Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika telah naik mimbar biasa
mengucapkan salam. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Demikian juga beliau shallallahu alaihi wa sallam biasa membuka khutbah dengan mengucapkan
hamdalah, pujian kepada Allah, syahadatain, bacaan ayat-ayat takwa, dan perkataan amma bad. Hal ini
antara lain ditunjukkan hadits di bawah ini.
) (
) (
)
Dari Abdullah, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengajari kami khutbah untuk
keperluan.
http://konsultasisyariah.com/khutbah-jumat-tanpa-shalawat-sahkah
Pertanyaan 8:
Transplantasi Organ Tubuh, Bolehkah?
Jawaban:
Sebenarnya, kajian yang membahas hukum syariah tentang praktek transplantasi jaringan maupun
organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif jarang dan hampir tidak pernah
dikupas oleh para fuqaha secara mendetail.
Barangkali salah satu sebabnya adalah karena transplantasi ini tergolong kasus yang baru berkembang di
masa kini. Selain itu juga kompleksnya kasus yang terkait dengan masalah transplantasi. Oleh karena itu
tidak heran jika hasil ijtihad dan penjelasan syari tentang masalah ini banyak berasal dari pemikiran
para ahli fikih kontemporer, keputusan lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional maupun
internasional.
Mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern,
pada dasarnya secara global tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ.
DALIL KEBOLEHAN TRANSPLANTASI
Secara umum dan pada prinsipnya mereka membolehkannya dengan alasan dan dalil sebagai berikut:
1. Ayat-ayat tentang dibolehkannya mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-
benar darurat antara lain: QS. 2:173, 5:3, 6:119,145.
Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah:5)
2. Ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam antara lain: (QS. 2:185,4:28, 5:6,
22:78)
3. Hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan.
4. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku itsaar tanpa pamrih dan dengan
tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya (QS. 95:9).
5. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.
http://pgriciampea-smp.site90.net/BungaRampai/6/konsultasi/trans.html
Pertanyaan 9:
Hukum Bunga Bank Tidak Haram?
Jawaban:oleh Ahmad Sarwat, Lc
Illat haramnya riba bukan terletak pada unsur eksplotitasinya. Salah besar ketika ada orang yang
berpendapat demikian. Yang menjadi illat dalam haramnya riba adalah praktek riba itu sendiri. Bila
terpenuhi unsur riba, maka praktek itu riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, bila tidak terpenuhi unsur
riba, maka praktek itu bukan riba dan hukumnya tidak haram.
Mengalihkan illat riba pada unsur eksplotitasinya justru adalah tindakan yang tidak tepat. Sebagaimana
tidak tepatnya kita mengatakan bahwa haramnya daging babi karena ada cacing pitanya. Kelemahannya,
kalau cacing pita bisa dimusnahkan, apakah daging babi menjadi halal?
Sama juga dengan kita mengatakan bahwa zina itu diharamkan karena merusak nasab dan keturunan.
Ini jelas salah kaprah, karena penyebab haramnya zina bukan semata-mata agar nasab tidak tercampur-
campur, juga bukan karena agar tidak terkena penyakit kelamin.
Sebab di zaman sekarang, sebelum berzina, bisa saja pasangan tidak sah datang ke dokter untuk
memeriksa kesehatan kelamin mereka. Lalu oleh doker mereka dikatakan sehat, lalu mereka berzina
dengan menggunakan alat-alat pencegah kehamilan. Maka apa yang mereka laukan aman dari penyakit
kelamin sekaligus tidak akan terjadi percampuran nasab yang rancu. Lalu, apakah zina menjadi halal
dengan cara seperti itu? Tentu tidak.
Maka sebab haramnya riba bukan karena ada satu orang menindas pihak lain. Tetapi haramnya riba
adalah ketetapan Allah SWT langsung dari langit. Allah SWT sebagai pencipta manusia, tidak suka kalau
manusia melakukan praktek keuangan dengan jalan ribawi. Apakah itu menindas atau tidak, tidak ada
urusan.
Haramnya Bunga Bank
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c:
bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal -bank yang diberikan
oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan
bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga
bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya syubhat.
3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah
menyepakati dua hal: Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu
segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga
bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek
pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz,
Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan
ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1181554435
Pertanyaan 10 :
Ustadz, apa hukumnya denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang?
Jawaban:
Dalam fiqih kontemporer denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang disebut al-
gharamat at-takhiriyah atau al-gharamat al-maliyah. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasau
at-Tajir Jahlahu, hal. 279 & 335; Ali as-Salus, Mausuah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, hal. 458).
Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian membolehkan dan sebagian
lagi mengharamkan. Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW,Tindakan
menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman. (HR Bukhari). Juga sabda Nabi
SAW,Tindakan orang mampu *menunda pembayaran utangnya+ telah menghalalkan kehormatannya
dan sanksi kepadanya. (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda
pembayaran utangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun
mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk
membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasiah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang
mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (QS Al-Baqarah : 280). (Abdullah Mushlih &
Shalah Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang pihak yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasiah),
yaitu tambahan dari utang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang
diharamkan saat Al-Quran turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik
diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih
& Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang
menunda pembayaran utang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun
qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali
terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah tazir,
yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk tazir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah
Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi utang hanya berhak atas sejumlah uang yang
dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi
penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran
tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Kedua , denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama
dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syaia uthiya
hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M.
Shidqi Burnu, Mausuah al-Qawaid Al-Fiqhiyah, 9/252). Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena
terlambat membayar utang atau angsuran utang hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu
alam.
http://hafidz341.com/Aktual/denda-karena-terlambat-bayar-utang-bolehkah.html