Anda di halaman 1dari 25

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

INDUSTRI SERAT SABUT KELAPA














BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 1
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2
a. Latar Belakang ................................ ................................ ........... 2
b. Tujuan, Ruang Ligkup dan Metode Penelitian ................................ ... 3
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan ................................ ............... 5
a. Profil Usaha ................................ ................................ ............... 5
b. Pola Pembiayaan ................................ ................................ ........ 5
3. Aspek Pemasaran ................................ ................................ ........ 7
a. Permintaan ................................ ................................ ................ 7
b. Penawaran ................................ ................................ ................. 8
c. Harga ................................ ................................ ........................ 8
d. Persaingan dan Peluang Pasar ................................ ....................... 8
e. Jalur Pemasaran Produk ................................ ............................... 9
f. Kendala dan Hambatan ................................ .............................. 10
4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 11
a. Lokasi Usaha ................................ ................................ ............ 11
b. Fasilitas Produksi ................................ ................................ ...... 11
c. Bahan Baku ................................ ................................ ............. 11
d. Tenaga Kerja ................................ ................................ ........... 11
e. Proses Produksi ................................ ................................ ........ 12
f. Jenis dan Mutu Produksi ................................ ............................. 13
h. Produksi Optimum ................................ ................................ .... 14
i. Kendala dan Hambatan ................................ ............................... 15
5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 16
a. Komponen Biaya ................................ ................................ ....... 16
b. Pendapatan................................ ................................ .............. 16
c. Arus Kas ................................ ................................ .................. 17
d. Evaluasi Profitabilitas dan Analisa Sensitivitas ................................ 17
e. Hambatan dan Kendala ................................ .............................. 18
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 20
a. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 20
b. Dampak Lingkungan ................................ ................................ .. 20
7. Penutup ................................ ................................ ..................... 22
a. Kesimpulan ................................ ................................ .............. 22
b. Saran ................................ ................................ ..................... 23
LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 24
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 2
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan dan berada di daerah tropis dan kondisi
agroklimat yang mendukung, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa
yang utama di dunia. Pada tahun 2000, luas areal tanaman kelapa di
Indonesia mencapai 3,76 juta Ha, dengan total produksi diperkirakan
sebanyak 14 milyar butir kelapa, yang sebagian besar (95 persen)
merupakan perkebunan rakyat. Kelapa mempunyai nilai dan peran yang
penting baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun sosial budaya.
Sabut kelapa merupakan hasil samping, dan merupakan bagian yang
terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari bobot buah kelapa.
Dengan demikian, apabila secara rata-rata produksi buah kelapa per tahun
adalah sebesar 5,6 juta ton, maka berarti terdapat sekitar 1,7 juta ton sabut
kelapa yang dihasilkan. Potensi produksi sabut kelapa yang sedemikian besar
belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat
meningkatkan nilai tambahnya.
Serat sabut kelapa, atau dalam perdagangan dunia dikenal sebagai Coco
Fiber, Coir fiber, coir yarn, coir mats, dan rugs, merupakan produk hasil
pengolahan sabut kelapa. Secara tradisionil serat sabut kelapa hanya
dimanfaatkan untuk bahan pembuat sapu, keset, tali dan alat-alat rumah
tangga lain. Perkembangan teknologi, sifat fisika-kimia serat, dan kesadaran
konsumen untuk kembali ke bahan alami, membuat serat sabut kelapa
dimanfaatkan menjadi bahan baku industri karpet, jok dan dashboard
kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Serat sabut kelapa juga
dimanfaatkan untuk pengendalian erosi. Serat sabut kelapa diproses untuk
dijadikan Coir Fiber Sheet yang digunakan untuk lapisan kursi mobil, Spring
Bed dan lain-lain.
Serat sabut kelapa bagi negara-negara tetangga penghasil kelapa sudah
merupakan komoditi ekspor yang memasok kebutuhan dunia yang berkisar
75,7 ribu ton pada tahun 1990. Indonesia walaupun merupakan negara
penghasil kelapa terbesar di dunia, pangsa pasar serat sabut kelapa masih
sangat kecil. Kecenderungan kebutuhan dunia terhadap serat kelapa yang
meningkat dan perkembangan jumlah dan keragaman industri di Indonesia
yang berpotensi dalam menggunakan serat sabut kelapa sebagai bahan baku
/ bahan pembantu, merupakan potensi yang besar bagi pengembangan
industri pengolahan serat sabut kelapa.
Hasil samping pengolahan serat sabut kelapa berupa butiran-butiran gabus
sabut kelapa, dikenal dengan nama Coco Peat. Sifat fisika-kimianya yang
dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk, serta dapat
menetralkan keasaman tanah menjadikan hasil samping ini mempunyai nilai
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 3
ekonomi. Coco Peat digunakan sebagai media pertumbuhan tanaman
hortikultur dan media tanaman rumah kaca.
Dari aspek teknologi, pengolahan serat sabut kelapa relatif sederhana yang
dapat dilaksanakan oleh usaha-usaha kecil. Adapun kendala dan masalah
dalam pengembangan usaha kecil/menengah industri pengolahan serat sabut
kelapa adalah keterbatasan modal, akses terhadap informasi pasar dan pasar
yang terbatas, serta kualitas serat yang masih belum memenuhi
persyaratan.
Dalam rangka menunjang pengembangan industri serat sabut kelapa yang
potensial ini, diperlukan acuan yang dapat dimanfaatkan pihak perbankan,
investor serta pengusaha kecil dan menengah sehingga memudahkan semua
pihak dalam mengimplementasikan pengembangan usaha pengolahan serat
sabut kelapa ini. Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk Lending Model
ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
b. Tujuan, Ruang Ligkup dan Metode Penelitian
Tujuan
Tujuan dari penyusunan buku ini adalah:
1. Menyediakan rujukan bagi perbankan dalam rangka meningkatkan
realisasi kredit usaha kecil, khususnya untuk komoditi serat sabut
kelapa
2. Menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan
usaha kecil serat sabut kelapa terutama tentang aspek keuangan,
produksi, dan pemasaran.
Ruang Lingkup
Penyusunan lending model ini memerlukan studi mengenai pola
pembiayaannya yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Aspek pemasaran yang meliputi antara lain kondisi permintaan
(termasuk pasar ekspor), penawaran, persaingan, harga, proyeksi
permintaan pasar;
2. Aspek produksi yang meliputi gambaran komoditi, persyaratan teknis
produk, proses pengolahan, dan penanganannya;
3. Aspek keuangan yang meliputi perhitungan kebutuhan biaya investasi
dan kelayakan keuangan (menggunakan alat analisis rugi-laba, cash
flow, net present value, pay back period, benefit cost ratio, dan
internal rate of return) dilengkapi analisa sensitivitas;
4. Aspek sosial-ekonomi yang meliputi pengaruh pengembangan usaha
komoditi yang diteliti terhadap perekonomian, penciptaan lapangan
kerja, dan pengaruh terhadap sektor lain;
5. Aspek dampak lingkungan.
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 4
Metode Penelitian
Survei lapang dilakukan untuk memperoleh data sebagai berikut:
1. Data primer dari pengusaha kecil (pengusaha coco fiber);
2. Data sekunder dari perbankan dan instansi terkait (Kandep
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ciamis).
3. Tokoh masyarakat setempat (tokoh formal dan tokoh informal).
Analisis data tersebut di atas selanjutnya dilakukan atas hal-hal sebagai
berikut:
1. analisis usaha, dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh
komoditi yang diteliti dilihat dari aspek-aspek pemasaran, produksi,
sosial-ekonomi, dan dampak lingkungannya;
2. analisis pembiayaan, dilakukan untuk mengetahui bagaimana
pembiayaan proyek dan kelayakan usaha dilihat dari aspek
keuangannya.
Untuk kepentingan pengumpulan dan analisis data tersebut di atas, sampel
usaha kecil di wilayah penelitian diambil secara acak dengan persyaratan
bahwa usaha kecil tersebut yang paling banyak terdapat di wilayah studi,
tetapi dengan mengutamakan mereka yang mendapat kredit bank untuk
usahanya.
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 5
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
a. Profil Usaha
Berdasarkan studi kasus industri pengolahan serat sabut kelapa di Kabupaten
Ciamis, usaha industri pengolahan serat sabut kelapa adalah dalam bentuk
usaha kecil. Usaha ini awalnya berkembang sebagai wujud kemitraan dengan
seorang pengusaha di kota Bandung pada tahun 1990, dimana pengusaha
memberikan fasilitas mesin pemisah serat sabut kelapa dalam bentuk kredit
dengan nilai sekitar Rp. 40 juta. Pengembalian kredit kepada pengusaha
dilakukan melalui hasil penjualan produk serat sabut kelapa. Menurut Kandep
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ciamis jumlah usaha kecil yang
terlibat dalam skema kemitraan tersebut berjumlah 27 pengusaha. Informasi
yang diperoleh dari responden pengusaha kecil yang melaksanakan
kemitraan tersebut menyatakan bahwa pada umumnya kredit tersebut sudah
lunas - walaupun demikian sebagian pengusaha kecil masih melaksanakan
ikatan bisnis dengan pengusaha tersebut dalam bentuk penjualan hasil.
Berdasarkan kriteria Deperindag, di antara 27 pengusaha tersebut sebagian
besar merupakan usaha kecil non-formal dan hanya 4 usaha yang tergolong
dalam kelompok industri kecil formal, dalam pengertian mempunyai izin
usaha dan persyaratan formal lain seperti NPWP. Selain ke-27 usaha kecil, di
wilayah kasus terdapat 1 (satu) perusahaan yang dapat dikategorikan skala
menengah/besar dan satu unit yang merupakan kegiatan usaha koperasi.
Studi kasus menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden pengusaha
beragam dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Usaha industri serat
sabut kelapa merupakan pekerjaan atau sumber penghasilan utama sebagian
responden. Sebagian responden lain menyatakan usaha ini bukan merupakan
satu-satunya usaha, dan sebagian besar dari responden kelompok ini
menyerahkan operasional kegiatan industri (kecuali pemasaran) kepada
orang lain.
b. Pola Pembiayaan
Hasil wawancara dengan responden pengusaha kecil serat sabut kelapa
menunjukkan bahwa keseluruhan kebutuhan biaya untuk operasi usaha
berasal dari dana sendiri. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
responden bank umum yang beroperasi di Kabupaten Ciamis, tercatat hanya
satu Bank yang memberikan fasilitas kredit kepada pengusaha kecil industri
serat sabut kelapa, dan inipun terbatas hanya kepada 2 orang pengusaha.
Kredit yang diberikan adalah berupa kredit investasi dengan jumlah masing-
masing pengusaha Rp. 40 juta, dengan suku bunga 21 % dan jangka waktu
pengembalian 3 tahun. Kredit investasi tersebut diberikan atas pertimbangan
bahwa usaha industri sabut kelapa yang dibiayai layak dan menguntungkan
serta adanya mitra sebagai penjamin pasar produk serat sabut kelapa, serta
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 6
jaminan dalam bentuk sertifikat tanah/bangunan tempat usaha dan mesin
yang dibiayai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak responden perbankan diperoleh
kesan bahwa pihak perbankan relatif bersifat "menunggu" untuk memberikan
fasilitas kredit kepada usaha serat sabut kelapa ini serta terbatasnya
informasi tentang prospek pasar dan kelayakan usaha serat sabut kelapa ini.
Di lain pihak, hasil wawancara dengan pengusaha kecil menunjukkan bahwa
pengusaha kecil serat sabut kelapa dihadapkan kepada kendala dalam
memenuhi persyaratan dan prosedur untuk memperoleh kredit. Kendala
tersebut menyebabkan pengusaha kecil "enggan" untuk mengajukan aplikasi
kredit, walaupun dibutuhkan terutama untuk modal kerja. Kebutuhan modal
kerja bagi pengusaha kecil merupakan hal yang penting, oleh karena
pengusaha kecil memperoleh pembayaran dari hasil penjualan produk serat
setelah 3 - 4 minggu.

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 7
3. Aspek Pemasaran

a. Permintaan
Serat sabut kelapa atau dalam perdagangan dunia dikenal dengan Coconut
Fiber atau Coconut Coir, merupakan bahan baku untuk berbagai industri,
antara lain industri karpet, dashboard dan jok untuk kendaraan, jok perabot
rumah tangga, matras, spring bed, kemasan serta tali. Karakteristik produk
yang bersifat heat retardant dan biodegradable, serta kecenderungan
konsumen produk industri dalam penggunaan bahan alami mendorong
peningkatan permintaan terhadap serat sabut kelapa.
Pada tahun 1990 kebutuhan dunia terhadap serat sabut kelapa sudah
mencapai 75,7 ribu ton dan terus menunjukkan kecenderungan meningkat.
Kebutuhan serat sabut kelapa dunia tersebut masih didominasi oleh Srilanka,
India, Malaysia, Thailand dan negara-negara Afrika (Palungkun, 1992).
Walaupun ekspor serat sabut kelapa Indonesia menunjukkan peningkatan
sejak tahun 1998, hanya sebagian kecil saja dari kebutuhan dunia tersebut
yang dipasok oleh Indonesia (Tabel 3.1). Negara tujuan ekspor serat sabut
kelapa Indonesia adalah Inggris, Jerman, Belgia, Jepang, Taiwan, Korea
Selatan, Singapura, Malaysia dan Australia. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari responden pengusaha sabut kelapa, setiap bulan diperkirakan
China membutuhkan sekitar 50.000 ton serat sabut kelapa per bulan untuk
memenuhi kebutuhan industrinya.
Keberadaan dan berkembangnya industri perabot rumah tangga, khususnya
Spring Bed di Indonesia merupakan pasar potensial untuk industri serat
sabut kelapa. Berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang (1998),
secara Nasional penggunaan serat sabut kelapa sebagai bahan baku tercatat
sebesar 2.123,9 ton. Dari total kebutuhan bahan serat sabut kelapa yang
bernilai sekitar Rp. 11,7 milyar, senilai Rp. 1,99 milyar (17,1 persen) berasal
dari impor dan dari segi volume sebesar 2,53 persen berasal dari impor.
Apabila dibandingkan dengan volume ekspor serat sabut kelapa pada tahun
yang sama (1998), yaitu sebesar 19,1 ton (Tabel 3.1), maka berarti bahwa
pasar serat kelapa masih didominasi untuk kebutuhan domestik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha kecil serat sabut kelapa di
Kabupaten Ciamis, semua responden menyatakan bahwa prospek pasar
serat sabut kelapa adalah cerah. Semua responden menyatakan bahwa
permintaan terhadap produk serat cukup besar, dimana rata-rata permintaan
terhadap produk mereka sekitar 25 ton per bulan, yang semuanya tidak
dapat dipenuhi karena keterbatasan modal kerja dan kapasitas mesin. Di
antara responden malah ada yang menyatakan adanya permintaan yang
tidak dapat dipenuhi karena ketidakcocokan harga.

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 8
b. Penawaran
Berdasarkan Statistik Industri Besar dan Sedang (1998), produksi serat
sabut kelapa tercatat oleh Industri Besar dan Sedang hanya sebesar 423 ton.
Apabila dibandingkan dengan penggunaan serat sabut kelapa oleh industri
besar dan sedang pada tahun yang sama yang berasal dari produksi lokal
sebesar 2070,1 ton maka dapat ditafsirkan bahwa sebagian besar kebutuhan
tersebut, yaitu sebesar 1647,1 ton dipasok oleh usaha kecil / menengah. Hal
ini menunjukkan bahwa produsen serat sabut kelapa sebagian besar adalah
usaha kecil / menengah.
Statistik jumlah usaha kecil (industri kecil atau industri rumah tangga) dan
produksi serat sabut kelapa yang dihasilkan secara Nasional masih belum
tersedia. Berdasarkan studi kasus di Kabupaten Ciamis, setiap jumlah unit
usaha kecil industri serat sabut kelapa di Kabupaten Ciamis tercatat
sebanyak 29 unit usaha yang sebagian besar (86,2 % atau 25 unit usaha)
masih berstatus sebagai industri kecil non-formal. Kapasitas produksi setiap
unit usaha bervariasi berkisar antara 55 - 300 ton per tahun atau rata-rata
sekitar 100 ton per tahun.
c. Harga
Berdasarkan studi kasus di Kabupaten Ciamis, harga serat sabut kelapa di
tingkat produsen berkisar antara Rp. 500 - Rp.600 per Kg, sedangkan harga
di tingkat pembeli (Jakarta) berkisar antara Rp. 900 - Rp. 1200 per Kg, yang
tergantung kepada kualitas sabut yang dihasilkan.
Harga serat sabut kelapa di pasaran ekspor berdasarkan hasil wawancara
adalah sebesar US $ 210 per ton (FOB), sedangkan harga CIF di negara
tujuan (Rotterdam) adalah sebesar US $ 360 per ton. Harga serat sabut
kelapa Indonesia di pasaran ekspor relatif lebih rendah dibandingkan dengan
serat sabut kelapa ex. India, yang bernilai sekitar US $ 290 - 320 per ton
(FOB), akan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi Srilanka yaitu
sebesar US $ 220 - 270 per ton (FOB). Merujuk kepada perkembangan harga
mattress fiber produksi Srilanka, terdapat kecenderungan kenaikan harga
dalam periode 1997 - 1999, yaitu rata-rata sebesar 3 persen per tahun.
d. Persaingan dan Peluang Pasar
Potensi persaingan industri serat sabut kelapa dapat ditinjau dari aspek
persaingan produk substitusi dan persaingan industri sejenis. Dari aspek
persaingan produk substitusi, khususnya sebagai bahan baku untuk industri
jok kursi (mobil dan rumah tangga), dash board mobil, tali dan produk
sejenis, serat sabut kelapa menghadapi persaingan dengan industri produk
sintetis seperti karet busa dan plastik. Walaupun demikian, karakteristik
fisika-kimia serat sabut kelapa yang spesifik dan biodegradable serta
berfungsi sebagai heat retardant menjadikan serat sabut kelapa mempunyai
fungsi yang spesifik yang tidak dapat digantikan oleh produk sintetis. Selain
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 9
itu kesadaran konsumen terhadap kelestarian akan lingkungan dan
kecenderungan untuk kembali menggunakan produk alami, menyebabkan
serat sabut kelapa mempunyai peluang pasar dan mampu bersaing dengan
produk-produk sintetis. Selain itu karakteristik fisika-kimia serat sabut kelapa
menjadikan serat sabut kelapa berpotensi sebagai bahan baku untuk
pengembangan produk industri seperti geotextile.
Dari aspek persaingan industri sejenis, serat sabut kelapa Indonesia
dihadapkan kepada negara-negara pesaing yang lebih maju dalam hal
teknologi produksi serat sabut kelapa, sehingga mempunyai kualitas yang
lebih unggul. Persaingan tersebut juga dihadapi oleh karena perkembangan
aplikasi teknologi yang lebih maju dalam membuat produk industri dengan
bahan baku serat sabut kelapa. Negara-negara pesaing Indonesia tersebut
antara lain adalah Srilanka, India, Thailand dan Philipina.
Ditinjau dari kecenderungan permintaan dunia terhadap serat sabut kelapa
yang meningkat, serta kontribusi Indonesia yang masih sangat kecil dalam
perdagangan dunia, serat sabut kelapa Indonesia mempunyai keunggulan
komparatif (potensi produksi sabut kelapa) dan mempunyai peluang yang
besar. Peluang tersebut dapat diraih dengan syarat adanya perbaikan dan
pengembangan teknologi proses sehingga menghasilkan serat yang
memenuhi persyaratan kualitas yang diinginkan pasar.
e. Jalur Pemasaran Produk
Rantai pemasaran serat sabut kelapa secara garis besar dapat dilihat pada
Grafik 3.1. Usaha kecil serat sabut kelapa secara umum tidak dapat langsung
memasarkan produknya kepada eksportir sabut kelapa. Hal ini karena
persyaratan mutu produk usaha kecil masih belum dapat memenuhi
persyaratan mutu yang diinginkan. Selain itu, ketiadaan fasilitas mesin
pengepress sabut - menyebabkan biaya transportasi per Kg produk untuk
dipasarkan langsung ke eksportir menjadi mahal dan tidak layak.
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 10


Grafik 3.1. Rantai Tataniaga Serat Sabut Kelapa


f. Kendala dan Hambatan

Berdasarkan hasil studi kasus industri kecil pengolahan sabut kelapa di
Kabupaten Ciamis, kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pengusaha
adalah relatif mahalnya biaya transportasi produk untuk pemasaran langsung
ke industri pengguna serat sabut kelapa atau eksportir. Hal ini karena
keterbatasan dan kendala modal untuk pengadaan mesin "press". Akses
terhadap informasi dan pasar ekspor merupakan salah satu kendala usaha
kecil serat sabut kelapa pada aspek pemasaran ini. Hal ini juga berhubungan
dengan kelengkapan mesin / peralatan produksi pada usaha kecil yang
menyebabkan jumlah dan kualitas produk yang dihasilkan tidak dapat
memenuhi kebutuhan untuk ekspor langsung. Pada tingkat pemasaran lokal
dan domestik yang terjadi selama ini, kendala yang dihadapi oleh pengusaha
kecil adalah lamanya realisasi pembayaran hasil penjualan produk. Kendala
ini semakin dirasakan oleh pengusaha kecil karena keterbatasan modal kerja.
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 11
4. Aspek Produksi

a. Lokasi Usaha

Serat sabut kelapa atau Coco Fiber merupakan produk yang berasal dari
proses pemisahan serat dari bagian kulit buah (epicarp dan mesocarp).
Bagian kulit buah merupakan bagian terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar
35 % dari total bobot. Bahan baku kulit buah kelapa bersifat kamba,
sehingga untuk efisiensi biaya transportasi serta kemudahan dalam
pengadaan bahan baku, maka lokasi usaha ditetapkan dekat atau pada
daerah sentra produksi kelapa. Lokasi usaha seyogyanya juga tidak pada
lokasi pemukiman, karena hasil samping pengolahan berupa bagian gabus
(coco peat) dapat mengganggu lingkungan. Usaha ini memerlukan area yang
cukup luas untuk penampungan bahan baku, penjemuran, dan penampungan
hasil samping karena karakteristik bahan baku dan hasil samping yang
kamba.

b. Fasilitas Produksi

Proses produksi serat sabut kelapa secara teknologi relatif sederhana dan
menggunakan mesin / peralatan yang sudah diproduksi oleh produsen mesin
peralatan di dalam negeri. Berdasarkan informasi yang diperoleh, produsen
mesin peralatan untuk produksi serat sabut kelapa untuk wilayah Jawa Barat
berada di wilayah Jabotabek dan Bandung. Secara umum fasilitas produksi
utama yang dibutuhkan adalah mesin pengurai dan pemisah serat dari sabut
kelapa, fasilitas penjemuran atau mesin pengering, dan alat press serat
sabut kelapa dan serbuk gabus sabut kelapa.

c. Bahan Baku
Bahan baku industri serat sabut kelapa adalah sabut kelapa yang merupakan
hasil samping dari usaha perdagangan buah kelapa untuk konsumsi rumah
tangga serta industri pengolahan kopra atau minyak kelapa. Bahan baku ini
secara umum terdapat secara melimpah di daerah sentra produksi buah
kelapa, terutama Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Selatan, serta NTT dan Maluku.
Bahan baku sabut kelapa yang diinginkan adalah yang berasal dari buah
kelapa dalam dengan tingkat kematangan yang sesuai untuk pembuatan
minyak kelapa atau kopra.
d. Tenaga Kerja

Secara relatif industri serat sabut kelapa merupakan industri yang bersifat
padat karya terutama untuk industri yang masih menggunakan teknologi
proses yang sederhana. Untuk industri seperti ini, kebutuhan tenaga kerja
terbesar adalah pada tahap sortasi dan pembersihan serat dari butiran
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 12
gabus, yang tidak memerlukan keterampilan khusus. Tingkat keterampilan
yang sederhana diperlukan untuk tenaga kerja yang bertugas sebagai
operator mesin/peralatan yang relatif dapat dilatih dengan mudah. Tingkat
keterampilan yang lebih tinggi diperlukan untuk operator perawatan dan
perbaikan mesin, khususnya mesin penggerak. Berdasarkan studi kasus di
wilayah Kabupaten Ciamis, setiap unit usaha industri serat sabut kelapa
membutuhkan tenaga kerja dengan status operator mesin sekitar 5 - 6 orang
dan tenaga kerja sortasi dan pembersihan sekitar 20 - 30 HOK per hari.

e. Proses Produksi
Proses produksi serat sabut kelapa secara garis besar dapat dilihat pada
Grafik 4.1.
1. Persiapan Bahan
Pada tahap persiapan, sabut kelapa yang utuh dipotong membujur
menjadi sekitar lima bagian, kemudian bagian ujungnya yang keras
dipotong. Sabut tersebut kemudian direndam selama sekitar 3 hari
sehingga bagian gabusnya membusuk dan mudah terpisah dari seratnya,
dan kemudian ditiriskan. Praktek proses produksi yang dilakukan oleh
pengusaha kecil di lokasi studi tidak melaksanakan tahap persiapan
bahan, akan tetapi sabut kelapa langsung diproses.
2. PelunakanSabut
Pelunakan sabut secara tradisionil dilakukan manual, yaitu dengan cara
memukul sabut dengan palu sehingga sabut kelapa menjadi lebih terurai.
Pada tahap ini sudah dihasilkan hasil samping berupa butiran gabus.
Secara modern, pelunakan sabut dilakukan dengan menggunakan mesin
pemukul yang disebut mesin double cruiser atau hammer mill. Seperti
halnya dengan tahap perendaman, usaha kecil di lokasi studi tidak
melaksanakan tahap pelunakan sabut ini, akan tetapi sabut langsung
dimasukkan ke dalam mesin pemisah serat (defifibring machine).
3. Pemisahan Serat.
Pada tahap ini, sabut kelapa dimasukkan ke dalam mesin pemisah serat
untuk memisahkan bagian serat dengan gabus. Komponen utama mesin
pemisah serat atau defifibring machine adalah silinder yang
permukaannya dipenuhi dengan gigi-gigi dari besi yang berputar untuk
memukul dan "menggaruk" sabut sehingga bagian serat terpisah. Pada
tahap ini dihasilkan butiran-butiran gabus sebagai hasil samping.
4. Sortasi/Pengayakan
Pada tahap ini bagian serat yang telah terpisah dari gabus dimasukkan ke
dalam mesin sortasi untuk memisahkan bagian serat halus dan kasar.
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 13
Mesin sortasi atau pengayak (refaulting screen) adalah berupa saringan
berbentuk cone yang berputar dengan tenaga penggerak motor. Sortasi
dan pengayakan juga dilakukan pada butiran gabus dengan
menggunakan ayakan atau saringan yang dilakukan secara manual,
sehingga dihasilkan butiran-butiran halus gabus.
5. Pembersihan dan Pengeringan.
Tahap pembersihan dilakukan untuk memisahkan bagian gabus yang
masih menempel pada bagian serat halus yang telah terpisah dari bagian
serat kasar. Tahap ini dilakukan secara manual. Tergantung kepada
tingkat kekeringan serat dan butiran gabus, proses pengeringan dilakukan
dengan cara penjemuran atau dengan menggunakan mesin pengering.
6. Serat sabut kelapa yang sudah bersih dan kering kemudian dipak
dengan menggunakan alat press.
Ukuran kemasan adalah sekitar 90 x 110 x 45 cm. Secara tradisional,
pemadatan serat dilakukan secara manual dengan cara diinjak yang
menghasilkan bobot setiap kemasan hanya sekitar 40 Kg. Dengan
menggunakan mesin press bobot setiap kemasan mencapai sekitar 100
Kg. Khusus untuk bagian butiran gabus, wadah kemasan adalah karung,
dan setiap kemasan menampung sekitar 100 lt. Pada tingkat usaha kecil
pemadatan butiran gabus dengan menggunakan alat press tidak
dilakukan.
f. Jenis dan Mutu Produksi
Jenis produk yang dihasilkan dari industri pengolahan serat dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu : (1) Serat Sabut Kelapa (Gambar 4.1) dan
(2) Butiran Gabus.
Mutu serat sabut kelapa atau Coconut Fibre, ditentukan oleh warna,
persentase kotoran, kadar air, dan proporsi antara bobot serat panjang dan
serat pendek. Spesifikasi mutu produk serat yang diekspor oleh salah satu
perusahaan eksportir di Jakarta adalah:
1. Kadar air < 10 %
2. Kandungan gabus: < 5 %
3. Panjang serat ( 2- 10 cm) 30 %
4. Panjang serat (10 - 25 cm) 70 %
5. Ukuran Bale 70 x 70 x 50 cm
6. Bobot /Bale 50 Kg /Bale

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 14

Gambar 4.1. Produk Coco Fiber (Serat Sabut Kelapa)
Butiran gabus yang dikenal dalam perdagangan sebagai Coconut Peat
mutunya ditentukan oleh kandungan benda asing, ukuran butiran, kadar air,
dan kandungan mineral. Spesifikasi mutu Coconut Peat yang diekspor oleh
salah satu perusahaan eksportir di Jakarta adalah sebagai berikut :
1. Tidak mengandung kandungan kimia
2. Bebas dari weed dan seeds
3. Kadar air <20 %
4. pH 5,98
5. EC 0,60 mS/cm
6. NaCl 0.54%
7. NH4 0.08%
8. Ca: 0.45%
9. SO4: 0.00%
10. P: 0.00%
h. Produksi Optimum

Berdasarkan hasil studi kasus untuk industri serat sabut kelapa di wilayah
Kabupaten Ciamis, tingkat produksi maksimum serat sabut kelapa terutama
ditentukan oleh kapasitas mesin pemisah serat dan mesin sortasi / pengayak
serta jam kerja mesin atau jumlah shift kerja. Seperti halnya industri
manufaktur yang lain, maka kapasitas mesin pada setiap tahapan atau
rangkaian proses produksi harus seimbang (balance). Pada kasus usaha
industri kecil serat sabut kelapa di Kabupaten Ciamis, rata-rata kapasitas
mesin maksimum adalah berkisar 400 - 600 kg serat per hari (@ 8
jam/hari). Pada kondisi kapasitas tersebut usaha menjadi tidak
menguntungkan dan tidak layak jika tingkat produksi berada di bawah 350
kg serat per hari dengan parameter teknis dan biaya adalah tetap. Semakin
besar tingkat produksi sampai batas maksimum kapasitas mesin, maka
tingkat keuntungan dan kelayakan usaha semakin baik.


Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 15
i. Kendala dan Hambatan

Berdasarkan hasil studi kasus di wilayah Kabupaten Ciamis, tidak ada
kendala dan hambatan yang dihadapi pada segi bahan baku. Kendala dan
hambatan yang sering dihadapi adalah dari segi kinerja (performance) mesin
produksi dan mesin penggerak. Hambatan tersebut adalah jika terjadi
kerusakan mesin sehingga jumlah produksi tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Kinerja mesin menyebabkan kualitas produk dari segi panjang
dan kebersihan serat yang tidak dapat memenuhi standar kualitas untuk
ekspor. Selain panjang dan kebersihan serat, tingkat kekeringan juga
merupakan salah satu kriteria kualitas yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha
kecil, yang disebabkan kendala modal untuk pengadaan mesin pengering.
Selain itu, tidak dimilikinya mesin "press" menyebabkan mahalnya ongkos
untuk transportasi produk, yang dapat membatasi alternatif pemasaran
produk bagi usaha kecil.

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 16
5. Aspek Keuangan

a. Komponen Biaya
Analisa aspek keuangan diperlukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari
sisi keuangan, terutama kemampuan pengusaha untuk mengembalikan
kredit yang diperoleh dari bank. Analisa keuangan ini juga dapat
dimanfaatkan pengusaha dalam perencanaan dan pengelolaan usaha industri
pengolahan serat sabut kelapa.
Perhitungan aspek keuangan terdiri dari dua skenario berdasarkan
kelengkapan alat dan proses yang digunakan, yang berimplikasi kepada total
kebutuhan dana, kapasitas, kualitas dan harga produk serta jangkauan
pasar. Skenario teknologi -1, usaha dilengkapi dengan mesin pengering dan
mesin pengepress, dengan kapasitas usaha yang lebih besar yaitu 1500 kg
serat per hari. Pada skenario -2, pengeringan dengan cara penjemuran dan
pengepressan dilakuan secara manual. Teknologi-2 yang sederhana ini
sebagian besar diterapkan oleh usaha kecil di daerah penelitian (Kabupaten
Ciamis). Ke dua skenario tersebut menggunakan sumber kredit yang sama,
dengan tingkat bunga 24% per tahun.
Untuk penyusunan dan proyek kelayakan usaha diperlukan adanya beberapa
asumsi mengenai parameter teknologi proses maupun biaya. Asumsi ini
diperoleh berdasarkan kajian terhadap usaha industri serat sabut kelapa di
daerah penelitian serta informasi yang diperoleh dari pengusaha dan
pustaka. Asumsi tersebut disajikan pada Tabel 5.1.
Komponen biaya usaha industri pengolahan mencakup biaya investasi dan
biaya operasi usaha. Biaya investasi mencakup (1) pengadaan alat dan
mesin, (2) bangunan, dan (3) modal kerja. Modal kerja direncanakan untuk
kebutuhan dana operasi selama 4 bulan. Perincian kebutuhan biaya investasi
dan biaya operasi usaha yang dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya
tidak tetap dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Pada Tabel 5.2 disajikan
total kebutuhan biaya untuk setiap skenario rencana usaha.
b. Pendapatan
Pendapatan usaha industri serat sabut kelapa diperoleh dari produk utama,
yaitu serat dan hasil samping berupa gabus yang dikenal sebagai Coco Peat.
Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama
usaha beroperasi pada kapasitas 80% dan pada tahun kedua kapasitas 90%,
dan pada tahun ke tiga dan seterusnya beroperasi pada kapasitas 100%.
Perincian tentang rencana produksi, penerimaan dan proporsi penerimaan
usaha selama umur proyek disajikan pada Lampiran 3.
Pada skenario teknologi -1, kelengkapan mesin dan peralatan menyebabkan
usaha diproyeksikan mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 17
dapat diterima atau dipasarkan langsung ke konsumen industri pengguna
atau eksportir. Pada skenario teknologi -2, teknologi yang sederhana
menyebabkan produk yang dihasilkan tidak mempunyai mutu yang dapat
diterima langsung oleh industri pengguna atau eksportir. Perbedaan skenario
teknologi berimplikasi kepada biaya produksi dan harga produk dengan
proyeksi pendapatan dan keuntungan yang dapat dilihat pada Lampiran 4 .
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Lampiran 4, secara garis besar
proyeksi pendapatan dan keuntungan/kerugian usaha dapat dilihat pada
Tabel 5.3.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 5.3 serta Lampiran 4, keuntungan usaha
industri pengolahan serat sabut kelapa dengan teknologi proses yang lebih
baik dan pemasaran langsung ke industri pengguna atau eksportir
memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi
yang lebih sederhana (Teknologi-2).
c. Arus Kas

Proyeksi arus kas dengan pengelolaan dana pembiayaan dari Bank maupun
Dana Milik Sendiri menunjukkan bahwa industri sabut serat kelapa dapat
mengembalikan kewajiban kepada Bank. Kedua skenario teknologi
menunjukkan tidak terjadinya defisit anggaran selama umur proyek, dan
telah berhasil mengembalikan pinjaman pada akhir tahun ke-lima. Seluruh
modal yang ditanamkan pada usaha telah dapat dikembalikan pada tahun
ke-4. Secara rinci, proyeksi aliran kas dapat dilihat pada Lampiran 5.
d. Evaluasi Profitabilitas dan Analisa Sensitivitas
Berdasarkan asumsi-asumsi yang dikemukakan pada Lampiran 1 dan
Lampiran 2, serta berdasarkan proyeksi aliran kas, indikator-indikator
profitabilitas usaha industri serat sabut kelapa untuk ke-dua skenario
teknologi dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. menunjukkan bahwa usaha
industri serat sabut kelapa adalah layak secara finansial. Apabila
dibandingkan antara skenario teknologi-1 dan teknologi-2, informasi yang
disajikan pada Tabel 5.4 menunjukkan bahwa perbaikan kualitas dan
peningkatan kapasitas usaha melalui kelengkapan mesin/peralatan proses
memberikan kelayakan yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi
sederhana.
Penambahan investasi sebanyak 4 (empat) kali lipat dibandingkan dengan
teknologi-2 memberikan Net Present Value sekitar 5 (lima) kali lipat
dibandingkan teknologi -2. Hal ini berarti bahwa korbanan penambahan
investasi mesin/peralatan serta peningkatan biaya operasi menghasilkan
manfaat keuangan yang lebih baik. Rata-rata Nilai Titik Impas untuk kedua
skenario teknologi yang sekitar 30 persen menunjukkan bahwa usaha
industri serat sabut kelapa ini masih mampu memberikan keuntungan,
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 18
walaupun volume penjualan/produksi turun menjadi sekitar 30% dari
kapasitas normal.
Analisa sensitivitas usaha dilakukan dengan mencoba menurunkan harga jual
produk, kenaikan biaya variabel dan biaya tetap masing-masing sebesar 10
persen. Hasil analisis seperti ditunjukkan data pada Tabel 5.4. menyatakan
bahwa usaha ini sangat sensitif terhadap perubahan harga jual produk.
Apabila dibandingkan antara skenario teknologi-1 dan teknologi-2, maka
usaha industri dengan teknologi - 2 relatif sangat rentan terhadap perubahan
kondisi usaha, yang dalam hal ini adalah harga jual, biaya variabel dan biaya
tetap. Persentase perubahan indikator-indikator kelayakan usaha akibat
perubahan harga jual dan biaya usaha dapat dilihat pada Lampiran 6.
Analisa sensitivitas juga dilakukan terhadap proporsi produk coco peat yang
dapat dipasarkan. Hal ini perlu dilakukan mengingat informasi dan estimasi
kebutuhan dan permintaan terhadap produk coco peat yang relatif lebih
terbatas dibandingkan produk coco fiber.
Hasil analisa menunjukkan bahwa usaha tetap layak apabila volume
penjualan coco peat untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga dan seterusnya
masing-masing hanya sebesar 50%, 70% dan 80%. Akan tetapi untuk
skenario kedua usaha tetap layak apabila proporsi hasil penjualan coco peat
untuk tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya hanya sebesar 70%,
80% dan 90%.
e. Hambatan dan Kendala
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh industri serat sabut kelapa ini dari
aspek keuangan menyangkut aspek arus kas masuk dan keluar keuangan.
Pada aspek arus kas masuk adalah terjadinya penundaan pembayaran hasil
penjualan produk yang menyebabkan akumulasi keuntungan usaha tidak
dapat membiayai operasi usaha selama masa penundaan pembayaran.
Walaupun demikian hambatan dan kendala ini dapat di atasi apabila
pengusaha mempunyai "track record" yang baik di mata perbankan,
sehingga dapat diatasi melalui kredit modal kerja yang dapat disediakan oleh
perbankan. Pada aspek arus kas masuk, khususnya yang menyangkut
dengan kebutuhan modal investasi, kendala yang dihadapi oleh pengusaha
kecil adalah pada aspek administrasi dan persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh kredit dari perbankan. Di samping itu, hambatan dan
kendala akan dihadapi oleh pengusaha dalam memperoleh kredit apabila
perbankan belum mempunyai informasi yang lengkap tentang kelayakan dan
prospek usaha ini, serta pengusaha atau calon pengusaha yang akan
berinvestasi pada industri serat sabut kelapa ini belum pernah menjadi
nasabah bank.
Pada aspek arus kas keluar, tidak ada hambatan dan kendala pada aspek
keuangan apabila penurunan harga jual dan kenaikan biaya operasi masih di
dalam kisaran yang dimungkinkan untuk kelayakan finansial. Simulasi
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 19
terhadap aspek finansial menunjukkan bahwa usaha ini akan menghadapi
masalah finansial jika terjadi kenaikan biaya usaha lebih dari 40% atau
penurunan harga jual produk mencapai lebih dari 25%.

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 20
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan

a. Aspek Sosial Ekonomi
Manfaat Sosial Ekonomi
Bahan baku sabut kelapa merupakan hasil samping dari industri pengolahan
kopra atau petani / pedagang buah kelapa. Keberadaan industri pengolahan
serat ini menjadikan hasil samping sabut kelapa memberikan nilai ekonomis
yang lebih baik, sehingga meningkatkan pendapatan petani/pedagang buah
kelapa. Pemanfaatan sabut kelapa sebagai bahan baku industri sehingga
menjadi komoditi perdagangan menyebabkan terbukanya kesempatan kerja
baru, yaitu dalam bentuk adanya pedagang pengumpul sabut kelapa serta
usaha jasa transportasi.
Karakteristik usaha kecil industri pengolahan sabut kelapa secara umum
tidak sepenuhnya menggunakan mesin / peralatan dalam proses
produksinya, khususnya pada tahap pembersihan, penyaringan dan
pengeringan. Pada kondisi teknologi produksi tersebut, usaha ini
membutuhkan tenaga kerja paling sedikit sekitar 20 - 30 HOK, dengan jam
kerja sekitar 6 - 8 jam per hari.
Manfaat Regional
Secara umum keberadaan dan pengembangan industri serat sabut kelapa
memberikan dampak yang positif bagi wilayah. Terbukanya peluang kerja
serta peningkatan pendapatan masyarakat dan sekaligus peningkatan
pendapatan daerah merupakan dampak positif bagi pengembangan industri
serat sabut kelapa.
Serat sabut kelapa merupakan komoditi ekspor, sehingga akan memberikan
kontribusi bagi pendapatan devisa negara dan sekaligus juga menghemat
devisa. Oleh karena serat sabut kepala merupakan bahan baku bagi industri
matras, jok mobil, tali dan lain-lain, maka pengembangan industri ini dapat
mendorong berkembangnya industri pengguna serat sabut kelapa.
b. Dampak Lingkungan
Industri pengolahan serat sabut kelapa tidak menghasilkan limbah cair
maupun gas. Limbah yang terjadi adalah dalam bentuk fisik, yaitu berupa
hasil samping gabus sabut kelapa dalam jumlah atau volume yang besar.
Setiap 1000 butir sabut kelapa yang diproses akan menghasilkan sekitar 100
- 125 liter butiran gabus. Akan tetapi, hasil samping butiran gabus atau Coco
Peat ini masih mempunyai nilai ekonomi, dalam pengertian dapat dijual
apabila dilakukan proses penyaringan dan pengeringan serta dengan
teknologi pengemasan sehingga memenuhi persyaratan mutu yang
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 21
dikehendaki konsumen. Coco Peat dapat digunakan sebagai media tanam
antara untuk tanaman jamur.
Gabus sabut kelapa dalam bentuk debu dari proses pemisahan dan sortasi
serat berpotensi terhadap kesehatan tenaga kerja, apabila tenaga kerja tidak
dilengkapi dengan pelindung atau masker. Akan tetapi karena ukuran
partikelnya yang relatif besar, maka debu gabus kelapa ini tidak memberikan
dampak yang negatif terhadap lingkungan sekitarnya.
Industri pengolahan serat memberikan dampak lingkungan fisik yang positif
oleh karena dapat mengurangi limbah sabut kelapa sebagai hasil samping
dari kegiatan usaha perdagangan buah kelapa dan usaha pengolahan kopra.

Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 22
7. Penutup

a. Kesimpulan

1. Industri pengolahan serat sabut kelapa merupakan industri yang
berpotensi untuk dikembangkan, dengan sumber bahan baku sabut
kelapa yang sangat berlimpah yaitu sekitar 1,7 juta ton. Indonesia
masih belum memanfaatkan secara optimal potensi sabut kelapa
untuk dijadikan serat sabut kelapa yang mempunyai nilai ekonomis
sebagai komoditi perdagangan dan bahan baku industri.
2. Serat sabut kelapa dan hasil sampingnya berupa butiran gabus kelapa
(coco peat) merupakan salah satu komoditi yang mempunyai pasar
yang cukup potensial baik untuk pasar domestik maupun pasar
ekspor. Kebutuhan dunia terhadap serat sabut kelapa adalah sekitar
75,7 ribu ton, dan kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan serat
sabut kelapa dunia masih sangat kecil. Serat dan butiran gabus sabut
kelapa mempunyai keunggulan komparatif ditinjau dari aspek
karakteristik fisika-kimia yang tidak dapat digantikan oleh produk
sintetis, dan mempunyai prospek untuk produk industri yang
berorientasi ramah lingkungan. Industri serat sabut kelapa Indonesia
menghadapi persaingan dengan negara produsen serat yang telah
lebih maju dari segi teknologi dan pasar, yaitu antara lain Srilanka,
India, dan Thailand.
3. Pengembangan usaha industri serat sabut kelapa memberikan manfaat
yang positif baik dari aspek sosial ekonomi, wilayah maupun
lingkungan.
4. Teknis produksi serat sabut kelapa relatif sederhana dan dapat
diusahakan oleh usaha kecil, dengan kebutuhan modal investasi yang
masih terjangkau untuk usaha kecil / menengah. Terdapat dua
alternatif teknologi industri yang dapat dilaksanakan, yaitu teknologi
sederhana dan teknologi yang lebih maju dari segi peralatan produksi
yang digunakan, yang keduanya secara finansial adalah laik. Kredit
investasi dapat dikembalikan pada tahun ke-6, dan selama umur
proyek usaha industri serat sabut kelapa tidak mengalami defisit aliran
kas.
5. Secara finansial industri serat sabut kelapa dengan mesin/peralatan
yang lengkap memberikan indikator-indikator kelayakan yang lebih
baik dibandingkan dengan aplikasi teknologi yang sederhana.
Peningkatan kebutuhan modal investasi yang empat kali lebih besar
(Rp. 530 juta) dibandingkan kebutuhan modal investasi dengan
teknologi sederhana (Rp, 138,6 juta) memberikan manfaat NPV yang
lima kali lebih besar (Rp. 608 juta) dibandingkan teknologi sederhana
(Rp.127 juta), selama 15 tahun umur proyek.
6. Pada tingkat suku bunga 24 % per tahun, usaha industri pengolahan
serat sabut kelapa pada skala 600 kg serat per hari adalah layak
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 23
berdasarkan indikator kelayakan finansial, yaitu NPV= Rp
126.572.975; IRR = 55,44 %; B/C rasio = 2,10, masa pengembalian
modal 3,5 tahun dan profit on sale sebesar 28 %. Untuk skala usaha
1500 kg serat per hari dengan mesin produksi yang lebih lengkap
mempunyai indikator kelayakan yang lebih baik, yaitu NPV= Rp
607,826,671; IRR = 55,08 %; B/C rasio = 2,15 masa pengembalian
modal 3,5 tahun dan profit on sale sebesar 32 %.
7. Investasi usaha industri sabut kelapa bersifat sangat sensitif terhadap
harga jual produk, dan dibandingkan dengan perubahan harga,
industri ini relatif kurang sensitif terhadap perubahan atau kenaikan
biaya operasi.
b. Saran

1. Berdasarkan potensi bahan baku, prospek pasar, tingkat teknologi
proses, dan aspek finansial, disarankan Bank dapat memberikan kredit
untuk pengembangan usaha industri serat sabut kelapa ini, khususnya
terhadap usaha kecil dan menengah.
2. Untuk menjamin kelancaran pengembalian kredit, pihak perbankan
seyogyanya juga turut berpartisipasi dalam pembinaan usaha ini,
khususnya pada aspek pemasaran, antara lain dalam bentuk
dukungan pelayanan dan informasi untuk perluasan pasar ekspor.
3. Usaha kecil industri serat sabut kelapa perlu dibina untuk
mengembangkan jaringan kerja usaha dalam bentuk wadah asosiasi
atau koperasi sehingga secara agregat mempunyai skala dan kapasitas
usaha yang dapat memenuhi kontrak dagang dalam jumlah besar,
khususnya untuk tujuan ekspor. Kelembagaan dalam bentuk asosiasi
atau koperasi yang menampung dan memproses lebih lanjut hasil
produksi anggota sehingga memenuhi persyaratan mutu yang
diinginkan pasar perlu dibentuk. Untuk itu asosiasi atau koperasi ini
perlu memperoleh fasilitas kredit untuk melengkapi fasilitas mesin
pengering dan mesin pengepress.
Bank Indonesia Industri Serat Sabut Kelapa 24



















LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai