Anda di halaman 1dari 4

PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT SECARA BERKELANJUTAN

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Selain itu, 22 persen dari total
penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Fakta adalah sebuah ironi jika pemerintah
tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap sektor ini. Dan dari fakta tersebut dapat
dikatakan bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional
melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan
(aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya. Seperti diketahui
bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang paling produktif
dengan sumber daya maritime utamanya seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang
(coral reefs), padang lamun (sea grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta
sumber daya yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia masih melimpah dan belum dieksploitasi
secara optimal. Potensi lestari sumber daya perikanan laut mencapai 6,6 juta ton dan baru
termanfaatkan sekitar 60 persen. Lebih rinci, potensi sumber daya perikanan ini terdiri dari
ikan pelagis 3,5 juta ton/tahun, ikan demersal 2,5 juta ton/tahun, tuna 166,0 ribu ton/tahun,
udang 69,0 ribu ton/tahun, cakalang 275,0 ribu ton/tahun, dan ikan karang 48,0 ribu
ton/tahun. Sumbangan sektor perikanan terhadap sektor pertanian adalah sekitar 10,3 persen
per tahun dengan tingkat pertumbuhan yang positif, (Dahuri, Republika, 10 Mei 1999). Data
menunjukkan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi sebesar 2 persen
terhadap PDB tahun 1992, (ADB, 1996) dan sampai pada kuartal III tahun 1998, sektor ini
telah menyumbang sekitar 1,87 persen, (Dahuri, Republika, 10 Mei 1999). Sektor ini juga
memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 4,3 juta nelayan dan petani nelayan serta
menyediakan pendapatan tambahan bagi penduduk di wilayah pesisir Indonesia (ADB,
1996). Namun demikian, beberapa masalah seperti tangkap lebih (over-fishing), penangkapan
secara illegal, penurunan kualitas sumber daya dan habitat, dan polusi mengancam sebagian
besar wilayah pesisir di Indonesia yang pada gilirannya dapat mempercepat penurunan
ketersediaan ikan pesisir dan penurunan hasil tangkapan ikan oleh masyarakat nelayan kecil
yang bermukim di wilayah pesisir. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pengeksploitasian
sumber daya wilayah pesisir dan lautan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
diperlukan suatu strategi dan pendekatan pengelolaan yang terpadu dan menyeluruh
(integrated and comprehensive management) yaitu dengan melibatkan semua pihak terkait
(stakeholders) dalam seluruh proses pengelolaan mulai dari persiapan, perencanaan sampai
dengan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Makalah ini akan mencoba
mengidentifikasi berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumber daya wilayah
pesisir dan lautan dan menawarkan beberapa alternatif strategi dan pendekatan yang mungkin
dilakukan agar pemanfaatan sumber daya tersebut dapat dilakukan secara optimal dan
berkelanjutan.


Potensi
1. Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal yang sangat produktif dan khas
terdapat di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama
kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, kelas
Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain
yang mengeluarkan kalsium karbonat, (Nybakken, 1992). Unit dasar dari pembentuk terumbu
adalah polip karang yang bersimbiosis dengan alga yang hidup pada jaringan karang.
Hubungan simbiosis ini adalah faktor kunci yang menjelaskan persyaratan lingkungan yang
ketat bagi pertumbuhan karang karena alga yang bersimbiosis ini memerlukan cahaya untuk
melakukan fotosintesis dan dengan mudah dapat di musnahkan oleh sedimentasi.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivitas
organiknya dibandingkan dengan ekosistem lainnya dan juga keanekaragaman hayatinya.
Selain memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik,
tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan bermain bagi berbagai biota; ekosistem terumbu
karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti
berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Selain itu,
terdapat beberapa spesies yang berasosiasi dengan terumbu karang anemon laut, kuda laut,
dan lain-lain - yang merupakan bahan pembuatan obat-obatan seperti antibiotik,
anticoagulant, antileukemic, cardioactive, dan penghambat pertumbuhan kanker.

Terumbu karang di perairan laut Indonesia diperkirakan seluas 75.000 km2 (Direktur
Bina Sumber Hayati, 1997) dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 25-45
ton/km2/tahun pada kondisi yang masih baik. Pada kondisi terumbu karang yang mengalami
kerusakan berat produksi ikan akan turun secara drastis menjadi sekitar 2-5 ton/km2/tahun.
Pada terumbu karang yang baik panenan lestari yang dianjurkan adalah 20 ton/km2/tahun,
(Soekarno et. al, 1995). Jika terumbu karang di Indonesia sebagian besar dalam keadaan baik
maka dapat dibayangkan betapa besar produksi ikan yang bisa dihasilkan setiap tahun.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa tinggal 7 persen dari seluruh terumbu karang di
Indonesia yang kondisinya sangat baik, sementara sisanya sebagian besar dalam keadaan
jelek dan sangat jelek, (Suharsono, 1996). Jika dihitung secara ekonomis maka nilai terumbu
karang saat ini kurang lebih 70 ribu dolar Amerika per kilometer persegi dari hasil perikanan,
pariwisata dan sebagai pelindung pantai terhadap abrasi. Total nilai terumbu karang
Indoneisa paling sedikit 4,2 miliar dolar Amerika yang setiap tahun mengalami penurunan
paling sedikit 12 juta dolar akibat kerusakan. Jika penangkapan dengan racun diganti dengan
cara yang ramah lingkungan maka keuntungan yang akan dicapai diperkirakan sebesar 14,8
juta per tahun, (Republika, 12 Februari 2000).

2. Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang khas terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan dipercaya memiliki fungsi
ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien
bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan
abrasi, amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan
sebagainya. Secara ekonomis hutan mangrove berfungsi secara langsung sebagai penyedia
kayu yang dapat dipergunakan untuk berbagai jenis konstruksi bangunan, kayu bakar, arang,
bahan kertas, dan lain-lain. Sementara daun-daunannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan obat-obatan, pupuk untuk pertanian, dan sebagainya. Adapun secara tidak
langsung, hutan mangrove merupakan tempat rekreasi yang dapat dijadikan sebagai obyek
wisata alam (ecotourism) yang menarik seperti yang telah dikembangkan di banyak negara
antara lain Malaysia dan Australia. Kedua kegunaan secara langsung tersebut sudah lama
dikenal dan dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat pesisir di seluruh Indonesia,
sementara kegunaan secara tidak langsung belum dikembangkan dengan optimal.

Indonesia terkenal memiliki hutan mangrove luas dan sangat kaya dengan keaneka-
ragaman hayatinya. Luas hutan mangrove di Indonesia tercatat sebesar 5.209.543,16 ha pada
tahun 1982 dan kemudian mengalami penurunan menjadi sekitar 2.496.185 ha pada tahun
1993, (Dahuri, 1996). Sementara itu, keragaman jenis yang dimiliki oleh hutan mangrove di
Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dengan total spesies sebanyak 89, terdiri dari 35
spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, 5 spesies terna dan 2
spesies parasitik, (Nontji, 1993). Dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi maka
hutan mangrove merupakan aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari fungsi
ekologisnya tetapi juga dari fungsi ekonomisnya.

3. Padang Lamun (Sea grass beds)
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup diperairan dangkal dan hidup terbenam
dalam laut. Tumbuhan ini tersusun dari rhizome atau batang yang terbenam dan merayap
secara mendatar serta berbuku, daun dan akar. Lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang
bentuknya mirip pita dan berakar jalan, dan membentuk padang yang luas dan lebat di dasar
laut yang masih terjangkau oleh sinar matahari. Pada buku-buku dari rhizoma ini tumbuh
akar dan batang pendek yang tegak ke atas, berdaun, dan berbunga. Dengan rhizoma dan akar
inilah tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan
terhadap hempasan gelombang dan arus. Berbeda dengan tumbuhan lain yang hidup
terendam di dalam laut (seperti ganggang atau alga laut), lamun berbuah dan menghasilkan
biji. Untuk menghasilkan buah, lamun memiliki sistem pembiakan yang bersifat khas karena
mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination). Pada umumnya
lamun dapat hidup pada semua tipe dasar laut, tetapi padang lamun (sea grass beds) yang luas
hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal dan biasanya terdapat di
perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Padang lamun ini merupakan
ekosistem yang sangat tinggi produktivitas organiknya.

Sebaran geografis lamun berpusat di dua wilayah yaitu Indo Pasifik Barat dan Karibia
dimana jenis yang terdapat di Indo Pasifik Barat lebih banyak dibandingkan dengan yang
terdapat di Karibia. Jenis tumbuhan berbunga di laut lebih sedikit dibandingkan dengan di
darat karena di laut terdapat hanya 12 jenis (spesies) yang tergolong dalam tujuh marga. Ke
tujuh marga yang terdiri dari tiga marga suku Hydrocharitaceae dan 4 marga suku
Potamogetonaceae banyak dijumpai di perairan Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Bali,
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang memiliki berbagai
fungsi penting dan kegunaan. Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian
besar memasuki rantai makanan di laut. Dengan perkataan lain lamun merupakan sumber
utama produktivitas primer dan sumber makanan penting bagi berbagai organisme laut.
Padang lamun juga berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan daerah
perlindungan bagi berbagai jenis udang dan ikan serta biota laut lainnya. Daun lamun
berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan
sinar matahari. Vegatasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh
arus dan ombak serta menyebabkan perairan disekitarnya tenang. Oleh karena itu, padang
lamun dapat mencegah terjadinya erosi dan dapat menangkap sedimen yang kemudian
diendapkan dan distabilkan. Lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan hewan dan
juga manusia serta sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas dan pupuk. Masyarakat di
pulau Seribu telah lama memanfaatkan biji samo-samo (Enhalus acoroides) sebagai bahan
makanan setelah dicampur dengan kelapa, (Hutomo et.al. 1987).


4. Sumber Daya Lainnya
Disamping sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut juga menyimpan
berbagai macam sumber daya lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup
manusia. Sumber daya-sumber daya lainnya itu antara lain adalah berupa bahan-bahan
bioaktif seperti omega-3, sunchlorela dan sebagainya serta sumber daya tidak dapat pulih.
Sumber daya tidak dapat pulih ini meliputi mineral dan geologi. Mineral dapat dikategorikan
menjadi tiga yaitu mineral strategis terdiri dari minyak, gas, dan batu bara; mineral vital
seperti emas, timah, nikel, bijih besi, dan cromite; dan mineral industri termasuk bahan
bangunan seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir, (Dahuri et. al. 1996).

Wilayah pesisir dan lautan juga memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan yang sangat
penting bagi pembangunan dan kelangsungan hidup manusia serta menyimpan potensi
sumber daya energi yang besar. Jasa-jasa lingkungan dimaksud adalah fungsi kawasan pesisir
dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi,
sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penampungan
limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan penunjang
kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.

Sumber daya energi yang dimiliki oleh kawasan pesisir dan lautan antara lain adalah arus
pasang-surut, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air
laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan yang dikenal dengan nama Ocean
Thermal Energy Conversion (OTEC). Potensi-potensi energi tersebut sampai saat ini belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan sumber daya yang kita miliki.

Anda mungkin juga menyukai