Anda di halaman 1dari 10

PERITONITIS

Suci Rahmi
0907101010137
A. DEFINISI
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesotelial diatas
fibroelastik. Terbagi menjadi bagian visceral, menutupi usus dan mesentrium;
bagian parietal melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia
muskular. Pasokan darah datang dari struktur dibawahnya. Persarafan lebih
spesifik. Peritoneum visceralis realtif tidak sensitif, hanya berespon terhadap
traksi atau regangan. Peritoneum parietale memiliki komponen somatik dan
viseral dan memungkinkan lokalisasi stimulus yang berbahaya yang menimbulkan
defans muscular dan nyeri lepas (Schwartz, 2000).
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membrane serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis),
perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen (Price dan Wilson, 2003).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yang disebabkan oleh bakteri
(misalnya dari perforasi usus) atau akibat pelepasan irritant kimiawi, misalnya
empedu, asam lambung, atau enzim pankreas. (Chris, 2008). Peradangan yang ada
menimbulkan akumulasi cairam karema kapiler dan membrane mengalami
kebocoran (Schwartz, 2000).

A. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi, appendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis,ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena


perforasi organ berongga yang disebabkan oleh trauma abdomen. Selain itu
peritonitis juga disebabkan oleh bakteri dan dapat terjadi karena proses kimiawi.
Diantaranya adalah:
a. Bakterial: Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b. Kimiawi: getah lambung, getah pankreas, empedu, darah, urin dan benda
asing (Rasad et al., 1999).
Menurut Schwartz et al. (1989) penyebab utama peritonitis ialah
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP
(Spontaneous Bacterial Peritonitis) terjadi bukan karena infeksi intraabdomen,
namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik.
Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga
menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia. Peritonitis juga biasanya disebabkan oleh :
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering
menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu
atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi.
Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi
peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila
diobati.
2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan
kegiatan seksual
3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh
beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi
chlamidia)
4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut
(asites) dan mengalami infeksi
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung
empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat


memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama
pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan
peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan
di dalam perut.
7. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut)
atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat
menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.

B. EPIDEMIOLOGI
Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi,
insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen
berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis
didahului dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis
yang sangat mirip asites (Schwartz et al., 1989)
Sindrom dari peritonitis bakterial spontan umumnya terjadi pada
peritonitis akut pada pasien dengan dasar sirosis. Sirosis mempengaruhi 3,6 dari
1000 orang dewasa di Amerika Serikat dan bertanggungjawab terhadap 26000
kematian per tahun. Perdarahan variseal akut dan peritonitis bakterial spontan
merupakan beberapa komplikasi dari sirosis yang mengancam jiwa. Kondisi yang
berkaitan yang menyebabkan abnormalitas yang signifikan mencakup ascites dan
enselofati hepatik. Sekitar 50% pasien dengan sirosis yang menimbulkan ascites
meninggal dalam 2 tahun setelah diagnosis (Chris, 2008).

C. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga


membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi usus (Price dan Wilson, 2003).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai
timbul ileus paralitik ; usus kemudian mejadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
motilitas usus dan menyebabkan terjadinya motilitas usus (Price dan Wilson,
2003).



Peradangan pada peritonitis menimbulkan akumulasi cairam karema
kapiler dan membrane mengalami kebocoran. Jika deficit cairan tidak dikoreksi
secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai kaskade respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan
cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tpi ini segera gagal begitu
terjadinya hipovolemia. Terjebaknya cairan di dalam kavum peritonealis dan
lumen, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi splanik
(Schwartz, 2000).
Gejala sisa metabolik mencakup katabolisme otot untuk menyediakan
asam amino skeleton untuk sintesis energi dan protein fase akut. Cadangan
glikogen hati dengan cepat berkurag secara dini dalam perjalanan peritonitis, dan
terjadi resistensi insulin relative. Bahkan dengan pemberian protein dan kalori dari
luar (eksogen), lingkungan hormonal dapat mencegah penggunaan penuhnya
untuk mendukung hospes (Schwartz, 2000).
Secara klinis, pasien tampak sakit. Pasien tampak anorekti, cemberut,
febril dan cenderung diam di tempat tidur karena gerakan menyebabkan nyeri.
Suara usus tidak ada dan ada rigiditas serta nyeri tekan bila di palpasi.
Pemeriksaan Laboratorium hanya mengkonfirmasi sebenarnya , jumlah leukosit
dapat rendah atau normal akibat migrasi ekstravaskular dari SDP dalam kavum
peritoneal (Schwartz, 2000).

D. GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis,
beratnya peritonitis dan jenis organisme penyebab. Gejala yang terjadi biasanya
adalah demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terus menerus), muntah;


dan abdomen yang tegang, kaku, nyeri tekan lepas dan tanpa bunyi. Pada
peritonitis kronis ditemukan sedikit atau tidak ada nyeri tekan lepas. Demam dan
leukositosis merupakan gejala khas penyakit ini (Price dan Wilson, 2003).
Peritonitis juga ditandai oleh rigiditas dan nyeri abdomen, distensi, nyeri
tekan yang hilang-timbul, dan perubahan bising usus. Pasien mengalami mual
muntah serta terjadi dehidrasi. Suhu dan denyut nadi meningkat, serta pernapasan
sering cepat dan dangkal (karena bernapas dalam memperberat nyeri). Jika tidak
diobati, pasien dapat mengalami syoh hipovolemik disertai ketidakseimbangan
elektrolit, dan terjadi syok disertai hipotensi dan takikardia (Chris, 2008). Pasien
tampak sakit, anorektil, cemberut, febril dan cenderung diam di tempat tidur
karena gerakan menyebabkan nyeri. Suara usus tidak ada dan ada rigiditas serta
nyeri tekan bila di palpasi (Schwartz, 2000).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiografi abdomen pasien peritonitis sering memperlihatkan dilatasi
intestinal, edema usus halus, cairan peritoneum, dan hilangnya bayangan psoas.
Pasien perforasi usus secara radiografi dibuktikan dengan adanya udara bebas di
dalam rongga peritoneum. Aspirasi jarum pada cairan peritoneum sebaiknya
dilakukan jika di curigai adanya peritonitis atau jika pasien mengalami demam
yang tidak diketahui sebabnya dan terdapat cairan di dalam abdomen. Cairan
peritoneum yang terinfeksi biasanya mengadung kadar protein yang meningkat
dan jumlah leukositnya lebih dari 300/mm
3
, lebih dari diantaranya adalah
leukosit polimorfonuklear. Pewarnaan gram dan kultur cairan sebaiknya dilakukan
untuk membantu memberikan terapi antimikroba yang tepat (Schwartz, 2004).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis serta
hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa
cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per
kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas,


dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat (Rasad et al.,
1999)

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi yaitu:
1. Tidur telentang (supine), sinar dari arah vertical proyeksi
anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk dan bisa juga berdiri jika memungkinkan,
dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tidur miring kea rah kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi AP (Rasad et al., 1999).
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan
film ukuran 35 x 43 cm. sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adalah
gangguan pasase usus (ileus) obstrukstif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, lemak preperitonial dan ada
tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus dan gambaran
seperti duri ikan (herring bone appearance
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dapat diduga gangguan
pasease usus. Bila air fluid levelnya pendek berarti ada ileus letak
tinggi, sedang jika panjang
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance (Rasad et al., 1999).
F. DIFFERENTIAL DIAGNOSA


Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,
gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu Sjaifoelloh,
1996)

G. DIAGNOSIS
Anamnesis biasanya berupa neyri abdomen dengan awitan cepat, demam
dan muntah, biasanya terjadi lebih dari 48 jam. Permerikasaan fisik menunjukkan
nyeri hebat di seluruh abdomen atau di kuadran bawah. Suara usus biasanya
hipoaktif atau menghilang dan dapat dijumpai kekakuan abdomen. Pasien lebih
menyukai posisi berbaring terlentang dan akan merasa sangat tidak nyaman
apabila bergerak atau dipalpasi (Schwartz, 2004).

H. PENATALAKSANAAN
Ada tiga titik kunci dalam mempersiapkan pasien
1. Volume: Resusitasi hebat dengan larutan salin isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravascular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi dan mekanisme pertahanan. Keluaran urin
dan tekanan pengisian jantung harus di pantau.
2. Antibiotik: Antibiotik berspektrum luas merupakan tambahan dari
drainase bedah. Harus tersesia dosis yang cukup pada saat pembedahan,
karea bakterimia akan berkembang selama operasi.
3. Oksigen dengan dukungan ventilasi: Sepsis yang sedang berlangsung
membawa ke hipoksemia yang disebabkan oleh pintas dan splinting
dinding dada. Penghantaran oksigen yang cukup adalah penting (Schwartz,
2000).
Pasien dengan peritonitis memerlukan pemantauan ketat status cairan dan
elektrolit. Di samping itu, sebaiknya di berikan terapi anti mikroba parenteral.


Terapi kombinasi dengan ampisilin, gentamisin dan klindamisin merupakan terapi
awal dengan jangkauan yang tepat. Terapi antimikroba sebaiknya dimodifikasi
berdasarkan pada hasil kultur dan pewarnaan gram. Evaluasi bedah sebaiknya
segera dilakukan karena eksplorasi bedah mungkin diperlukan untuk
mengevaluasi adanya organ dalam yang mengalami perforasi. (Schwartz, 2004).
Prinsip umum pengobatan adalah dengan pemberian antibiotik yang
sesuai, dekompresi saluran gastrointestinal dengan penyedotan intestinal atau
nasogastrik, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang secara intravena, tirah
baring dalam posisi Fowler, pembuangan focus septik (apendiks, dsb.) atau
penyebab inflamasi lainnya (bila mungkin), dan tindakan untuk menghilangkan
nyeri (Price dan Wilson, 2003).
.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini
a. Septikimia dan syok septic
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisitem
d. Abses residual intraperitoneal
e. Portal pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi
b. Obstruksi intestinal urin
(Schwartz et al., 1989)

J. PROGNOSIS


Prognosis penyakit ini baik pada peritonitis loKal dan ringan, sedangkan
prognosisnya buruk (mematikan) pada peritonitis generalisata yang disebabkan
oleh organism virulen (Price dan Wilson, 2003).


DAFTAR PUSTAKA
Price, S. A dan Wilson, L.M. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Ed. 6, Vol: 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC)
Schwartz, S; Shires, G dan Spencer, F. 1989. Principles of Surgery. Ed:6. Jakarta:
EGC.
Schwartz, M.W. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid
1;Ed:3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Schwartz, S.I, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Jakarta: EGC.
Chris, B. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta :EGC.
Rasad, S; Kartoleksono, S dan Ekayuda. I. 1999, Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru.

Anda mungkin juga menyukai