Anda di halaman 1dari 29

PENGERTIAN

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas
140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001)
Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi.
KLASIFIKASI
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan
diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan
sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu
:
Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan perubahan
pada :
Elastisitas dinding aorta menurun
Katub jantung menebal dan menjadi kaku
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun
kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan
volumenya.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian
telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
Kegemukan atau makan berlebihan
Stress
Merokok
Minum alcohol
Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :
Ginjal
Glomerulonefritis
Pielonefritis
Nekrosis tubular akut
Tumor
Vascular
Aterosklerosis
Hiperplasia
Trombosis
Aneurisma
Emboli kolestrol
Vaskulitis
Kelainan endokrin
DM
Hipertiroidisme
Hipotiroidisme
Saraf
Stroke
Ensepalitis
SGB
Obat obatan
Kontrasepsi oral
Kortikosteroid
PATOFISIOLOGI / PATHWAY
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis
di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi.
Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal,
menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada
system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar
berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer
(Smeltzer, 2001).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya hipertensi palsu disebabkan kekakuan
arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah,
selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial
tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan
kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan
pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis,
Kesadaran menurun.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan dapat
mengindikasikan factor factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
Glukosa
Hiperglikemi ( diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan oleh peningkatan
katekolamin ( meningkatkan hipertensi )
Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama ( penyebab ) atau menjadi efek
samping terapi diuretik.
Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab )
Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter
Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi
kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah
140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan
suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
Penurunan berat badan
Penurunan asupan etanol
Menghentikan merokok
Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi
adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-
lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut
nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 25 menit berada
dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda
mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala
dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh
menjadi rileks
Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit
hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga
mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat.
Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONAL
COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD
PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis
kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan
Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
Ditambah obat ke 2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa
blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh
Obat ke-2 diganti
Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi
Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik
antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan
kesehatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai
berikut :
Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran tekanan darahnya
Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan darahnya
Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan
untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortilitas
Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar
apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat
tensimeter
Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu
Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita
Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat mengukur
tekanan darahnya di rumah
Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari
Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek samping dan masalah-
masalah yang mungkin terjadi
Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk
mencapai efek samping minimal dan efektifitas maksimal
Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering
Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan.
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan sekali
pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan hipertensi.
PENGKAJIAN
Aktivitas / istirahat
Gejala :
Kelemahan
Letih
Napas pendek
Gaya hidup monoton
Tanda :
Frekuensi jantung meningkat
Perubahan irama jantung
Takipnea
Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner / katup, penyakit
serebrovaskuler
Tanda :
Kenaikan TD
Nadi : denyutan jelas
Frekuensi / irama : takikardia, berbagai disritmia
Bunyi jantung : murmur
Distensi vena jugularis
Ekstermitas
Perubahan warna kulit, suhu dingin( vasokontriksi perifer ), pengisian kapiler mungkin lambat
Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress
multiple ( hubungsn, keuangan, pekerjaan )
Tanda :
Letupan suasana hati
Gelisah
Penyempitan kontinue perhatian
Tangisan yang meledak
otot muka tegang ( khususnya sekitar mata )
Peningkatan pola bicara
Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal )
Makanan / Cairan
Gejala :
Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol
Mual
Muntah
Riwayat penggunaan diuretic
Tanda :
BB normal atau obesitas
Edema
Kongesti vena
Peningkatan JVP
glikosuria
Neurosensori
Gejala :
Keluhan pusing / pening, sakit kepala
Episode kebas
Kelemahan pada satu sisi tubuh
Gangguan penglihatan ( penglihatan kabur, diplopia )
Episode epistaksis
Tanda :
Perubahan orientasi, pola nafas, isi bicara, afek, proses pikir atau memori ( ingatan )
Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman
Perubahan retinal optic
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala :
nyeri hilang timbul pada tungkai sakit kepala oksipital berat nyeri abdomen
Pernapasan
Gejala :
Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas
Takipnea
Ortopnea
Dispnea nocturnal proksimal
Batuk dengan atau tanpa sputum
Riwayat merokok
Tanda :
Distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan
Bunyi napas tambahan ( krekles, mengi )
Sianosis
Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : Episode parestesia unilateral transien
Pembelajaran / Penyuluhan
Gejala :
Factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM , penyakit
serebrovaskuler, ginjal
Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon lain
Penggunaan obat / alcohol
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia
miokard, hipertropi ventricular
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam.
Kriteria hasil :
Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil
Intervensi :
Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
Catat edema umum
Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah pengunjung.
Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan kepala tempat
tidur.
Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Diuretik Tiazid misalnya klorotiazid ( Diuril ), hidroklorotiazid ( esidrix, hidrodiuril ),
bendroflumentiazid ( Naturetin )
Diuretic Loop misalnya Furosemid ( Lasix ), asam etakrinic ( Edecrin ), Bumetanic ( Burmex )
Diuretik hemat kalium misalnay spironolakton ( aldactone ), triamterene ( Dyrenium ),
amilioride ( midamor )
Inhibitor simpatis misalnya propanolol ( inderal ), metoprolol ( lopressor ), Atenolol ( tenormin ),
nadolol ( Corgard ), metildopa ( aldomet ), reserpine ( Serpasil ), klonidin ( catapres )
Vasodilator misalnya minoksidil ( loniten ), hidralasin ( apresolin ), bloker saluran kalsium (
nivedipin, verapamil )
Anti adrenergik misalnya minipres, tetazosin ( hytrin )
Bloker nuron adrenergik misalnya guanadrel ( hyloree ), quanetidin ( Ismelin ), reserpin (
Serpasil )
Inhibitor adrenergik yang bekerja secara sentral misalnya klonidin ( catapres ), guanabenz (
wytension ), metildopa ( aldomet )
Vasodilator kerja langsung misalnya hidralazin ( apresolin ), minoksidil, loniten
Vasodilator oral yang bekerja secara langsung misalnya diazoksid ( hyperstat ), nitroprusid (
nipride, nitropess )
Bloker ganglion misalnya guanetidin ( ismelin ), trimetapan ( arfonad ), ACE inhibitor (
captopril, captoten )
Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
Tujuan :
Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam
Kriteria hasil :
Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
Pasien tampak nyaman
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti kompres dingin pada
dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi dan
distraksi
Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala misalnya
mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan, diazepam,
valium )
Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan adanya tahanan
pembuluh darah
Tujuan :
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan dengan : TD
dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium
dalam batas normal.
Haluaran urin 30 ml/ menit
Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
Pertahankan tirah baring
Tinggikan kepala tempat tidur
Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri
jika tersedia
Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
Amati adanya hipotensi mendadak
Ukur masukan dan pengeluaran
Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program
Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai program
Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
Tujuan :
Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari hari
Menunjukkan penurunan gejala gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi.
Berikan bantuan sesuai kebutuhan
Instruksikan pasien tentang penghematan energy
Kaji respon pasien terhadap aktifitas
Monitor adanya diaforesis, pusing
Observasi TTV tiap 4 jam
Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu istirahat yang tidak
terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau sore
Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 8 jam per hari
Tampak dapat istirahat dengan cukup
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman
Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur
Evaluasi tingkat stress
Monitor keluhan nyeri kepala
Lengkapi jadwal tidur secara teratur
Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat
Lakukan masase punggung
Putarkan musik yang lembut
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
Tujuan :
Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil :
Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Intervensi :
Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien / atas keberhasilannya
Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi yang diderita
klien
Tujuan:
Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
Jam
Kriteria hasil :
Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
Ekspresi wajah rilek
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya kemampuan
menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan
Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsang,
penurunan toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk
mengatasinya
Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam
rencana pengobatan
Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup
Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
Observasi TTV tiap 4 jam
Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya
Berikan support mental pada klien
Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
Tujuan :
Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi setelah dilakukan tindakan ekperawatan
selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil:
Pasien mengungkapkan pengetahuan akan hipertensi
Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai program
Intervensi :
Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress
Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping atau
efek toksik
Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan dokter
Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan dokter : sakit kepala,
pusing, pingsan, mual dan muntah.
Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai program
Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat, jumlah yang
diperbolehkan, pembatasan seperti kopi yang mengandung kafein, teh serta alcohol
Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan
Berikan support mental, konseling dan penyuluhan pada keluarga klien



I.1. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah naiknya tekanan pada pembuluh darah arteri.
Hipertensi terutama diakibatkan oleh dua faktor utama, yang dapat hadir secara independen atau
bersama-sama, yaitu : (Silbernagl S dan Lang F, 2000).
1. Daya pompa jantung dengan kekuatan yang besar.
2. Pembuluh darah kecil (arteriol) menyempit, sehingga aliran darah memerlukan tekanan yang
besar untuk melawan dinding pembuluh darah tersebut.
Beberapa ahli kardiovaskular mengkategorikan hipertensi sebagai berikut :
Hipertensi primer atau esensial atau pula hipertensi idiopatik adalah hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya. Hipertensi jenis ini merupakan 90% kasus hipertensi yang banyak terjadi
di masyarakat. Hipertensi ini merupakan proses kompleks dari beberapa organ utama dan sistem,
meliputi jantung, pembuluh darah, saraf, hormon dan ginjal (Guibert R dan Franco ED, 1999).
Hipertensi sekunder adalah naiknya tekanan darah yang diakibatkan oleh suatu sebab. Hipertensi
jenis ini terjadi pada 5% kasus yang terjadi di masyarakat. Selain itu ada beberapa jenis
hipertensi dengan ciri khas khusus. Isolated Systolic Hypertension adalah hipertensi yang terjadi
ketika tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg namun tekanan diastolik dalam batas normal.
Keadaan ini berhubungan dengan arteriosclerosis (pengerasan dinding arteri). Pregnancy Induced
Hypertension adalah kondisi naiknya tekanan darah yang terjadi selama kehamilan, dimana
naiknya tekanan darah sistolik dan diastolik lebih dari 15 mmHg (Guibert R dan Franco ED,
1999).
Selain itu terdapat kondisi yang dinamakan White Coat Hypertension. Bentuk hipertensi ini
adalah meningkatnya tekanan darah yang terjadi selama kunjungan ke dokter, namun tidak di
rumah. Hipertensi ini merupakan faktor pada kira-kira 20% pasien dengan hipertensi ringan
(Guibert R dan Franco ED, 1999).
I.2. Epidemiologi
Hipertensi esensial mulai terjadi seiring bertambahnya umur. Pada populasi umum, pria lebih
banyak yang menderita penyakit ini dari pada wanita (39% pria dan 31% wanita). Prevalensi
hipertensi primer pada wanita sebesar 22%-39% yang dimulai dari umur 50 sampai lebih dari 80
tahun, sedangkan pada wanita berumur kurang dari 85 tahun prevalensinya sebesar 22% dan
meningkat sampai 52% pada wanita berumur lebih dari 85 tahun (Trenkwalder P et al, 2004).
Dari 25% pria dan 18% wanita penderita hipertensi, tidak menyadari bahwa mereka mengidap
hipertensi. Bagi mereka yang menyadari, 82%nya menjalani pengobatan terhadap penyakitnya.
Sedangkan dari semua penderita hipertensi, hanya 46% yang mempunyai hipertensi terkontrol.
Untuk kedua jenis kelamin, perbandingan hipertensi terkontrol menurun seiring bertambahnya
umur, sedangkan perbandingan hipertensi yang tidak terkontrol yang menjalani pengobatan
bertambah seiring bertambahnya umur. Untuk pria, perbandingan penderita yang sadar menderita
hipertensi (diobati atau tidak diobati) juga menurun seiring bertambahnya umur (Trenkwalder P
et al, 2004).
I.3. Etiologi
Faktor genetik dianggap penting sebagai sebab timbulnya hipertensi. Anggapan ini didukung
oleh banyak penelitian pada hewan percobaan dan tentunya pada manusia itu sendiri. Faktor
genetik tampaknya bersifat mulifaktorial akibat defek pada beberapa gen yang berperan pada
pengaturan tekanan darah (Fauci AS et al, 1998).
Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling berperan dalam perjalanan munculnya penyakit
hipertensi. Faktor ini meliputi intake garam yang berlebihan, obesitas, pekerjaan, alkoholisme,
stresor psikogenik dan tempat tinggal. Semakin banyak seseorang terpapar faktor-faktor tersebut
maka semakin besar kemungkinan seseorang menderita hipertensi, juga seiring bertambahnya
umur seseorang (Fauci AS et al, 1998).
Dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai
penyebab langsung hipertensi esensial. Lain halnya dengan hipertensi sekunder, yang saat ini
telah banyak ditemukan penyebabnya secara langsung, beberapa di antaranya adalah : (Fauci AS
et al, 1998)
1. Sleep-apnea
2. Drug-induced atau drug-related hypertension
3. Penyakit ginjal kronik
4. Aldosteronisme primer
5. Penyakit renovaskular
6. Terapi steroid jangka lama dan sindrom Cushing
7. Feokromositoma
8. Koarktasio aorta
9. Penyakit thyroid atau parathyroid
I.4. Patofisiologi
Tekanan darah diatur dalam batas-batas tertentu untuk perfusi jaringan yang cukup tanpa
menyebabkan kerusakan pada sistem vaskular, terutama intima arterial. Tekanan darah arterial
langsung seimbang dengan hasil curah jantung dan resistensi vakular perifer. Pada orang normal
dan hipertensi, curah jantung dan resistensi perifer diatur oleh mekanisme pengatur yang saling
tumpang tindih : barorefleks disalurkan melalui sistem saraf simpatik dan sistem renin-
angiotensin-aldosteron. (Mycek MJ et, 1995)
Barorefleks mencakup sistem saraf simpatis yang diperlukan untuk pengaturan tekanan darah
yang cepat dari waktu ke waktu. Turunnya tekanan darah menyebabkan neuron-neuron yang
sensitif terhadap tekanan (baroreseptor pada arkus aorta dan sinus karotid) akan mengirimkan
impuls yang lebih lemah kepada pusat-pusat kardiovaskular dalam sambungan sumsum. Ini akan
menimbulkan peningkatan respon refleks pusat simpatik dan penurunan pusat parasimpatik
terhadap jantung dan pembuluh, yang akan mengakibatkan vasokontriksi dan meningkatkan isi
sekuncup jantung. Perubahan ini akan menurunkan kenaikan tekanan darah kompensasi (Mycek
MJ et, 1995).
Ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah volume darah. Baroreseptor
pada ginjal menyebabkan penurunan tekanan darah (dan stimulasi reseptor -adrenergik
simpatik) dengan cara mengeluarkan enzim renin. Peptidase ini akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I yang selanjutnya dikonversi menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah
vasokonstriktor yang sangat poten dalam sirkulasi, menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Lebih lanjut, angiotensin II ini memicu sekresi aldosteron sehingga reabsorpsi natrium ginjal dan
volume darah meningkat, yang seterusnya juga akan meningkatkan tekanan darah (Mycek MJ et,
1995).
Pada hipertensi esensial, sensitivitas terhadap garam ternyata meningkatkan insidensi hipertensi
pada keluarga yang sering mengkonsumsi NaCl dalam jumlah banyak. Namun hubungan antara
sensitivitas garam dan hipertensi primer belum sepenuhnya diketahui. Diduga responsifitas
terhadap katekolamin meningkat pada orang yang sensitif terhadap NaCl. Ini terjadi pada stres
psikologik yang pada satu sisi menimbulkan stimulasi terhadap jantung secara langsung, dan
pada sisi lain menyebabkan reabsorpsi renal secara tidak langsung sehingga menyebabkan
retensi cairan dan natrium, suatu keadaan yang disebut hipertensi hiperdinamik. Meningkatnya
tekanan darah menyebabkan pressure diuresis, dengan adanya peningkatan ekskresi natrium
untuk menjaga keseimbangan natrium. Mekanisme ini terjadi pula pada orang sehat, namun
peningkatan tekanan darah yang diperlukan untuk mengekskresi natrium dalam jumlah besar
lebih rendah. Pada hipertensi primer, NaCl-dependent increase in blood pressure lebih tinggi dari
normal. Diet rendah natrium menurunkan insiden hipertensi pada kasus ini (Silbernagl S dan
Lang F, 2000).
Dalam waktu yang lama, hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung. Gagal jantung adalah
keadaan patofisiologik di mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah
untuk metabolisme jaringan. Hipertensi merupakan faktor yang meningkatkan tekanan ventrikel
selama sistolik, yang selanjutnya akan meningktan beban akhir jantung (after load). Pada awal,
terjadi mekanisme kompensasi jantung berupa hipertrofi ventrikel untuk melawan tahanan
tersebut. Bila hal ini berlangsung cukup lama, maka akan terdapat titik akhir di mana jantung
sudah tidak dapat melawan beban akhir jantung, dan terjadilah gagal jantung (decompesatio
cordis) (Silbernagl S dan Lang F, 2000).
Hipertensi juga merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Peningkatan tekanan darah
sistemik meningkatkan tekanan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Seperti
diketahui, hal ini akan dikompensasi dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Akan tetapi
kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung akhirnya akan terlampaui dan terjadi
dilatasi jantung dan payah jantung. Jantung semakin terancam oleh adanya proses aterosklerosis
pembuluh darah koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut maka suplai oksigen miokardium
berkurang. Kebutuhan miokardium akan oksigen yang meningkat akibat hipertrofi ventrikel dan
peningkatan beban kerja jantung, akhirnya menyebabkan angina atau infark miokardium.
Aterosklerosis yang terjadi diduga karena tekanan darah yang selalu tinggi akibat hipertensi
merusak tunika media pembuluh darah koroner, dan hal menyebabkan pembuluh darah menjadi
kaku. Hipertensi juga merusak sel endotel pembuluh darah yang selanjut dapat menyebabkan
trombus. Trombus dapat menyebabkan aliran darah ke miokardium terhambat (Silbernagl S dan
Lang F, 2000).
Beberapa kelainan patologik yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini
diakibatkan oleh iskemia jaringan ginjal yang didahului sebelumnya oleh berkurangnya aliran
perfusi ke ginjal. Hal ini menyebabkan dikeluarkannya renin yang selanjutnya mengaktivasi
angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi sedangkan aldosteron
menyebabkan retensi cairan. Keduanya menyebabkan peningkatan tekanan darah (Silbernagl S
dan Lang F, 2000).
I.5. Manifestasi Klinis
Tekanan sistolik adalah gaya yang mempengaruhi dinding arteri sesaat jantung berkontraksi
untuk memompakan darah. Tekanan sistolik yang sering tinggi di atas normal dapat
menyebabkan hipertensi sistolik. Tekanan sistolik yang tinggi (hipertensi sistolik) diketahui
merupakan faktor resiko yang besar untuk terkena komplikasi penyakit jantung, ginjal dan
sirkulasi atau bahkan kematian, terutama pada pasien umur pertengahan dan orang tua. Semakin
besar jarak antara tekanan sistolik dan diastolik, maka semakin besar bahayanya (Kannel WB et
al, 2001).
Sebenarnya, meningkatnya tekanan sistolik menyebabkan besarnya kemungkinan timbulnya
kejadian stroke dan myocard infark bahkan walaupun tekanan diastoliknya dalam batas normal
(isolated systolic hypertension). Isolated systolic hypertension adalah bentuk hipertensi yang
paling sering terjadi pada lansia. Pada suatu penelitian, ia menempati 87% kasus pada orang
yang berumur 50 sampai 59 tahun (Kannel WB et al, 2001).
Tekanan diastolik adalah gaya yang dikeluarkan pada saat jantung terisi oleh darah balik.
Tekanan diastolik yang tinggi atau disebut hipertensi diastolik adalah prediktor kuat terhadap
kejadian serangan jantung dan stroke pada dewasa muda (Kannel WB et al, 2001).
I.6. Diagnosis
Tekanan darah dapat diperiksa secara sederhana dengan metode auskultasi yang tentunya harus
dilakukan secara benar dengan menggunakan instrumen yang telah dikalibrasi dan validitasnya
terjamin. Pasien sebaiknya dalam posisi duduk istirahat selama sedikitnya 5 menit, dengan kaki
di atas lantai dan lengan yang sejajar dengan letak jantung. Pengukuran dengan posisi berdiri
dapat dilakukan secara periodik, terutama pada pasien dengan resiko hipotensi postural.
Pergunakan ukuran manset yang tepat untuk menjamin akurasi pengukuran (manset paling tidak
melingkari 80% keliling lengan atas). Pengukuran harus dilakukan minimal dua kali. Tekanan
darah sistolik adalah titik dimana suara pertama dapat terdengar (fase 1) dan tekanan darah
diastolik adalah titik sebelum suara tidak terdengar lagi (fase 5). Diagnosis hipertensi dapat
ditegakkan berdasarkan pengukuran tekanan darah yang didapat dengan melihat kategori
penyakit hipertensi di bawah ini (JNC, 1997).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII
Kategori Tekanan Darah
Normal Sistolik Kurang dari 120 mmHg
Diastolik Kurang dari 80 mmHg
Pre-Hipertensi Sistolik 120 139 mmHg
Diastolik 88 89 mmHg
Hipertensi ringan (derajat 1) Sistolik 140 159 mmHg
Diastolik 90 99 mmHg
Hipertensi sedang (derajat 2) Sistolik Lebih dari 160 mmHg dan/atau
Diastolik Lebih dari 100 mmHg
Pada pemeriksaan tekanan darah dapat ditentukan pula tekanan nadi (Pulse Pressure). Tekanan
nadi adalah selisih antara tekanan sistolik dan diastolik. Tampaknya ini merupakan indikator
kekakuan dan adanya inflamasi pada dinding pembuluh darah. Semakin besar perbedaan antara
tekanan sistolik dan diastolik, maka semakin kaku dan rusaklah pembuluh darah. Walaupun
belum secara luas digunakan oleh para dokter untuk menentukan pengobatan, bukti
menunjukkan bahwa ia merupakan prediktor kuat adanya masalah pada jantung, terutama pada
lansia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa setiap kenaikan tekanan nadi sebesar 10 mmHg,
maka resiko terjadinya stroke meningkat sampai 11%, penyakit kardiovaskular 10% dan
mortalitas sampai 16% (pada dewasa muda resikonya bahkan lebih besar lagi) (JNC, 1997).
Evaluasi pasien yang sebelumnya diketahui menderita hipertensi mempunyai 3 macam penilaian.
(1) menilai gaya hidup dan mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular atau gangguan yang
secara bersama ada, yang dapat mempengaruhi prognosis pengobatan. (2) untuk mencari sebab
hipertensi yang dapat diidentifikasi. (3) menilai ada atau tidak kerusakan target organ (target
organ damage) dan penyakit serebrovaskular (JNC, 1997).
Pemeriksaan fisik lain meliputi pemeriksaan fundus optik, indeks massa tubuh, adanya bising
pada arteri karotis, abdominal dan femoral; palpasi kelenjar thyroid, pemeriksaan jantung-paru
dan ginjal, edema pada ekstremitas bagian bawah dan penilaian neurologis (JNC, 1997).
Tes laboratorium rutin dianjurkan untuk dilaksanakan sebelum memulai pengobatan, yang
meliputi pemeriksaan EKG, urinalisis, glukosa darah dan hematokrit, kalium serum, kreatinin
dan kalsium; dan profil lipid (setelah 9-12 jam berpuasa) yang meliputi HDL, LDL dan
trigliserida. Tes lain meliputi pengukuran ekskresi albumin urin, rasio albumin/kreatinin (Neaton
JD dan Wentworth D, 2002).
I.7. Penatalaksanaan
Tujuan terapi antihipertensi adalah pengurangan morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular dan ginjal. Karena sebagian besar pasien dengan hipertensi, terutama yang
berumur sedikitnya 50 tahun, mendapatkan tekanan darah diastolik yang normal bila tekanan
sisitolik normal dapat diwujudkan, maka tujuan utama terapi hipertensi adalah mempertahankan
tekanan sistolik dalam batas normal. Mempertahankan tekanan darah sistolik dan diastolik
kurang dari 140/90 mmHg berhubungan dengan menurunnya komplikasi penyakit
kardiovaskular. Pada pasien dengan hipertensi yang disertai diabetes dan penyakit ginjal, target
tekanan darahnya adalah 130/80 mmHg (Applegate WB, 2002).
Adopsis gaya hidup sehat oleh semua individu penting dalam pencegahan meningkatnya tekanan
darah dan bagian yang tidak terpisahkan dari terapi pasien dengan hipertensi (Applegate WB,
2002). Terdapat banyak pilihan terapi non-farmakologis dalam menangani hipertensi pada lansia,
terutama bagi mereka dengan peningkatan tekanan darah yang ringan. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup cukup efektif dalam menangani hipertensi ringan
pada lansia. Beberapa cara berikut membantu menurunkan tekanan darah pada lansia :
mengurangi berat badan yang berlebihan, mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi
alkohol, mengurangi intake garam pada makanan, dan melakukan olah raga ringan secara teratur.
Cara lain yang secara independen mengurangi resiko penyakit arteri terutama adalah berhenti
merokok. Pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (tekanan diastolik 90-105 mmHg
dan atau sistolik 160-180mmHg) terapi non-farmakologi dapat dicoba selama 3 sampai 6 bulan
sebelum mempertimbangkan pemberian terapi farmakologis. Pada hipertensi berat, perubahan
gaya hidup dan terapi farmakologi harus dijalani secara bersama-sama. Pola makan makanan
tinggi kalium dan kalsium serta rendah natrium juga merupakan metode terapi non-farmakologis
pada lansia penderita hipertensi ringan (Coope J dan Warrender TS,1996; JNC, 1997)
Tabel 3. Aplikasi Modifikasi Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi (JNC, 1997)
Modifikasi Gaya Hidup Dalam Penanganan Hipertensi
Modifikasi Anjuran Penurunan Tekanan Sistolik
Penurunan berat badan Pertahankan berat badan normal (BMI 18.5-2.49) 5-20 mmHg/10 kg
hilang berat
Pola Makan cara DASH Konsumsi makanan kaya serta seperti buah-buahan, sayuran dan produk
makanan rendah lemak , lemak jenuh dan lemak total 8-14 mmHg
Pengurangan jumlah natrium dalam makanan Kurangi intake natrium dalam makanan sampai
tidak lebih dari 100 mEq/L (2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida) 2-8 mmHg
Aktivitas fisik Lakukan aktivitas fisik aerobik secara teratur, seperti berjalan kaki (sedikitnya 30
menit per hari) 4-9 mmHg
Saat ini, pemberian terapi farmakologis menunjukkan penurunan morbiditas dan mortalitas pada
lansia penderita hipertensi. Berdasarkan penelitian terbaru pada obat-obat antihipertensi yang
tersedia sekarang ini (angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor), angiotensin-
receptor blocker (ARBs), calcium channel blocker, diuretik tipe Tiazid, beta-blocker), semua
menurunkan komplikasi penyakit hipertensi (Hansson L et al,1998).
Diuretik tiazid merupakan terapi dasar antihipertensi pada sebagian besar penelitian. Pada
penelitian-penelitian tersebut, termasuk Antihypertensive And Lipid Lowering Treatment To
Prevent Heart Attack Trial, diuretik lebih baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular
akibat penyakit hipertensi. Pengecualian datang dari Australian National Blood Pressure trial,
yang melaporkan hasil yang sedikit lebih baik pada pria kulit putih yang memulai terapi
hipertensi dengan ACE inhibitor dari pada mereka yang memulai dengan diuretik (Curb JD et al
1999).
Diuretik menambah keampuhan obat-obat hipertensi, berguna untuk mengontrol tekanan darah
dan lebih terjangkau dari pada obat-obat antihipertensi lain. Diuretik seharusnya dipakai sebagai
pengobatan awal terapi hipertensi untuk semua pasien, baik secara sendiri maupun kombinasi
dengan 1 dari golongan obat antihipertensi lain (ACE inhibitor, ARBs, -Blocker, CCB), karena
memberikan manfaat pada beberapa penelitian. Namun jika obat ini tidak ditoleransi secara baik
atau merupakan kontraindikasi, sedangkan obat dari golongan lain tidak, maka pemberian obat
dari golongan lain tersebut harus dilakukan (Curb JD et al 1999).
Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat-obat antihipertensi lain untuk
mencapai target tekanan darah yang diingini. Tambahan obat kedua dari golongan lain
seharusnya dimulai jika penggunaan obat tunggal pada dosis yang adekuat gagal mencapai target
tekanan darah yang diingini. Bila tekanan darah di atas 20/10 mmHg dari target, pertimbangkan
untuk memulai terapi dengan dua obat, baik pada sebagai resep yang terpisah maupun pada dosis
kombinasi tetap. Pemberian obat antihipertensi dengan dua obat dapat mencapai target tekanan
darah yang diingini dalam waktu yang singkat, namun mesti diperhatikan adanya hipotensi
ortostatik, seperti pada pasien diabetes mellitus, disfungsi otonom, dan beberapa kelompok usia
tua (SHEP, 2001).
Tabel 4.Macam-macam Obat Antihipertensi Oral dan Cara Pemberiannya, (JNC, 1997)
Obat-Obat Antihipertensi Oral
golongan Obat Dosis Lazim Frekuensi per hari
Diuretik Tiazid Klorotiazide 125-500 1
Klortalidon 12.5-25 1
Hidroklorotiazide 12.5-50 1
Politiazide 2-4 1
Indapamide 12.5-2.5 1
Metolazone 0.5-1 1
Loop diuretik Bumetanide 0.5-2 2
Furosemide 20-80 2
Torsemide 0.5-10 1
Kalium sparing diuretic Amiloride 5-10 1-2
Triamterene 50-100 1-2
Aldosterone-receptor blocker Eplerenon 50-100 1-2
Spironolactone 25-50 1-2
-Blocker Atenolol 25-100 1
Betaxolol 5-20 1
Bisoprolol 2.5-10 1
Metoprolol 50-100 1-2
Nadolol 40-120 1
Propanolol 40-160 2
Timolol 20-40 2
-Blocker dengan aktivitas simpato-mimetik intrinsik Acebutolol 200-800 2
Penbutolol 10-40 1
Pindolol 10-40 2
Kombinasi dan blocker Carvedilol 12.5-50 2
Labetalol 200-800 2
ACE inhibitor Benazepril 10-40 1-2
Captopril 25-100 2
Enalapril 2.5-40 1-2
Fosinopril 10-40 1
Lisinopril 10-40 1
Antagonis Angiotensin II Losartan 25-100 1-2
Candesartan 8-32 1
Eprosartan 400-800 1-2
Irbesartan 150-300 1
Olmesartan 20-40 1
Calcium channel blocker non dihidropiridin Diltiazem extended release 180-420 1
Verapamil immediate release 80-320 2
Verapamil long acting 120-360 1-2
Calcium channel blocker dihidropiridin Amlodipine 2.5-10 1
Felodipine 2.5-20 1
Isradipine 2.5-10 2
Nicardipine sustained release 60-120 2
Nifedipine long-acting 30-60 1
1 Blocker Doxazosin 1-16 1
Prazosin 2-20 2-3
Terazosin 1-20 1-2
2 agonis sentral dan obat lain yang bekerja sentral Clonidine 0.1-0.8 2
Metildopa 250-1000 1
Reserpin 0.05-0.25 1
Guanfacine 0.5-2 1
Vasodilator langsung Hidralazine 25-100 2
Minoxidil 2.5-80 1-2
Sekali terapi obat antihipertensi diberikan, maka pasien harus datang kembali untuk dilakukan
follow up dan perencanaan pengobatan kembali. Follow up dilakukan setiap bulan sampai target
tekanan darah yang diingini tercapai. Pasien hipertensi derajat 2 atau pasien dengan komplikasi
memerlukan lebih banyak kunjungan ke dokter untuk menilai keberhasilan pengobatan (Moser
M et al, 2000).
Kadar kalium dan kreatinin serum harus dimonitor satu sampai dua kali per tahun. Setelah target
tekanan darah yang diingini tercapai dan stabil, kunjungan follow up dapat dilakukan dalam
interval 3-6 bulan. Kondisi komorbid seperti gagal jantung dan penyakit yang memerlukan tes
laboratorium seperti diabetes mellitus, mempengaruhi frekuensi kunjungan. Faktor resiko
kardiovaskular lain harus ditangani sesuai dengan tujuan terapi penyakit tersebut. Pasien juga
harus sering dianjurkan untuk berhenti merokok. Terapi aspirin dosis rendah dapat dilakukan
hanya ketika tekanan darah terkontrol, karena resiko terjadinya stroke hemoragik meningkat
pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol (Marques et al, 1997).
Pasien lansia penderita hipertensi dan kondisi komorbid tertentu memerlukan perhatian dan
follow up oleh dokter. Pada tabel di bawah ini menggambarkan indikasi yang memberatkan yang
memerlukan obat-obat antihipertensi untuk kondisi resiko tinggi. Pemilihan obat untuk kondisi
ini berdasarkan data yang didapatkan dari beberapa penelitian terbaru. Kombinasi beberapa obat
mungkin diperlukan. Pertimbangan lain yang mesti dipikirkan adalah meliputi obat-obat yang
sudah pernah digunakan, tolerabilitas dan target tekanan darah yang diingini. Pada beberapa
kasus, konsultasi kepada ahli diindikasikan (Holzgreve H dan Middeke M, 2003).
Tabel 5. Anjuran Obat Pada Hipertensi yang Disertai Kondisi yang Memberatkan
Anjuran pemberian obat pada lansia penderita hipertensi yang disertai kondisi komorbid dengan
indikasi yang memberatkan
Pertimbangan lain dalam pemilihan obat-obat antihipertensi antara lain adanya efek yang baik
dan buruk yang menyertai kondisi komorbid. Tiazid berguna untuk memperlambat
demineralisasi pada osteoporosis. -blocker berguna pada penatalaksanaan takiaritmia
arteri/fibrilasi, migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), tremor esensial, atau hipertensi
perioperatif. Calcium channel blocker berguna pada sindrom Raynaud dan aritmia tertentu, dan
prostatisme (Gutzwiller F, 1999).
Diuretik tiazid harus diperhatikan pada pasien yang mempunyai riwayat gout atau hiponatremia
signifikan. -blocker biasanya dihindari pada pasien yang memiliki riwayat asma, penyakit
saluran pernafasan reaktif atau blok jantung derajat dua atau tiga (Curb JD et al 1999). ACE
inhibitor dan ARBs tidak diberikan pada wanita yang diduga hamil dan merupakan
kontraindikasi bagi wanita yang hamil; ACE inhibitor tidak diberikan pada individu yang
mempunyai riwayat angioedema. Antagonis aldosteron dan kalium sparing diuretik dapat
menyebabkan hiperkalemia dan biasanya dihindari pada pasien dengan kadar kalium lebih dari
5.0 mEq/L (Dahlof B et al 2001).
Penurunan tekanan sistolik lebih dari 10 mmHg pada posisi berdiri yang disertai rasa pusing dan
cemas disebut hipotensi postural dan banyak terjadi pada penderita lansia dengan hipertensi
sistolik, diabetes dan mereka yang sedang menggunakan diuretik, venodilator (seperti nitrat,
blocker) dan beberapa obat psikotropika. Tekanan darah pada pasien ini harus dimonitor pada
posisi terlentang. Perhatian meliputi penghindaran deplesi volume dan titrasi dosis obat
antihipertensi yang terlalu cepat (Trenkwalder P et al, 2004).
Dokter harus cukup tanggap bila target tekanan darah yang diingini tidak pernah tercapai bahkan
walaupun pasien telah mendapatkan 3 regimen obat antihipertensi yang meliputi diuretik.
Kondisi tersebut bisa disebut sebagai hipertensi resisten. Setelah menyingkirkan penyebab
hipertensi sekunder, dokter dapat menggali secara hati-hati sebab lain kegagalan terapi (JNC,
1997).
Tabel 6. Penyebab Hipertensi Resisten, (JNC, 1997)
Penyebab Hipertensi Resisten pada Lansia
Kesalahan pengukuran tekanan darah
Volume overload dan pseudotolerance
Intake natrium berlebih
Retensi cairan akibat penyakit ginjal
Terapi diuretik tidak adekuat
Drug-induced atau sebab lain
Dosis yang tidak adekuat
Kombinasi yang tidak tepat
Obat-obat anti-inflamasi non-steroid (AINS); inhibitor siklo-oksigenase 2
Kokain, amfetamin,
Simpatomimetik (dekongestan, anorektik)
Kontrasepsi oral
Steroid adrenal
Siklosporin dan takrolimus
Eritropoetin
Licorice
Kondisi yang bersamaan terjadi
Obesitas
Intake alkohol berlebih
I.8. Komplikasi
Pasien hipertensi biasanya meninggal dunia lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan
telah menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi
adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal. Dengan pendekatan
per organ sistem, dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi, yaitu antara
lain : (Hoeymans N et al, 1999)
Tabel 7. Komplikasi Hipertensi, (Hoeymans N et al, 1999)
Komplikasi Hipertensi Esensial yang Tidak Terkontrol
Jantung
Myocard infark
Angina pectoris
Gagal jantung kongestif
Sistem Saraf Pusat
Stroke
Hipertensive encephalopathy
Ginjal
Penyakit ginjal kronik
Mata
Hipertensive retinopathy
Pembuluh Darah Perifer
Peripheral vascular disease
I.9. Prognosis
Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterole-mia, intoleransi
glukosa dan berat badan, semuanya mempengaruhi prognosis dari penyakit hipertensi esensial
pada lansia. Semakin muda seseorang terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin buruk
perjalanan penyakitnya apalagi bila tidak ditangani (Fauci AS et al, 1998).
Di Amerika serikat, ras kulit hitam mempunyai angka morbiditas dan mortalitas empat kali lebih
besar dari pada ras kulit putih. Prevalensi hipertensi pada wanita pre-menopause tampaknya
lebih sedikit dari pada laki-laki dan wanita yang telah menopause. Adanya faktor resiko
independen (seperti hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan kebiasaan merokok) yang
mempercepat proses aterosklerosis meningkatkan angka mortalitas hipertensi dengan tidak
memperhatikan usia, ras dan jenis kelamin (Fauci AS et al, 1998).
Tabel 8. Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis Pasien Hipertensi
Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis Hipertensi
Faktor Resiko Utama
Hipertensi
Perokok
Obesitas (indeks massa tubuh > 30)
Kurang aktivitas
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Mikroalbuminuria atau GFR < 60 mL/menit
Usia (>55 tahun untuk pria; >65 tahun untuk wanita)
Riwayat keluarga mengidap penyakit kardiovaskular premature (pria <55 tahun atau wanita 65
tahun)
Kerusakan Target Organ
Jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Angina atau myocard infark
Gagal jantung
Otak
Stroke atau TIA
Penyakit ginjal kronik
Penyakit arteri perifer
Retinopati
DAFTAR PUSTAKA
Applegate WB (2002). High blood pressure treatment in the elderly. Clinics in Geriatric
Medicine, 8: 103-117.
Coope J, Warrender TS (1996). Randomised trial of treatment of hypertension in elderly patients
in primary care. BMJ; 293: 1145-1151.
ena , terutama lansia wanita mudah terjadi ostoporosis akibat menopause. Contoh makanan yang
tingggi kalsium adalah susu, ikan yang dimakan dengan tulangnya, sayuran hijau, kedelai dan
rumput laut.
Lansia hendaknya minum 6-8 gelas sehari mengingat fungsi ginjal menurun dan melancarkan
BAB.
Lansia hendaknya mengurangi natrium dengan cara membatasi garam dapur.
6. Serat
Serat tidak dapat dicerna, maka serat tidak mengandung gizi tetapi tetap dibutuhkan untuk
mencegah sembelit, wasir, kanker usus, penyakit jantung dan kegemukan bila kekurangan serat.
Serat ada 2 jenis:
a. Larut dalam air yang berfungsi mengikat kolesterol
b. Tdak larut dalam air yang berfungsi melancarkan BAB.

B. Petunjuk Penggunaan Garam untuk Penderita hipertensi
Untuk penderita hipertensi terdapat 3 diet:
a. Diet rendah garam 1 : untuk penderita hipertensi berat dianjurkan untuk tidak menambahkan
garam dapur dalam makanan.
b. Diet rendah garam II: Ditujukan untuk penderita hipertensi sedang (100-114 mmHg). Garam
dianjurkan sendok the garam dapur.
c. Diet rendah garam III: Ditujukan untuk penderita hipertensi ringan (diastole kurang dari 100
mmHg), garam dapur dianjurkan sendok teh.

C. TIPS Pemberian Makanan Bagi lansia Dengan Hipertensi
a. Hendaknya lansia makan dengan porsi kecil tapi sering
b. Makanlah makanan yang mudah dicerna
c. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, goring-gorengan dll.
d. Makan makanan yang lembek untuk lansia yang kondisi giginya kurang baik.
Coolest Site
Temukani..




Fktor hpertnsi pd lansia
Angka kejadian hipertensi pada lansia di Indonesia dari hasil survey kesehatan rumah tangga tahun 1995
di Jakarta, menunjukkan tekanan darah tinggi cukup tinggi yaitu 83 per 1000 anggota rumah tangga
(Astawan, 2008). Di poli geriatri RSU Dr. Soetomo pada tahun 2005 jumlah kasus hipertensi pada lansia
sebanyak 55,9% (Darmawangsa, 2007).
Dilihat dari beberapa faktor dominan penyebab hipertensi, faktor kelebihan berat badan dapat
meningkatkan resiko seseorang terserang penyakit hipertensi. Semakin besar massa tubuh, maka
semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan kejaringan tubuh. Berarti
volume darah yang beredar melalui pembuluh darah meningkat, sehingga akan memberi tekanan lebih
besar ke dinding arteri. Selain itu, kelebihan berat badan dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung
dan mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Faktor keturunan menunjukkan, jika kedua orang tua
kita menderita hipertensi, kemungkinan kita terkena penyakit ini sebesar 60 %. Penelitian ini
menunjukkan ada faktor gen keturunan yang berperan. Dari faktor penambahan usia ditemukan adanya
perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Faktor kebiasaan minum kopi di dapatkan
dari satu cangkir kopi mengandung 75 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi
meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg. Dari faktor kebiasaan merokok terdapat zat kimia dalam
tembakau yang dapat merusak dinding arteri sehingga lebih rentan terhadap penumpukan plak. Zat
nikotin dalam tembakau dapat membuat kerja jantung lebih keras karena terjadi penyempitan
pembuluh darah sementara yang dapat meningkatkan tekanan darah (Yulianti, 2006: 20).
Dari faktor konsumsi garam berlebih, terdapat kadar natrium klorida yang tinggi. Natrium klorida
merupakan 2 komponen mineral yang sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit,
asam basa, transmisi syaraf, serta kontraksi otot. Di dalam tubuh natrium klorida yang tinggi akan
mengikat komponen komponen cairan, dan harus dicairkan sebelum tubuh dapat menanganinya.
Selain itu, natrium klorida yang berkadar tinggi akan ditimbun oleh ginjal. Untuk pengeluarannya ginjal
harus bekerja sangat berat, dan kemungkinan ginjal kehilangan kemampuannya untuk berfungsi secara
normal. Hal ini membuat seseorang menderita hipertensi. Dari faktor kurang tidur dapat memicu
masalah darah tinggi. Hal ini terjadi tekanan darah secara alami akan turun selama tidur. Dari faktor
kurangnya serat, dapat berisiko terjadinya penyakit hipertensi, karena makanan berserat dapat
menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh. Tubuh yang kekurangan serat akibatnya kolesterol akan
tinggi yang dapat membentuk plak dalam arteri dan menyempit, akhirnya dapat meningkatkan darah
menjadi tinggi

Gizi pada lansia hipertensi
A. Kandungan Gizi Yang Diperlukan Lansia
1. Karbohidrat
Fungsi karbohidrat adalah penyedia energi. Pada lansia konsumsi gula dibatasi
karena:
a. Gula tidak mengandung gizi kecuali zat tenaga. Sedangkan pada lansia
konsumsi zat zat gizi lain seperti vitamin, protein dan mineral diutamakan untuk
mencegah proses penurunan fungsi tubuh.
b. Gula cepat diserap (absorpsi) sehingga mengakibatkan perubahan kadar gula
darah dan memungkinkan terjadinya obesitas (kegemukan) dan diabetes.
Makanan yang boleh: Beras, kentang, singkong, terigu, gula yang diolah tanpa
garam seperti macaroni, mie, biscuit dll.
Makanan yang tidak boleh: Roti, biscuit dan kue yang dimasak dengan garam
dapur.

2. Protein
Fungsi dari protein sebagai zat pembangun dari sel tubuh.
Pada lansia sebaiknya memilih daging unggas-unggasan daripada daging sapi atau
kambing dan hendaknya tidak makan lebih dari 2 potong daging pada sehari.
Makanan yang boleh: daging, ikan telur dan susu, semua kacang-kacangan dan
sayuran.
Makanan yang tidak boleh: ikan asin, keju, kornet, ebi, telur asam, pindang,
dendeng, udang, kacang tanah dan sayuran yang dimasak/ diawetkan dengan
garam dapur.
3. Lemak
Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin A,D,E dan K, membentuk tekstur
makanan dan memberi rasa kenyang yang lama. Lemak juga berfungsi sebagai
cadangan energi.
Pada lansia lemak sebaiknya dibatasi , mengingat:
a. Berkurangnya aktifitas tubuh sehingga kebutuhan energi juga menurun.
b. Berkurangnya produksi enzim mengakibatkan pencernaan lemak tidak
sempurna, s3ehingga membebani usus dan lambung yang akan mengakibatkan
gangguan pada usus.
c. Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh yang tinggi memicu penyakit
jantung dan pembuluh darah.
d. Kelebihan lemak akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk
timbunan lemak yang menyebabkan kegemukan.
e. cenderung mengakibatkan kanker usus.
f. Makanan yang boleh: minyak margarine dan mentega tanpa garam.
g. Makanan yang tidak boleh: margarine dan mentega biasa

4. Vitamin
Fungsi dari vitamin yaitu untuk mempercepat metbolisme, mempertahankan
fungsi jaringan tubuh dan mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan
jaringan.
Pada lansia vitamin sangat penting, terutama vitamin B1 agar tubuh selalu bugar.
Contoh makanan: beras merah
Makanan yang boleh: semua buah yang tidak diawtkan garam/ soda, air putih.
Makanan yang tidak boleh: durian, buah-buahan yang diawtkan oleh garam dan
soda, kopi dan coklat.


5. Mineral dan Air
Fungsi dari mineral yaitu pembentukan jaringan tubuh, memelihara
keseimbangan asam basa dll.
Pada lansia, kalsium sangat penting karena , terutama lansia wanita mudah
terjadi ostoporosis akibat menopause. Contoh makanan yang tingggi kalsium
adalah susu, ikan yang dimakan dengan tulangnya, sayuran hijau, kedelai dan
rumput laut.
Lansia hendaknya minum 6-8 gelas sehari mengingat fungsi ginjal menurun dan
melancarkan BAB.
Lansia hendaknya mengurangi natrium dengan cara membatasi garam dapur.
6. Serat
Serat tidak dapat dicerna, maka serat tidak mengandung gizi tetapi tetap
dibutuhkan untuk mencegah sembelit, wasir, kanker usus, penyakit jantung dan
kegemukan bila kekurangan serat.
Serat ada 2 jenis:
a. Larut dalam air yang berfungsi mengikat kolesterol
b. Tdak larut dalam air yang berfungsi melancarkan BAB.

B. Petunjuk Penggunaan Garam untuk Penderita hipertensi
Untuk penderita hipertensi terdapat 3 diet:
a. Diet rendah garam 1 : untuk penderita hipertensi berat dianjurkan untuk tidak
menambahkan garam dapur dalam makanan.
b. Diet rendah garam II: Ditujukan untuk penderita hipertensi sedang (100-114
mmHg). Garam dianjurkan sendok the garam dapur.
c. Diet rendah garam III: Ditujukan untuk penderita hipertensi ringan (diastole
kurang dari 100 mmHg), garam dapur dianjurkan sendok teh.

C. TIPS Pemberian Makanan Bagi lansia Dengan Hipertensi
a. Hendaknya lansia makan dengan porsi kecil tapi sering
b. Makanlah makanan yang mudah dicerna
c. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, goring-gorengan dll.
d. Makan makanan yang lembek untuk lansia yang kondisi giginya kropos
D.


Hipertensi pada lansia
Kontrol Ketat
Cegah Komplikasi


RACIKAN UTAMA - Edisi Juni 2007 (Vol.6 No.11)


Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Kontrol tekanan
darah yang ketat pada pasien diabetes berhubungan dengan pencegahan terjadinya
hipertensi yang tak terkendali.
Hipertensi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada orang lanjut usia dan
menjadi faktor risiko utama insiden penyakit kardiovaskular. Karenanya, kontrol tekanan
darah menjadi perawatan utama orang-orang lanjut usia. Jose Roesma, dari divisi
nefrologi ilmu penyakit dalam FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
mengungkapkan bahwa pada orang tua umumnya terjadi hipertensi dengan sistolik
terisolasi yang berhubungan dengan hilangnya elastisitas arteri atau bagian dari penuaan.
Jenis yang demikian lebih sulit untuk diobati dibanding hipertensi esensial atau pada
pasien yang lebih muda. Obat-obat antihipertensi terbaru yang bekerja pada sistem renin-
angiotensin-aldosteron, misalnya Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan
angiotensin-receptor blocker memiliki potensi perbaikan kardiovaskular pada orang tua
akibat penurunan tekanan darah efektif.
Isolated systolic blood pressure
Seperti telah disebutkan, para lansia ternyata lebih sering mengalami hipertensi sistolik
dan pengobatan hipertensi sampai saat ini masih banyak yang terfokus pada tekanan
diastolik <90 mmHg tanpa memikirkan angka sistoliknya, sehingga banyak lansia yang
tidak terdeteksi menderita hipertensi sistolik. Penelitian juga menyebutkan bahwa
menurunnya tekanan sistolik dapat menyebabkan penurunan curah jantung, risiko infark
miokard, serta penyakit kardiovaskular lainnya. Tekanan sistolik juga menjadi prediktor
yang lebih sensitif dibanding tekanan diastolik.
Hipertensi juga menjadi faktor utama terjadinya penyakit jantung koroner, yang terutama
menyerang di atas usia 75 tahun. Sebagai konsekuensinya, kontrol tekanan darah
merupakan kunci utama menjaga kesehatan kardiovaskular. Dokter juga harus melakukan
edukasi terus-menerus untuk menghindari terjadinya hipertensi sistolik. Tidak ada standar
tertentu untuk menentukan kategori umur yang dikatakan tua, namun pengertian lanjut
usia (lansia) ialah manusia di atas usia 60 tahun. Berdasarkan Global Risk Assesment
Scoring Chart dari penelitian Framingham, berat badan seiring usia juga akan
meningkatkan risiko terjadinya PJK setiap kenaikan lima tahun.
Isolated systolic hypertension (ISH) didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik di atas
sama dengan 140 mmHg pada tekanan diastolik kurang dari sama dengan 90 mmHg.
Keadaan ini terjadi karena hilangnya elastisitas arteri atau akibat penuaan. Dalam keadaan
ini aorta menjadi kaku dan akhirnya menyebabkan meningkatnya tekanan sistolik dan
penurunan volume aorta, yang pada akhirnya akan menurunkan volume dan tekanan
diastolik. Pada orang-orang tua, pengukuran tekanan sistolik yang meningkat ini lebih
signifikan karena dapat menunjukkan terjadinya kekakuan arteri besar, terutama aorta,
efeknya bisa membuat kerusakan jantung, ginjal, serta otak.

Manajemen dan
pencegahan
Beberapa penelitian, misalnya dari Syst-Eur 1 dan 2 dan penelitian lain di Jepang dan
Australia menunjukkan bahwa tata laksana hipertensi sistolik yang optimal ialah
penggunaan diuretik, penyekat beta, dan Angiotensin-receptor blockers (ARB). Bekerja di
sistem renin-angiotensin-aldosteron, ARB akan meningkatkan volume sirkulasi dan
merangsang sintesis kolagen akibat peningkatan jumlah sel otot polos pada pembuluh
darah.
Valsartan dan Losartan telah terbukti mampu menurunkan tekanan sistolik pembuluh
darah, mencegah akumulasi kolagen aorta, menurunkan kekakuan arteri karotis, serta
menurunkan tekanan dinding pembuluh darah pada diet rendah garam. ARB yang
dikombinasi dengan diuretik juga telah terbukti memiliki efek yang sangat baik,
menyerupai pemberian Ca blocker. Pada orang tua, sering ditemui gangguan pada sistem
kardiovaskular berupa gagal jantung, sehingga pengobatannya harus fokus untuk proteksi
kardiovaskular secara umum, tidak sekadar menurunkan tekanan darah.
Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Kontrol tekanan
darah yang ketat pada pasien diabetes berhubungan dengan pencegahan terjadinya
hipertensi yang tak terkendali dan beberapa penyakit lainnya, misalnya diabetes mellitus,
serangan stroke, infark miokard, dan penyakit vaskular perifer. Hal ini dapat dicapai
dengan menjaga tekanan darah di angka kurang dari 150/85 mmHg (kontrol ketat) atau
kurang dari 180/105 mmHg (kontrol tidak terlalu ketat). Kontrol ketat dilakukan pada
pasien yang memiliki risiko besar untuk memiliki komplikasi penyakit lainnya, misalnya
retinopati diabetik, pengurangan kemampuan penglihatan, atau diabetes yang berat.

Perspektif terkini
Penelitian dari The Heart Outcomes Prevention Evaluatin (HOPE) menyatakan bahwa
agen antihipertensi memang terbukti dapat mencegah pula penyakit kardiovaskular lainya.
Sementara penelitian dari The Irbesartan Diabetic Nephropathy Trial (IDNT) menyatakan
bahwa agen antihipertensi, khususnya Angiotensin II Antagonist Losartan (RENAAL)
dapat menurunkan endpoint pasien dengan Non Insulin-dependent Diabetes Mellitus.
ARB ini dinyatakan renoprotektif, lebih baik daripada ACE-inhibitor. Penelitian tentang
agen antihipertensi dengan mekanisme RAAS ini (ARB) monoterapi memang banyak
dilakukan dan terbukti bersifat renokardioprotektif dengan mekanisme perbaikan fungsi
endotel, dibanding ACE-inhibitor dan Calcium channel blocker.
Seperti guidelines antihipertensi (lihat tabel) yang tercantum berikut, penatalaksanaan
hipertensi terutama ditujukan pada pasien lanjut usia dengan target tekanan darah kurang
dari 140/90 mmHg. Guidelines yang banyak dipakai untuk tata laksana hipertensi pada
lansia diambil dari JNC 7 dan ESH/ESC 2003. Pedoman ini mengadopsi pendekatan tepat
sasaran untuk lansia guna menurunkan risiko penyakit jantung koroner seiring dengan
bertambahnya usia.
Tujuan utama penatalaksanaan hipertensi pada lansia, kelompok usia yang rentan
penyakit jantung koroner, sebenarnya juga tidak hanya menurunkan tekanan darah
semata. ARB dan ACE-inhibitor digunakan secara bersama-sama, keduanya bekerja
dalam sistem renin angiotensin aldosteron. ARB memblok konjugasi, sedangkan ACE-
inhibitor bekerja menghambat kerja enzim, sehingga gabungan keduanya ialah penurunan
tekanan darah dengan efek yang juga renokardioprotektif.
Selain itu, efek proteksi vaskular dari ARB juga berlaku untuk mengurangi kemungkinan
terjadiya stroke. Terdapat konsensus bahwa tekanan darah pada lansia harus di bawah
angka 140/90 mmHg untuk kategori usia 60-79 tahun. Tercapainya tujuan ini akan
tergantung tidak hanya berdasarkan efikasi obat antihipertensi, tapi dari segi
tolerabilitasnya juga, sehingga mempengaruhi keberhasilan dari seluruh tata laksana.
Terapi seperti ini tergolong aman dan efektif, namun tetap saja terapi yang terbaik
kemungkinan ialah mencegah hipertensi sebelum usia senja guna mengurangi risiko
penyakit jantung koroner sejak dini.

Pendekatan untuk lansia
Para dokter harus benar-benar yakin bahwa data pengukuran yang didapat ialah valid,
mengingat batas-batas penentuan kriteria seputar hipertensi sangat berhubungan dengan
angka. Tekanan darah di bawah 140 mmHg sistolik (jika memang benar sebesar ini) akan
jauh mengurangi risiko stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular lain pada
lansia, terutama yang berusia di atas 80 tahun. Meskipun tidak ada makna penting
lainnya, namun angka di bawah 140 ini akan sangat mempengaruhi jenis pengobatan dan
edukasi ke pasien.
Selain itu, dalam rangka menurunkan tekanan darah, sebisa mungkin perlu diperhitungkan
berbagai efek samping yang kemungkinan akan sangat mengganggu pasien, terutama
diuretik. Pemberian diuretik harus dimulai dari level rendah, misalnya Hydrochlorotiazide
(HCT) 12.5 mg atau yang setara dengannya. Jika angka ini dinilai kurang efektif, tidak
langsung menambah dosisnya, tapi dikombinasikan dengan pemberian dosis rendah CCB,
beta blocker, ACE-inhibitor, atau ARB. Pada beberapa keadaan penggunaan obat selain
diuretik sebagai terapi inisial sah-sah saja dilakukan, asalkan sesuai indikasi.
Kemungkinan hanya sekitar 40% pasien pada kelompok lansia yang akan mengalami
penurunan tekanan darah sampai di bawah 140 mmHg setelah penggunaan antihipertensi
ARB, sisanya, sebagian besar akan gagal. Karenanya, diperlukan manajemen titrasi dosis
naik perlahan-lahan ditambah kombinasi obat lainnya. Selain itu penggunaan diuretik
boros kalium juga akan menyebabkan hipokalemia jika tidak diberikan secara hati-hati.
Kontrol kadar kalium hingga tidak boleh di bawah 3.5 mg/dl harus dilakukan, termasuk
saat kontrol rawat jalan.
Jika ternyata dalam terapi, gejala-gejala hipertensi tetap muncul, atau bahkan terjadi
penyakit-penyakit kardiovaskular lainnya, penggunaan obat harus tetap dilanjutkan tanpa
mengurangi dosis yang sedang diberikan. Kemungkinan gejala ini akan mereda setelah
beberapa minggu atau lebih. Bisa saja terapi terus digiatkan, dosisnya ditambah, namun
metode agresif seperti ini juga akan menambah efek samping, sehingga beberapa ahli
tidak terlalu suka melakukannya.
(farid)

Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Juni 2007 , Halaman: 14 (9617 hits)

Anda mungkin juga menyukai