Anda di halaman 1dari 15

Shock Hipovolemik karena Perdarahan

Internal
Deffina Widjanarko
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Alamat Korespondensi:
Deffina Widjanarko, Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl.
Terusan Arjuna no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat
11510. E-mail: deffin4@hotmail.com

PENDAHULUAN

Syok adalah sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik
yang ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yanga dekuat
organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius
seperti, perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar berat (syok hipovolemik), infark
miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol
(syok septic), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun
(syok anafilaktik).
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling
sering menyebabkan syok hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang
cepat (syok hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan
gastrointestinal yang berat.

ISI
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung atau tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah
mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud
adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien. Selain itu, tujuan lainnya
yang tidak kalah penting adalah membina hubungan antara dokter dan pasien yang professional
dan optimal. Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:
1
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi, budaya

Riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab dan untuk penanganan langsung.
Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, biasanya pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan
menggali beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu
misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, atau gangguan kompartemen pada
pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
2
Pada pasien trauma, dapat ditanyakan pertanyaan pertanyaan mengenai kejadian
trauma, melalui auto atau aloanamnesis kepada pengantar atau orang yang berada di tempat
kejadian:
3

Apakah korban sadar, atau pingsan saat terjadi kecelakaan (status mental korban)
Apakah korban muntah saat terjadi trauma atau saat transportasi
Kerusakan yang terjadi pada kendaraan
Apakah terjadi kesulitan saat mengevakuasi pasien
Apakah terdapat korban yang meninggal
Apakah korban terlontar dari kendaraan
Penggunaan alat keamanan, seperti helm, safety belt
Penggunaan alcohol atau obat obatan
Adanya cedera pada kepala atau tulang belakang
Adanya perubahan status mental

Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik selalu harus dimulai dengan penilaian jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Setelah ini telah dievaluasi dan stabil, sistem peredaran darah harus dievaluasi tanda-
tanda dan gejala shock. Jangan mengandalkan BP sistolik sebagai indikator utama shock; hal ini
menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan yang signifikan
pada BP sistolik sampai pasien telah kehilangan 30% dari volume darah. Perhatian lebih harus
ditujukan kepada nadi, laju pernafasan, dan perfusi kulit. Selain itu, pasien yang memakai beta-
blocker tidak mungkin hadir dengan takikardia, terlepas dari tingkat shock.
3


Kepala. Semua pasien trauma harus diperiksa kesadarannya sesuai dengan Glasgow coma scale
(GCS). Penilaian diambil dari skor untuk kemampuan membuka mata, berbicara, dan bergerak.
Skor maksimal GCS adalah 15. Skor 13-15 mengindikasikan cedera kepala ringan, skor 9-12
mengindikasikan cedera kepala sedang, dan skor 3-8 mengindikasikan cedera kepala berat.
Pada akhirnya, wajah dan kepala perlu di palpasi secara keseluruhan secara sistematis
untuk mencari fraktur. Semua pasien dengan closed-head injury yang signifikan (GCS <14)
perlu menjalani CT scan.
5,6


Leher. Untuk mengevaluasi leher dari pasien dengan blunt-trauma, perhatian perlu difokuskan
pada tanda dan gejala dari cedera spinal yang tersembunyi. Karena akibat terburuk dari cedera
spinal yang mungkin terjadi adalah quadriplegia, semua pasien harus diduga mengalami cedera
servikal sampai pada akhirnya terbukti tidak. Keberadaan nyeri di midline posterior perlu
diperiksa lebih lanjut dengan radiografi. Sayangnya, radiografi tidak dapat mendeteksi cedera
pada ligamen servikal. Oleh sebab itu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan meminta pasien
untuk menggerakan kepalanya (fleksi dan ekstensi) sendiri tanpa disentuh siapapun, dengan
asumsi bahwa pasien tidak mungkin melukai dirinya sendiri.
5,6


Dada. Blunt trauma pada dada dapat melibatkan dinding dada, thoracic spine, jantung, paru-
paru, thoracic aorta, pembuluh-pembuluh darah besar, dan sangat jarang melibatkan esofagus.
Pasien dengan kebocoran udara yang banyak setelah tindakan torakostomi dan mereka yang
kesulitan dalam ventilasi harus menjalani bronkoskopi untuk menilai adanya robekan pada
bronkus atau benda asing. Perlu juga diperhatikan apakah ada segmen dinding dada yang
bergerak secara paradoksal (kedalam saat inspirasi dan keluar saat ekspirasi), merupakan indikasi
flail chest. Auskultasi diperlukan untuk menilai suara napas pasien. Palpasi juga diperlukan
untuk menilai apakah ada nyeri, krepitasi, atau deformitas dari dinding dada.
5,6


Abdomen. Secara umum, pemeriksaan fisik abdomen tidak dapat dijadikan modalitas utama
untuk menentukan apakah ada cedera organ dalam atau tidak. Diagnosis untuk trauma abdomen
hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan radiologis. Namun perut bagian depan dan belakang
harus diobservasi secara teliti apabila ada goresan, robekan, hematom, atau jejas-jejas yang lain,
dan apabila terlihat bertambah kembung atau tidak. Jika tampak peningkatan distensi abdominal,
maka pasien perlu segera dirujuk untuk menjalani operasi untuk eksplorasi organ viscera. Palpasi
dinding abdomen dapat dimanfaatkan untuk menilai adanya dan menentukan tempat dari nyeri,
baik nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas, serta tenderness. Bila sampai
terjadi suatu defans muskuler dan nyeri tekan seluruh perut mungkin sudah terjadi peritonitis
yang merupakan indikasi laparotomi. Pada auskultasi perlu diperhatikan keberadaan bising usus
dan bruit (pendarahan). Jika bising usus hilang, kemungkinan besar karena ileus yang disebabkan
pendarahan intraabdominal.
5,6


Ekstremitas. Inspeksi pada ekstremitas bertujuan untuk menilai apakah ada deformitas,
pembengkakan, pendarahan, atau posisi yang tidak tepat. Palpasi digunakan untuk melokalisasi
nyeri dan menilai apakah ada saraf atau pembuluh darah yang rusak. Auskultasi dapat dilakukan
untuk menilai aliran darah pada pembuluh besar di ekstremitas. Temuan fisik diklasifikasikan
menjadi hard signs dan soft signs. Secara umum, hard signs merupaka indikasi dilakukannya
operasi, sedangkan soft signs mengindikasikan pemeriksaan penunjang lainnya. Yang termasuk
dalam hard signs adalah pulsatile hemorrage, pendarahan signifikan, thrill atau bruit, dan
iskemia akut. Sedangkan soft sign adalah pemendekan, pendarahan minor, hematoma kecil, dan
cedera saraf pada ekstremitas yang mengalami trauma.
5,6


Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete
Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT,
APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma). Darah sebaiknya ditentukan
tipenya dan dilakukan pencocokan agar memudahkan bilamana diperlukan darah.
Pasien dengan hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi
intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. Pasien trauma dengan syok
hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai
terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya
dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak
dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan
(biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.
4


Diagnosis
Kerja
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling
sering menyebabkan syok hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang
cepat (syok hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan
gastrointestinal yang berat. Syok hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan cairan yang
signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan,
antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
2,4

Kelas perdarahan ditetapkan berdasarkan persentase volume kehilangan darah. Namun,
perbedaan antara kelas-kelas pada pasien hipovolemik sering kurang jelas. Pengobatan harus
agresif dan lebih diarahkan oleh respon terhadap terapi dibandingkan dengan klasifikasi awal.
4

Kelas I perdarahan (hilangnya 0-15%)
Dengan tidak adanya komplikasi, hanya takikardia minimal terlihat.
Biasanya, tidak ada perubahan pada BP, tekanan nadi, atau tingkat pernapasan terjadi.
Keterlambatan dalam kapiler isi ulang yang lebih lama dari 3 detik sesuai dengan
kehilangan volume sekitar 10%.
Kelas II perdarahan (hilangnya 15-30%)
Gejala klinis termasuk takikardia (tingkat> 100 denyut per menit), tachypnea, penurunan
tekanan nadi, kulit lembap dingin, tertunda kapiler isi ulang, dan sedikit kecemasan.
Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari tingkat Katekholamin meningkat, yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan peningkatan berikutnya
dalam BP diastolik.
Kelas III perdarahan (hilangnya 30-40%)
Pada saat ini, pasien biasanya sudah ditandai tachypnea dan takikardia, penurunan
tekanan darah sistolik, Oliguria, dan perubahan signifikan dalam status mental, misalnya
kebingungan atau agitasi.
Pada pasien tanpa cedera lain atau kerugian cairan, 30-40% adalah jumlah terkecil
kehilangan darah yang secara konsisten menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
Sebagian besar pasien membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk mengelola
darah harus didasarkan pada respon awal untuk cairan.
Kelas IV perdarahan (kehilangan> 40%)
Gejala meliputi: takikardia ditandai, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi
menyempit (atau tekanan diastolik beragam), nyata menurun (atau tidak ada output) urin,
depresi mental status (atau kehilangan kesadaran), dan dingin dan kulit pucat.
Ini jumlah perdarahan langsung mengancam kehidupan.

Class I Class II Class III Class IV
Blood loss
mL
%

<750
<15%

750-1500
15-30%

>1500-2000
>30-40%

>2000
> 40%
Heart Rate
(beat/min)
<100 >100 >120 >140
Systolic
blood
pressure
Normal Normal Decreased Decreased
Pulse
pressure
Normal Decreased Decreased Decreased
Capillary
refill time
Delayed Delayed Delayed Delayed
Respiratory
rate/min
14-20 20-30 30-40 >35
Urine output
(ml/h)
>30 20-30 5-15 <5
Mental
Status
Slightly
anxious
Anxious Confused Confused and
lethargic
Tabel 1. Derajat Keparahan Syok Hipovolemik
3


Banding
Shock adalah diagnosis klinis, jadi tidak ada diagnosis bandingnya. Diagnosis
bandingnya hanya terhadap penyebab dar shock. Diagnosis shock pada stadium dini sangat
penting untuk berhasilnya suatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu
sangat penting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya shock pada penderita
dengan resiko tinggi. Pada penderita pada resiko tersebut kita lakukan pemantauan yang lebih
ketat sehingga dapat dilakukan tindakan yang lebih dini bila terdapat tanda-tanda shock.
4

Manifestasi klinis tergantung pada:
- Penyakit primer penyebab shock
- Kecepatan dan jumlah cairan yang hilang
- Lama nya syok serta kerusakan jaringan yang terjadi
- Tipe dan stadium renjatan
Infromasi
Diagnostic
Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik
(Hyperdynamic
State)
Gejala dan
tanda
Pucat; kulit
dingin,
Basah;
takikardi;
Oliguri,
hipotensi;
peningkatan
resistensi
perifer
Kulit basah,
dingin; taki-
dan
bradiaritmia;
oliguri;
hipotensi;
peningkatan
resistensi
perifer
Kulit hangat, denyut
jantung
normal/rendah,
normo/oliguri,
hipotensi,
penurunan resistensi
perifer
Demam, kulit teraba
hangat, takikardi,
oliguri, hipotensi,
penurunan resistensi
perifer.
Data
laboratorium
Hematokrit
rendah ( fase
akhir)
Enzim
jantung, EKG
Normal Hitung neutrofil,
pengecatan gram,
kultur
Tabel 2. Perbedaan Antar Syok
4


Etiologi
Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma termasuk
kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud dapat berupa trauma
tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti
trauma tumpul abdomen (ruptur hepar,spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma
tumpul dada (seperti pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade). Ruptur
anuerisme aorta dan perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab kedua tersering dari syok
hipovolemik.
4,7

Penyebab syok hipovolemik non trauma termasuk diabetes mellitus yang tidak terkontrol
dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan tubuh yang banyak
melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare, dan luka bakar dapat menimbulkan kehilangan cairan
plasma.

Causes of Hypovolemic Shock
Kehilangan Darah Internally- rupture of vessels, spleen,
liver, extrauterine pregnancy
Externally- Trauma, gastrointestinal,
pulmonary,renal blood loss
Kehilangan Plasma Burn Wound, gastrointestinal losses
(diarrhea, ileus, pancreatitis)
Kehilangan Cairan dan Elektrolit Gastrointestinal and renal losses
(uncontrolled diabetes mellitus,
adrenocortical insufficiency)
Tabel 3. Penyebab Syok Hipovolemik
4


Terkadang hemoptisis massive yang timbul akibat dari suatu tumor, tuberculosis, fungal
infection atau bronkietasis dapat menjadi penyebab syok hipovolemik. Kehilangan darah
merupakan penyebab yang esensial dari syok hipovolemik namun trauma itu sendiri
menyebabkan pelepasan dari mediator inflamasi yang menyebabkan perburukan syok.

Manifestasi Klinis
Syok hipovolemik membutuhkan diagnosa dini untuk mencegah keterlambatan terapi.
Resusitasi cairan intravena harus segera diberikan dengan kanul besar. Perjalanan klinis pasien
dengan syok hipovolemik ditentukan oleh penyebab syok tersebut. Pasien dapat mengeluhkan
haus, diaphoresis, dan nafas yang pendek dan dangkal. Kesadaran umumnya tidak terganggu
kecuali pada syok berat pasien dapat menjadi apatis.
4

Diagnosa klinis untuk syok yaitu hipotensi dan gejala klinis dari iskemia organ. Tanda
klinis pasien syok dapat dikenali dari penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
atau penurunan darah lebih dari 40 mmHg dibawah presyok level dengan nadi yang lemah. Pada
syok hipovolemik dapat ditandai dengan orthostatik hipotensi, postural dizziness, takikardi dan
hipotensi adalah gejala dan tanda awal dari syok hipovolemik. Gejala lainnya yang dapat timbul
yaitu mukosa membrane yang kering, penurunan turgor kulit, takipneu, oliguria, sianosis perifer,
supine hipotensi dan gejala klinis lainnya yang mungkin timbul tidak mempunyai nilai
diagnostik bermakna. Tingkat keparahan pada syok hipovolemik akibat perdarahan dapat
dikelompokkan berdasarkan tanda dan gejala klinis seperti yang tertera pada tabel 3.
4


Tatalaksana
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara
lain:
4,7,8

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen, dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,
peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien
sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu
Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika
terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang
mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar
dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang
berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan
sebaiknya dihindari.
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan
bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung
dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan
diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat
ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena
sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena
sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun
dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya
adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah
secara berkala dan juga analisa gas darah.
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid
isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang
dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah
kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk
dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan
dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak
ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-)
harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan
komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan
cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur,
terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang
bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah
kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi.
2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi
bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan
sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah.
Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat
diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan
untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera
dibawa di ruang operasi.
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker
dapat digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti
hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus
dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak
terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya
pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus
peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera
yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan
pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya,
ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta
abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat
karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
3. Resusitasi Cairan.
Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium (crossmatch,
hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis gas darah dan pH,
laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau
ventilasi (PO
2
> 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).
Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 3:1. Bila
kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara kehilangan
darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam pemberian
konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama terapi syok
hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian volume
intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke
jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar
sering perlu dilakukan transfusi darah.
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan
menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus
merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan
perawatan pasien.

Penanganan Primer
Airway. Penentuan adanya jalan nafas yang adekuat merupakan prioritas utama dalam
penanganan primer. Maneuver yang digunakan pada pasien trauma harus mempertimbangkan
kemungkinan adanya trauma cervical. Jika dimungkinkan, foto lateral dari tulang cervical dapat
diambil sebelum melakukan intubasi. Pada foto radiografi, perlu nampak ketujuh vertebra untuk
dapat menapis adanya cedera. Jika kegagalan ventilasi terjadi, dan jalan nafas adekuat tidak
dapat tercapai melalui intubasi orotrakeal atau nasotrakeal, cricotiroidotomi harus dilakukan
secepatnya.
3

Pada umumnya, pasien dengan keadaan sadar dan suara yang normal tidak diperlukan
evaluasi lanjutan atau perhatian khusus pada jalan nafas. Tetapi pada pasien dengan trauma
penetrasi pada leher dan hematoma; tanda tanda trauma kimia atau thermal pada mulut, lubang
hidung, atau faring; adanya udara subkutan pada leher; trauma kompleks pada maksilofacial;
atau pedarahan pada jalan nafas. Walaupun pada pasien pasien ini mungkin tidak ada kelainan
pada jalan nafas, tetapi dapat timbul obstruksi jika terdapat edema atau bengkaknya jaringan
sekitar.
5

Pasien dengan suara dan status mental abnormal memerlukan perhatian khusus pada
evaluasi jalan nafas. Perubahan status mental merupakan indikasi tersering pemasangan intubasi,
karena ketidakmampuan pasien untuk menjaga jalan nafas
.5


Breathing. Setelah pembebasan jalan nafas, diperlukan kepastian terdapat ventilasi yang adekuat.
Periksa pasien untuk menentukan ekspansi dada, suara nafas, takipnu, krepitasi pada fraktur
costae, emfisema subkutan, dan adanya luka penetrasi atau terbuka. Hampir semua pasien
memerlukan terapi oksigen dan monitor pulse oximetry.
5

Cedera paru yang dapat mengancam nyawa meliputi tension pneumothorax, open
pneumothorax, flail chest, dan terkadang hemothorax massif. Cedera pada dada merupakan
penyebab kedua asfiksia.
4

Circulation. Pemeriksaan kasar pada status kardiovaskular didapatkan dengan palpasi pada nadi
perifer. Pada umumnya, tekanan sistolik 60 mmHg dibutuhkan agar nadi carotis dapat dipalpasi,
70 mmHg pada arteri femoral, dan 80 mmHg pada arteri radialis.tekanan darah dan nadi harus
diperiksa setiap 15 menit.
3

Hemorrhage (pendarahan)
Pendarahan luar dari luka di permukaan biasanya dapat dikenali dengan cepat dan dapat
dikontrol dengan memberikan tekanan dan elevasi pada bagian tersebut. Tekanan pada arteri
besar di aksila, antecubity, pergelangan tangan, poplitea, atau pergelangan kaki dapat
mencukupi sebagai kontrol sementara pada pendarahan arteri di distal tempat tersebut.
Akses vaskuler
Semua pasien dengan trauma berat harus dipasangkan kateter intravena secepatnya untuk
mengadministrasikan obat dan cairan yang diperlukan.

Resusitasi cairan

Secondary Survey
Setelah kondisi mengancam nyawa telah ditemukan atau ditapis, pasien diperiksa dari
puncak kepala sampai ke ujung kaki, unutk memeriksa adanya cedera. Cedera berat, pasien harus
dilepaskan seluruh pakaiannya. Perhatian khusus diberikan pada bagian punggung, aksila, dan
perineum, karena terkadang terlewatkan. Semua pasien harus menjalani rectal touch dan vaginal
touch, untuk mengevaluasi kekuatan spchinter, dan adanya darah, perforasi, atau high-riding
prostate (kondisi dimana prostat dan bagian prostat yang melekat pada uretra terlepas dari
membran uretra dan terdorong ke atas). Kateter Foley dimasukan untuk mengkompresi vesika
urinaria, mendapatkan specimen urin, dan untuk memonitor output urin. Pasien stabil dengan
resiko cedera pada uretra perlu menjalani uretrografi sebelum kateter dimasukkan. Tanda cedera
uretra meliputi darah pada meatus, hematom perineal atau skroktal, serta high-riding prostate.
Tuba nasogastric dipasang untuk menurunkan resiko aspirasi dan untuk memudahkan
pemeriksaan adanya darah samar pada cedera gastrointestinal.
5,6



Rapid Trauma Assessment
Dalam 2 2.5 menit pertama, secara cepat, lakukan pemeriksaan fisik dari atas kepala
sampai ujung kaki meliputi DCAP-BTLS: Deformities, Contusions, Abrasions,
Punctures/penetrations, Burns, Tenderness, Lacerations, Swelling.

Prognosis
Prognosis lebih buruk pada orang yang berumur lebih tua dibandingkan dengan yang
muda. Penanganan yang cepat dan adekuat kepada volume sirkulasi dapat mencegah komplikasi
dari hipoperfusi, seperti gagal ginjal, kerusakan usus akibat iskemi, kerusakan otak dan cardiac
arrest.
9


KESIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma termasuk
kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud dapat berupa trauma
tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti
trauma tumpul abdomen (ruptur hepar,spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma
tumpul dada (seperti pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade).
Pemeriksaan fisik selalu harus dimulai dengan penilaian jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Setelah ini telah dievaluasi dan stabil, sistem peredaran darah harus dievaluasi tanda-
tanda dan gejala shock.
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete
Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT,
APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma). Darah sebaiknya ditentukan
tipenya dan dilakukan pencocokan agar memudahkan bilamana diperlukan darah. Pasien dengan
hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat.
Kelas perdarahan ditetapkan berdasarkan persentase volume kehilangan darah. Namun,
perbedaan antara kelas-kelas pada pasien hipovolemik sering kurang jelas. Pengobatan harus
agresif dan lebih diarahkan oleh respon terhadap terapi dibandingkan dengan klasifikasi awal.
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:
memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan
saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan
segera dan stabilisasi jika perlu; mengontrol kehilangan darah lebih lanjut; dan, resusitasi cairan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba IB. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
2. Tambayong J. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
3. Macho J, Krupski W, Lewis F. Management of the injured patient. In: Way L, Doherty
G. Current surgical diagnosis & treatment. 11th ed. India: Mcgraw-Hill;2003. Pg 231 -
55.
4. Kolecki P. Brown P, editor. Hypovolemic shock. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview , 9 November 2013.
5. Burch J, Franciose R, Moore E. Trauma. In: Brunicardi C, et al. Schwartzs principles of
surgery. 8
th
edition. USA: Mcgraw-Hill ;2005. Pg 129 43.
6. Hoyt D, Coimbra R, Acosta J. management of acute trauma. In: Townsend C,
Beauchamp D, Evers M, Mattox K. Sabiston textbook of surgery.18
th
edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier;2008. Pg 483-5.
7. Eliastam M, Sternbach GL, Bresler MJ. Santasa H, editor. Penuntun kedaruratan medis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.
8. Sabiston. Oswari J, editor. Buku ajar bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2004.
9. Mulholland MW, Doherty GM. Complications in surgery. Edisi ke-2. Philadeplhia:
Lippincott Williams and Wilkins, 2012.

Anda mungkin juga menyukai