Anda di halaman 1dari 15

Pertanyaan 1:

Apakah memakai cadar itu bidah?


Jawaban:
Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai bidah yang datang dari luar serta sama sekali
bukan berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan menyimpulkan bahwa cadar masuk ke
kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan tidak tepat sasaran.
Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya
menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat
ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib menutupnya demikian pula dengan
hukum kedua telapak tangan adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan
ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang
berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya, karena tidak
didapatinya nash yang qathi tsubut (jalan periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah
terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya
(an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Masud, dia berkata bahwa yang dimaksud dengan kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian luar yang tidak mungkin
disembunyikan.

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan apa yang biasa
tampak itu dengan celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan
penafsiran yang hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang lbnu Abbas
menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan perhiasan disini ialah tempatnya. Ibnu
Abbas berkata, (Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak tangan. Dan penafsiran serupa
juga diriwayatkan dari Said bin Jubair, Atha, dan lain-lain.

Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari lengan termasuk apa yang biasa tampak itu.
Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak secara darurat, misalnya karena dihembus
angin atau lainnya.

Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman
Allah:
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-
isti orang mukmin, Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab:59)
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/CadarBid-ah.html

Pertanyaan 2:
Apakah haram hukumnya bila melihat situs porno yang tujuannya agar dapat melayani suami/istri lebih
baik?
Jawaban:
Keinginan Anda untuk memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan kepada suaminya merupakan
sebuah niat yang baik. Namun, niat yang baik dan mulia tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara
yang bertentangan dengan syariat. Niat yang baik baru akan berhasil dan mencapai ridha-Nya kalau
dilakukan dengan benar dan halal. Namun, jika tujuan yang baik tadi dilakukan dengan cara yang salah,
alih-alih mendapatkan keberkahan dan kebahagiaan, justru yang didapat adalah murka Allah Swt. serta
bisa jadi berakibat pada sesuatu yang tidak baik.
Menonton film tentu saja dilarang karena berarti melihat aurat orang lain. Oleh sebab itu, ia termasuk
dalam kategori perbuatan dosa (zina mata). Apalagi jika melihat aurat yang sifatnya mughalladzah
(kemaluan).
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda,
Seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak boleh melihat kemaluan
wanita. (HR Muslim).
Allah Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang memperlihatkan auratnya.

Rasanya masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa memberikan pelayanan kepada suami.
Kebutuhan biologis hanyalah salah satu sarana saja. Dalam hal ini seorang wanita memang perlu
memperhatikan kepuasan suaminya; namun bukan dengan segala cara. Sentuhan kasih sayang,
ungkapan yang halus dan baik, menjaga kehormatan diri dan keluarga, melaksanakan ibadah secara
baik, dan banyak berdoa kepada Allah merupakan sejumlah cara lain yang sangat efektif agar keluarga
tetap harmonis penuh cinta kasih.
http://sumarno-ahmad.blogspot.com/2008/04/fikih-kontemporer.html


Pertanyaan 3:
Bolehkan Membagikan Harta Warisan Sebelum Meninggal? Sebagian orang membagikan warisan
sebelum meninggal dunia. Apakah itu dibenarkan dalam syariat?
Jawaban: Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Sebelum menerangkan masalah di atas, terlebih dahulu harus dibedakan antara tiga jenis harta:
1. Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa
hidupnya. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246)

2. Harta Warisan menurut pengertian ulama faroidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. (Sholeh
Fauzan, at Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Maarif, hlm 24). Jadi
harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum
harta warisan.
3. Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang
tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. (Abu Bakar Al
Husaini, Kifayah al Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hlm 454)
Ketiga istilah di atas, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, dan dengan dasar perbedaan
tersebut, kita bisa mengklasifikasikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sebagai berikut:
Masalah Pertama:
Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu:
Pertama : Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam
keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah
(harta pemberian), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. (Ibnu Rusydi,
Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327).
Kedua : Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan
berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai
wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah
mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist: Tidak ada wasiat
untuk ahli waris ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada
kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat sebagai bantuan
bagi yang membutuhkan dan sebagai sarana silaturahim.
2. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa
maslahat.
3. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
4. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-
anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia
mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
1. Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak
anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.Sebaiknya dia
membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya.
2. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya
hukum harta warisan.
3. Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan
syariah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua
tersebut menurut kesepakatan bersama (tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh).
Masalah Kedua:
Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat,
sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya.
Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki
dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini. Mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak
harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu Juzai, al Qawanin al
Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005, hlm : 295). Sedangkan ulama hanabilah (para pengikut imam
Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah
ditentukan dalam al Quran dan hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:
Pertama : jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil
semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah beberapa hadits di bawah ini:
1. Hadist Numan Bin Basyir yang datang kepada Nabi Muhammad shollahu alaihi wa sallam,
seraya berkata: Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku. Kemudian
Rasulullah bertanya: Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu? Tidak Ya Rasulullah,
Jawab Numan. Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut! kata Rasulullah. (HR Bukhari
dan Muslim).
2. Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adil di antara anak-anak kalian. (HR Bukhari dan
Muslim)
3. Perlakukanlah sama antara anak-anakmu, jika dibolehkan untuk membedakan tentunya akan
lebih memperhatikan perempuan. (HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar) (DR. Wahbah
Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :5, hlm : 34-35)
Kedua : jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan
untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan
mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan,
maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum
mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Siddiq terhadap
anaknya Aisyah ra, ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq) dari anak-anaknya yang lain.
http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih-kontemporer/8/1/bolehkan-membagikan-harta-
warisan-sebelum-meninggal?.html
Pertanyaan 4:
Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Roh, Haram?
Jawaban: Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Imam Ghazali berpendapat, menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya tetap haram.
Dalilnya, sperma sudah tertanam dalam rahim dan siap menerima kehidupan
Yang dimaksud dengan menggugurkan kandungan dalam pembahasan ini adalah: menggugurkan secara
paksa janin yang belum sempurna penciptaannya atas permintaan atau kerelaan ibu yang
mengandungnya . Adapun dasar dari pembahasan ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud
bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya
di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah
segumpal darah beku. Ketika genap empat puluh hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging.
Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk menulis empat
perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang
bahagia. (Bukhari dan Muslim)
1. Menggugurkan janin sebelum peniupan roh
Dalam hal ini, para ulama berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga pendapat:
Pendapat Pertama:
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya boleh. Bahkan sebagian dari ulama
membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat. ( Hasyiat Al Qalyubi : 3/159 ) Pendapat ini
dianut oleh para ulama dari madzhab Hanafi, SyafiI, dan Hambali. Tetapi kebolehan ini disyaratkan
adanya izin dari kedua orang tuanya (Syareh Fathul Qadir : 2/495. Adapun dalilnya adalah hadist Ibnu
Masud di atas yang menunjukkan bahwa sebelum empat bulan, roh belum ditiup ke janin dan
penciptaan belum sempurna, serta dianggap benda mati, sehingga boleh digugurkan).
Pendapat kedua:
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya makruh. Dan jika sampai pada waktu peniupan
ruh, maka hukumnya menjadi haram. Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti,
maka tidak boleh menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh , demi untuk kehati-
hatian. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan Imam Romli, salah seorang ulama
dari madzhab Syafii (Hasyiyah Ibnu Abidin : 6/591, Nihayatul Muhtaj : 7/416).
Pendapat ketiga:
Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya haram. Dalilnya bahwa sperma sudah tertanam
dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka
merusak wujud ini adalah tindakan kejahatan. Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir, Imam Ghozali,
dan Ibnu Jauzi (Syareh Kabir : 2/ 267, Ihya Ulumuddin : 2/53, Inshof : 1/386).
Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan) , telah dianggap benda mati, maka
tidak perlu dimandikan, dikafani, ataupun disholati. Sehingga bisa dikatakan bahwa menggugurkan
kandungan dalam fase ini tidak dikatagorikan pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu yang
bermanfaat.
2. Menggugurkan janin setelah peniupan roh
Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya
haram. Peniupan roh terjadi ketika janin sudah berumur empat bulan dalam perut ibu. Ketentuan ini
berdasarkan hadist Ibnu Masud di atas. Janin yang sudah ditiupkan roh dalam dirinya, secara otomatis
pada saat itu, dia telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Hukum ini berlaku jika
pengguguran tersebut dilakukan tanpa ada sebab yang darurat.
Namun jika di sana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin nantinya akan membahayakan
ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

Pendapat pertama:
Menyatakan bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya tetap haram, walaupun
diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan keselamatan ibu yang mengandungnya.
Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama. Dalilnya adalah firman Allah swt:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar. ( Q.S. Al Israa: 33 )
Kelompok ini juga mengatakan bahwa kematian ibu masih diragukan, maka tidak boleh membunuh janin
yang sudah ditiup rohnya, hanya karena sesuatu yang meragukan (Hasyiyah Ibnu Abidin : 1/602). Selain
itu, mereka memberikan permisalan bahwa jika sebuah perahu akan tenggelam, sedangkan keselamatan
semua perahu tersebut bisa terjadi jika sebagian penumpangnya dilempar ke laut, maka hal itu juga
tidak dibolehkan.

Pendapat Kedua:
Dibolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan roh kepadanya, jika hal itu merupakan satu-
satunya jalan untuk menyelamatkan ibu dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan
daripada menjaga kehidupan janin, karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara yakin, sedangkan
kehidupan janin belum yakin dan keberadaannya terakhir. (Mausuah Fiqhiyah : 2/57) Prediksi tentang
keselamatan Ibu dan janin bisa dikembalikan kepada ilmu kedokteran, walaupun hal itu tidak mutlak
benarnya.
http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih-kontemporer/5/1/menggugurkan-janin-sebelum-
peniupan-roh,-haram?.html
Pertanyaan 5:
Bolehkah Menyusui Orang Dewasa? Bagaimana sebenarnya konsep menyusui dalam Islam, dan apa
hukum seorang perempuan menyusui laki-laki dewasa yang bukan muhrimnya, dan konsekuensinya
apa dari susuan tersebut?
Jawaban:
Para ulama sepakat bahwa anak kecil yang berumur dua tahun ke bawah, jika menyusu kepada seorang
perempuan, maka susuan tersebut menjadikannya sebagai anak susuan dari perempuan tersebut.
Karena air susu pada umur tersebut akan menjadikan daging dan tulang pada anak itu.
Adapun perempuan yang menyusui laki-laki dewasa yang bukan muhrimnya apakah keduanya akan
menjadi mahram dengan susuan tersebut? para ulama dalam masalah ini berbeda pendapat:
Pendapat Pertama: bahwa menyusui waktu besar tidak bisa menjadikan mahram. Ini adalah pendapat
istri-istri Rasullah saw, dan mayoritas ulama dari kalangan para sahabat, tabiin, dan pendapat dari
madzhab Malikiyah, Syafiyah serta Hanabilah. ( Az Zailai, Tabyinu Al Haqaiq : 2/182 , Al Kasynawi,
Ashalu al Madarik : 2/ 213, As SyafiI, Al Umm : 5/ 48 , Al Bahuti, Ar Raudh Al Murabbi, hlm : 515 ).
Mereka berdalil dengan firman Allah swt:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. (QS: al Baqarah : 223 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa batasan maksimal menyusui adalah dua tahun, sehingga susuan yang
terjadi setelah dua tahun tidak bisa menyebabkan terjadinya mahram.
Nabi saw menemuiku dan saat itu disampingku ada seorang pemuda. Beliau bertanya: Wahai Aisyah,
siapakah orang ini? Aku menjawab: Ia saudara sesusuanku. Beliau bersabda: Wahai Aisyah teliti
lagi, siapa sebenarnya yang menjadi saudara-saudara kalian yang sebenarnya, karena sesusuan itu
terjadi karena kelaparan. ( HR Bukhari no : 2453)
Hadist di atas menunjukkan bahwa susuan yang menyebabkan seseorang menjadi mahram adalah
susuan karena lapar (majaah) yaitu pada waktu kecil. (Ibnu al Atsir ( 544 H- 606 H), an Nihayah fi Gharib
al Hadist wa al Atsar, Mekkah, Dar Al Baaz, : 1/316) . Oleh karenanya Rasulullah saw tidak senang
melihat Aisyah bersama laki-laki yang barangkali bukan satu susuan waktu kecil. (Ibnu Qayyim, Zaad al
Maad : 5/516).
Dikuatkan juga dengan hadist Ummu Salamah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang mengenyangkan dan terjadi sebelum
disapih. (HR Tirmidzi, dan beliau berkata ; Ini merupakan hadits hasan sahih dan diamalkan para ulama
dari kalangan sahabat Nabi saw dan yang lainnya; bahwa persusuan tidak menjadikan mahram kecuali
pada bayi di bawah dua tahun)
Hadist di atas menunjukkan bahwa susuan tidaklah menjadikan seseorang menjadi muhrim bagi yang
menyusuinya kecuali jika susu tersebut bisa membuka usus anak yang masih kecil, sehingga bisa
menumbuhkan daging dan membesarkan tulang. Dan ini terjadi ketika anak masih kecil, yaitu ketika
belum disapih.
Lafadh ats Tsadyi (puting payu dara) tidak dimaksudkan bahwa menyusui tersebut harus dengan cara
manual sebagaimana lazimnya seorang bayi menyusu dengan menghisap puting payudara ibunya, tetapi
maksudnya adalah umur ketika anak sedang menyusui. Sebagaimana orang Arab sering mengatakan:
fulan meninggal di puting payudara, artinya meninggal waktu kecil, pada umur menyusu.Dari situ, bisa
dikatakan bahwa jika seorang bayi minum susu seorang perempuan dari botol, maka bayi tersebut telah
menjadi anak susuannya secara sah. (Ibnu al- Arabi, Aridhatu al Ahwadzi : 5/ 97, Al Mubarkufuri, Tuhfatu
al Ahwadzi, Beirut, Daar al Kutub al Ilmiyah, 1990, cet ke 1, Juz : 4/ 263).
http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih-kontemporer/6/1/bolehkah-
%E2%80%98menyusui%E2%80%99orang-dewasa?.html
Pertanyaan 6:
Bolehkah Seorang Ustadz Tampil di Layar Televisi? Apakah hal itu sesuai dengan etika hukum Islam
ataukah bertentangan?
Jawaban: Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Pendapat Pertama: Boleh
Pendapat ini diperkuat dengan keumuman dalil yang menganjurkan dakwah dan amar maruf nahi
munkar. Di antaranya adalah firman Allah Taala :
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah
kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya, lalu mereka
melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang
sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (QS. Ali Imran 131
:
187)
Qotadah rahimahullah mengatakan: Ini adalah perjanjian yang dibebankan Allah kepada ahli ilmu, ba-
rang siapa di antara mereka memiliki ilmu maka hendaknya menyampaikannya. Dan janganlah kalian
menyembunyikan ilmu karena itu adalah kehancuran.
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya dari al-Quran, hadits dan ucapan salafush sholih dalam masalah
ini.
Pendapat Kedua: Terlarang
Sebagian kalangan melarang dai/ustadz tampil di media layar dengan beberapa alasan dan argumen
sebagai berikut, di antaranya :
1. Metode dakwah dengan cara seperti ini adalah baru dalam agama sehingga termasuk kategori
bidah.
2. Menampilkan gambar sang ustadz, sedangkan hal ini termasuk gambar yang terlarang dalam
hadits.
3. Memiliki dampak negatif seperti menjadikan sang ustadz tidak bisa terus terang dalam dakwah,
membuat banyak orang berkeinginan membeli alat tersebut dan menjadikan wanita menonton
gambar ustadz, padahal membendung sarana fitnah merupakan prinsip syariat Islam.
Pendapat Yang Kuat
Dari keterangan di atas dapat kita ketahui kuatnya pendapat pertama dan lemahnya pendapat kedua.
Harus kita ingat bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas kemaslahatan, sedangkan tidak ragu
lagi bahwa kehadiran ustadz atau Syaikh dalam sarana-sarana modern membawa maslahat yang besar
karena dengan alat tersebut dakwah akan menyebar ke segenap pelosok dan penjuru tempat dalam
setiap jajaran manusia yang tak terhitung jumlahnya. Dengan demikian, diharapkan kebenaran dan
dakwah ini akan banyak diikuti oleh orang.Benar, kita tidak memungkiri adanya beberapa kekurangan
dalam media itu. Akan tetapi, kita harus ingat akan kaidah bahwa kemaslahatan umum harus lebih
didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.Kami menyadari bahwa masalah ini termasuk wilayah
ijtihad yang diperselisihkan ulama. Oleh karenanya, kami sangat berharap agar perbedaan pendapat
dalam masalah ini tidak menjerumuskan kita untuk saling bermusuhan dan berlepas diri, tetapi marilah
kita sikapi dengan lapang dada dan saling menghormati pendapat lain.Sebagaimana kami sangat
menekankan kepada saudara-saudara kami yang tampil dalam media tersebut untuk meluruskan niat
mereka dan membekah diri mereka dengan ilmu serta memperhatikan kaidah-kaidah dalam masalah ini,
serta memberikan udzur kepada sebagian ustadz lain yang tidak man tampil di media layar. Inilah nasi-
hat dan pesan berharga Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya tentang
masalah ini: Barang siapa yang lapang dadanya dan memiliki ilmu maka hendaknya dia berdakwah di
TV untuk menyampaikan risalah Allah, semoga Allah memberikan pahala baginya. Dan barang siapa be-
lum bisa menerima hatinya dan menganggapnya sebagai syubhat sehingga tidak berdakwah di TV maka
kami berharap dia diberi udzur.
http://situs.assunnah.web.id/2010/12/20/bolehkah-seorang-ustadz-tampil-di-layar-televis
Pertanyaan 7:
Apakah sah khutbah shalat jumat tanpa membaca solawat Nabi?
Jawaban:
Masalah di atas berkaitan dengan rukun-rukun http://konsultasisyariah.com/tag/khutbah-
jumat”>khutbah Jumat. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di dalam kitab Al-Fiqh
Alal Madzhabil Arbaah (Fiqih Menurut Madzhab Empat) I/390-391, karya Abdurrahman al-Jaziri,
disebutkan pendapat empat madzhab tentang rukun-rukun khutbah Jumat. Ringkasnya sebagai berikut:
1. Hanafiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu dzikir yang tidak terikat atau
bersyarat. Meliputi dzikir yang sedikit ataupun banyak. Sehingga untuk melaksanakan khutbah yang
wajib, cukup dengan ucapan hamdalah atau tasbih atau tahlil. Rukun ini untuk khutbah pertama.
Adapun pada khutbah kedua, hukumnya sunnah.
2. Syafiiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki lima rukun:
a. Hamdalah, pada khutbah pertama dan kedua.
b. Shalawat Nabi, pada khutbah pertama dan kedua.
c. Wasiat takwa, pada khutbah pertama dan kedua.
d. Membaca satu ayat al-Quran, pada salah satu khutbah.
e. Mendoakan kebaikan untuk mukminin dan mukminat dalam perkara akhirat pada khutbah kedua.
3. Malikiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu, khutbah harus berisi peringatan
atau kabar gembira.
4. Hanabilah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki empat rukun.
a. Hamdalah, pada awal khutbah pertama dan kedua.
b. Shalawat Nabi.
c. Membaca satu ayat al-Quran.
d. Wasiat takwa kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Di antara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam berkhutbah, bahwa beliau shallallahu alaihi
wa sallam mengucapkan salam kepada hadirin ketika naik mimbar.


Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika telah naik mimbar biasa
mengucapkan salam. (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Demikian juga beliau shallallahu alaihi wa sallam biasa membuka khutbah dengan mengucapkan
hamdalah, pujian kepada Allah, syahadatain, bacaan ayat-ayat takwa, dan perkataan amma bad. Hal ini
antara lain ditunjukkan hadits di bawah ini.

) (

) (

)
Dari Abdullah, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengajari kami khutbah untuk
keperluan.
http://konsultasisyariah.com/khutbah-jumat-tanpa-shalawat-sahkah

Pertanyaan 8:
Transplantasi Organ Tubuh, Bolehkah?
Jawaban:
Sebenarnya, kajian yang membahas hukum syariah tentang praktek transplantasi jaringan maupun
organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif jarang dan hampir tidak pernah
dikupas oleh para fuqaha secara mendetail.
Barangkali salah satu sebabnya adalah karena transplantasi ini tergolong kasus yang baru berkembang di
masa kini. Selain itu juga kompleksnya kasus yang terkait dengan masalah transplantasi. Oleh karena itu
tidak heran jika hasil ijtihad dan penjelasan syari tentang masalah ini banyak berasal dari pemikiran
para ahli fikih kontemporer, keputusan lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional maupun
internasional.
Mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern,
pada dasarnya secara global tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ.
DALIL KEBOLEHAN TRANSPLANTASI
Secara umum dan pada prinsipnya mereka membolehkannya dengan alasan dan dalil sebagai berikut:
1. Ayat-ayat tentang dibolehkannya mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-
benar darurat antara lain: QS. 2:173, 5:3, 6:119,145.
Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah:5)
2. Ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam antara lain: (QS. 2:185,4:28, 5:6,
22:78)
3. Hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan.
4. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku itsaar tanpa pamrih dan dengan
tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya (QS. 95:9).
5. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.
http://pgriciampea-smp.site90.net/BungaRampai/6/konsultasi/trans.html

Pertanyaan 9:
Hukum Bunga Bank Tidak Haram?
Jawaban:oleh Ahmad Sarwat, Lc

Illat haramnya riba bukan terletak pada unsur eksplotitasinya. Salah besar ketika ada orang yang
berpendapat demikian. Yang menjadi illat dalam haramnya riba adalah praktek riba itu sendiri. Bila
terpenuhi unsur riba, maka praktek itu riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, bila tidak terpenuhi unsur
riba, maka praktek itu bukan riba dan hukumnya tidak haram.
Mengalihkan illat riba pada unsur eksplotitasinya justru adalah tindakan yang tidak tepat. Sebagaimana
tidak tepatnya kita mengatakan bahwa haramnya daging babi karena ada cacing pitanya. Kelemahannya,
kalau cacing pita bisa dimusnahkan, apakah daging babi menjadi halal?
Sama juga dengan kita mengatakan bahwa zina itu diharamkan karena merusak nasab dan keturunan.
Ini jelas salah kaprah, karena penyebab haramnya zina bukan semata-mata agar nasab tidak tercampur-
campur, juga bukan karena agar tidak terkena penyakit kelamin.
Sebab di zaman sekarang, sebelum berzina, bisa saja pasangan tidak sah datang ke dokter untuk
memeriksa kesehatan kelamin mereka. Lalu oleh doker mereka dikatakan sehat, lalu mereka berzina
dengan menggunakan alat-alat pencegah kehamilan. Maka apa yang mereka laukan aman dari penyakit
kelamin sekaligus tidak akan terjadi percampuran nasab yang rancu. Lalu, apakah zina menjadi halal
dengan cara seperti itu? Tentu tidak.
Maka sebab haramnya riba bukan karena ada satu orang menindas pihak lain. Tetapi haramnya riba
adalah ketetapan Allah SWT langsung dari langit. Allah SWT sebagai pencipta manusia, tidak suka kalau
manusia melakukan praktek keuangan dengan jalan ribawi. Apakah itu menindas atau tidak, tidak ada
urusan.
Haramnya Bunga Bank
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c:
bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal -bank yang diberikan
oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan
bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga
bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya syubhat.
3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah
menyepakati dua hal: Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu
segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga
bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek
pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.
Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz,
Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan
ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1181554435

Pertanyaan 10 :
Ustadz, apa hukumnya denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang?
Jawaban:
Dalam fiqih kontemporer denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang disebut al-
gharamat at-takhiriyah atau al-gharamat al-maliyah. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasau
at-Tajir Jahlahu, hal. 279 & 335; Ali as-Salus, Mausuah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, hal. 458).
Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian membolehkan dan sebagian
lagi mengharamkan. Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW,Tindakan
menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman. (HR Bukhari). Juga sabda Nabi
SAW,Tindakan orang mampu *menunda pembayaran utangnya+ telah menghalalkan kehormatannya
dan sanksi kepadanya. (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda
pembayaran utangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun
mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk
membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasiah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang
mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (QS Al-Baqarah : 280). (Abdullah Mushlih &
Shalah Shawi, ibid., hal. 337).
Sedang pihak yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasiah),
yaitu tambahan dari utang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang
diharamkan saat Al-Quran turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik
diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih
& Shalah Shawi, ibid., hal. 338).
Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang
menunda pembayaran utang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun
qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali
terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah tazir,
yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk tazir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah
Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi utang hanya berhak atas sejumlah uang yang
dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi
penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran
tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449).
Kedua , denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama
dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syaia uthiya
hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M.
Shidqi Burnu, Mausuah al-Qawaid Al-Fiqhiyah, 9/252). Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena
terlambat membayar utang atau angsuran utang hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu
alam.
http://hafidz341.com/Aktual/denda-karena-terlambat-bayar-utang-bolehkah.html

Anda mungkin juga menyukai