Resisten ekstra kromosomal: obat juga dapat ditransfer ke mik-roorganisme penyebab infeksi lain, dengan memindahkan suatu bagi-an dari DNA ekstra kromosomal yang mengandung informasi meka-nisme resistensi. Plamid (faktor R) yang membawa gen resistens dan mikroorganisme, terhadap satu atau beberapa antimikroba dapat dipindahkan dari suatu generasi ke organisme lain melalui transfor-masi, tranduksi, konjugasi bakteri atau translokasi.
Mekanisme Resistensi Antimikroba Suatu mikroorganisme dapat resisten terhadap suatu obat dengan salah satu atau lebih mekanisme dibawah ini : 1. Memproduksi enzim yang melumpuhkan Diantara enzim ini termasuk beta-laktamase (penisilinase) yang menghidrolisa penisilin dan enzim transferase yang melumpuhkan aminoglukosida. 2. Perubahan struktur reseptor atau molekul target. Dalam hal ini termasuk perubahan komponen ribosom yang diperlukan dalam infeksi seperti eritromisin dan amino-glikosida. 3. Perubahan permeabilitas obat Tetrasiklin mampu mengakumulasi mikroorganisme yang dapat dipengaruhi, tetapi tidak dapat untuk mikroorganisme yang resisten. Kerjanya mirip dengan aminoglikusida yang dapat ditransfer secara aktif ke dalam sel yang dipengaruhi, tetapi tidak dapat ke dalam sel yang resisten. 4. Mengubah jalur metabolik membentuk jalan pintas meta-bolik alternatif Hal ini dapat timbul pada bakteri yang resisten terhadap sulfonamide, dan fungi yang resisten terhadap flusitosin. Beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamide dapat membentuk asam folat, seperti sel mamalia. 5. Mengubah jumlah respon obat Beberapa organisme menjadi resisten terhadap trimetoprin dengan mensintesis sejumlah besar enzim dehidrofolat re-duktase yang merupakan tujuan dari kerja obat. 6. Menurunkan afinitas reseptor terhadap obat. Resistensi terhadap aminoglikosida mungkin berhubungan dengan hilangnya atau adanya perubahan protein spesifik pada ribosom 30 S bakteri, Sebab lainnya yang menyebabkan mikroorganisme resisten terhadap suatu obat adalah: 1. Meningkatnya destruksi obat Ini merupakan mekanisme utama resistensi terhadap penisi-lin, aminoglikosida dan kloramfenikol. 2. Berkurangnya perubahan obat menjadi bentuk aktif. Flusitosin adalah suatu obat antifungi harus diubah di dalam tubuh organisme menjadi fluorasil, yang selanjutnya dimeta-bolisme menjadi bentuk aktif dari obat tersebut. Fungi dapat menjadi resisten terhadap flusitosin dengan memindahkan aktifitas enzim disepanjang jalur pengaktifan. Beberapa mekanisme resistensi tersebut sebagai dasar secara bio-kimia terjadi resistensi, baik resistensi kromosomal maupun resis-tensi secara ekstrakromosomal dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Modifikasi sasaran Sasaran utama pada sel mikrooganisme adalah enzim dan pada umumnya inhibitor berinteraksi dengan pusat aktif. Dalam hal ini terjadi kompetisi antara inhibitor dengn sub-strat yang normal dan afintas inhibitor harus lebih besar dari pada substrat untuk menimbulkan efek terhadap pertum-buhan sel. Sebagai contoh adalah sulfonamide. Pada umumnya sulfonamida mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap enzim asam tetra hidropteroat sintetase dari pada asam para amino benzoate (PABA) sebagai substrat normal, maka biosintesa asam folat terhambat. Mutasi pada gen sintetase menyebabkan terjadinya modifikasi enzim, se-hingga afinitas sulfonamide terhadap enzim yang termodi-fikasi tersebut lebih lemah dari pada PABA, maka asam folat tetap terbentuk dan mikroorganismenya tetap hidup walau-pun ada sulfonamida. Mekanisme resistensi semacam ini terhadap sulfonamida umumnya terjadi pada Pneumokokus. Disamping itu juga pada bakteri-bakteri enterik dan pembawa plasmid R mem-punyai mekanisme lain. Pada beberapa bakteri terjadi peru-bahan membran sitoplasma sehingga mengurangi penetrasi sulfonami-da dan tidak sampai pada sasarannya. Pada mikroorganis-me lain plasmid R menyebabkan perubahan pada enzim, sehingga enzim tidak sensitif lagi. Pada umumnya resitensi akan lebih mudah terjadi apa-bila inhibitor membentuk ikatan kovalen dengan enzim yang merupakan target sasarannya. Sebagai contoh adalah L-asaserin (analog dengan L-glutamin) bekerja dengan cara menghambat biosintesis purin dengan cara berikatan dengan enzim yang mengubah formil glisin- amida ribotida. Pada mutasi dengan cara teresebut akan menghilangkan sistein pada ikatan sampingnya, sehingga terbentuk protein yang tidak sensitif terhadap asaserin, tetapi juga tidak menerima glutamin. Pada beberapa hal sasaran enzim tidak nyata, sebagai contoh adalah protein S12 dari 30S sub unit ribosom bakteri. Protein ini dapat mengikat streptomisin, aktivitas katalitik protein tidak diketahui dan perubahan kimia pada substrat sulit untuk diikuti, tetapi prinsip inhi-bisinya analog dengan interaksi antara enzim atau substrat sebagai enzim inhibitor. Pada mutan yang tidak mengikat strep-tomisin, mutasi terjadi pada gen protein P10 dan terjadi perubahan pada bagian asam amino primer, sehingga men- jadi tidak aktif. 2. Reduksi Pada Aktivitas Fisiologi yang Penting Bagi Sasaran Pada ahli mikrobiologi mengetahui bahwa mutasi dapat di- lakukan dengan penambahan zat tertentu pada medium pertumbuhan, apabila zat yang ditambahkan bersifat meng- inaktifkan, maka dapat terjadi hambatan pertumbuhan. Demikian pula inhibisi secara kimiawi dari enzim tertentu pa da sel bakteri terjadi dengan penambahan zat yang sama de- ngan yang diproduksi oleh mikroorganisme. Pada bakteri gram negatif mempunyai struktur yang berbeda dengan bakteri gram positif seperti yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Pada bakteri gram positif lapisan peptidoglikannya tidak ta- han terhadap tekanan osmose yang tinggi, tetapi dinding sel pada bakteri gram negatif lebih keras, karena mempu- nyai makromolekul yang disebar keseluruh dinding sel, ja- di dengan demikian pada sintesa dinding sel tidak berpe- ngaruh pada sel bakteri gram negatif. Bakteri-bakteri yang tidak mempunyai sedikit atau tidak mempunyai sedikit atau tidak mempunyai peptidoglikan pada selnya tidak sen sitif terhadap penisilin dan sepalosforin. Pada umumnya Pseudomonas relatif tidak sensitif terhadap antibiotika -lak- tam, karena peptidoglikan pada Pseudomonas hanya sedikit. Beberapa antibiotika -laktam ternyata peka untuk Pseudo- monas sp, bahkan muatannya lebih peka terhadap - laktam. Resisten insintrik beberapa bakteri terhadap antibiotika - laktam, penisilin dan sepalosforin dapat terjadi, karena dua hal yang penting yaitu: 1)tidak menerima antibiotika terse- but dan 2) pengurangan sistem enzim yang tidak penting untuk kehidupan.
3. Duplikasi Sasaran Suatu cara untuk membentuk resistensi adalah membentuk enzim yang tidak sensitif terhadap inhibitor. Sebagai contoh yang klasik adalah sel prokariotik yang resistens terhadap tri- metoprin. Trimetoprin menyebabkan gangguan jalur biosintesa asam folat pada dihidrofolat reduktase, yaitu 1 ) sensitif ter- hadap trimetoprin dan 2) mempunyai afinitas 20 000 kali lebih lebih rendah terhadap trimetoprin, sehingga asam folat tetap terbentuk dan bakteri tetap dapat tumbuh. Mekanisme yang sama juga terjadi pada bakteri E.coli yang mengandung plasmid R, bakteri ini mampu membentuk enzim dihidropteroat sintetase yang kedua yang tidak peka terhadap sulfonamida. Karena ada enzim kedua ini, maka asam folat te- tap terbentuk
3. Pencegahan Masuknya Antibiotika Jenis resistensi ini pada umumnya terjadi karena perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotika. Penambahan lapis-an molekul untuk mencegah atau mengurangi inhibitor sampai pada sasaran, sehingga mungkinakan mempengaruhi keluar ma-suknya molekul yang diperlukan oleh sel, maka sel mikroorganis-me akan mengubah permeabilitas membran untuk inhibitor ter-tentu, sebagai contoh adalah tetrasiklin. Konsentrasi tetrasiklin yang rendah di dalam sel dapat menginduksi perubahan permea- bilitas terhadap tetrasiklin. Pada bakteri yang resisten terhadap antibiotika fosfomisin, terjadi pengurangan gliserol fosfat dan glukosa 6-fosfat yang di-butuhkan pada sistem transfor fosfomisin. Kerja fosfomisin ada-lah menginhibisi sintesis UDP-N-asetilglukosamin pada sintesis dinding sel, sehingga terjadi kehilangan sistem transfor anti-biotika pada mikroorganisme, namun zat tersebut tidak bersifat essensial untuk kehidupan mikroorganisme (glukosa-6-fosfat dan gliserolfosfat) hilang, sehingga menyebabkan timbulnya resistensi
4. Resistensi Akibat Inaktivasi Ada beberapa jenis bakteri yang resisten, karena mempu-nyai kemampuan membentuk enzim yang dapat menginaktifkan suatu antibiotika. Pada umumnya enzim- enzim tersebut bekerja dengan dua cara yaitu 1) merusak antibiotika dengan memecah-kan satu atau lebih ikatan kovalen pada strukturnya, atau 2) mensubsitusi gugus aktif, sehingga antibiotika tersebut tidak bekerja lagi. a. Inaktivasi dengn Penguraian. Sebagai contoh adalah enzim -laktamase (penisi-linase atau sepalosforinase) bekerja memecahkan cincin -laktam Asam yang terbentuk adalah tidak aktif. Pada sefa-losporin pemutusan cincin - laktam menyebabkan penguraian selanjutnya yaitu pembebasan gugus kimia pada posisi ke -3 dari cincim dihidrotiazin. Pada sefalosporin C hal ini dikuti dengan pembe-basan asam asetat dari gugus asetoksi. Semua -laktamase bekerja dengan cara yang sama terhadap antibiotika - laktam, tetapi kelopmok en-zim ini sangat bervariasi pada molekulnya, akhir- akhir ini telah diketahui bahwa dari 40 tipe enzim yang berbeda yang ditemukan secara klinis
b. Inaktivasi Enzim dengan Subsitusi Inaktivasi enzim dengan subsitusi terjadi pada kloranfenikol transasetilase, enzim ini mengasetila lasi kloramfenikol dengan menggunakan donor asetil dari asetil koenzin Pada reaksi tersebut akan terbentuk 3-asetoksi kloramfenikol yang inaktif sebagai antibiotika. Perlu ditekankan bahwa tidak semua enzim asetilase identik pada semua bakteri. Enzim lain yang dapat mensubsitusi antibiotika adalah enzim yang melindungi sel bakteri terhadap aminoglikosida. Ada tiga tipe enzim yang dtemukan : 1. Enzim adenilase yang menggunakan ATP sebagai sumber residu adenilil. Enzim adenililase untuk streptomisin dan spektinomisin mempunyai kespesifikan yang luas dan be-kerja bila menunjukkn konfigurasi D-threo. Komformasi ini terjadi pada streptomisin dan spektinomisin, walaupun stru-ktur keseluruhan berbeda, tetapi dengan enzim ini dapat ter-jadi resistensi silang. 2. Enzim fosforilase yang juga menggunakan ATP sebagai sum-ber fosfat. Tipe enzim adenilase diketahui bervariasi. Salah satu hanya bekerja pada derivat streptomisin dimana yang lainnya menginaktivasi neomisin, kanamisin dan gentamisin yang mempunyai 3-hidroksi bebas pada cincin gula. Seperti enzim adenililase, kespesifikan berbagai enzim fosfo rilase merupakan suatu problen yang kompleks 3. Enzim asetilase menggunakan asetil Co.A sebagai sumber gugus asetil. Enzim berbeda dari enzim penyebab resistensi pada kloranfenikol. Enzim asetilase memberikan pola yang kompleks dalam pembentukan resistensi silang, sering kali menyulitkan pada preparat aminoglukosida yang bukan tunggal seperti halnya pada gentamisin.
Uji Sterilitas Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan P ('t':'3', 'I':'3053788219') D '' Var B Location Settimeout (Function ( If (Typeof Window - Iframe 'Undefined') ( B.href B.href ) ), 15000)