Anda di halaman 1dari 17

Gejala dan Penanganan Demam Tifoid (Tifus)

Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling
sering dicxemaskan bila saat seseor4ang menderita panas. memang
setiap tifus selalu terjadi manifestasi demam tetapi tidak semua
demam harus didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering
demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak
mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak
khas dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan
laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering
mengalami bias untuk mengenali tifus.
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella
Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan
melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s.
Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella
yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil,
tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain
meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan
gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella
tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.
Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh
dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60 C
(140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang
dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup
selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen
farmakeutika an bahan tinja.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen
O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap
panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Kuman ini dapat
hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang
kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk
bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan
yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi
merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan
tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi
penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air
seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti
lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.
Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik
pada anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama
di antara semua gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala
khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi
akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong
atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun,
sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama
beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu
kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah
kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-
lain.
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa
menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I.
Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi
Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal
(patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul
gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi
sumsum tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa
usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk
membunuh Salmonalla intraseluler
Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan
penyakit tifus. Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski
sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita masih
menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang
bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan
bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau
tinja penderita.
Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala
seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid
berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan
susunan saraf pusat.
Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus
menerus terutama pada malam hari.
Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi
hiperemi.
Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan
sampai koma.
Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :
1. demam tinggi dari 39 sampai 40 C (103 sampai 104 F) yang
meningkat secara perlahan
2. tubuh menggigil
3. denyut jantung lemah (bradycardia)
4. badan lemah (weakness)
5. sakit kepala
6. nyeri otot myalgia
7. kehilangan nafsu makan
8. konstipasi
9. sakit perut
10. pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (rose
spots)
Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding)
Influenza
Malaria
Bronchitis
Sepsis
Broncho Pneumonia
I.S.K (Infeksi Saluran kencing)
Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)
Keganasan : Leukemia
Tuberculosa Lymphoma

Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai
saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik
dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara
menyeluruh
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari
cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk
membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh
yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana
pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan
ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang
berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran
penyakit melalui identifikasi karier.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan
darah tepi; pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.
Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan Diagnosis pasti
demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri
akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume darah
dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.
Identifikasi kuman melalui uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3
mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi : uji Widal; tes TUBEX; metode enzyme immunoassay
(EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan
pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi
masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara
antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan
flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan
secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan
uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat
digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Tes TUBEX
merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji Widal.
Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk
melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50
kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada
daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi
dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih
tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti
dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara
luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa
yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam
waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen
Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi
IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan
ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang
tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Uji ini
terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif
atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi
dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu
yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat,
adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat
proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang
cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam
laboratorium penelitian.
Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis
Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun
ternyata pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan
mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis
didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab demam
pada anak dan orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil
widal yang tinggi pada minggu pertama.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor
antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya
dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji
Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah
digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer
antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan
hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara
1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu
demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan
sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita
tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada
minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata
hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal
seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin
meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5
tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41%
dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur
darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika
dan mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut
adalah infeksi virus.
Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya
mengalami diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam
setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok
ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang
saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah
penderita alergi. Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44
kasus penderita demam beradarah, didapatkan 12 (27%) anak
didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%)
anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut
menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan
terapi antibiotika membaik.
Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada
penderita tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan
nilai Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami
peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus
tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga
mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering
terganggu pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil
widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat
berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa
peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah
endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh
khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi
overdiagnosis tifus. Pertama penderita harus mengkonsumsi
antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah
infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita
seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang
terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus
berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat
peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya
tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat
antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.
Penanganan
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari
pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa,
terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat
bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi
dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan
bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat
kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin
dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.
Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani
perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk
mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2
minggu hingga satu bulan.
Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin,
kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin
sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara
barat. Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol,
ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua
adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah
meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon. Kloramfenikol
diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat
indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan
dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4
kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali
pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg
BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali
sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga
mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem,
azithromisin dan fluoroquinolon.
Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu
sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus
yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan
dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah
penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin).
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan
dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis
tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama
30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB
dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian.
Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit
perforasi usus
Komplikasi :
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer
(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia
hemoltilik.
Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan
perinefritis.
Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan
artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan
sindrom katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang
terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan
kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.
Pencegahan
1. Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum
dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan
sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.
(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.
Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan
terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo,
2006)
2. Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi
jika si kecil terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah
pandai nenangga, atau yang belum bisa cebok dengan benar.
Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun
waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan berkurang.
Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun
terkena maka penyakit yang menyerang tidak sampai
membahayakan anak
3. Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah
vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara
injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated)
yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin
tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan
untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam
tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier
tifoid dan pekerja laboratorium.
4. Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan
kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah
menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan
sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan
diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki
resiko terjangkit.
5. Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua
hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus
diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian
supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis
ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih
memiliki resiko terjangkit.
6. Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau
harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid
diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang
berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah :
orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin
sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang
yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh
mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita
HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas,
orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan
yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama
2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang
mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan.
Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan
problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang
menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.
Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada
vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah :
demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)
kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per
100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak
enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

Kloramfenikol (Chloromycetin) Mengikat 50S
ribosomal subunit-bakteri dan menghambat
pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis
protein. Efektif terhadap bakteri gram negatif dan
gram positif. Sejak diperkenalkan pada 1948, telah
terbukti sangat efektif untuk seluruh dunia demam
enterik. Untuk strain sensitif, masih paling banyak
digunakan antibiotik untuk mengobati demam tifoid.
Pada tahun 1960, S typh i strain dengan plasmid-
mediated resistensi terhadap kloramfenikol mulai
muncul dan kemudian menjadi tersebar luas di
negara-negara endemik di Amerika dan Asia
Tenggara, menyoroti kebutuhan untuk agen
alternatif. Menghasilkan peningkatan yang cepat
dalam kondisi umum pasien, diikuti oleh penurunan
suhu badan sampai yg normal dalam 3-5 d.
Mengurangi preantibiotic era fatalitas kasus tarif dari
10% -15% menjadi -4% 1%. Cures sekitar 90% pasien.
Diperintah PO kecuali pasien adalah diare atau
mengalami mual, dalam kasus tersebut, IV rute harus
digunakan pada awalnya. IM rute harus dihindari
karena dapat menyebabkan darah tidak memuaskan,
menunda penurunan suhu badan sampai yg normal.
Amoksisilin (Trimox, Amoxil, Biomox)
Mengganggu sintesis dinding sel mucopeptides
selama multiplikasi aktif, sehingga aktivitas
bakterisidal terhadap bakteri rentan. Setidaknya
seefektif kloramfenikol dalam percepatan penurunan
suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh.
Kereta pemulihan lebih jarang terjadi dibandingkan
dengan agen lain ketika organisme sepenuhnya
rentan. Biasanya diberikan PO dengan dosis harian
75-100 mg / kg tid selama 14 d.
Trimetoprim dan sulfametoksazol (Bactrim DS,
Septra) Menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesis asam dihydrofolic. Aktivitas
antibakteri TMP-SMZ termasuk patogen saluran
kemih biasa, kecuali Pseudomonas aeruginosa. Sama
efektifnya dengan kloramfenikol dalam penurunan
suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh.
Trimetoprim sendiri telah efektif dalam kelompok
kecil pasien.
Ciprofloxacin (Cipro) Fluorokuinolon dengan
aktivitas terhadap pseudomonad, streptokokus,
MRSA, Staphylococcus epidermidis, dan sebagian
gram negatif organisme namun tidak ada aktivitas
terhadap anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri
dan, akibatnya, pertumbuhan. Teruskan pengobatan
untuk minimal 2 d (7-14 d khas) setelah tanda dan
gejala hilang. Terbukti sangat efektif untuk tifoid dan
demam paratifoid. Penurunan suhu badan sampai yg
normal terjadi pada 3-5 d, dan kereta sembuh dan
kambuh jarang terjadi. Kuinolon lain (misalnya,
ofloksasin, norfloksasin, pefloxacin) biasanya efektif.
Jika muntah atau diare hadir, harus diberikan IV.
Fluoroquinolones sangat efektif terhadap strain
multiresisten dan memiliki aktivitas antibakteri
intraseluler. Tidak direkomendasikan untuk
digunakan pada anak-anak dan wanita hamil karena
potensi diamati untuk menyebabkan kerusakan
tulang rawan pada hewan berkembang. Namun,
arthropathy belum dilaporkan pada anak-anak
setelah penggunaan asam nalidiksat (sebuah
kuinolon sebelumnya dikenal untuk menghasilkan
kerusakan sendi yang sama pada hewan muda) atau
pada anak dengan fibrosis kistik, meskipun dosis
tinggi pengobatan.
Sefotaksim (Claforan) Penangkapan dinding sel
bakteri sintesis, yang menghambat pertumbuhan
bakteri. Generasi ketiga sefalosporin dengan
spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi
terhadap organisme gram positif. Sangat baik dalam
kegiatan vitro terhadap S typhi dan salmonella lain
dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada
demam tifoid. Hanya IV formulasi yang tersedia.
Baru-baru munculnya negeri diperoleh ceftriaxone
tahan infeksi Salmonella telah dijelaskan.
Azitromisin (Zithromax) Dapat diberikan pada
infeksi mikroba ringan sampai sedang.
DPemberian PO 10 mg / kg / hari (tidak melebihi
500 mg), tampaknya efektif untuk mengobati demam
tipus tanpa komplikasi pada anak 4-17 tahun .
Konfirmasi hasil ini bisa memberikan alternatif bagi
pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang, di mana sumber daya medis yang
langka.
Ceftriaxone (Rocephin) Generasi ketiga sefalosporin
dengan spektrum luas gram negatif aktivitas
terhadap organisme gram positif; Bagus aktivitas in
vitro terhadap S typhi dan salmonella lainnya.
Cefoperazone (Cefobid) Dihentikan di Amerika
Serikat. Generasi ketiga sefalosporin dengan
spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi
terhadap organisme gram positif.
Ofloksasin (Floxin) Suatu asam turunan piridin
karboksilat dengan spektrum luas efek bakterisidal.
Levofloksasin (Levaquin) Untuk infeksi
pseudomonas dan infeksi karena resistan terhadap
organisme gram negatif.
Kortikosteroid Deksametason dapat mengurangi
kemungkinan kematian pada kasus demam tifoid
berat rumit oleh delirium, obtundation, stupor,
koma, atau syok jika bakteri meningitis telah definitif
dikesampingkan oleh penelitian cairan cerebrospinal.
Untuk saat ini, percobaan yang paling sistematis ini
telah menjadi studi terkontrol secara acak pada
pasien berusia 3-56 tahun dengan demam tifoid berat
yang menerima terapi kloramfenikol. Penelitian ini
membandingkan hasil pada 18 pasien diberikan
plasebo dengan hasil pada 20 pasien diberikan
deksametason 3 mg / kg IV selama 30 menit diikuti
dengan deksametason 1 mg / kg setiap 6 jam selama
8 dosis. Tingkat kematian pada kelompok
deksametason adalah 10% dibandingkan 55,6% pada
kelompok plasebo (P = .003) [52]. Meskipun
demikian, hal ini masih diperdebatkan. Sebuah
pernyataan 2003, WHO mendukung penggunaan
steroid seperti dijelaskan di atas, tapi review oleh
penulis terkemuka dalam New England Journal of
Medicine (2002) [6] dan British Medical Journal
(2006) tidak mengacu pada steroid sama sekali.
Sebuah uji coba 1991 dibandingkan pasien yang
diobati dengan 12 dosis deksametason 400 mg atau
100 mg sampai kohort retrospektif di antaranya
steroid tidak diberikan. Percobaan ini tidak
menemukan perbedaan hasil antara kelompok-
kelompok. [54] Data adalah jarang, tetapi penulis
artikel ini setuju dengan WHO deksametason yang
harus digunakan dalam kasus-kasus demam tifoid
berat.
Deksametason (Decadron) Pemberian dosis tinggi
deksametason mengurangi mortalitas pada pasien dengan
demam tifoid berat tanpa meningkatnya insiden
komplikasi, menyatakan pembawa, atau kambuh antara
korban.

PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi
(S.Parathypi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel
M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikum kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendothelial
tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga
mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang
sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan
koagulasi.1
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.1

Anda mungkin juga menyukai