Anda di halaman 1dari 10

Neuralgia post herpetic

Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang serius dari herpes zooster
yang sering terjadi pada orang tua. Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti
terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat
sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri
yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang
menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham
mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan
setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska
herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah
penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri
neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga
bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah
definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International
Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri
kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari
tiga bulan tanpa adanya malignitas.
1,2,3

Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang sangat
mengganggu akibat infeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi pada populasi usia pertengahan
dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah penyembuhan erupsi (cacar).
Sejumlah pendekatan dilakukan untuk mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat
progresivitasnya menuju NPH dan mengatasi NPH. Beberapa dari pendekatan ini terbukti efektif
namun NPH masih saja merupakan sumber rasa frustrasi bagi pasien dan dokter.
NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 30 hari setelah onset
(gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar
(burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching), bahkan yang lebih berat lagi terjadi
allodinia (rabaan atau hembusan angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi nyeri
yang dirasakan berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi
sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area
erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan,
nyeri atau temperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan
(allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian lainnya
dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien
dengan NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster
yang sembuh tanpa neuralgia.
Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik merupakan tipe
nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan proses signal sistem saraf pusat.
Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens pada area kulit yang terlibat merupakan
akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan
pembuluh darah), trombosis intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia
(kekurangan aliran darah) dari saraf tersebut. Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf
tepi secara spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.
Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang justru
memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih. Aktivitas perifer (saraf tepi)
yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya, terjadi
respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini
sangat kompleks sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.

II. 2 Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus varisella
zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini
termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral
nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda.
Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi
virus yang terjadi senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox).
Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga
disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan
saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri
cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.
4,5,6,7,8

Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi infeksi
virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat
laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis) setelah serangan
varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila
sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak gejala klinis. Sekitar 90% orang
dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah)
ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga menempatkan mereka pada kelompok
resiko tinggi herpes zoster. Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2
hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut, diperkirakan insidennya bisa
mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan
mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko perkembangan herpes
zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-1000 orang
pertahun, sementara NPH juga mencapai 50% pada pasien-pasien ini dan mengalami nyeri yang
berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah baru
akibat disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali NPH
terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.

II. 3 Patologi dan patogenesis
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan
pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui system
respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran
darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.
Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus
ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun. Patogenesis
terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup
secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis
berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler
terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan
reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit.
Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel
epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel
sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz
inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik,
dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan
proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella
zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf
kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat dibedakan
dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf
yang terlibat.
Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar.
Yang luput dari maut dan tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut
halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls
yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi perlukaan
mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga
menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini
menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi.
1,2,4,11,17

Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini
diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal maka semua impuls yang
masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi,
karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus.
Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah musnah, maka mayoritas dari serabut terdiri dari
serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang.
1,2,4,11,17

Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu
posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu
gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan
munculnya gejala hyperalgesia.
1,2,4,11,17

Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada
waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan
serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar
dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada
penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam,
tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar
dan berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan
oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).
1,2,4,11,17

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska
herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes
zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

II. 4 Epidemiologi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan
dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara
tersebut bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai
empat kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan
pada penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per
1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada
penderita imunidefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih
banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 1997 melaporkan
prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8
kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga
berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia paska herpetika sekitar
80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di
Amerika Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan,
tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan
mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster
akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia neuralgia
paska herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun
dilaporkan mencapai 48%.

II. 5 Faktor resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya
usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa
ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya
mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula
dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh,
pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.

II. 6 Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada
daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: 1.
Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu,
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan, 3. Neuralgia
post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah
penyembuhan lesi herpes zoster.
1,3

Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit
oleh karena terdapatnya gelembung gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan
rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal
timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat
berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari
ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi
penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu
sampai berminggu-minggu.
1,6

Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan
hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan
sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun
jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon
nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri
dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang
tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
1

Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai menderita
karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat
neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri
neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba tiba
dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan serangan kecil dan besar. Orang sakit
dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila
penderita datang sebelum gelembung gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti
akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah
adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari
neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya
serangan neuralgia, justru tempat tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai
tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat
di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia
postherpatikum otikum.
6,28

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal
rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom
yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual,
lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular
eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi
lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat
sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya.
Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit
biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai
berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster
dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau
valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan
pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang
paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai
dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan
nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

II.7 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan
dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan
komplikasi herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana
menetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi
neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase:
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4
minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3
bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti
terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang dermatom yang
terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti pada
pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri tajam yang sangat mengganggu
pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
seperti mandi atau saat berpakaian atau saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul
berupa rasa baal daerah lesi, sensitif terhadap perubahan temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan
sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik
(allodinia hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan
sensorik meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra
dermal lebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang
meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi),
ensefalitis, hepatitis, pneumonitis.

II. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
8,21,25,27

1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes
simpleks dengan herpes zoster
7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis
herpes zoster subklinis.
http://kuliahitukeren.blogspot.com/
II. 9 Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan
neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis.

Terapi farmakologis:
a. Antivirus
Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul
akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir,
Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 10 hari
diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam
penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema,
dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari
secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual,
muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari
selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah,
sakit kepala, pusing, nyeri.
1,3,22


b. Analgesik
Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika
diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan
parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil
terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih
baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis
mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian,
jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus
diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat
atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60
mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik
dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan.

c. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated
sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat
transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan
memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja
secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang
dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal
dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai
gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan
agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga
mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin
gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin
mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati
diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula
hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
1,22


d. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali)
norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal
yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga
sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan
pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral.
Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif
dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor)
seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA
menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat
reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek
kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat
meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti
depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin,
nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.
1,22,26


e. Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated
sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan.
Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor
tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan
memodifikasi aktivitas NMDA.
1,3,22

Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam
mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan
lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama
12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan
dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti
capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang
disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C
(C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti
substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini.
Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa
ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini).
1,3,22


Terapi non farmakologis
a. Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat
beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun
penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi
tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.
1


b. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit
pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya
sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.
1


c. Vaksin
Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neurlagia Postherpertika pada orang
lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata
efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin
ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.
4, 23


II. 10 Pencegahan
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska
herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah
kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri
dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.

II. 11 PROGNOSIS
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak
dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti
antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon
terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarioan lanjutan untuk mencari terapi yang
sesuai.
6,24

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi
sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan
nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
1

Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan
tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.
1

BAB III
KESIMPULAN

Neuralgia post herpetik adalah nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam
(atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Biasanya di dahului oleh adanya riwayat
menderita varicella pada masa kanak-kanak. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 50
tahun ke atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami
reaktivasi. Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non
farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan.
Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.

Anda mungkin juga menyukai