Anda di halaman 1dari 93

1

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH
INDUSTRI PANGAN
LIMBAH CAIR GORENGAN (STREET FOOD)


Disusun oleh :
Matius Inda Tatontos 12.70.0062
Eliza Shinta M. 12.70.0088
Francisca Sari K.D. 12.70.0157
Raphael Elhan A. 12.70.0158
Ernadya Eka P. 12.70.0176
Kelompok F5









PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG

2014
1
1. DESKRIPSI LIMBAH

1.1. Data Sampel Limbah
1.1.1. Jenis Limbah
Pada praktikum ini menggunakan limbah cair gorengan (street food). Limbah ini
didapatkan dari minyak bekas pada penggorengan yang telah di bilas dengan air,
sehingga di dapatkan air.

1.1.2. Waktu Pengambilan
Limbah cair diambil pada hari Minggu, 13 September 2014 sekitar pukul 20.00 WIB.
Jumlah limbah yang diambil adalah 4 liter dengan 2 liter untuk kelompok F4 dan 2
liter untuk kelompok F5.

1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah
Limbah cair diambil dari pedagang gorengan pinggir jalan yang berlokasi di Jalan
Gajah Raya, Semarang.

1.1.4. Debit Limbah per Hari
Debit limbah cair per hari adalah sebanyak 12 liter per hari.

1.2. Karakterisitk Limbah
1.2.1. Karakterisitik Umum
Limbah merupakan buangan atau bekas yang berbentuk cair, gas dan padat. Limbah
cair adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat yang terdiri dari air yang
telah dipergunakan yang mengandung sekitar 0.1 % benda padat yang didalamnya
terdapat zat organik dan non organik. Nitrogen, lemak, karbohidrat, sabun merupakan
zat oraganik yang ada pada sampah. Memiliki sifat yang dapat menjadi busuk dan
mengeluarkan bau yang tidak sedap (Mahida, 1992). Menurut Sugiharto (1987),
limbah cair mempunyai komposisi yang sangat bervariasi tergantung dari sumber
asalnya. Akan tetapi secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam limbah cair
dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

3







Protein (65%) Butiran
Karbohidrat (25%) Garam
Lemak (10%) Logam
Gambar 1. Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam limbah cair

Bahan kimia yang berbahaya dan sukar dhilangkan biasanya terdapat pada air limbah.
Dengan adanya bahan kimia, kuman-kuman dapat hidup dan dapat menyebabkan tipus,
kolera, disentri, dsb. Pengolahan air limbah dapat mencemari dan membahayakan
lingkungan sehingga perlu dilakukan pengolahan air limbah. Untuk mengolah air
limbah dilakukan tahap-tahap tertentu yaitu dapat secara fisikawi, kimiawi, dan biologi,
dalam suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Tujuan dari pengolahan air
limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel yang terlarut, dan dapat untuk
membunuh mikroorganisme patogen. Selain itu pengolahan selanjutnya berfungsi
menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan tidak terdegradasi agar
konsentrasinya menurun. Pengolahan air limbah dilakukan secara bertahap agar bahan-
bahan berbahaya dapat berkurang (Sugiharto, 1987). Menurut Suratno (1998),
spesifikasi jumlah bahan pencemar yang dibolehkan untuk dibuang ke lingkungan
disebut baku mutu lingkungan.

Perubahan air yang diamati, adalah suhu air berubah, pH berubah, warna, bau, rasa
berubah merupakan tanda atau indikator bahwa air telah tercemar (Suriawiria, 1996).
Menurut Sugiharto (1987), bau yang muncul dapat dikarenakan adanya kegiatan
mikroorganik yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu. Selain itu,
reaksi kimia yang terjadi dapat timbul dan muncul bau gas. Unsur N pada limbah juga
dapat mengakibatkan bau
Limbah
Cair
Air (99,9%) Padatan (0,1%)
Anorganik Organik
4

busuk di tempat pembuangan limbah tersebut. Unsur N yang ada di dalam limbah bisa
berupa asam amino atau senyawa organik lainnya, apabila senyawa organik tersebut
sampai diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, maka akan menghasilkan bau
busuk yang mengganggu. Ditambahkan pula kekeruhan pada dasarnya disebabkan oleh
adanya terapungnya zat yang sering disebut zat koloidyang terurai secara halus, jasad-
jasad renik atau benda lain yang tidak mengendap segera. Warna air berkaitan erat
dengan zat-zat koloid yang tersuspensi di dalamnya. Masalah warna dan bau dapat
dilacak dari bermacam-macam zat pencemar, misalnya zat kimia pembersih maupun zat
kimia terlarut mengandung bau.

Limbah dapat masuk ke dalam lingkungan dapat dikarenakan oleh:
- Pengaruh yang besar tidak pada lingkungan, dapat dikarenakan kecilnya volume
limbah.
- Dapat menimbulkan pencemaran.

Kualitas limbah juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Volume pada air limbah
b. Adanya bahan pencemar yang terkandung
c. Frekuensi pembuangan air limbah (Kristanto, 2002).

Menurut Mahida (1992), limbah yang dapat dibuang ke saluran umum juga memiliki
syarat-syarat tertentu yaitu :
- Suhu pada air limbah tidak boleh terlalu tinggi, sekitar 100-110F. Air limbah yang
panas dapat merusak logam dan beton.
- Sifat yang terlalu asam atau terlalu basa tidak diperbolehkan pada air limbah, pH
yang baik antara sekitar 5,5 dan 9.
- Pada air limbah, zat yang berlemak maksimum konsentrasinya adalah 100 mg/l.
- Gas beracun, berbau tengik, tidak diperbolehkan terkandung pada air limbah
4

- Zat padat yang bisa mengendap dan memiliki berat spesifik yang tinggi seperti pasir
juga tidak diperbolehkan terkandung pada air limbah

Menurut teori dari Jenie & Rahayu (1993), Pembolahan pada limbah cair, biasanya
rendahnya kandungan nitrogen yang ada, BOD dan padatan tersuspensi yang tinggi,
dan proses dekomposisi dapat berlangsung dengan cepat. Selain itu, limbah cair yang
segar nilai pH dapat mendekati netral dan pH akan menurun selama proses
penyimpanan. Jika oksigen yang terlarut dalam air habis karena adanya bahan organik
yang tinggi maka dapat timbul bau yang busuk dan warna dari air dapat menjadi keruh
atau gelap. Pengolahan limbah dapat dikelompokkan menjadi 6 tahapan, yaitu
penanganan pendahuluan (pre treatment), penanganan primer (primary treatment),
penanganan sekunder (secondary treatment), penanganan tersier (tertiary treatment),
desinfeksi, dan penanganan lanjutan.

Ada beberapa tingkatan dalam proses pengolahan air limbah yaitu:
1. Pretreatment
Untuk melakukan pengolahan awal, yaitu menghilangkan zat-zat padat baik yang
melayang ataupun mengendap maka dapat dilakukan beberapa perlakuan yaitu
penyaringan dan sedimentasi (Mahida, 1992). Padatang yang besar yang berukuran
0,7 mm dapat hilang dengan adanya proses penyaringan. Proses penyaringan
tersebut dapat lebih baik dengan dilakukannya tahap koagulasi, padatan yang
terlarut susah dipisahkan. Pada pengolahan pre treatment biasanya digunakan
saringan agak kasar tapi dipilih yang tidak mudah berkarat. Saringan ini harus
5

diperiksa setiap hari untuk mengambil bahan yang terjaring sehingga tidak sampai
membuat kemacetan aliran air. Pengolahan tingkat pretreatment akan berpengaruh
pada hasil pengolahan tingkat primer (Gintings, 1992).
2. Primary Treatment
Padatan halus, zat warna yang larut maupun tersuspensi yang tidak terjaringpada
penyaringan pendahuluan perlu dihilangkan untuk memudahkan pengolahan
selanjutnya (Kusnaedi, 1998). Primary treatment dilakukan dengan dua metode
yaitu pengolahan secara kimia maupun secara fisik. Pengolahan secara fisik adalah
pengendapan yang terjadi secara gravitasi. Sedangkan pengolahan kimia yaitu
dengan menambahakan bahan kimia untuk mengendapkan bahan padatan. Butiran
yang bertambah besar (BJ lebih besar daripada air) diakibatkan oleh reaksi antara
senyawa kimia dengan bahan pengendap. Namun tidak semua reaksi berjalan
dengan sempurna karena untuk bahan tertentu semacam senyawa kimia organik
tidak akan mengendap. Pengendapan terjadi bila senyawa pencemar limbah terdiri
dari bahan-bahan organik seperti aluminium, besi, plumbum, nikel, dan lain-lain.
Penambahan bahan pengendap akan mengakibatkan perubahan alkalinitas air.
Buangan air yang diinginkan dalam badan air selalu netral, untuk itu perlu
netralisasi sesuai dengan tingkat keasaman yang dikehendaki. Pengolahan cara
fisika dimungkinkan bagi bahan kasar yang telah diolah dengan pengendapan atau
pengapungan. Pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia) menyediakan kolam
seluas ukuran tertentu sementara air mengalir dan partikel-partikel akan
mengendap. Keberhasilan pengendapan tergantung pada ukuran partikel,
konsentrasi padatan, berat jenis partikel, temperatur air limbah, retention time, dan
banyaknya udara yang kontak dengan air limbah.
3. Secondary Treatment
Secondary treatment biasanya dilakukannya proses biologis dan dapat bertujuan
untuk menghilangkan bahan organik dengan biokimia oksidasi. Reaktor lumpur
aktif dan trickling filter dapat digunakan pada proses biologis. Pada lumpur aktif,
air buangan yang masuk ke dalam tangki aerasi tempat beradanya mikroorgansime
mengkonsumsi buangan organis untuk membentuk sel-sel baru. Sebagai hasilnya
6

adalah endapan pada dasar bak. Bagian yang tebal pada dasar kemudian diambil
kembali.
4. Tertiary Treatment
Pada tingkat tertiary treatment bertujuan untuk senyawa kimia anorganik dihilangkan
seperti kalsium, kalium, sulfat nitrat, phospor, serta senyawa organik. Proses fisikawi,
kimawi, dan biologis yang terjadi pada pengolahan tingkat lanjut ini adalah filtrasi,
destilasi, pengapungan, pembekuan, dll. Proses kimianya adalah adsorbsi karbon aktif,
pengendapan kimia, pertukaran ion, elektrokimia, oksidasi dan reduksi. Sedangkan,
proses biologis meliputi proses penelitian bakteri dan algae nitrifikasi.
5. Desinfeksi
Tujuan dilakukannya desinfeksi adalah agar dapat menghilangkan mikroorganisme
patogen pada limbah pangan. Menurut Volk & Wheeler (1993), mekanisme kerja
dari desinfektan adalah dengan cara merusak membran sel atau biasa disebut
protein sel sehingga terjadi kematian atau mutasi. Klorin dan komponennya
merupakan zat pembunuh kimia yang dapat mematikan bakteri dengan cara
merusak atau menginaktifkan enzim utama sehingga dinding sel akan rusak seperti
yang dilakukan dengan menggunakan bahan radiasi atau panas. Metode merusak
langsung dinding sel seperti yang dilakukan bila menggunakan panas merupakan
metode lain dari desinfektasi. Daya racun yang ada pada zat kimia tersebut, kontak
waktu yang diperlukan, endahnya dosis, tidak toksik terhadap manusia, efektifitas,
dan hewan, tahan terhadap air, dan biaya murah jika dipakai yang bersifat massal.
Hal tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan saat memilih bahan kimia
sebagai desinfeksi (Sugiharto, 1987). Proses netralisasi diperlukan agar pH air
limbah sebelum dilepas atau dibuang telah sesuai dengan BML (Baku Mutu
Limbah) yang diterapkan oleh negara Indonesia. pH untuk limbah domestik yang
sesuai dengan BML adalah 69, sehingga pH air limbah setelah didesinfeksi harus
dikondisikan pada range pH tersebut. Setelah melalui berbagai proses pengolahan
dan dilakukan penambahan klorin, biasanya pH air limbah menjadi sangat asam,
sehingga perlu dilakukan penambahan Ca(OH)
2
agar pH meningkat dan bisa
berada pada range
7

pH yang diperbolehkan. Ca(OH)
2
mempunyai sifat yang basa, maka jika
ditambahkan dalam air limbah yang bersifat asam, akan dapat meningkatkan nilai
pHnya. Prinsip dari proses netralisasi adalah penambahan senyawa asam atau basa
ke dalam air limbah sehingga pH air limbah menjadi mendekati 7. Proses
netralisasi ini dilakukan karena diharapkan air yang akan dibuang ke dalam badan
air selalu netral. Sebab jika pH air limbah yang akan dibuang asam atau basa,
maka akan menggangu kehidupan biota air (Gintings, 1992).
6. Pengolahan Lanjutan (Ultimate disposal)
Perlakuan terhadap air limbah menggunakan cara fisika, yaitu proses pengolahan
dengan cara mekanis tanpa penambahan bahan kimia meliputi penyaringan, perataan
air, pencampuran, penggumpalan, penghancuran, pengendapan, pengapungan, dan
penapisan.

1.2.2. Karakteristik Fisikawi
Limbah mempunyai karakteristik fisikawi yang dapat diamati secara langsung dengan
alat indera manusia. Adanya sifat fisik yang terlihat dapat menentukan derajat
kekotoran limbah cair. Sifat fisik limbah cair meliputi adanya kandungan zat padat,
suhu, kekeruhan, warna dan bau (Utomo, 1998). Sifat-sifat fisik air limbah menurut
Sugiharto (1987):
Sifat Penyebab Pengaruh Cara mengukur
Suhu Kondisi udara
sekitarnya, air panas
yang dibuang ke saluran
dari rumah atau industri
Mempengaruhi
kehidupan biologis,
kelarutan oksigen /gas
lain, kerapatan air, daya
viskositas dan tekanan
permukaan
Dengan
termometer
(skala celcius atau
fahrenheit)
8

Kekeruh
an
Benda-benda tercampur
seperti limbah padat,
garam tanah liat, bahan
organik halus dari buah-
buahan asli, alga dan
organisme kecil
Memantulkan sinar,
mengurangi produksi
oksigen yang dihasilkan
tanaman, mengotori
pemandangan,
mengganggu kehidupan
Pembiasan cahaya
dan penyerapan
pada perubahan
skala standar
Warna Benda terlarut seperti
sisa bahan organik dari
daun dan tanaman,
buangan industri
Umumnya tidak
berbahaya dan
berpengaruh terhadap
kualitas keindahan air
Penyerapan pada
skala perubahan
standar
Bau Bahan volatil, gas
terlarut, hasil
pembusukan bahan
organik, minyak utama
dari mikroorganisme.
Petunjuk adanya
pembusukan air limbah,
untuk itu perlu adanya
pengolahan, merusak
keindahan
Kepekaan terhadap
bau dari manusia
terhadap tingkat
dari bau

Rasa Bahan penghasil bau,
benda terlarut dan
beberapa ion
Mempengaruhi kualitas
keindahan air

Tidak diukur pada
air limbah

Benda
padat
Benda organik dan
anorganik yang terlarut
/tercampur
Mempengaruhi jumlah
organik padat, garam,
juga merupakan petunjuk
pencemaran atau
kepekatan limbah
meningkat
Teknik analisis
gravitasi, jumlah
zat padat, SS, DS,
TSS


1.2.2.1. Bau
Limbah industri pangan sebagian besar berupa limbah organik yang mempunyai
sifatbiodegradable (mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi) artinya dapat
diuraikan melalui alam dengan dibantu mikroorganisme. Proses penguraian kembali
ini terjadi dengan melibatkan proses pembusukan yang menimbulkan bau kurang enak
(Sugiharto, 1987). Bau kurang enak tersebut timbul karena terjadi kegiatan
mikroorganik yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu. Di
9

samping juga diakibatkan karena terjadinya reaksi kimia yang dapat menimbulkan gas.
Menurut Gintings (1992) kuat atau tidak nya bau dari hasil limbah ini bergantung pada
banyaknya gas dan jenis gas yang timbul. Pengukuran bau dapat dilakukan dengan:
evaluasi sensori (indera pembau) dan GC (Gas Chromatography) yang dapat
menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau (Suhardi, 1991).

Bau dapat menunjukkan apakah suatu limbah cair masih baru/ telah membusuk. Bau
limbah yang busuk disebabkan karena adanya campuran dari nitrogen, sulfur, fosfor
dan juga berasaldari pembusukan protein dan bahan organik yang terdapat di dalam
limbah (Mahida, 1992). Ginting (1992) ini menyatakan bahwa karena adanya aktivitas
mikroorganisme yang berperan dalam menguraikan gas tertentu, sehingga
menimbulkan bau.

Limbah cair gorengan (street food) yang digunakan sebagai sampel dalam percobaan
ini agak berbau. Biasanya bau yang tidak sedap itu disebabkan karena adanya
campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein
dan bahan organik lain yang terdapat dalam air limbah, bau yang paling
menyerangberasal dari hidrogen sulfida. Konsentrasi amoniak kira-kira 0,037 mg/l
dapat menimbulkan bau amoniak yang sedikit menyengat, konsentrasi hidrogen
sulfida 0,0011 mg/l menyebabkan bau khas telur busuk; dan karbon disulfida sebanyak
0,0026 mg/l akan menghasilkan bau yang sangat tidak enak. Bau-bauan yang tidak
enak itu, meskipun tidak menyenangkan tetapi tidak mengganggu kesehatan
masyarakat kecuali apabila mereka memancar keluar dari gas-gas dan uap yang
beracun (Mahida,1992).
10


1.2.2.2. Warna dan kekeruhan
Warna limbah cair menunjukkan kandungan zat organik atau anoganik yang terlarut
ataupun tersuspensi (Suhardi, 1991). Limbah cair yang masih baru berwarna abu-abu,
sedangkan limbah yang sudah basi/ busuk berwarna gelap (Mahida, 1981). Warna dari
limbah cair tidak dapat menjadi patokan bahwa limbah tersebut berbahaya atau tidak.
(Jenie&Rahayu, 1993). Namun, warna dari air limbah dapat menunjukkan
kekuatannya, apabila limbah cair mempunyai warna gelap maka dapat dipastikan
limbah tersebut sudah busuk. Bahaya tidaknya suatu limbah dapat dilihat pada warna
limbah, apabila warna limbah hitam maka kandungan Pb tinggi, apabila warna limbah
kuning maka kandungan Fe tinggi, dan apabila warna limbah biru maka kandungan Cu
tinggi (Suhardi, 1991).

Dalam menentukan limbah cair, skala standar dan komparator dapat digunakan. Jika
tidak ada komparator warna Secchi, penentuan warna dapat dilakukan dengan
memegang tabung reaksi yang penuh dengan contoh air dan diamati dengan
11

latar belakang putih. Setelah itu diamkan dulu contoh air agar terjadi pengendapan dan
nyatakan warna hasil pengamatan, jika perlu kata muda, medium, atau tua
(Sastrawijaya, 1991).Standar warna limbah, meliputi coklat muda, berumur 6 jam;
abu-abu tua, merupakan air limbah yang sedang mengalami pembusukan; hitam, air
limbah yang membusuk oleh bakteri anaerob (Hadihardja, 1997).

Kekeruhan adalah menggunakan efek cahaya merupakan dasar untuk mengukur
keadaan air sungai, apabila terdapat benda koloid yang bercampur di dlaam air, maka
akan meyebabkan kekeruhan (Sugiharto, 1987). Adanya zat-zat koloid yang
terapungserta terurai secara halus menyebabkan terjadinya kekeruhan. Zat-zat tersebut
muncul karena kehadiran zat-zat organik yang terurai halus, jasad renik, lumpur, tanah
liat, dan benda terapung (zat koloid) yang tidak segera mengendap. Semakin keruh
suatu limbah, berarti semakin kuat limbah tersebut (Mahida, 1981).

Kekeruhan bukan merupakan polutan, sifat ini disebabkan adanya bahan tersuspensi
(bahan organik, mikroorganisme dan partikel-partikel cemaran lain). Kekeruhan
merupakan bersifat optik dari contoh kemudian menyebabkan sinar tersebar dan atau
diserap. Dapat diukur dengan turbidimeter lilin. Namun, yang biasa digunakan untuk
mengindikasi bahan tersuspensi adalah metode gravimetri, karena dasar dari metode
turbidimeter ini adalah berat partikel dan dasar dari kekeruhan adalah sifat optik.
Tingkat kekeruhan dapat dilihat dari keberadaan padatan organik maupun anorganik
dalam limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Alat yang digunakan untuk
mengukur tingkat kekeruhan adalah spektrofotometer. Apabila masih keruh maka harus
dijernihkan dengan diendapkan kemudian setelah itu diukur kembali dengan
menggunakan spektrofotometer (Suhardi, 1991).

Tingkat kekeruhan ini dapat dilakukan dengan menggunakan penglihatan langsung oleh
mata manusia. Standard dari karakteristik fisik limbah pada warna yaitu kekeruhan.
Sebenarnya tingkat kekeruhan dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer.
Apabila masih keruh maka harus dijernihkan dengan
12

diendapkan, kemudian setelah itu diukur kembali dengan menggunakan
spektrofotometer (Suhardi, 1991). Kekeruhan dapat diukur dengan turbidimeter dan
dinyatakan dalam satuan miligram setiap liter (mg/l) limbah cair (Suhardi, 1991). Selain
melihat tingkat kekeruhan limbah cair, dapat diketahui pula keberadaan padatan organik
maupun anorganik pada limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993).

Fungsi dari proses penyerapan atau adsorbsi adalah untuk menjernihkan limbah cair.
Proses penjernihan air limbah berfungsi untuk mengurangi pengotoran partikel
termasuk benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable) dan bahan organik
atau gabungan dari bau, warna dan rasa. Menurut Sugiharto (1987), proses penyerapan
(adsorbsi) yaitu proses untuk mengumpulkan bendabenda terlarut yang terdapat pada
larutan antar dua permukaan. Proses penyerapan terjadi pada seluruh permukaan
benda, dan biasanya terjadi penyerapan partikel pada bahan padat di dalam air limbah.
Bahan yang diserap disebut adsorbate atau solute dan bahan penyerapannya dikenal
adsorbent. Fungsi dari bahan padat adalah bahan penyerap agar kekruhan dapat
dikurangi darisuatu cairan. Pembelahan bahan adsorbent ini dapat meningkatkan luas
permukaan.

Karbon aktif alamiah merupakan butiran karbon serta bubuk karbon untuk mengolah
limbah dan setelah digunakan kemudian diaktifkan kembali. Karbon biasanya dibuat
melalui pembuatan arang yang terbuat dari batubara atau bahan kayu.Kemudian bahan
dibakar hingga berwarna merah. Kemudian ditambahkan gas oksigen pada tekanan
tinggi untuk melakukan pengaktifan partikel batu bara. Akibat penambahan gas
oksigen ini strukur rongga pada batubara/arang akan mengalami pengambahan
sehingga dapat memperluas permukaan. Karbon aktif ini dapat mengikat benda
organik dan partikelpartikel lain dengan baik pada luas permukaan yang besar karena
memiliki daya serap yang baik (Sugiharto, 1987).

Limbah cair gorengan yang digunakan sebagai sampel dalam praktikum ini berwarna
agak keruh. Warna keruh yang terbentuk disebabkan karena terlarutnya bagian
bagian
13

dari minyak saat pengolahan. Berdasarkan analisa, limbah ini tidak terlalu keruh dan
cukup jernih. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya limbah ini tidak terlalu banyak
mengandung padatan tersuspensi dalam air selama proses penggorengan gorengan.

1.2.2.3.Suhu
Suhu dapat dipergunakan untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan
biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan, dan nilai-nilai penjenuhan
dari benda padat, dan gas. Aktivitas kimiawi biologis pada benda padat dan gas dalam
air dapat dilihat dari perubahan suhu yang terjadi (Gintings, 1992). Pengentalan
biasanya dipakai untuk mengatur sedimentasi, pada suhu tinggi pengentalan
berkurang dan menghasilkan peningkatan sedimentasi. Tingkat oksidasi zat organik
pada suhu tinggi lebih besar daripada suhu rendah. Suhu yang tinggi juga dapat
membunuh mikroorganisme pengurai sehingga aktivitas biologis menurun (Mahida,
1992). Menurut Gintings (1992), temperatur limbah cair dapat
mempengaruhikecepatan reaksi kimia dan tata kehidupandalam air. Tingkatan oksidasi
zat organik ini akan terjadi kekeruhan pada suhu yang sangat tinggi. Begitu pula
dengan pembusukkan.

Limbah domestik biasanya mempunyai suhu mendekati netral (antara 15 25
o
C).
Apabila suhu berada dibawah optimum, maka akan terjadi pertumbuhan bakteri tetapi
tidak menjadi masalah utama dalam operasi perancangan unitnya (Jenie & Rahayu,
1993). Pada suhu tinggi ( 60C) maka akan menunjukkan bahwa adanya aktivitas
biologis yang semakin meningkat, sedangkan pada suhu ruang ( 27C) maka akan
menunjukkan adanya proses pembusukan limbah tersebut (Mahida, 1992). Biasanya
proses pengolahan dilakukan dengan menggunakan suhu yang tinggi dan hal ini akan
mengakibatkan suhu limbah menjadi lebih tinggi daripada suhu normal. Pada limbah
sisa pengolahan pada umumnya memiliki suhu yang tinggi. Hal itu disebabkan karena
adanya reaksi eksotermis dengan penggunaan bahan kimia lainnya. Suhu yang tinggi
pada buangan atau limbah ini harus diwaspadai karena dapat mengancam
kelangsungan hidup biota yang ada di badan air dan juga dapat memacu
perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan (Sastrawijaya, 1991).
14


Limbah cair gorengan (street food) memiliki temperatur 29C. Pengukuran suhu
limbah ini dilakukan dengan menggunakan alat thermometer. Suhu yang terukur ini
termasuk tidak terlalu tinggi, karena menurut Mahida (1992) pada suhu tinggi (
60
o
C) maka akan menunjukkan bahwa adanya aktivitas biologis yang semakin
meningkat, sedangkan pada suhu ruang ( 27
o
C) maka akan menunjukkan adanya
proses pembusukan limbah tersebut.

1.2.2.4 Analisa Total Padatan
Dalam air limbah biasanya terdapat padatan terapung atau kotoran yang melayang ikut
bersama air. Padatan ini dapat sejenis lumpur, sisa kain, potongan kayu, pasir.
Penghilangan padatan terapung atau melayang ini penting agar proses pengelolaan
limbah tahap selanjutnya tidak terganggu. Oleh karena itu padatan tersebut perlu
dihilangkan untuk mempermudah pengolahan berikutnya (Gintings, 1992). Padatan
yang terkandung dalam limbah bisa dalam bentuk terlarut maupun bentuk
tersuspensi(Anonim, 2007). Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan
cara kimia, yaitu koagulasi dengan bahan kimia tertentu (koagulan) (Gintings, 1992).
Menurut Sugiharto (1987), proses pengolahan secara kimia yaitu penggunaan bahan
kimia berfungsi dengan konsentrasi zat pencemar dalam limbah akan berkurang.
Dengan menggunakan bahan kimia berarti akan terjadi unsur baru dalam air buangan
yang mungkin sebagai katalisator.

Proses pengolahan pada limbah akan terhambat apabila terdapat padatan yang ada di
dalam larutan limbah tersebut. Oleh karena itu, padatan tersebut perlu dihilangkan
untuk mempermudah pengolahan berikutnya. Salah satu metode yang dapat diterapkan
adalah dengan cara kimia, yaitu koagulasi dengan bahan kimia tertentu (koagulan)
(Gintings, 1992). Menurut Sugiharto (1987), proses pengolahan cara kimia adalah
menggunakan bahan kimia untuk mengurangi konsentrasi zat pencemar dalam limbah.
Dengan menggunakan bahan kimia berarti akan terjadi unsur baru dalam air buangan
yang mungkin sebagai katalisator.
15


Untuk memisahkan larutan dan juga padatan yang terdapat didalam limbah dilakukan
proses penyaringan. Proses penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring
yang berukuran 0,7 mm atau dapat juga lebih besar. Penyaringan yang baik apabila
ditambahkan satu tahap pendahuluan yaitu koagulasi, karena padatan terlarut sulit
dipisahkan dari bagian cair. Kemudian benda benda padat yang melalui saringan
tersebut kemudian diendapkan dalam tanki tanki sedimentasi (Mahida, 1992).

Di dalam padatan biasanya terkandung berbagai endapan yang terdiri atas
fitoplankton, zooplankton, lumpur, kotoran manusia dan hewan, serta limbah industri
dan sisa tanaman maupun hewan. Padatan tersuspensi total sebagai contoh air adalah
jumlah berat bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu diberikan dalam
miligram per liter atau bagian per juta (bpj). Padatan tersuspensi total merupakan
residu yang tidak lolos saringan, ditetapkan dengan cara menyaring sejumlag air
limbah melalui filter membran. Berat keringnya diperoleh setelah satu jam pada suhu
103-105
o
C (Sugiharto, 1987) & (Jenie & Rahayu, 1993). Padatan terlarut dan padatan
yang tidak terlarut mengacu pada materi yang tertahan dan melewati filter. Bahan
yang tidak terlarut (residu yang tidak tersaring) tidak ditentukan secara langsung tetapi
dihitung dengan mengurangkan konsentrasi padatan tersuspensi dari konsentrasi
padatan total (Hammer & Hammer, 1996). Fraksi padatan yang dapat melewati
saringan terdiri atas padatan koloid dan padatan terlarut. Fraksi padatan koloid
merupakan padatan yang mempunyai diameter sekitar 1 milimikron hingga 1 mikron.
Sedangkan, padatan terlarut tersusun atas ion-ion dan molekul-molekul organik
maupun anorganik yang terlarut dalam air. Fraksi padatan koloid tidak dapat
dipisahkan dengan pengendapan tanpa perlakuan khusus. Umumnya, oksidasi biologi
atau koagulasi, yang diikuti dengan pengendapan, diperlukan untuk memisahkan
partikel tersebut (Tehobanoglous, 1981).

Padatan terlarut didalam larutan dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah
kepekatan dalam suatu contoh air, juga dinyatakan dalam mg per liter atau dalam
bagian juta. Penentuan padatan terlarut total dapat dengan cepat menentukan kualitas
16

air limbah. Ketransparanan dan warn air ini dipengaruhi oleh padatan terlarut dan
tersuspensi. Produktivitas berhubungan dengan sifat transparan. Apabila cahaya tidak
dapat tembus banyak maka bahan tersebut memiliki konsetrasi tersuspensi tinggi.
Warna air juga ada hubungan dengan kualitas air (Sastrawijaya, 1991).

Konsentrasi total padatan dihitung menggunakan rumus :
Total padatan =
sampel volume
1000 x kering residu Berat

(Sugiharto, 1987).

Total padatan (Total Solid/ TS) adalah bahan yang tertinggal setelah evaporasi sampel
air atau air limbah dan pengeringan dalam oven. Pengukuran total padatan dilakukan
dengan cara sejumlah volume tertentu diletakkan dalam cawan porselen. Air diuapkan
dari cawan dengan pengeringan dalam oven sedikitnya 1 jam pada 103-105C,
kemudian didinginkan dalam desikator dalam berat konstan. Miligram total residu
sama dengan perbedaan antara berat cawan setelah didinginkan dengan berat cawan
kosong.Total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid / TSS) adalah bahan yang
tertahan filter standar. Pengukuran total padatan tersuspensi dilakukan dengan filtrasi,
dimana filter dikeringkan dan ditimbang untuk menentukan peningkatan berat sebagai
hasil dari residu yang tertahan. Perhitungan total padatan tersuspensi sama dengan
perhitungan total padatan. Bahan terlarut (residu yang tidak tersaring) tidak ditentukan
secara langsung tetapi dihitung dengan mengurangi konsentrasi padatan total dengan
konsentrasi padatan tersuspensi (Hammer & Hammer, 1996). Perlu adanya perlakuan
untuk mengurangi jumlah TSS jika hasil yang didapat terlalu tinggi agar sesuai dengan
Baku Mutu Limbah. Dengan demikian limbah aman dilepas ke lingkungan.

Koagulasi adalah proses penggumpalan dengan menggunakan reaksi kimia. Reaksi
koagulasi berjalan dengan cara membubuhkan zat perekasi (koagulan) yang sesuai
dengan zat terlarut. Koagulan sering digunakan adalah kapur, tawas dan kaporit,
karena garam-garam Ca, Fe dan Al mempunyai sifat tidak larut dalam air
17

sehingga dapat mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa. Hasil reaksi koagulan
selanjutnya endapan yang terbentuk dipisahkan dengan filtrasi maupun sedimentasi.
Konsentrasi ion-ion yang larut, dan konsentrasi yang sesuai dengan standar baku dan
jenisnya dalam air olahan dapat digunakan untuk menentukan banyaknya koagulan.
Pengadukan dengan mixer statis maupun rapid mixerdapat mempercepat proses
koagulasi dalam air limbah (Kusnaedi, 1998).

Proses koagulasi menggunakan Ca(OH)
2
yang dapat menggumpalkan dan
mengendapkan padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut. Padatan-
padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut akan bergabung menjadi satu
sehingga berat jenisnya menjadi besar dan dapat diendapakan. Karbon aktif yang
digunakan pada proses adsorpsi memiliki atom-atom yang bersifat saling tarik
menarik. Ketika karbon aktif dimasukkan ke dalam limbah cair mie ayam, tidak ada
partikel padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut yang menarik atom
karbon aktif tersebut, sehingga karbon aktiflah yang menarik padatan-padatan
tersuspensi dan padatan-padatan terlarut (Gintings, 1992). Proses koagulasi berkaitan
dengan pengaruh yang dihasilkan dari penambahan bahan kimia kepada dispersi kolid
yang mengakibatkan ketidakstabilan partikel oleh pengurangan gaya-gaya yang
cenderung membuat partikel terpisah. Salah satu sifat penting dari keadaan koloid
adalah bahwa partikel koloid itu sendiri masing-masing mempunyai muatan listrik
yang menyebabkan koloid saling tolak-menolak, sehingga tidak terjadi penggabungan
menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap melainkan tetap dalam
bentuk tersuspensi (Birdi, 1979).

Zat-zat yang digunakan menggumpalkan dapat disebut koagulan. Dalam proses
pemurnian air digunakan bahan koagulan utama yaitu chlorinated copperas (campuran
antara feri klorida dan feri sulfit, aluminium sulfat (Al
2
(SO
4
)
3
.14H
2
O), feri sulfat
(Fe
2
(SO
4
)
3
), copperas (FeSO
4
.7H
2
O), feri klorida (FeCl
3
), serta silikat aktif (Winarno,
1986). Bahan penggumpal merupakan reaksi antara garam logam dengan basa yang
terjadi di dalam air maka akan dihasilkan kumpulan hidroksida logam yang tidak
mudah larut (Buckle et al., 1987).
18

Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi :
1. Efek pH
Untuk setiap jenis air terdapat sedikitnya satu range pH yang tepat untuk koagulasi
dan flokulasi dalam waktu singkat dengan dosis yang diberikan. Dengan dilaksanakan
dalam zona optimum.
2. Efek garam
Pengaruh garam pada koagulasi untuk merubah beberapa point yang dapat disebutkan
di bawah ini :
- Rentang pH untuk koagulasi
- Waktu flokulasi
- Dosis koagulan optimum
- Sisa koagulan dalam air setelah pengolahan
3. Efek pengadukan
Pengadukan yang cepat dibutuhkan pada penambahan koagulan agar distribusi
koagulan lebih merata. Pada tahap kedua pengadukan kedua dimaksudkan untuk
proses koagulasi dengan kecepatan rendah untuk menghasilkan kesatuan dari koloid-
koloid yang tidak stabil. Proses penyaringan adalah proses awal (primary treatment),
contohnya penyaringan dari hasil proses koagulasi (Kusnaedi, 1998). Penyaringan
bertujuan untuk memisahkan padatan tidak terlarut, sehingga padatan yang berukuran
besar tertahan dan filtratnya turun (Gintings, 1992).

Sedimentasi merupakan proses untuk memisahkan partikel partikel yang mengendap
ataupun yang berbentuk gumpalan dengan bagian yang larut atau cairnya. Jumlah
bahan kimia yang tepat untuk suatu jenis limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu pH, alkalinitas, kadar padatan, konsentrasi phosphat dan faktor faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan akan koagulan (Jenie & Rahayu, 1993). Proses sedimentasi
yang tidak dibantu oleh gaya pengental merupakan suatu proses yang sejati. Dengan
adanya proses sedimentasi, maka dapat menghilangkan benda benda padat sebanyak
80 % dan 35 40 % senyawa senyawa organik. Proses koagulasi dapat
mempercepat proses sedimentasi (Mahida, 1992).

19

Reaksi dari FeCl
3
dengan adanya basa adalah :
FeCl
3
+ 3HCO
3

Fe(OH)
3(s)
+ 3CO
2
+ 3Cl


tanpa basa :
FeCl
3
+ 3H
2
O Fe(OH)
3(s)
+ 3HCl
Membentuk HCl yang dapat menurunkan pH. Garamgaram ferri umumnya
mempunyai range pH yang lebih luas untuk koagulasi yang efektif yaitu dari 49.
Sedangkan range pH yang efektif untuk ferri chlorida antara 5,57,0 (Davis &
Cornwell, 1998).
Reaksi feri klorida:
FeCl
3
+ 3 H
2
O Fe(OH)
3
+ 3 H
+
3 Cl
3 H
+
3 HCO
3
3 H
2
CO
3

FeCl
3
+ 3 Ca(OH)
2
3 CaCl
2
+ 2 Fe(OH)
3
+
(Gintings, 1992).

1.2.3. Karakteristik Kimiawi
Penentuan analisa kimiawi limbah cair didasarkan atas unsur-unsur yang mempunyai
bahaya yang ditimbulkan oleh zat beracun yang terdapat pada limbah, serta upaya
pembenahan limbah. Analisa kimiawi pada limbah cair bertujuan untuk dapat
menentukan konsentrasizat kimia, mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan yang
beracun yang berada di dalam limbah (Utomo, 1998).

Menurut Ryadi (1984), sifat kimia limbah cair meliputi pH, COD, dan BOD. Limbah
industri pangan identik dengan kandungan organik yang cukup besar. Pengukuran
yang paling penting untuk mengukur kadar organik adalah pengukuran BOD
5
, BOD
dan COD. Banyak air limbah yang memiliki BOD rendah dan COD tinggi
diakrenakan terdapat bahan organik yang tidak mudahdipecah. Analisis BOD dalam
penanganan air limbah akan memberikan indikasi awal adanya bahan toksik. Bila air
limbah mempunyai COD yang tinggi, dan BOD yang rendah, maka studi toksisitas
mungkin diperlukan (Jenie & Rahayu, 1993).
20


1.2.3.1. pH
Keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer dapat dinyatakan dengan pH.
Larutan-larutan yang netral mempunyai nilai pH 7. Normalnya air limbahmemiliki
kandungan alkali yang sedikit (Mahida, 1981). Air limbah yang bersifat basa
bersumber dari buangan yang mengandung bahan anorganik contohnya senyawa
karbonat, bikarbonat dan hidroksida. Air limbah yang bersifat asam dapat berasal
buangan yang mengandung asam sulfat, asam khlorida dll (Rahayu, 2009).

Nilai keasaman limbah cair ditentukan oleh banyaknya ion hidrogen yang larut dalam
air. Keasaman mempunyai nilai antara 1 14. Konsentrasi air normal tingkat
keasamannya berkisar antara 6,5 8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang
tinggi dapat berakibat kehidupan makhluk hidup yang berada di air menjadi terancam.
Air menjadi asam karena adanya buangan yang mengandung pH rendah atau asam
misalnya asam sulfat dan asam klorida. Sedangkan buangan yang bersifat basa
(alkalis) bersumber dari buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa
karbonat, bikarbonat dan hidroksida (Hammer &Hammer, 1996). Keasaman atau
alkalinitas air dapat diukur dengan pHmeter (Sugiharto, 1987).

Menurut teori dari Suhardi (1991), kadar ion H yang ada dalam larutan dapat ditera
atau diukur dengan beberapa cara antara lain memakai alat pH meter yang terdiri
atasalat penera (potensiometer) dan dua buah elektroda. Sebuah pH meter
dihubungkan dengan sumber tenaga maka terdapat rantai tertutup. Sehingga akan ada
aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera
dimana menggambarkan besarnya kadar ion H.Kadar pH yang baik yaitu kadar
dimana masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air berjalan baik. pH yang
baik bagi limbah cair adalah pH netral. Semakin kecil nilai pH maka limbah cair
tersebut makin
21

asam dan akan menyulitkan proses biologis sehingga mengganggu proses penjernihan
(Sugiharto, 1987).

Pengawasan pH penting untuk melindungi sistem saluran kotoran serta bangunan-
bangunan lainnya disamping juga untuk mencegah terganggunya proses-proses
penanganan (Sugiharto, 1987).pH limbah cair gorengan (street food) adalah 5,71 dan
5,85 maka rata-rata pH nya masih di bawah pH netral yaitu 5,78. Jadi limbah ini masih
cenderung asam, sehingga bila akan diproses perlu dinetralkan dengan penambahan
basa. Limbah hasil penggorengan gorengan umumnya mendekati netral atau sedikit
basa, berkaitan dengan dekomposisi material berprotein (Anonim, 2007). Tetapi pH
ini tetap harus dipertahankan supaya saat dilepas ke badan air nantinya, limbah berada
pada pH yang netral. pH yang netral (7) merupakan pH yang baik bagi air limbah. Jika
nilai pH semakin kecil, maka air tersebut akan menjadi asaam (Sugiharto, 1987). Pada
umumnya pH limbah diatur sekitar kenetralan, biasanya antara 6 dan 8 (Mahida,
1981).

1.2.3.2. Chemical Oxygen Demand (COD)
COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm ataupun
dalam mg/L yang dibutuhkan untuk menguraikan benda organik secara kimiawi.
Terlarutnya oksigen ini digunakan sebagai tanda derajat pengotoran limbah. Jika
terlarutnya oksigen semakin berat, maka menunjukkan derajat pengotor yang kecil
(Sugiharto, 1987).Cara menguraikan benda organik tersebut dengan oksidasi
menggunakan agen oksidasi kuat yang berada di dalam suasana asam (Suhardi, 1991).

Menurut Hammer & Hammer (1996), COD (Chemical Oxygen Demand) digunakan
untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi kimia bahan-
bahanorganik dalam sampel menjadi air dan karbondioksida. Langkah untuk uji ini
adalah dengan caralarutan dikromat standar ditambahkan, reagen asam sulfat yang
mengandung perak sulfat dimasukkan
ke dalam suatu wadah. Uji COD dilakukan juga sampel blanko yang berisi air
destilasi. Tujuan dari blankoadalah agar kesalahn yang muncul dapat dikoreksi karena
adanya kandungan bahan organik dalam reagen. Rumus perhitungan COD:
22

( ) ( )
sampel ml
n pengencera 8000 titran molaritas sampel blanko
COD

=

COD (Chemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen kimia adalah suatu jumlah
oksigen (miligram O
2
) yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang
terdapat dalam 1 liter sampel air, dimana larutan kalium dikromat (K
2
Cr
2
O
7
)
digunakan sebagai sumber oksigen (Jenie & Rahayu, 1993). Nilai COD yang tinggi
dapat digunakan indikasi adanya pencemaran air oleh zat-zat organik dan misalnya
berasal dari limbah pabrik, limbah rumah tangga, dll. Jumlah volume KMnO
4
atau
K
2
Cr
2
O
7
merupakan banyaknya total zat organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi
(Suhardi, 1991).Bahan organik yang teroksidasi dianggap sebanding dengan kalium
dikromat yang digunakan dalam reaksi oksidasi. Pada uji COD, sebagian besar
senyawa teroksidasi, termasuk senyawa-senyawa yang tidak dapat mengalami
biodegradasi (Sastrawijaya, 1991).

Menurut Suhardi (1991), zat organik dapat dihilangkan dandibutuhkan penambahan
zat-zat penggumpal. Zat yang digunakan sebagai penggumpal adalah:
Campuran ferosulfat dengan kapur (FeSO
4
+ CaO).
Natrium-aluminat
Aluminium sulfat (Al
2
(SO
4
)
3
)

Bahan-bahan oksidasi yang digunakan untuk uji COD antara lain: kalium bikromat,
suatu campuran yang relatif mudah yang dapat diperoleh dalam keadaan yang sangat
23

murni. Tujuan penambahan larutan kalium bikromat dan merkuri sulfat adalah untuk
menyebabkan terjadi reaksi reduksi-oksidasi menghasilkan O
n
yang merupakan
oksigen bebas yang nantinya diukur dengan titrasi iod. Reaksi oksidasi-reduksi
inidapat terjadi karena kalium bikromat merupakan senyawa yang bersifat oksidator
kuat. Reaksi oksidasi-reduksi tersebut dapat berlangsung optimal dalam kondisi asam
(Suhardi, 1991). Penggunaan katalis perak sulfat dan merkuri sulfat diperlukan untuk
mengatasi gangguan klorida dan menjamin oksidasi senyawa-senyawa benzene dan
amonia tidak diukur dalam uji ini (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Baku Mutu
Limbah, batas maksimum COD yang boleh ada dalam suatu limbah adalah 100
mg/liter (Annas, 2007).

COD merupakan parameter yang menunjukkan tekanan bahan organik limbah cair dan
tingkat polusinya. COD berupa kuantitas oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi
secara kimia senyawa organik dalam sampel limbah cair (Sugiharto, 1987). COD
digunakan untuk mengukur senyawa-senyawa organik yang tidak dapat dipecah
seperti yang diukur dalam uji BOD (Suhardi, 1991). Nilai BOD lebih kecil daripada
nilai COD yang diukur pada senyawa organik yang dapat diuraikan maupun senyawa
organik yang tidak dapat terurai (Gintings, 1992). Menurut Jenie & Rahayu (1993),
nilai-nilai CODlebih tinggi daripada nilai BOD. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perbedaan tersebut antara lain:
Bahan kimia yang mudah teroksidasi secara kimia
Adanya bahan toksik dalam air limbah yang akan mengganggu uji BOD

Proses pemanasan dapat meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia karena suhu
tinggi akan menyebabkan membesarnya energi kinetik masingmasing molekul dari
kedua senyawa yang bereaksi sehingga terjadinya tumbukan atau reaksi dari kedua
24

molekul tersebut akan semakin besar, sehingga senyawa akhir reaksi akan semakin
cepat terbentuk (Graham, 1956). Bahan zat pengoksid kuat dapat dianalisis dengan
menambahkan kalium iodida berlebih dan menitrasi iod. Dengan penambahan KI ini
akan menyebabkan terjadi reaksi antara ion K dengan oksigen yang dibebaskan dari
reaksi oksidasi (On) (Petrucci, 1990).

Reaksi tersebut akan menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen dengan
jumlah ion yang membebaskannya. Jumlah ion iodida yang bebas tersebut dapat
ditentukan banyaknya melalui titrasi dengan Na
2
S
2
O
3
dengan indikator amilum (Day&
Underwood, 1992). Adanya reaksi antara ion iodida bebas tersebut dengan indikator
amilum yang digunakan akan menghasilkan warna biru tua. Warna biru ini timbul
karena adanya reaksi antara molekul-molekul pati dengan iodin. Iodin dapat masuk ke
dalam struktur molekul pati yang berbentuk helix dan membentuk ikatan. Ikatan antara
struktur molekul pati dengan iodin dapat menghasilkan warna biru tua (Graham,
1956). Apabila terbentuknya warna biru ini tidak hilang kembali, maka menunjukkan
titik akhir dari titrasi, dan jumlah volume Na
2
S
2
O
3
yang dibutuhkan untuk menangkap
semua iod sama dengan dengan jumlah iod yang bebas dan sebanding dengan jumlah
On atau oksigen yang terkandung dalam limbah (Sudarmadji et al.,1996).

BOD atau Biochemical Oxygen Demand atau BOD adalah sejumlah oksigen dalam
sistem air yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk menstabilkan atau menetralisir
bahan-bahan organik dalam air melalui proses oksidasi biologis secara dekomposisi
aerobik. Uji BOD melibatkan pengenceran air limbah dengan air yang mengandung
oksigen terlarut dalam jumlah yang telah diketahui dan mencatat hilangnya oksigen
25

setelah penyimpanan. Penyimpanan biasanya dilakukan selama 5 hari pada 20
o
C
dalam botol gelap yang tertutup rapat (Laws, 1993). Menurut Sugiharto (1987),
BOD
5
adalah banyaknya oksigen dalam satuan ppm atau mg/L yang dibutuhkan oleh
bakteri untuk dapat menguraikan bahan organik sehingga limbah dapat menjadi jernih.

Menurut Alaerts & Santika (1984), analisa BOD dapat dilakukan melalui 2 cara yakni
:
Analisa dengan titrasi Winkler
Analisa ini memiliki prinsip yaitu oksigen akan mengoksidasi MnSO
4
yang telah
ditambahkan ke dalam larutan alkalis, sehingga dapat terjadi endapan Mn0
2
. Reaksi
tersebut dapat ditulis:
MnSO
4
+ 2 KOH Mn(OH)
2
+ K
2
SO
4

Mn(OH)
2
+ O
2
MnO
2
+ H
2
O
MnO
2
+ KI + 2 H
2
O Mn(OH)
2
+ I
2
+ 2 KOH
I
2
+ 2 S
2
O
3
2
S
4
O
6
-
+ 2 I

Titrasi oleh Natrium Thiosulfat akan dikontrol oleh indicator amilum. Selama proses
berlangsung, I
2
dan I
-
yang terbentuk akan mebentuk beberapa I
3
-
di dalam larutan. I
3
-

yang terbentuk ini dengan amilum akan membentuk senyawa biru kompleks.
Hasilakhir titrasi menunjukkan perubahan warna akhir menjadi tidak berwarna
(Anonim, 2007).

Kelemahan uji BOD yaitu fase lag yang tidak bisa diduga panjangnya terjadi sebelum
pertumbuhan aktif dimulai. Panjang lag tersebut dapatberpengaruh pada nilai BOD 5
hari dengan cara menggeser kurva sepanjang sumbu waktu (Jenie & Rahayu, 1993).
Selama 5 hari tersebut, oksidasi berlangsung sebesar 60-70%. Penggunaan temperatur
yang berbeda menghasilkan hasil yang berbeda dikarenakan reaksi biokimia
bergantung pada suhu atau temperatur (Tchobanoglous, 1981).

Semakin besar angka BOD maka derajat pengotoran limbah cair semakin besar.
Umumnya nilai BOD
5
adalah sekitar 400-1000 mg/l pada inlet dan dibawah 50 mg/l
pada oulet tangki aerasi (Tehobanoglous, 1981). Tes BOD digunakan untuk
menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluent yang telah diolah dan air yang
26

terpolusi, tetapi bagaimanapun juga tes ini nilainya terbatas dalam mengukur
kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air, danperhitungan tes yang
menunjukkan aliran kebutuhan oksigen yang sesungguhnya sangat dipertanyakan
karena lingkungan laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia dan
biologis yang sama seperti di alam. BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang
digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan bahan organik dalam
sampel air limbah pada temperatur 19 21
o
C dalam inkubator atau waterbath
(Hammer & Hammer, 1996).

Angka BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh hampir semua zat organik
yang terlarut dan sebagaimana zat organik tersebut tersuspensi dalam air. Pemeriksaan
BOD digunakan untuk menentukan beban pencemaran sistem- sistem pengolahan air
yang tercemar secara biologi. Penentuan BOD merupakan cara menentukan zat
oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik secara biokimiawi atau
mengukur banyaknya oksigen yang dibutuhkan populasi mikrobia heterogen untuk
mengoksidasi senyawa-senyawa organik selama masa inkubasi (Suhardi, 1991).
Secara teoritis dibutuhkan suatu jangka waktu yang cukup lama untuk oksidasi
biologis yang sempurna. Namun untuk tujuan-tujuan praktis, reaksi itu dianggap telah
lengkap dalam 5 hari, sebab pengalaman menunjukkan bahwa sebagian
besarpersentase BOD digunakan dalam masa 5 hari. Bagaimanapun juga, nilai BOD
selama 5 hari itu hanya dapat mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara
lengkap, oleh karena itu BOD
5
bukan merupakan suatu ukuran yang lengkap dari
kekuatan air limbah, mutu air limbah atau tingkat pencemarannya (Mahida, 1992).

Ada 5 jenis gangguan yang umunya terdapat dalam analisa BOD ini yakni :
a. Proses nitrifikasi
proses nitrifikasi ini dapat terjadi di dalam botol dari hari ke 2 s/d hari ke 10.
Proses ini juga membutuhkan oksigen. Semakin banyak reaksi nitrifikasi terjadi,
maka oksigen yang akan dianalisa dalam tes BOD akan semakin tidak teliti. Oleh
karena itu dalam analisa BOD, pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus
dihalangi dengan inhibitor, walaupun kemungkinan suhu yang tinggi seperti di
daerah tropis juga akan meningkatkan proses nitrifikasi ini.
26

b. Zat beracun
zat beracun dapat memperlambat pertumbuhan bakteri sehingga analisa BOD
menjadi tidak teliti lagi.
c. Keluarnya oksigen dari dalam botol
untuk mencegah keluarnya oksigen di dalam botol maka botol harus ditutup rapat
rapat, gelembung udara tidak boleh berada di dalam botol. Hal ini disebabkan
karena adanya gelembung udara akan menyebabkan kemungkinan terjadinya
penggunaan oksigen oleh kontaminan seperti ganggang dan lumut. Oleh karena itu
penyimpanan botol harus diletakkan di tempat yang gelap.
d. Nutrien
nutrien merupakan salah satu syarat kehidupan bakteri bakteri yang akan
dianalisa kebutuhan oksigennya.
e. Cara pembenihan bakteri yang cocok dalam air limbah
dalam limbah katering ini banyak mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan bakteri, yaitu banyak mengandung lemak dan protein. Oleh karena
ituseharusnya limbah ini mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme, sehingga
memiliki BOD yang cukup tinggi (Alaerts & Santika, 1984).
1.2.4. Karakteristik Biologis
Karakteristik biologi diperlukan untuk memeriksa adakah bakteri-bakteri patogen
dalam limbah cair, selain itu juga untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada
dalam limbah cair. Untuk membunuh mikroorganisme patogen, maka dilakukan
desinfeksi (Gintings, 1992). Pemeriksaan biologis dapat meliputi pemeriksaan bakteri,
jamur, ganggang, protozoa, porifera, crustaceae, serta virus (Utomo, 1998).

Umumnya bakteri kemoheterotrofik, merupakanbahan organik yang digunakan
sebagai sumber energi dan karbon. Ada juga yang bersifat fotosintetik, yaitu dengan
menggunakan sinar matahari. Bakteri kemoheterotrof penting dalam penanganan
limbah karena dapat memecah bahan organik (Jenie & Rahayu, 1993).

Kapang merupakan mikroba nonfotosintesis, bercabang,bersel banyak, berfilamen,
dan memetabolisme makanan terlarut. Pada limbah dengan pH 4-5, kadar air rendah,
kadar nitrogen rendah sering ditumbuhi dengan kapang (Jenie & Rahayu, 1993).









27

Menurut pernyataan Sunu (2001) Jumlah air dan jenis mikroorganisme dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaiut:
1. Sumber air
Jenis mikroorganime di dalam air dipengaruhi oleh sumber misalnya air tanah, air
hujan, air permukaan, dsb.
2. Komponen nutrien dalam air
Kehidupan mikroorganisme ditunjang dengab keberadaan air yang mengandung
mineral-mineral yang dibutuhkan oleh spesies mikroorganisme tertentu.
3.Organisme air
Misalnya protozoa dan plankton yang dapat membunuh bakteri.

Desinfeksi merupakan proses untuk membunuh jasad renik patogen baik secara kimia
maupun fisik(Fardiaz, 1992). Metode lain dari desinfeksi ialah jika terkena panas akan
merusak dinding sel (Sugiharto, 1987).Proses desinfeksi bertujuan untuk mengurangi
konsentrasi bakteri dan untuk mebunuh atau menghilangkan bakteri patogen.
Penggunaan desinfeksi dapat mengatasi mikroba patogen yang spesifik. Metode
desinfeksi lain dengan berbagai bahan kimia seperti klorin, iodium ozon, senyawa
amonium kwatener dan lampu ultra violet. BOD menurun karena adanya
klorin.Keefektifan penggunaan klorin dapatdikarenakan jumlah dan jenis klorin yang
digunakan, suhu, dan jenis serta konsentrasi mikroba(Jenie & Rahayu, 1993).

Klorin merupakan oksidator dan akan melakukan reaksi dengan komponen organik
limbah cair. Klorin banyak digunakan untuk mencegah bau yang timbul dari limbah.
Klorin memiliki peran dalam mengatasi limbah pertanian yaitu untuk mengurangi
konsentrasi bakteri.








28

2. MATERI DAN METODE TREATMENT

2.1. Pengolahan Pendahuluan (Pretreatment)
2.1.1. Penyaringan
Limbah cair gorengan (street food) mengandung minyak. Hal ini jelas karena bahan
utama yang digunakan untuk menggoreng adalah minyak. Karena adanya minyak, jika
dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan pencemaran air. Jika dibuang ke tanah
dapat menyebabkan adanya reaksi penyabunan yang menyebabkan pH tanah menjadi
terlalu basa. Oleh karena itu perlu dilakukan proses penyaringan terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lingkungan. Berdasarkan Mahida (1992), tujuan penyaringan
adalah untuk memisahkan partikel padatan dengan cairan dan mengurangi total
padatan terlarut pada limbah cair. Untuk padatan tersuspensi dipisahkan melalui
koagulasi pada tahap selanjutnya. Proses penyaringan dilakukan sebanyak 3 kali, 2
kali dengan menggunakan kain saring dan 1 kali dengan menggunakan kertas saring.
Hal ini bertujuan agar diperoleh limbah cair yang cukup jernih.

2.1.1.1.Tujuan
Tujuan tahap penyaringan adalah mengurangi partikel yang berukuran besar, padatan
terlarut, dan padatan tersuspensi agar diperoleh limbah cair yang cukup jernih atau
mengurangi kekeruhan limbah cair.

2.1.1.2.Materi
2.1.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah 2 kain saring, kertas saring, corong,
erlenmayer, dan ember.
29

2.1.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah 2 liter limbah cair gorengan (street
food).
2.1.1.3.Metode
Disiapkan 2 buah ember. Ember 1 untuk menampung limbah cair, ember 2 untuk
menampung hasil penyaringan. Kain saring diletakkan di mulut ember 2, sehingga
siap digunakan untuk penyaringan. Limbah cair dari ember 1 dimasukkan ke ember
2secara perlahan dengan melalui kain saring. Setelah semua selesai, ember 1 dicuci
bersih. Kemudian penyaringan diulangi lagi dengan memasukkan limbah cair
penyaringan 1 ke ember 1 hingga diperoleh limbah cair yang cukup jernih. Kemudian
limah dari ember 1 di saring kembali menggunakan kertas saring dengan
menggunakan erlenmayer dan corong.

2.2. Pengolahan Pertama (Primary Treaetment)
2.2.1. Koagulasi
Pada tahap ini dilakukan pengendapan atau koagulasi. Hal ini dilakukan karena ada
padatan, zat warna, padatan tersuspensi yang lolos dari tahap penyaringan dan perlu
dihilangkan sebelum masuk tahap selanjutnya. Penghilangan bahan-bahan ini menurut
Gintings (1992) dapat dilakukan secara kimiawi dengan penambahan Ca(OH)
2
dan
FeSO
4
. Ditambahkan Ca(OH)
2
jika pH limbah tersebut asam atau FeSO
4
jika limbah
tersebut basa. Senyawa koagulan seperti Ca(OH)
2
jika pH limbah tersebut asam atau
FeSO
4
akan membuat partikel tersuspensi saling terikat. Dengan begitu ukurannya
menjadi lebih besar, mudah disaring, dan dipisahkan. Hal ini karena senyawa kimia
menyebabkan butiran bahan bertambah besar. Jika semakin besar maka berat jenis
partikel menjadi lebih besar daripada air dan akhirnya mengendap. Kemudian
dilakukan pengadukan perlahan agar semakin banyak partikel yang mengendap.Proses
koagulasi ini sesuai dengan Kusnaedi (1998) yang mengatakan bahwa jika limbah cair
yang disaring mengandung butiran halus atau bahan terlarut, sebaiknya dilakukan
koagulasi atau netralisasi. Hal ini karena koagulasi dapat menghasilkan endapan.
2.2.1.1.Tujuan
Tujuan koagulasi adalah untuk mengurangi padatan tersuspensi, mengurangi padatan
terlarut, dan menghilangkan zat organik yang masih lolos dari tahap pr-treatment
30


2.2.1.2.Materi
2.2.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah beaker glass, pipet volume, pompa
pilleus, gelas ukur, erlenmeyer, pengaduk, kertas saring, jar tester, corong, timbangan
analitik dan pH meter.
2.2.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil pretreatment,
aquadest, dan Ca(OH)
2
.
2.2.1.3.Metode
Limbah cair diukur terlebih dahulu pH nya. Karena pH nya asam, maka ditambahkan
Ca(OH)
2
sebanyak 0 ppm, 10000ppm, 20000 ppm, 30000ppm, 40000ppm, dan 50000
ppm. Setelah itu dilakukan jar test dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit
kemudian 25 rpm selama 15 menit sampai terbentuk flokulasi yang lebih besar.
Diamkan selama 30 menit sampai membentuk endapan. Filtrat diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Difoto dan diuji dengan turbidimeter.

2.3. Pengolahan Kedua (Secondary Treatment)
2.3.1. Aerasi
Limbah cair gorengan (street food) selain mengandung minyak, juga mengandung
banyak komponen organik, seperti karbohidrat dan protein yang berasal dari tepung
dan bahan yang digoreng. Komponen organik ini dapat digunakan oleh mikroba
pembusuk sehingga menimbulkan aroma yang tidak sedap. Pada secondary treatment
digunakan proses biologis untuk menghilangkan bahan organik melalui biokimia
oksidasi. Berdasarkan Kusnaedi (1998) dalam tahap ini digunakan reaktor lumpur
aktif dan trickling filter. Air buangan akan masuk ke dalam tangki aerasi. Tangki
aerasi ini adalah tempat mikroorgansime mengkonsumsi buangan organik. Dengan
demikian akan didapatkan endapan pada dasar bak.
31



Secondary treatment biasanya dilakukan dengan aerasi. Aerasi adalah sistem
pemasukan oksigen pada limbah cair dengan menangkap O
2
dari udara. Dengan
masuknya oksigen akan menimbulkan kondisi yang optimal bagi mikroorganisme
aerob untuk menguraikan zat organik pada limbah cair. Tujuan pemasukan oksigen ini
adalah agar oksigen bereaksi dengan kation pada limbah olahan. Reaksi kation dengan
oksigen akan menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga
menghasilkan endapan. Salah satu kegunaan utama aerasi adalah untuk menurunkan
kadar Fe dan Mg. Hal ini karena kation Fe
2+
dan Mg
2+
akan membentuk Fe
2
O
3
danMgO
jika disemburkan ke udara. Selain itu aerasi akan menurunkan COD yang tidak terlalu
tinggi di dalam limbah cair. Proses aerasi harus diikuti proses filtrasi atau
pengendapan (Kusnaedi, 1998).

2.3.1.1.Tujuan
Tujuan aerasi adalah untuk menghilangkan zat organik biodegradable dan padatan
tersuspensi, mengurangi aroma busuk dan menyengat, meningkatkan kandungan
oksigen dalam limbah cair, dan meningkatkan efektifitas tahap berikutnya.

2.3.1.2.Materi
2.3.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah beaker glass, kertas saring, dan
aerator.
2.3.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair gorengan (street food)
hasil tahap primary treatment.
2.3.1.3.Metode
Limbah cair hasil primary treatmentdimasukkan dalam beaker glass. Setelah itu
dimasukkan selang aerator pada beaker glass hingga dasar beaker glass. Aerator
dinyalakan dan ditunggu sampai terjadi gelembung-gelembung udara. Proses aerasi
dilangsungkan selama 30 menit. Setelah proses aerasi selesai, limbah cair disaring lagi
dengan kertas saring untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
32


2.4. Pengolahan Ketiga (Tertiary Treatment)
2.4.1. Adsorbsi
Limbah cair gorengan (street food) mengandung banyak minyak bekas sehingga
memiliki bau menyengat. Adsorbsi dilakukan dengan menggunakan karbon aktif atau
adsorbent. Adsorbentdapat menjernihkan limbah cair dengan mengurangi bahan
organik, partikel, benda yang tidak terurai, bau, warna, dan rasa. Senyawa karbon aktif
akan membuat partikelpartikel dalam air limbah yang tidak terurai menjadi terurai.
Dengan begitu limbah cair menjadi lebih jernih dan tidak berbau terlalu menyengat.
Penggunaan karbon aktif digunakan sebagai pelengkap proses pengolahan limbah
secara biologi. (Mahida ,1992).
2.4.1.1.Tujuan
Tujuan proses adsorbsi adalah menguraikan partikel agar limbah cair menjadi lebih
jernih, menyerap gas sehingga mengurangi bau busuk, mengurangi bahan organik
pengotor, dan benda yang tidak dapat diuraikan.
2.4.1.2.Materi
2.4.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah beaker glass, corong, kertas saring,
cling wrap, kain saring, pengaduk, gelas ukur, timbangan analitik, dan erlenmeyer.
2.4.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah limbah cair gorengan (street food)
hasil secondary treatment dan karbon aktif serbuk atau arang aktif.
2.4.1.3.Metode
Limbah cair gorengan (street food) hasil secondary treatment ditambahkan karbon
aktif. Setiap 200 ml limbah cair ditambahkan 3 gram karbon aktif. Diaduk hingga
larutan homogen. Diamkan sehingga karbon aktif yang tidak larut akan mengendap.
Disaring menggunakan kain saring sebanyak 1 kali. Setelah itu disaring dengan kertas
saring 1 kali untuk karbon aktif serbuk. Filtrat akan masuk ke tahap pengolahan
selanjutnya.
33


2.5. Perlakuan Tambahan
Tujuan dari perlakuan tambahan adalah untuk memastikan limbah cair tidak
mengandung senyawa dan mikroorganisme pencemar serta aman untuk dibuang ke
lingkungan.
2.5.1. Disinfeksi
Disinfeksi adalah proses menghilangkan atau membunuh jasad renik patogen secara
kimia maupun fisik. Tujuan disinfeksi adalah untuk menurunkan jumlah
mikroorganisme pada limbah cair. Mekanisme penghilangan atau pembunuhan.
mikroorganisme dipengaruhi oleh zat pembunuh dan mikroorganisme tersebut. Jika
ingin merusak dinding sel secara langsung, maka dapat dilakukan dengan bahan
radiasi atau panas. Jika ingin menginaktivasi enzim utama yang kemudian akan
merusak dinding sel dapat dilakukan dengan menggunakan klorin. Klorin yang
digunakan dapat berbentuk klorin bebas, klorin terikat, asam hipoklorit, dan ion
hipoklorit. Selain itu menurut Jenie & Rahayu (1993) juga dapat digunakan iodium,
ozon, senyawa amonium kuartener, dan lampu ultraviolet. Berdasarkan Sugiharto
(1987) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan kimia untuk
disinfeksi :
- Waktu kontak
- Efektivitas
- Dosis
- daya racun zat kimia
- biaya murah untuk pemakaian masal
- tidak toksik terhadap manusia dan hewan
- tahan air

2.5.1.1.Tujuan
Tujuan disinfeksi adalah untuk menurunkan dan menghilangkan senyawa pencemar
dan mikroba patogen pada limbah cair sehingga limbah cair aman saat dibuang ke
lingkunga
34

2.5.1.2.Materi
2.5.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah ember, beaker glass, pengaduk, kain
saring, dan kertas saring.


2.5.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair gorengan (street food)
hasil tertiary treatment dan klorin.
2.5.1.3.Metode
Limbah cair gorengan (street food) hasil tertiary treatment ditambahkan klorin
sebanyak 10% dari volume limbah cair. Diaduk hingga homogen selama 10 menit.
Limbah cair disaring dengan menggunakan kain saring sebanyak 1 kali. Setelah itu
disaring dengan kertas saring sedikit demi sedikit. Filtrat masuk ke tahap selanjutnya.

2.5.2. Netralisasi
Tahap terakhir dari perlakuan tambahan adalah netralisasi. Sebelum dibuang ke
lingkungan, limbah cair harus diukur terlebih dahulu pH nya agar sesuai dengan Baku
Mutu Limbah (BML). Berdasarkan BML, pH limbah cair gorengan untuk dibuang ke
lingkungan adalah 6,0 9,0. Menurut Mahilda (1992), jika limbah cair terlalu asam
atau terlalu basa akan mengganggu kehidupan biota air.Jika pH limbah cair asam
maka ditambahkan Ca(OH)
2
. Jika pH limbah cair basa ditambahkan FeCl
3

(Sastrawijaya, 1991).
2.5.2.1.Tujuan
Tujuan netralisasi adalah untuk memastikan pH limbah cair agar sesuai dengan Baku
Mutu Lingkungan (BML) sehingga aman saat dibuang ke lingkungan.
2.5.2.2.Materi
2.5.2.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah ember, pipet tetes, dan pH meter.
35


2.5.2.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair gorengan (street food)
hasil disinfeksi, NaOH 5%, dan HCl 5%.
2.5.2.3.Metode
Limbah cair diletakkan pada ember. Dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan
pH meter. Jika pH asam (kurang dari 6), maka ditambahkan NaOH 5%. Jika pH
limbah cair basa (lebih dari 9) ditambahkan HCl 5%. Dilakukan penambahan NaOH
dan HCl hingga didapatkan kisaran pH 6,0 - 9,0. Dilakukan dua kali ulangan.

2.6. Pengujian Parameter Akhir
Setelah melewati berbagai macam pengolahan, limbah cair perlu diuji
karakterisitiknya apakah sudah sesuai dengan Baku Mutu Limbah (BML). Pengujian
parameter akhir terdiri dari :
2.6.1. Karakterisitik Fisik
2.6.1.1.Bau
2.6.1.1.1. Materi
2.6.1.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah beaker glass.
2.6.1.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment.
2.6.1.1.2. Metode
Sampel limbah cair hasil treatment dimasukkan dalam beaker glass. Dilakukan
penciuman dengan indera penciuman.

2.6.1.2.Warna dan Kekeruhan
2.6.1.2.1. Materi
2.6.1.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah beaker glass.
36


2.6.1.2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment.
2.6.1.2.2. Metode
Sampel limbah cair hasil treatment dimasukkan dalam beaker glass. Dilakukan
pengamatan dengan indera penglihatan.
2.6.1.3.Suhu
2.6.1.3.1. Materi
2.6.1.3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah termometer dan beaker glass.
2.6.1.3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment.
2.6.1.3.2. Metode
Sampel limbah cair hasil treatment dimasukkan dalam beaker glass. Dilakukan
pengukuran suhu menggunakan termometer. Dilakukan dua kali ulangan.
2.6.1.4.Analisa Padatan
2.6.1.4.1. Analisa Total Solid (TS)
2.6.1.4.1.1. Materi
2.6.1.4.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah cawan porselen, timbangan analitik,
oven, pipet volume, dan desikator.
2.6.1.4.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment.
37


2.6.1.4.1.2. Metode
Cawan porselin dioven selama 1 jam pada suhu 105C. Dimasukan dalam desikator
selama 15 menit. Ditimbang hingga beratnya konstan. Diambil 2 ml sampel limbah
cair dan dimasukkan dalam cawan porselen. Sampel beserta cawan dimasukkan dalam
oven suhu 105C selama 24 jam. Dimasukkan dalam desikator selama 15 menit dan
ditimbang. Dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Rumus :
TS = 1000
sampel ml
B) - (A

Keterangan :
A : berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan (mg)
B : berat cawan kosong (mg)
TS : total solid / padatan total (ppm)

2.6.1.4.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
2.6.1.4.2.1. Materi
2.6.1.4.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah cawan porselen, oven, desikator, pipet volume, corong,
pengaduk, timbangan analitik, erlenmeyer, dan kertas saring.
2.6.1.4.2.1.2. Bahan
2.6.1.4.2.2. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil
treatment.Metode
Kertas saring dimasukkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105C. Dimasukan
dalam desikator selama 15 menit. Ditimbang hingga beratnya konstannya. Diambil
sebanyak 50 ml sampel limbah cair. Limbah cair disaring menggunakan kertas saring.
Kertas saring dan residu diletakkan pada cawan porselin. Kemudian dimasukkan
dalam oven bersuhu 105C selama 24 jam. Dimasukkan dalam desikator selama 15
menit dan ditimbang. Dilakukan dua kali ulangan. Rumus :
Perhitungan : TSS = 1000
sampel ml
A) - (B


38

Keterangan :
A : berat kertas saring kosong (mg)
B : berat kertas saring berisi residu (mg)
TSS : total suspended solid / padatan tersuspensi total (mg/L).
2.6.2. Karakteristik Kimiawi
2.6.2.1.Analisa kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
2.6.2.1.1. Materi
2.6.2.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah erlenmeyer, buret, statif, pipet tetes,
pipet volume, pompa pilleus, beaker glass, pemanas, pengaduk, labu takar, dan gelas
ukur.
39


2.6.2.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment, HgSO
4

pekat, amilum, K
2
Cr
2
O
7
, KI 10%, , Na
2
S
2
O
3.
0,1 N dan aquades.
2.6.2.1.2. Metode
Sebanyak 10 ml sampel limbah cair dimasukkan ke dalam labu takar. Diencerkan
sampai 100 ml. Hasil pengenceran diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam
erlenmenyer. Ditambahkan 1 ml HgSO
4
pekatdan 20 ml K
2
Cr
2
O
7
. Dipanaskan selama
10 menit pada suhu 100C. Diambil 10 ml larutan tersebut dan ditambahkan 1,5 ml KI
10%. Sebelum titrasi, ditambahkan 2 ml amilum. Larutan dititrasi dengan Na
2
S
2
O
3
0,1
N hingga dicapai titik akhir titrasi yaitu biru bening. Kemudian volume Na
2
S
2
O
3
0,1 N
yang digunakan untuk titrasi dicatat. Dilakukan dua kali ulangan dan satu blanko.
Untuk blanko tidak disertai perlakuan pemanasan.

2.6.2.2.Analisa kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD)
2.6.2.2.1. Materi
2.6.2.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah
2.6.2.2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment.

2.6.2.2.2. Metode
Sebanyak 15 ml limbah cair hasil treatment dimasukkan ke dalam beaker glass.
Diencerkan dengan aquades hingga 750 ml. Diaduk menggunakan magnetic stirrer
selama 10 menit. Diukur dengan DO meter. Setelah pengukuran, limbah cair disimpan
dalam botol gelap dan tidak terdapat gelembung udara. Botol disimpan d dalam ruang
gelap selama 5 hari. Setelah 5 hari, sampel dituangkan ke erlenmeyer. Diaduk
menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit. Diukur dengan DO meter. Rumus :
BOD
5
= (DO
s
i
DO
b
i
) +
Vs
Vb
(DO
b
f
DO
s
f
)
40

DO
s
i
= Oxygen Demand sampel mula-mula
Keterangan:
DO
s
f
= Oxygen Demand sampel setelah 5 hari
DO
b
f
= Oxygen Demand blanko mula-mula
DO
b
f
= Oxygen Demand blanko setelah 5 hari
Vb = Volume botol
Vs = Volume sampel air limbah

41
3.HASIL PENGAMATAN

3.1. Kelompok F4
3.1.1. Data Hasil Pengukuran Parameter Awal
3.1.1.1.Karakteristik Fisik
Bau : +++
Warna : +
Kekeruhan : ++
Keterangan :
Bau : Warna : Kekeruhan :
+ : tidak bau + : bening + tidak keruh
++ : agak bau ++ : kuning ++ agak keruh
+++ : berbau +++ : kuning kecoklatan +++ keruh
++++ : sangat berbau ++++ : coklat ++++ sangat keruh
+++++ : sangat berbau sekali +++++ : coklat kehitaman +++++ sangat keruh sekali

Suhu/ temperatur :

Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :

Tabel 1. Hasil Pengamatan suhu
Sampel
Suhu
(
o
C)
Ulangan I 29
Ulangan
II
29
Rata-rata 29

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa suhu pada ulangan I dan ulangan II
adalah 29
o
C serta suhu rata-ratanya adalah 29
o
C.






42

3.1.1.2.Analisa Padatan
3.1.1.2.1. J ar Testing
Hasil pengamatan Jar Testing dapat dilhat pada tabel di bawah ini

Tabel 2. Hasil Pengamatan Jar Testing
Kelompok
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi
F4 0 10,37
F4 2 15,11
F4 4 10,38
F5 6 10
F5 8 4,14
F5 10 9,3
Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa hasil absorbansi dari jar testing pada kelompok
F4 dan F5 berbeda-beda. Nilai absorbansi untuk konsentrasi 0 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6
ppm, 8 ppm dan 10 ppm secara berurutan adalah 10,37; 15,11; 10,38; 10; 4,14; dan
9,3.

2.1.1.1.1. Analisa Total Solid (TS)
Hasil pengamatan analisa toal solid dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 3. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid
Samp
el
Volume
Sampel
(ml)
Berat
Cawa
n (gr)
Cawan
+
padata
n (gr)
Padat
an
(gr)
TS
(mg/L)
Ulang
an 1
50 24,78 25,2 0,42 210000
Ulang
an 2
50 23,18 23,6 0,42 210000
Rata-
rata
50 23,98 24,4 0,42 210000

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai TS (total solid) dari
ulangan 1, ulangan 2 dan rata-rata adalah sama, yaitu 210000 mg/L.


43

2.1.1.1.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Hasil pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS) dapat dilihat pada tabel di
bawah ini

Tabel 4. Hasil pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Sampel
Volume
Sampel
(ml)
Kertas
Saring (gr)
Kertas saring
+ padatan (gr)
Padatan (gr) TSS (mg/L)
Ulangan 1 50 0,74 2,0 1,26 25200
Ulangan 2 50 0,79 1,6 0,81 16200
Rata-rata 50 0,765 1,8 1,035 20700
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai dari TSS (total suspended
solid) dari ulangan I, ulangan II dan rata-rata adalah berbeda-beda. Nilai TSS untuk
ulangan 1 adalah 25200 mg/L, kemudian untuk ulangan 2 diperoleh nilai sebesar
16200 mg/L. Lalu untuk rata-rata diperoleh nilai sebesar 20700 mg/L.

2.1.1.1.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Hasil pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS) dapat dilihat pada tabel di
bawah ini

Tabel 5. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Sampel TS (mg/l) TSS (mg/l) TDS (mg/L)
Ulangan 1 210000 25200 184800
Ulangan 2 210000 16200 193800
Rata-rata 210000 20700 189300

Dari tabel di atas dapat diperoleh nilai dari TDS (total dissolved solid) yang berbeda-
beda. Untuk ulangan 1 diperoleh nilai TDS sebesar 184800 mg/L. Untuk ulangan 2
diperoleh nilai sebesar 193800 mg/L. Dan untuk rata-rata diperoleh sebesar 189300
mg/L.


44

2.1.1.2. Karakteristik Kimiawi
2.1.1.2.1. Pengukuran pH
Hasil pengamatan pengukuran pH dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 6. Hasil pengamatan pengukuran pH
Sampel pH
Ulangan I 5,71
Ulangan II 5,85
Rata-rata 5,78
Dari tabel di atas dapat diperoleh nilai pH dari tiap ulangan yang berbeda-beda, yaitu
5,17 untuk ulangan I dan 5,85 untuk ulangan II. Sedangkan untuk rata-ratanya
diperoleh nilai pH sebesar 5,78.

2.1.1.2.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Hasil pengamatan COD dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil pengamatan COD
Sampel
Volume
Sampel (ml)
Na
2
S
2
O
3
(ml) COD (mg/l)
Blanko 10 61,7
Ulangan I 10 75 -10640
Ulangan II 10 59 2160
Rata-rata 10 67 -4240

Berdasarkan tabel kandungan COD (chemical oxygen demand) yang bervariasi dan
berbeda-beda. Untuk blanko tidak diperoleh nilai COD. Untuk ulangan I diperoleh
nilai COD sebesar -10640 mg/L. Sedangkan untuk ulangan II diperoleh nilai sebesar
2160 mg/L. Dan untuk rata-ratanya diperoleh nilai -4240 mg/L.

2.1.2. Data Hasil Pengukuran Parameter Akhir (Setelah Treatment)
2.1.2.1. Karakteristik Fisik
Bau : +++++
Warna : +
Kekeruhan : +



45

Keterangan :
Bau : Warna: Kekeruhan:
+ = Tidak bau/netral + = Bening + = Tidak keruh
++ = Agak berbau ++ = Kuning ++ = Agak keruh
+++ = Berbau +++ = Kuning kecoklatan +++ = Keruh
++++ = Sangat berbau ++++ = Coklat ++++ = Sangat keruh
+++++ = Sangat bau sekali +++++ = Coklat kehitaman +++++ = Sangat keruh sekali
Suhu/temperatur
Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini :

Tabel 8. Hasil Pengamatan suhu
Sampel Suhu (
o
C)
Ulangan I 29
Ulangan II 29
Rata-rata 29

Berdasarkan data hasil pengamatan di atas dapat diperoleh bahwa suhu pada ulangan 1
maupun ulangan 2 adalah 29
o
C.

2.1.2.2. Karakteristik Kimiawi
2.1.2.2.1. Analisa Padatan
2.1.2.2.1.1. Analisa Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Hasil pengamatan BOD dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil pengamatan BOD
Sampel
Volume
Sampel
Na
2
S
2
O
3

BOD
(mg/L)
Titrasi 1
(ml)
Titrasi 2
(ml)
Ulangan
1
100 25 25,3 -3
Ulangan
2
100 26,5 28,4 -24
Rata-rata 100 25,75 26,85 -11

Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dapat diperoleh volume titrasi 1 dan
volume titrasi 2, semuanya lebih tinggi volume titrasi 2. Untuk ulangan 1 titrasi 1 dan
titrasi 2 secara berurutan adalah 25 dan 25,3. Untuk ulangan 2 secara berurutan adalah
26,5 dan 28,4. Dan untuk rata-rata dari keduanya yaitu 25,75 dan 26,85. Sedangkan
46

untuk nilai BOD ulangan 1, ulangan 2 dan rata-rata secara berurutan adalah (-3), (-24),
dan (-11).
2.1.2.2.1.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Hasil pengamatan BOD dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Pengamatan COD
Sampel
Vol. Sampel
(ml)
Na
2
S
2
O
3
COD (mg/L)
Ulangan 1 10 33,4 720
Ulangan 2 10 32,9 1120
Rata-rata 10 33,15 920
Blanko 10 34,3 -

Berdasarkan data tabel hasil pengamatan di atas, dapat diperoleh volume Na
2
S
2
O
3

untuk ulangan 1, ulangan 2, rata-rata dan blanko secara berurutan adalah 33,4; 32,9;
33,15; dan 34,3. Dan untuk nilai COD ulangan 1, ulangan 2, dan rata-rata secara
berurutan adalah 720, 1120, dan 920.

2.1.2.2.1.3. Analisa Total Solid (TS)
Hasil pengamatan TS dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil pengamatan TS
Sampel
Vol.
Sam
pel
(ml)
Berat
Cawa
n (g)
Berat
Cawan +
Padatan
(g)
Padatan
TS
(mg/L
)
Ulangan 1 2
20,
12
2
20,26
0
0,138
69.00
0
Ulangan 2 2
23,
63
0
23,82
0
0,190
95.00
0
Rata-rata 2
21,
87
8
22,04
0
0,162
82.00
0
47

Dari tabel hasil pengamatan di atas, dapat diperoleh nilai berat cawan, berat cawan +
padatan dan nilai padatan. Untuk ulangan 1 secara berurutan adalah 20,122;
20,260;dan 0,138. Untuk ulangan 2 yaitu 23,630; 23,820; dan 0,190. Untuk rata-rata
yaitu 21,878; 22,040; dan 0,162. Sedangkan untuk nilai TS dari ulangan 1, ulangan 2
dan rata-rata adalah 69.000, 95.000, dan 82.000.

2.1.2.2.1.4. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Hasil pengamatan TSS dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil pengamatan TSS
Samp
el
Vol.
Samp
el (ml)
Berat
Kerta
s
Sarin
g (g)
Kertas
Saring
+
Padata
n (g)
Padata
n (g)
TSS
(mg/
L)
Ulanga
n 1
50 0,578 0,62 0,042 840
Ulanga
n 2
50 0,577 0,62 0,043 860
Rata-
rata
50
0,577
5
0,62 0,0425 850

Berdasarkan hasil pengamatan yang dapat diperoleh adalah nilai berat kertas sampel,
kertas saring + padatan, padatan, dan nilai TSS. Untuk ulangan 1 secara berurutan
adalah 0,578; 0,62; 0,042; dan 840. Sedangkan untuk ulangan 2 yaitu 0,577; 0,62;
0,043; dan 860. Sedangkan untuk rata-ratanya adalah 0,5775; 0,62; 0,0425; dan 850.

2.1.2.2.1.5. Analisa Toltal Dissolved Solid (TDS)
Hasil pengamatan TDS dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Hasil pengamatan TDS
Sampel TS (mg/L) TSS (mg/L) TDS (mg/L)
Ulangan 1 69.000 840 68.160
Ulangan 2 95.000 860 94.140
Rata-rata 82.000 850 81.150
48

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa nilai TS, TSS, dan TDS dari tiap ulangan.
Untuk ulangan 1 secara berurutan adalah 69.000, 840, dan 68.160. Untuk ulangan
2yaitu 95.000, 860, dan 94.140. Sedangkan untuk rata-rata yaitu 82.000, 850, dan
81,150.

2.1.2.3. Karakteristik Kimiawi
2.1.2.3.1. Pengukuran pH
Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil pengukuran pH
Sampel pH
Ulangan 1 7,2
Ulangan 2 7,4
Rata-rata 7,3

Dari tabel pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa pH untuk ulangan 1 yaitu 7,2
dan pH untuk ulangan 2 yaitu 7,4. Dan hasil rata-rata dari kedua ulangan adalah 7,3.

2.2. Kelompok F5
2.2.1. Data Hasil Pengukuran Parameter Awal
2.2.1.1. Karakteristik Fisikawi
Bau : +++
Warna : +
Kekeruhan : ++
Keterangan :
Bau : + tidak bau
++ agak bau
+++ berbau
++++ sangat berbau
+++++ sangat berbau sekali
Warna : + bening
++ kuning
+++ kuning kecoklatan
++++ coklat
+++++ coklat kehitaman
Kekeruhan : + tidak keruh
++ agak keruh
+++ keruh
++++ sangat keruh
+++++ sangat keruh sekali
49

Suhu/temperatur
Hasil pengamatan karakteristik fisikawi terutama suhu dapat dilhat pada tabel 15
dibawah ini

Tabel 15. Hasil Pengamatan Suhu
Sampel Suhu
Ulangan 1 29
o
C
Ulangan 2 29
o
C
Rata-rata 29
o
C

Dari data di atas dapat diketahui bahwa limbah minyak bekas penggorengan memiliki
bau pada tingkat 3, warna pada tingkat 1, dan kekeruhan pada tingkat 2. Pada
pengukuran suhu dengan 2 kali ulangang didapatkan suhu yang sama yaitu 29
o
C.

2.2.1.2. Analisa Padatan
2.2.1.2.1. J ar Testing
Hasil pengamatan jar testing dapat dilihat pada tabel 16 dibawah ini

Tabel 16. Hasil Pengamatan Jar Testing
Kelompok Konsentrasi (ppm) Absorbansi
F4 0 10,37
F4 2 15,11
F4 4 10,58
F5 6 10
F5 8 4,14
F5 10 9,3

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi, maka
absorbansi semakin kecil. Ada beberapa data yang ekstrim, yaitu pada kosentrasi 2
ppm dan 8 ppm. Hubungan antara konsentrasi koagulan dengan tingkat kekeruahan
dapat dilihat pada Grafik 1.
50










Dari Grafik 1. dapat dilihat bahwa turbiditas limbah cair gorengan (street food)
fluktuatif. Turbiditas meningkat dari konsentrasi 0 ppm menuju 2 ppm. Dari 2 ppm
mengalami penurunan sampai konsentrasi 8 ppm. Penurunan paling ekstrim terjadi
pada 6 ppm menuju 8 ppm. Kemudian dari 8 ppm turbiditas meningkat kembali pada
10 ppm.

2.2.1.2.2. Analisa Total Solid (TS)
Hasil pengamatan analisa total solid dapat dilihat pada tabel 17 di bawah ini

Tabel 17. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel
Volume
Sampel (ml)
Berat
Cawan
(gr)
Cawan+Padatan
(gr)
Padatan
(gr)
TS (mg/L)
Ulangan 1 2 25,17 25,20 0,03 15000
Ulangan 2 2 21,88 21,90 0,02 10000
Rata-rata 2 23,485 23,55 0,065 12500
Berdasarkan data di atas, dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Berat kertas saring rata-
rata adalah 0,785 gram, berat padatan rata-rata adalah 1,015 gram. Total Suspended
Solid adalah 20300 mg/L.

2.2.1.2.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Hasil pengamatan analisa total dissolved solid dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini
51

Tabel 19. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid
Sampel TS (mg/L) TSS (mg/L) TDS (mg/L)
Ulangan 1 15000 20400 -5400
Ulangan 2 10000 20200 -10200
Rata-rata 12500 20300 -7800

Berdasarkan data di atas, analisa Total Dissolved Solid didapatkan rata-rata sebanyak
7800 mg/L. Hasil tersebut telah dihitung sesuai dengan rumus, dengan diketahui Total
Solid sebanyak 12.500mg/L, dan Total Suspended Solid sebanyak 20300 mg/L.

2.2.1.3. Karakteristik Kimiawi
2.2.1.3.1. Pengukuran pH
Hasil pengamatan pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 20 di bawah ini

Tabel 20. Hasil Pengamatan Pengukuran pH
Sampel pH
Ulangan 1 5,71
Ulangan 2 5,85
Rata-rata 5,78

Berdasarkan data pengukuran pH di atas, dapat terlihat bahwa rata-rata pH adalah
5,78.

2.2.1.3.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Hasil pengamatan analisa kandungan chemical oxygen demand (COD) dapat dilihat
pada tabel 21 di bawah ini

52

Tabel 21. Hasil Pengamatan Analisa Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel
Volume Sampel
(ml)
Na
2
S
2
O
3
COD (mg/L)
Blanko 10 61,7 -
Ulangan 1 10 51,5 8160
Ulangan 2 10 55,6 4880
Rata-rata 10 53,55 6520

Berdasarkan data di atas, analisa kandungan Chemical Oxygen Demand rata-rata
adalah 6520 mg/L.

2.2.2. Data Hasil Pengukuran Parameter Akhir (Setelah Treatment)
2.2.2.1. Karakteristik Fisikawi
Bau : ++
Warna : +
Kekeruhan : +
Keterangan :
Bau : Warna : Kekeruhan:
+ : tidak berbau/netral + : bening + : tidak keruh
++ : agak berbau ++ : kuning ++ : agak keruh
+++ : berbau +++ : kuning kecoklatan +++ : keruh
++++ : sangat berbau ++++ : coklat ++++ : sangat keruh
+++++ : sangat berbau sekali +++++ : coklat kehitaman +++++ : sangat keruh sekali

Suhu/temperatur
Hasil pengamatan suhu atau temperatur limbah cair dapat dilihat pada tabel 22 berikut
ini.

Tabel 22. Hasil Pengamatan Suhu Limbah Cair Sebelum Treatment
Sampel Suhu (C)
Ulangan 1 30
o
C
Ulangan 2 30
o
C
Rata rata 30
o
C

Berdasarkan tabel data hasil pengamatan diatas, dapat dilihat bahwa pada ulangan 1
dan ulangan 2 memiliki suhu masing-masing adalah 30
o
C. Sehingga rata-rata suhu
pada ulangan 1 dan ulangan 2 adalah 30
o
C.
53

2.2.2.2. Analisa Padatan
2.2.2.2.1. Biochemical Oxygen Demand BOD
Analisa padatan Biochemical Oxygen Demand (BOD) dapat dilihat pada tabel 23
dibawah ini

Tabel 23. Hasil Pengamatan Analisa Padatan BOD
Sampel
Vol. Sampel
(ml)
Na
2
S
2
O
3

BOD (mg/L) Titrasi 1
(BOD
0
)
Titrasi 2
(BOD
5
)
Ulangan 1 100 26,5 14,5 120
Ulangan 2 100 30 17 130
Rata-rata 100 28,25 15,75 125

Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dilakukan titrasi sebanyak 2 kali, yaitu
pada BOD
0
dan BOD
5
,dengan volume sampel sebanyak 100 ml yang dititrasi
menggunakan Na
2
S
2
O
3
. Pada titrasi BOD
0
dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali
dengan hasil masing-masing pengulangan adalah 25, 5 ml dan 30 ml. Didapatkan rata-
rata sebanyak 28,25ml. Titrasi BOD
5
memiliki hasil pada ulangan 1 adalah 14,5 ml
dan ulangan 2 yaitu 17 ml, sehingga didapatkan rata-rata 15,75 ml. Sehingga
pengulangan 1 memiliki nilai BOD sebanyak 120 mg/L dan ulangan 2 sebanyak 130
mg/L.
2.2.2.2.2. Analisa Total Solid (TS)
Hasil pengamatan analisa total solid dapat dilihat pada tabel 24 dibawah ini

54

Tabel 24. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel Vol. Sampel (ml) Berat cawan Cawan+ padatan Padatan TS (mg/L)
Ulangan 1 2 23,267 23,40 0,133 66.500
Ulangan 2 2 22,880 23,00 0,120 60.000
Rata-rata 2 23,073 23,20 0,127 63.500

Data hasil pengamatan diatas dilakukan dengan volume sampel sebanyak 2 ml. Pada
ulangan 1 didapatkan total solid limbah cair yaitu 66.500 mg/L pada ulangan 1 dan
ulangan 2 sebanyak 60.000 mg/L. Sehingga diperoleh rata-rata total solid limbah cair
ini sebanyak 63.500 mg/L.

2.2.2.2.3. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Hasil pengamatan analisa total suspended solid dapat dilihat pada tabel 25 dibawah ini

Tabel 25. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TS)
Sampel Vol. Sampel (ml)
Kertas
saring
K. saring +
padatan
Padatan
TSS
(mg/L)
Ulangan 1 50 0,574 0,61 0,036 720
Ulangan 2 50 0,519 0,61 0,091 1820
Rata-rata 50 0,547 0,61 0,063 1260
Dari data hasil pengamatan limbah cair total suspended solid diperoleh dengan volume
sampel sebanyak 50 ml. Dengan nilai Total Suspended Solid pada pengulangan 1
adalah 720 mg/L, dan pengulangan 2 adalah 1820 mg/L. Dari data tersebut didapatkan
hasil rata-rata limbah cair yaitu 1260 mg/L.

2.2.2.2.4. Analisa Total Disolved Solid (TDS)
Hasil pengamatan analisa total disolved solid dapat dilihat pada tabel 26 berikut ini

55

Tabel 26. Hasil Pengamatan Analisa Total Disolved Solid
Sampel TS (mg/L) TSS (mg/L) TDS (mg/L)
Ulangan 1 66.500 720 65.780
Ulangan 2 60.000 1820 58.180
Rata-rata 63.500 1260 62.240
Berdasarkan data di atas, bahwa nilai TS dan TSS yang telah diketahui akan
mendapatkan nilai TDS. Pada ulangan 1 didapatkan nilai TDS sebesar 65.780 mg/L,
sedangkan pada ulangan 2 didapatkan nilai sebesar 58.180 mg/L. Sehingga dapat
diketahui rata-rata sari setiap ulangan adalah 62.240 mg/L.

2.2.2.3. Analisa Kimia
2.2.2.3.1. Pengukuran pH
Hasil pengamatan pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 27 dibawah ini

Tabel 27. Hasil Pengamatan Pengukuran pH
Sampel pH
Ulangan
1
7,8
Ulangan
2
7,3
Rata-rata 7,5

Data hasil pengamatan pengukuran pH diatas, ulangan 1 dengan pH 7,8 dan ulangan 2
dengan pH 7,3. Sehingga didapatkan hasil rata-rata sebanyak 7,5.

2.2.2.3.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Hasil pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dapat dilihat
pada tabel 28 dibawah ini

56

Tabel 28. Hasil pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel
Vol. Sampel
(ml)
Na
2
S
2
O
3
COD (mg/L)
Blanko 10 36,5 -
Ulangan 1 10 28,3 6.560
Ulangan 2 10 29,0 6.000
Rata-rata 10 28,65 6.280
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dengan volume sampel sebanyak 10 ml
didapatkan blanko sebesar 36,5 ml. Ulangan 1 didapatkan sebanyak 28,3 dengan nilai
COD sebanyak 6.560 mg/L. Ulangan 2 didapatkan 28,3 dengan nilai COD sebanyak
6.000 mg/L. Sehingga didapatkan nilai rata-rata limbah cair pada analisa Kandungan
Chemical Oxygen Demand (COD) ini adalah 6.280 mg/L.

2.3. Perbandingan Data Keseluruhan
Hasil pengamatan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29. Hasil pengamatan keseluruhan
Kelompo
k
Parameter Keterangan Sebelum
Treatment
Setelah
Treatment
F4 Bau Sangat bau
sekali
Berbau
Warna Bening Bening
Kekeruhan Tidak Keruh Agak keruh
Suhu 1 29
o
C 29
o
C
2 29
o
C 29
o
C
Rata-rata 29
o
C 29
o
C
pH 1 5,71 7,2
2 5,85 7,4
Rata-rata 5,78 7,3
COD 1 -10640 mg/L 720 mg/L
2 2160 mg/L 1120 mg/L
57

Rata-rata -4240 mg/L 920 mg/L
BOD 1 - -3 mg/L
2 - -24 mg/L
Rata-rata - -11 mg/L
TS 1 210000 mg/L 69.000 mg/L
2 210000 mg/L 95.000 mg/L
Rata-rata 210000 mg/L 82.000 mg/L
TSS 1 25200 mg/L 840 mg/L
2 16200 mg/L 860 mg/L
Rata-rata 20700 mg/L 850 mg/L
TDS 1 184800 mg/L 68.160 mg/L
2 193800 mg/L 94.140 mg/L
Rata-rata 189300 mg/L 81.150 mg/L
F5 Bau Berbau Agak Berbau
Warna Bening Bening
Kekeruhan Agak Keruh Tidak Keruh
Suhu 1 29
o
C 30
o
C
2 29
o
C 30
o
C
Rata-rata 29
o
C 30
o
C
pH 1 5,71 7,8
2 5,85 7,3
Rata-rata 5,78 7,5
COD 1 8160 mg/L 6560 mg/L
2 4880 mg/L 6000 mg/L
Rata-rata 6520 mg/L 6280 mg/L
BOD 1 - 120 mg/L
2 - 130 mg/L
Rata-rata - 125 mg/L
TS 1 15000 mg/L 66500 mg/L
2 10000 mg/L 60000 mg/L
Rata-rata 1250 mg/L 63500 mg/L
58

TSS 1 20400 mg/L 720 mg/L
2 20200 mg/L 1820 mg/L
Rata-rata 20300 mg/L 1260 mg/L
TDS 1 - 5400 mg/L 65780 mg/L
2 - 10200 mg/L 58.180 mg/L
Rata-rata - 7800 mg/L 62240 mg/L


















59
1. PEMBAHASAN
Berdasarkan Sugiharto (1987), limbah adalah buangan yang dapat berbentuk padat,
cair, dan gas. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) limbah cair pengolahan makanan
dapat dihasilkan dari proses pencucian, pemotongan, blanching, pasteurisasi,
pembersihan peralatan pengolahan, dan pendinginan produk.Limbah cair atau padat
mengandung 65% protein, 25%karbohidrat, 10% lemak, serta bahan anorganik seperti
garam dan logam.Jenie & Rahayu (1993) mengatakan bahwa limbah cair pengolahan
pangan berbeban rendah, volume cairan tinggi, dan kandungan bahan organik cukup
tinggi. Kandungan bahan organik yang cukup tinggi ini akan dipakai oleh
mikroorganisme sebagai sumber nutrisi.

Berdasarkan Gintings (1992), kekeruhan, warna, rasa, dan bau adalah ciri fisik limbah
yang tercemar.Pada limbah cair dapat timbul bau busuk, hal ini menurut Gintings
(1992) disebabkan karenakegiatan mikroorganisme menguraikan zat organik sehingga
menghasilkan gas. Jeani & Rahayu (1993) menambahkan bahwa protein pada limbah
yang mengandung sulfur atau sulfat alami akan bereaksi menghasilkan hidrogen
sulfida yang menyebabkan bau dan menghitamkan warna.

Unsur N berupa nitrat akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh
berkembang. Jadi jika limbah banyak mengandung N, maka akan menjadi sumber
makanan bagi mikroorganisme. Gintings (1992) mengatakan bahwa sumber makanan
yang besar tersebut, akan membuat pertumbuhan mikroorganisme sangat cepat. Hal ini
akan mereduksi oksigen terlarut air. Terlebih lagi dapat terjadi ledakan ganggang jika
pada limbah terdapat nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan ganggang. Peristiwa
ini disebut eutrofikasi, yaitu ledakan populasi ganggang yang menyebabkan penuruan
kadar oksigen dalam air. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) air mengandung sekitar
8 ppm oksigen terlarut dan standar minimum oksigen untuk ikan adalah 5 ppm. Jika
terjadi eutrofikasi, maka kadar oksigen akan semakin menurun karena digunakan oleh
ganggang. Hal ini akan menyebabkan kematian ikan dan biota air lain.

Limbah yang digunakan pada praktikum ini adalah limbah cair gorengan (street food).
Limbah cair ini diambil dari pedagang gorengan pinggir jalan yang berlokasi di Jalan
60

Gajah Raya, Semarang. Limbah cair gorengan (street food) yang dihasilkan adalah
sebesar 12 liter per hari. Jika dibandingkan dengan baku mutu lingkungan, debit
maksimumnya adalah 5m
3
/ton produk. Maka pembuangan limbah ini dalam hal debit
masih memenuhi standar yang ada. Jika dilihat data dari uji pendahuluan (sebelum
treatment) limbah cair gorengan (street food)berbau, bening, agak keruh, dan suhu
29
o
C.

Menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), ada beberapa tahapan untuk proses
pengolahan limbah, diantaranya adalah :
- Pretreatment
Berdasarkan Mahida (1992), pretreatment dapat dilakukan dengan penyaringan dan
pengendapan. Bahan yang dihilangkan pada tahap ini misalnya seperti lapisan minyak
dan lemak pada permukaan, sisa tepung, padatan terapung lumpur, potongan kayu,
pasir, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan,yaitu proses
penyaringan untuk memisahkan minyak pada permukaan. Tujuan utama penyaringan
adalah membuang bendabenda yang mengambang, memisahkan padatan tidak
terlarut dan bahan kasar lain. Alat yang digunakan adalah kain saring dan kertas
saring. Penyaringan ini akan menghilangkan padatan-padatan berukuran besar, yaitu
sekitar 0,7 mm atau lebih. Pada skala pabrik, alat penyaring yang digunakan harus
diperiksa setiap hari diperiksa untuk memastikan tidak terjadi kemacetan aliran air.

- Primary Treatment
Hasil dari tahap pretreatment dilanjutkan pada tahap ini. Pada tahap primary
treatment, limbah diendapkan terlebih dahulu dengan penambahan koagulan kemudian
disaring. Hal ini sesuai dengan Mahida (1992) yang mengatakan bahwa penyaringan
akan lebih efektif jika melalui proses pendahuluan, koagulasi. Koagulasi dilakukan
karena padatan terlarut sulit dipisahkan dari bagian cairnya. Penambahan koagulan,
menurut Jenie & Rahayu (1993) dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah ph. Koagulan yang biasa digunakan adalah kapur, tawas, dan kaporit karena
garam Ca, Fe, dan Al tidak larut air sehingga mampu mengendap bila bertemu dengan
sisa basa. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan pada praktikum yaitu dengan
menambahkan Ca(OH)
2
40000 ppm. Penambahan Ca(OH)
2
sebagai koagulan akan
61

menyebabkan reaksi antara limbah dengan koagulan. Hal ini menyebabkan butiran
bertambah besar dan berat jenisnya menjadi lebih besar daripada air. Dengan begitu
akan terjadi pengendapan karena gaya gravitasi yang menyebabkan benda jatuh.
Setelah itu dilakukan jar-testing dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit dan
diperlambat dengan kecepatan 25 rpm selama 15 menit. Hal ini sesuai dengan
Kusnaedi (1998) yang mengatkan bahwa koagulasi akan berjalan lebih cepat jika
dilakukan pengadukan menggunakan mixer statis atua rapid mixer. Tujuan
pengadukan jar testing secara cepat adalah meningkatkan kontak limbah dengan
koagulan sehingga terbentuk mikroflok-fikroflok. Sedangkan pengadukan secara
lambat bertujuan untuk menghomogenkan limbah dengan koagulan dan membentuk
ikatan pada mikroflok-mikroflok hingga menjadi makroflok sehingga tidak
pecah.Selanjutnya didiamkan selama 30 menit sampai terbentuk endapan dan
kemudian disaring dengan kertas saring.

- Secondary treatment
Pada tahap ini dilakukan pengolahan biologi dengan bantuan sistem aerasi. Aerasi
adalah penangkapan O
2
dari udara pada air yang akan diproses. Tujuan aerasi
adalahsupaya O
2
dapat bereaksi dengan kation dalam air olahan. Saat kation bertemu
dengan oksigen akan terjadi oksidasi logam yang sukar larut air, sehingga akan
terbentuk endapan. Selain itu aerasi bertujuan untuk menurunkan Fe dan Mg. Kation
Fe
2+
dan Mg
2+
akan membentuk oksida Fe
2
O
3
dan MgO jika disembur ke
udara.Kusnaedi (1998) menambahkan bahwa aerasi harus diikuti oleh filtrasi atau
pengendapan. Proses pengendapan ini dapat menurunkan nilai COD dan BOD.
Menurut Sastrawijaya (1991) aerasi akan meningkatkan jumlah oksigen terlarut karena
aerasi akan memerangkap oksigen.

Proses aerasi termasuk proses penting karenaproses ini dapat mengambil zat pencemar
seperti gas, ion, dan koloid. Dengan begitu, konsentrasi zat pencemar dapat dikurangi
dan dihilangkan. Aerasi yang dilakukan pada praktikum ini adalah dengan aerator
selama 30 menit. Hal ini sesuai dengan Sugiharto (1987) yang mengatakan bahwa
oksigen murni dapat dimasukkan dengan benda porous atau nozzle. Nozzle
62

akan meningkatkan kecepatan kontak gelembung udara dengan air limbah. Dengan
begitu, pemberian oksigen berjalan dengan cepat.

Selain itu, Sugiharto (1987) mengatakan bahwa aerasi dapat mengurangi bahan
organik pada limbah cair. Dengan adanya aerasi diharapkan akan memperbanyak
mikroorganisme aerobik yang mencerna limbah. Jika mikroba semakin banyak,maka
dapat mengurangi kandungan bahan organik pada limbah. Bahan organik akan
dioksidasi menjadi bentuk yang lebih sederhana (Jenie & Rahayu ,1993).Dua hal yang
perlu diperhatikan pada proses aerasi adalah penambahan oksigen dan pembunuhan
bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengolahan biologis ini adalah :
- jumlah air limbah
- tingkat kekotoran
- jenis kotoran yang ada

- Tertiary treatment
Secara umum tertiary treatment bertujuan untuk menghilangkan senyawa kimia
anorganik seperti kalsium, kalium, sulfat, nitrat, fosfor, dan senyawa organik.
Berdasarkan Gintings (1992), tertiary treatment dapat dilakukan dengan tiga tahap,
yaitu fisika, kima, dan biologis. Metode yang dilakukan adalah dengan adsorbsi
menggunakan karbon aktif. Tujuannya adalah untuk menghilangkan padatan terlarut
dan menjernihkan air limbah, sehingga limbah siap dibuang. Untuk mengurangi
kekeruhan dan bau dari limbah, menurut Mahida (1992) perlu penambahan adsorbent.
Adsorbentdigunakan untuk menjernihkan air limbah. Adsorbent akan mengurangi
bahan organik pengotor, partikel (unbiodegradable),dan gabungan antara bau, warna
dan rasa. Adsorbent yang digunakan pada praktikum ini adalah karbon aktif. Karbon
aktif akan mengurangi kadar benda organik terlarut dan menjernihkan warna limbah.
Penambahan karbon aktif adalah proses pelengkap pengolahan limbah secara biologi.
Gintings (1992) menambahkan bahwa adsorpsi dapat menurunkan BOD,
menghilangkan warna, rasa, dan bau.Untuk kelompok F4 menggunakan karbon aktif
granula, sedangkan F5 karbon aktif bubuk. Berdasarkan Sugiharto (1987), karbon aktif
alamiah terbuat dari arang atau kayu yang dibakar sampai berwarna merahkemudian
diaktifkan dengan menambah gas oksigen pada tekanan tinggi. Gas oksigen ini akan
63

mengembangkan struktur rongga pada batubara/arang sehingga memperluas
permukaan. Dengan permukaan yang luas ini karbon aktif mempunyai daya serap dan
dapat mengikat benda organik serta partikel lain dengan baik.

- Desinfeksi
Tujuan proses ini adalah untuk menurunkan atau menghilangkan mikroorganisme
patogen pada limbah. Menurut Volk & Wheeler (1993) desinfektan dapat merusak
membran sel, protein sel, atau gen yang akan menyebabkan kematian atau mutasi.
Pada praktikum ini desinfeksi dilakukan dengan penambahan klorin sebesar 10% dari
volume limbah. Menurut Sugiharto (1987), klorin membunuh bakteri dengan
menginaktivasi enzim utama sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Selain itu,
menurut Jenie & Rahayu (1993) klorin dapat mengatasi bau.

- Pengolahan Lanjutan
Proses ini dimaksudkan agar sisa lumpur dapat dimanfaatkan untuk pupuk, membuat
kolam, penimbunan dan pengisian tanah yang cekung (land filling). Tapi, pada
praktikum tidak dilakukan pengolahan lumpur karena lumpur pada limbah hanya
sedikit.

- Netralisasi
Netralisasi bertujuan agar tingkat keasaman sesuai atau tidak berbahaya bagi
lingkungan. Pada praktikum ini, jika limbah terlalu asam, akan diberi tambahan NaOH
5%. Sementara jika limbah terlalu basa ditambahakan HCl 5%. Menurut Volk &
Wheeler (1993) pH normal air limbah berkisar antara 6,5 8,5. Jika keasaman air
limbah terlalu tinggi akan membahayakan kehidupan air. Berdasarkan baku mutu
limbah cair gorengan (street food) pH harus mendekati pH netral, yaitu pH 7.

Setelah mengalami seluruh proses treatment, limbah dianalisis secara fisik, padatan,
dan kimiawi, lalu dibandingkan dengan karakteristik limbah sebelum treatment.
Pengolahan limbah ini dilakukan agar limbah aman untuk dibuang ke perairan. Berikut
ini adalah karakteristik limbah yang aman dibuang ke lingkungan :
Temperatur tidak terlalu tinggi
64


Kisarannya adalah 100-110F. jika limbah terlalu panas, akan merusak beton dan
logam di saluran.
Tidak terlalu asam atau basa
Kisaran pH limbah yang aman adalah 5,5-9.
Konsentrasi lemak tidak lebih dari 100 mg/l.
Tidak mengandung gas beracun, berbau tengik, berbau keras, mengandung gas yang
dapat terbakar atau meledak.
Tidak mengandung zat padat yang dapat mengendap dan berat spesifik tinggi seperti
pasir dan silikon, wol, rambut, kain, dan bahan kasar lainnya.
Memiliki ukuran yang seragam dari kecepatan hidrolisis dan komposisi limbahnya
(Mahida, 1992).

4.1. Karakteristik Fisikawi
4.1.1. Warna, Kekeruhan, Bau, dan Suhu Air Limbah
Pada limbah sebelum treatment, limbah cair berbau, berwarna kuning kecoklatan,
agak keruh, dan mempunyai suhu 29C. Sedangkan setelah treatment, limbah cair
agak bau, berwarna bening, tidak keruh, dan bersuhu 30C.Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa proses treatment efektif untuk mengolah limbah cair gorengan (street
food). Dapat dilihat terutama pada tingkat kekeruhan, dikatakan oleh Suhardi (1991)
bahwa standar dari karakteristik fisik limbah adalah kekeruhan. Treatment yang
dilakukan efektif untuk menjernihkan cairan limbah. Pada tahap pretreatment
dilakukan penyaringan. Proses penyaringan ini menahan senyawa yang tidak larut air
limbah. Dengan begitu cairan limbah menjadi lebih jernih. Pada tahap primary
treatment menjernihkan larutan limbah cair. Hal ini terjadi pada saat dilakukan jar test
dan pengendapan. Pada primary treatment ditambahkan Ca(OH)
2
40000 ppm sebagai
koagulan. Pada saat koagulasi, senyawa organik pada limbah cairberikatan dengan
koagulan dan membentuk flok-flok. Kemudian dilakukan proses penyaringan yang
akhirnya memisahkan flok ini dari limbah cair. Tahap tertiary treatment yang
menggunakan karbon aktif juga mendukung kejernihan pada cairan limbah.
Penggunaan karbon aktif akan menyerap partikel warna, bau, dan benda yang tidak
dapat diuraikan (nonbiodegradable) pada limbah. Dengan begitu cairan limbah
65

menjadi lebih jernih. Penyerapan ini dapat berlangsung karena ada molekul yang
saling tarik menarik. Gaya tarik menarik yang terjadi di permukaan adsorbent ini tidak
seimbang. Ketidakseimbangan ini karena pada suatu daerah disekeliling bahan tidak
ada molekul yang menarik. Hal ini menyebabkan zat adsorbent akan menarik molekul
gas atau solute.

Treatment juga efektif untuk menghilangkan bau pada limbah. Bau yang tidak sedap
pada limbah menurut Mahida (1992) disebabkan karena campuran nitrogen, sulfur,
fosfor, dan pembusukan protein serta bahan lain pada limbah. Bau paling menyengat
adalah yang berasal dari hidrogen sulfida. Bau ini dapat dihilangkan dengan proses
pengolahan. Hal ini sesuai dengan Sugiharto (1987) yang mengatkan bahwa limbah
industri pangan bersifat biodegradable (karbohidrat dan protein tinggi) dapat
diuraikan oleh mikroorganisme, sehingga terjadi pembusukan yang menimbulkan bau
kurang sedap.Setelah treatment, dihasilkan limbah yang hanya agak bau. Hal ini
terutama disebabkan karena proses desinfeksi yang menggunakan klorin. Berdasarkan
Jenie & Rahayu (1993) klorin dapat mereduksi senyawa dalam air limbah. Hal ini
menyebabkan bau pada limbah yang telah diolahmenjadi lebih baik.

Karakteristik yang terakhir adalah suhu limbah. Jika suhu tinggi tingkat oksidasi zat
organik akan besar. Selain itu suhu tinggi akan mematikan mikroorganisme pengurai
karena menurunkan aktivitas biologisnya. Menurut Jenie & Rahayu (1993)
pengukuran suhu seharusnya dilakukan dengan menggunakan permistor dalam derajat
Fahrenheit dan Celcius. Dari data, limbah cair yang dihasilkan memiliki suhu yang
normal.

4.1.2. Analisa Padatan
4.1.2.1. Total Solid (TS)
Menurut pendapat dari Hammer & Hammer (1996) & Jenie & Rahayu (1993), total
padatan atau TS merupakan bahan atau yang masih tertinggal setelah evaporasi
sampel air limbah dan yang telah mengalami pengeringan dalam oven. Cara kerja
dalam pengukuran total padatan adalah 2 ml air limbah dimasukkan ke dalam cawan
dan dioven selama 1 malam. Setelah 1 malam kemudian dimasukkan dalam desikator
66

selama 15 menit. Pada analisa ini dilakukan proses pengeringan cawan dengan
menggunakan oven. Selain itu, cawan yang dikeluarkan dari oven harus segera
dimasukkan ke dalam desikator. Hal tersebut dikarenakan karena benda kering akan
bersifat higroskopis atau sangat mudah menyerap air dari lingkungan (Volk &
Wheeler, 1993). Miligram total residu sama dengan perbedaan antara berat cawan
setelah didinginkan dengan berat cawan kosong dan dapat dihitung dengan rumus:

TS =
()


Keterangan:
A = berat cawan kosong (mg)
B = berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan (mg)
TS = Total Solid (mg/L)

Pada hasil pengamtan, untuk data sebelum treatment didaptakan hasil total solid (TS)
pada kelompok F4 adalah 210.000 mg/L dan setelah treatment adalah 82.000 mg/L.
Padakelompok F5 didapatkan rata-rata sebelum treatment yaitu 12.500 mg/L.
Sedangkan pada data setelah treatment didapat rata-rata yaitu 63.500 mg/L. Pada
kelompok F5 mengalami peningkatan, peningkatan ini dapat terjadi karena sampel
limbah awal. Menurut teori dari Jenie & Rahayu (1993), setelah mengalami koagulasi,
total padatan tidak hanya dari partikel-partikel yang telah tersuspensi tetapi pada
waktu pengolahan juga dilakukan beberapa bahan kimia pada proses koagulasi yaitu
Ca(OH)
2
dan pada desinfeksi adalah klorin. Untuk kelompok F4, setelah melalui
treatment mengalami penurunan. Penurunan ini dapat dikarenakan karena adanya
proses koagulasi sehingga dapat memperbesar ukuran partikel sehingga dapat
diakibatkan padatan yang elbih banyak mengendap. Dilakukan proses penyaringan
setelah koagulasi, tujuannya adalah untuk memisahkan partikel yang mengendap
sehingga padatan pada air limbah tersebut dapat berkurang.

4.1.2.2. Total Suspended Solid (TSS)
Pada percobaan selanjutnya, dilakukan analisa untuk dapat mengetahui jumlah Total
Suspended Solid (TSS) pada air limbah gorengan. TSS adalah residu yang tidak lolos
saringan dan dilakukan dengan cara menyaring dengan mengeringkan filter membran
67

yang berisi TSS air limbah (Sugiharto, 1987). Cara kerja dalam uji total padatan
tersuspensi adalah 50 ml air limbah disaring dengan menggunakan kertas saring
kemudian kertas saring yang digunakan untuk menyaring dimasukkan dalam oven
selama 1 malam. Sebelum itu kertas saring kosong terlebih dahulu ditimbang beratnya.
Residu yang tidak dapat disaring dan tertinggal dalam membran filter inilah yang
disebut dengan padatan terlarut total. TSS ditentukan dengan menggunakan rumus:

TSS =
()


Keterangan:
A = berat kertas saring kosong (mg)
B = berat kertas saring berisi residu (mg)
TS = Total Suspended Solid (mg/L)

Pada kelompok F4, untuk data sebelum treatment diperoleh rata-rata 20.700 mg/L dan
untuk setelah treatment adalah 850 mg/L. Untuk kelompok F5 pada data sebelum
treatment diperoleh 20.300 mg/L dan setelah treatment adalah 1.260 mg/L. Dari data
tersebut dapat dikatakan bahwa setelah melalui treatment nilai TSS mengalami
penurunan. Untuk nilai baku mutu limbah pada makan gorengan adalah 100 mg/L
sehingga pada limbah percobaan ini dilakukan treatment karena nilai TSS yang
didapat melebihi dari nilai baku mutu limbah. Menurut Hammer & Hammer (1996),
jika limbah ini berada di lingkungan (limbah dengan TSS tinggi), dapat menyebabkan
polusi akibat dari pembusukkan benda-benda berbentuk organik yang mengeluarkan
bau yang tidak sedap.

Dalam praktikum ini, dilakukan proses koagulasi agar dapat mengurangi jumlah
padatan yang terdapat pada air limbah. Di tahap koagulasi, jumlah partikel yang dapat
diendapkan pada air limbah bergantung pada bahan dan jenis bahan kimia yang
ditambahkan, pH larutan dan jenis komponen yang ada pada limbah tersebut (Jenie &
Rahayu, 1993). Setelah melakukan berbagi macam treatment dari pretreatment,
primary treatment, secondary treatment, tertiary treatment, dan juga perlakuan
tambahan seperti desinfeksi dan netralisasi, selanjutnya dilakukan pengukuran
parameter akhir, diantaranya adalah TS, TSS, dan TDS.
68

Pada pengukuran TS, TSS, air limbah yang sebelum diberi treatment diketahui bahwa
air limbah yang ada mengandung padatan. Padatan tersebut dapat dihilangkan untuk
dapat mempermudah proses selanjutnya. Menurut teori dari Gintings (1992), jika
terdapat padatan yang ada dalam larutan limbah tersebut maka proses pengolahan pada
limbah dapat terhambat.

4.1.2.3. Total Dissolved Solid (TDS)
Berdasarkan Hammer & Hammer (1996) TDS (Total Dissolved Solid) atau padatan
terlarut total merupakan hasil yang didapatkan dari nilai TS dan TSS. Sedimentasi
dilakukan dengan menginkubasi limbah yang telah ditambah koagulan selama 24 jam.
Penambahan koagulan ini menurut Mahidi (1992) akan mempercepat sedimentasi.
Setelah itu, cairan limbah difiltrasi dengan kertas saring. Tujuan penyaringan adalah
menangkap padatan yang mengendap sebelumnya. Padatan terlarut total (TDS)
dikatakan sebagai bahan yang dapat melewati filter standar. Padatan terlarut total atau
residu yang dapat disaring, ditetapkan dengan berat contoh yang telah disaring dan
dievaporasi atau sebagai perbedaan antara berat residu setelah evaporasi dan berat
padatan tersuspensi total (Jenie & Rahayu, 1993). Analisa TDS adalah selisih antara
TS dengan TSS. Rumus perhitungannya:
TDS = TS - TSS
Keterangan :
TDS = Total Disolved Solid atau padatan terlarut total (ppm)

Jika dilihat, TDS rata-rata sebelum treatment (uji pendahuluan) untuk kelompok F4
adalah mg/L 189300 mg/L dan F5 adalah 7800 mg/L. Setelah treatment TDS rata-
rata untuk kelompok F4 mg/L adalah 81150 mg/Ldan F5 adalah 62240 mg/L. Untuk
TDS tidak terdapat pada baku mutu limbah cair, oleh karena itu tidak dapat
dibandingkan dengan baku mutu limbah cair.

Pada kelompok F4 sebelum treatment didapatkan hasil TDS yang sangat besar.
Setelah dilakukan treatment, terjadi penurunan yang sangat besar pula. Pada F5
setelah treatment juga menghasilkan TDS yang rendah. Hal ini membuktikan bahwa
perlakuan treatment yang telah dilakukan memberikan efek yang efektif pada
69

penurunan TDS. Pada kelompok F5, terdapat kesalahan pada sebelum treatment
karena hasil yang didapatkan mencapai nilai minus (-). Hal ini dapat disebabkan
karena kesalahan atau ketidaktelitian pada saat melakukan percobaan, misalnya
penyaringan yang tidak sempurna sehingga total padatan yang tersaring hanya sedikit.
Dapat juga disebabkan karena proses pengeringan atau penimbangan kertas saring
yang tidak sempurna sehingga mempengaruhi hasil akhir perhitungan TDS.

4.2. Analisa Kimiawi
4.2.1. pH
Menurut Mahida (1992), pH menyatakan keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan
yang encer dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. Pengukuran pH ini dilakukan
karena air buangan yang memiliki pH tinggi atau rendah dapat menjadikan air
buangan yang steril dan sebagai akibatnya dapat membunuh mikroorganisme. Pada
treatment terakhir adalah netralisasi. Proses ini dilakukan sampai pH limbah mencapai
pH 7 dan menggunakan alat pH meter. Prinsip kerja alat pH meter adalah sebuah pH
meter dihubungkan dengan sumber tenaga maka terdapat rantai tertutup. Oleh karena
itu, ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat
penera dimana menggambarkan besarnya kadar ion H.Netralisasi dilakukan dengan
menggunakan larutan NaOH 5% dan HCl 5%.

pH yang didapat sebelum dilakukan treatment adalah 5,78 dan setelah dilakukan
treatment adalah 7,5. Pada nilai baku mutu limbah, pH berkisar antara 6,0 9,0.
Sehingga pada pengukuran pH tersebut setelah dilakukan treatment sudah memenuhi
nilai baku mutu limbah yang ada. Dengan memenuhi nilai baku mutu limbah tersebut
maka limbah aman bila dibuang ke badan air dan tidak mengganggu atau merusak
kehidupan biota air (Sugiharto, 1987).

4.2.2. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand(BOD) adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme untuk mengoksidasisenyawa organik pada limbah dengan temperatur
19-21
o
C dalam inkubator atau waterbath. Berdasarkan Hammer & Hammer (1996) uji
70

BOD bertujuan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluent yang telah
diolah dan air yang terpolusi.

Sebanyak 100 ml limbah setelah treatment diencerkan menggunakan air aerasi hingga
1000 ml. Pengenceran ini sesuai dengan Jenie & Rahayu (1993) yang mengatakan
bahwa sampel limbah harus diencerkan sebanyak 1 : 100 hingga 1 : 1000. Selain itu
penggunaan air aerasi sesuai dengan Jenie & Rahayu (1993) yang mengatakan bahwa
tujuan penambahan air aerasi adalah untuk mengantisipasi limbah yang berkekuatan
tinggi. Selain itu, air aerasi digunakan untuk menjamin penyediaan udara. Dengan
begitu akan mencegah terbentuknya endapan. Cara pembuatan air aerasi adalah 1000
mL aquades dicampur dengan 1 mL buffer phosphate, 1 mL MgSO
4
, 1 mL CaCl
2
, dan
1 mL FeCl
3
. Menurut Suhardi (1991) temperatur aquades yang digunakan harus
diperhatikan, yaitu 20 1 C.

Dari 1000 ml ini, sebanyak 600 ml dimasukkan ke botol coklat untuk diinkubasi 5 hari
pada suhu 20C untuk uji BOD
5
. Tujuan penyimpanan dalam botol gelap menurut
Tchobanoglous (1981) adalahsupaya temperatur sampel terjaga dalam nilai konstan,
sehingga hasil akurat. Jika temperatur berubah, dapat terjadi reaksi biokimia yang
mempengaruhi hasil.Temperatur yang biasa digunakan adalah sekitar 20
0
C.
Berdasarkan Alaerts & Santika (1984) gangguan yang biasa dialami saat pengukuran
BOD adalah terjadi nitrifikasi dan pengeluaran oksigen dari botol. Nitrifikasi biasa
terjadi pada botol hari ke 2 sampai 10. Nitrifikasi juga memerlukan oksigen, oleh
karena itu akan mempengaruhi BOD. Nitrifikasi juga dipengaruhi oleh temperatur.
Maka dari itu, jika botol terpapar matahari, akan terjadi peningkatan temperatur pada
botol yang akan mempengaruhi BOD. Selain itu, cahaya matahari juga dapat memicu
timbulnya gelembung udara. Gelembung ini dapat menyebabkan oksigen digunakan
oleh ganggang dan lumut.

Sisa 400 ml dari pengenceran awal dilakukan uji BOD
0
. Berdasarkan teori, butuh
waktu lama untuk melakukan oksidasi biologis yang sempurna. Agar lebih praktis,
reaksi dianggap sempurna dalam 5 hari. Menurut Tchobanoglous (1981)selama 5 hari,
oksidasi berlangsung sekitar 60-70%. Sebenarnya jika sampel disimpan selama 20
71

hari, proses oksidasi berlangsung sekitar 95-99 %. Maka dari itu, Mahida (1992)
mengatakan bahwa nilai BOD
5
bukan ukuran lengkap dari kekuatan air limbah, mutu
air limbah atau tingkat pencemarannya. Hal ini karena nilai BOD
5
hanya mewakili
sebagian kecil dari seluruh BOD. Untuk BOD
0
dapat langsung diukur, sedangkan
BOD
5
mengalami proses penyimpanan selama 5 hari dalam botol gelap. Berdasarkan
Sastrawijaya (1991) uji BOD yang diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang
akan habis dalam 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik pada suhu 20
o
C dan
dinyatakan dalam ppm.

Langkah untuk uji BOD
5
dan BOD
0
sama yaitu sebagai berikut. Sebanyak 400 ml
sampel limbah diambil. Ditambahkan dengan 3 ml KI dan 3 ml MnSO
4
. Didiamkan
selama 15 menit. Kemudian ditambahkan dengan 3 ml H
2
SO
4
pekat dan dikocok
perlahan. MnSO
4
akan dioksidasi oleh oksigen pada keadaan alkalis, yang
menyebabkan terbentuk endapan MnO
2
. Penambahan kalium iodida dan asam sulfat
akan membebaskan iodin yang setara dengan oksigen terlarut.Setelah itu diambil
sebanyak 20 ml dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Larutan dititrasi dengan
menggunakan Na
2
S
2
O
3
0,01 N sampai warna pucat. Setelah warna pucat, ditambah
dengan 0,2 ml (2 tetes) amilum. Larutan segera dititrasi kembali dengan Na
2
S
2
O
3
0,01
N. Titrasi dihentikan ketika tercapai TAT, yaitu bening.Titik akhir titrasi akan
memberikan hasil warna bening. Berdasarkan Anonim (2007) hal ini terjadi
karenapenambahan MnSO
4
dan KI akan menghasilkan senyawa I dalam dua bentuk,
yaitu I
2
dan I
-
. Kedua senyawa ini akan bergabung membentuk I
3
-
. I
3
-
bertemu dengan
amilum akan membentuk warna biru kompleks. Jika bereaksi dengan larutan standar
thiosulfat akan membentuk warna bening.Nilai BOD dihitung dengan rumus:

BOD = (Vol titrasi BOD
0
Vol titrasi BOD
5
) x Faktor Pengenceran
Keterangan: 1 ml Na
2
S
2
O
3
= 1 mg/L BOD

Rata-rata BOD
0
untuk F4 adalah 25,75 mg/Ldan F5 adalah 28,25 mg/L. Sedangkan
rata-rata BOD
5
untuk F4 adalah 26,85 mg/Ldan F5 adalah 15,75 mg/L. Dari kedua
data tersebut dihitung nilai BOD sesuai dengan rumus. Rata-rata nilai BOD untuk F4
adalah -11 mg/L, sedangkan F5 adalah 125 mg/L.Menurut baku mutu limbah, untuk
72

limbah cair street food kadar maksimal BOD
5
adalah 50 mg/L. Jika dibandingkan
dengan hasil yang didapatkan, maka untuk kelompok F4 dan F5 pada uji BOD
5
telah
memenuhi standar baku mutu limbah. Ini berarti treatment yang dilakukan efektif.
Untuk nilai BOD, kelompok F4 mendapatkan nilai negatif. Nilai BOD seharusnya
tidak negatif. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi nitrifikasi dan masuknya oksigen
ke dalam botol. Berdasarkan Alaerts & Santika (1984) semakin banyak reaksi
nitrifikasi yang terjadi, maka hasil pengukuran semakin tidak tepat. Maka dari itu,
bakteri penyebab nitrifikasi harus dihambat menggunakan inhibitor. Selain itu
kesalahan ini dapat disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada negara tropis. Alaerts
& Santika (1984) juga mengatakan bahwa temperatur tinggi akan meningkatkan
proses nitrifikasi sehingga mempengaruhi hasil BOD. Hal lain yang dapat
menyebabkan kesalahan ini adalah adanya gelembung udara dalam botol. Berdasarkan
Alaerts & Santika (1984) gelembung udara dapat menyebabkan oksigen digunakan
oleh ganggang dan lumut. Hal lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam analisa
BOD ini adalah adanya zat racun dan nutrisi kurang sehingga memperlambat
pertumbuhan bakteri.

4.2.3. Chemical Oxygen Demand (COD)
ChemicalOxygenDemand (COD) berdasarkan Sugiharto (1987) adalah banyaknya
oksigen (ppm atau milligram/liter) yang diperlukan bahan kimia untuk menguraikan
senyawa organik secara kimiawi. Analisa COD termasuk penentuan total zat organik
secara tidak langsung. Hal ini karena karena yang diukur adalah kebutuhan O
2
untuk
menambah zat organik secara kimiawi.

Nilai yang dihasilkan dari analisa BOD sangat terbatas untuk mengukur kebutuhan
oksigen sesungguhnya pada permukaan air di alam. Menurut Hammer & Hammer
(1996) hal ini karena laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia, dan
biologis seperti di alam. Maka dari itu perlu dilakukan analisa COD. Berdasarkan
Jenie & Rahayu (1993) pengujian COD memilikibeberapa keunggulan dibanding
BOD. Beberapa diantaranya adalah ada senyawa kimia (lignin) yang tahan terhadap
oksidasi biokimia tapi tidak tahan dengan oksidasi kimia, ada senyawa kimia
(selulosa, lemak rantai panjang, dan sel mikroba) yang dapat dioksidasi secara kimia
73

dan biokimia tapi tidak untuk BOD
5
, serta bahan toksik yang akan mengganggu pada
uji BOD, tapi tidak untuk uji COD.

Pertama-tama 10 ml limbah diencerkan sampai 100 ml dengan aquades. Setelah itu
diambil 10 ml. Larutan ini ditambahkan dengan 1 ml HgSO
4
pekat dan 20 ml K
2
Cr
2
O
7
.
K
2
Cr
2
O
7
ditambahkan untuk menyebabkan terjadinya reduksi oksidasi yang
menghasilkan O
n
. O
n
ini merupakan oksigen bebas yang akan diukur dengan titrasi
iod. Reaksi redoks dapat terjadi karena K
2
Cr
2
O
7
adalah oksidator kuat. Volume
K
2
Cr
2
O
7
yang ditambahkan ekuivalen dengan total zat organik yang dapat dioksidasi
secara kimiawi. HgSO
4
pekat ditambahkan untuk menciptakan kondisi asam karena
menurut Suhardi (1991) reaksi redoksakan optimal pada kondisi asam. Selain itu
pengkondisian asam dilakukan karena penguraian senyawa organik secara oksidasi
menggunakan agen oksidasi kuat dalam suasana asam. Kemudian larutan dipanaskan
100C selama 10 menit. Perlakuan pemanasan ini sesuai dengan Graham (1956) yang
mengatakan bahwa pemanasan akan meningkatkan kecepatan reaksi karena energi
kinetik molekul dari kedua senyawa akan semakin besar. Dengan begitu reaksi kedua
molekul tersebut akan semakin besar, sehingga senyawa akhir reaksi lebih cepat
terbentuk.

Kemudian diambil 10 ml larutan dan ditambahkan dengan 1,5 ml KI 10% dan 2 ml
amilum. Penggunaan KI 10% sesuai dengan Petrucci (1990) yang mengatakan bahwa
zat pengoksida kuat dapat dianalisis dengan penambahan KI berlebih kemudian
menitrasi iod yang bebas karena banyak zat pengoksida yang menuntut larutan asam
untuk bereaksi dengan iodin. KI akan menyebabkan reaksi antara ion K dengan
oksigen bebas dari reaksi oksidasi (O
n
). Dari reaksi ini akan dihasilkan ion iodida
bebas yang ekuivalen dengan jumlah ion yang membebaskannya. Penggunaan
indikator amilum sesuai dengan Day & Underwood (1992) yang mengatakan bahwa
jumlah iodida bebas dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan indikator amilum.
Selain itu, menurut Graham (1956) ion iodida bebas yang bertemu dengan amilum
akan membentuk warna biru tua. Hal ini karena iodin masuk ke dalam struktur
molekul pati yang berbentuk helix, sehingga terbentuk ikatan yang berwarna biru tua.
74

Kemudian dititrasi dengan Na
2
S
2
O
3
0,1 N sampai titik akhir titrasi. Hal ini sesuai
dengan Day & Underwood (1992) yang mengatakan bahwa jumlah ion iodida bebas
ditentukan dengan titrasi menggunakan larutan Na
2
S
2
O
3
. Titik akhir titrasi adalah biru
bening. Berdasarkan Sudarmadji et al. (1996) perubahan warna larutan menunjukkan
bahwa semua iodin bebas sudah bereaksi dengan Na
2
S
2
O
3
. Volume Na
2
S
2
O
3
yang
digunakan untuk titrasi sebanding dengan dengan jumlah iod bebas dan jumlah
oksigen dalam limbah.Untuk sampel blanko tidak dilakukan perlakuan pemanasan.
Blanko perlu dibuat untuk mengkoreksi kesalahan karena ada bahan organik lain pada
reagen. COD dihitung dengan rumus :
COD (ppm) =
sampel ml
n pengencera x x O S Na N x sampel blanko 8000 ) (
3 2 2


(Hammer & Hammer, 1996).

Rata-rata COD F4 sebelum treatment (uji pendahuluan) adalah -4240 mg/L dan F5
sebesar 6520 mg/L. Setelah treatment, rata-rata COD untuk F4 adalah 920 mg/L dan
F5 adalah 6280 mg/L.Dapat dilihat pada F5 bahwa sebelum treatment, nilai COD
sangat tinggi. Menurut Gintings (1992) hal ini disebabkan karenaadacemaran oleh zat
organik dari berbagai macam sumber. Setelah treatment, terjadi penurunan pada COD
F5 menjadi 6280 mg/L, sedangkan pada F4 COD nya jauh lebih rendah lagi, yaitu 920
mg/L.Menurut Baku Mutu Air Limbah, nilai COD maksimal pada limbah cair street
food adalah 100 mg/L. Jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan, maka nilai
pada kelompok F4 dan F5 jauh melebihi baku mutu air limbah, sehingga limbah ini
belum layak untuk dibuang ke lingkungan. Kesalahan ini dapat disebabkan karena
kesalahan pada saat treatment, misalnya tidak teliti saat penambahan senyawa.
Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) penambahan senyawa kimia dapat meningkatkan
konsentrasi senyawa kimia dalam air. Untuk menguraiakn senyawa kimia ini
dibutuhkan oksigen. Maka dari itu, hal ini turut mempengaruhi nilai COD.

Jika dicermati, hasil nilai hasil uji COD lebih besar daripada BOD. Hasil ini sesuai
dengan Gintings (1992) yang mengatakan bahwa permintaan oksigen oleh senyawa
organik lebih tinggi daripada mikroorganisme. Sedangkan menurut Hammer &
Hammer (1996) nilai COD yang lebih besar ini disebabkan karena oksidasi kimia
75

dapat mendekomposisi bahan organik non biodegradable, sedangkan pengukuran
BOD didasarkan pada oksigen yang digunakan mikroorganisme selama 5 hari.





















76
5. KESIMPULAN

- Tujuan umum pengolahan limbah adalah agar limbah yang akan dibuang sesuai
dengan Baku Mutu Limbah.
- Pengolahan limbah terdiri dari tahap pretreatment, primarytreatment,
secondarytreatment, tertiarytreatment, pengolahan tambahan, desinfeksi, dan
netralisasi.
- Tujuan pretreatmentadalah menghilangkan padatan yang berukuran besar.
- Tujuan primary treatment adalah menggumpalkan partikel terlarut dan tersuspensi.
- Koagulasi dapat mengendapkan zat organik dan suspended solid pada limbah.
- Tujuan secondary treatmentadalah memperbanyak jumlah mikroorganisme aerobik
yangmampu mencerna limbah sehingg cemaran limbah berkurang.
- Aerasi dapat mengurangi bahan organik dalam limbah dengan bantuan
mikroorganisme.
- Tujuan dari tertiarty treatment adalah menghilangkan padatan terlarut dan
menjernihkan limbah.
- Tertiary treatment dilakukan dengan menggunakan karbon aktif.
- Tujuan desinfeksi adalah membunuh bakteri dengan merusak dinding sel secara
langsung atau menginaktifkan enzim utamasehingga merusak dinding sel.
- Klorin dapat merusak membran sel atau protein sel secara langsung.
- Tujuan netralisasi adalah agar limbah tidak terlalu asam atau basa.
- Setelah treatment limbah menjadi agak berbau, bening, agak keruh, dan bersuhu
29C.
- Setelah treatment, kandungan TS, TSS, dan TDS mengalami penurunan.
- BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk
mengoksidasisenyawa organik pada limbah dengan temperatur 19-21
o
C dalam
inkubator atau waterbath.
- Nilai BOD
5
hanya mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD.
- Setelah treatment, nilai BOD
5
telah sesuai dengan baku mutu lingkungan.
- COD adalahbanyaknya oksigen (ppm atau milligram/liter) yang diperlukan bahan
kimia untuk menguraikan senyawa organik secara kimiawi.

76
- Setelah treatment, nilai COD mengalami penurunan.
77

- Nilai COD selalu lebih besar daripada BOD karena permintaan oksigen oleh
senyawa organik lebih tinggi daripada mikroorganisme.

Semarang, 27 September 2014 Asisten Dosen :
Praktikan,
Kelompok F5 - Melita Noveliani Atmaja
Matius Inda Tatontos 12.70.0062 - Chyntia Christinne
Eliza Shinta M. 12.70.0088 - Jong Epha Yosia
Francisca Sari K.D. 12.70.0157 - Tesyara Danesh Angelina
Raphael Elhan A. 12.70.0158 - Vania Eka Cahyani
Ernadya Eka P. 12.70.0176 - Yuni Rusiana














78
6. DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. & S.S. Santika. (1984). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.
Annas. (2007). Pencemaran Air Yogyakarta Sungai Winongo(Analisis Valuasi
Ekonomi Pencemaran Air terhadap Kesejahteraan Masyarakat Yogyakarta).
http://insidewinme.com/2007/12/pencemaran-air-yogyakarta-sungai.html

Anonim. (2007). Waste Water Treatmen in The Fisfhery Industry. http://www.fao.org/
DOCREP/003/V9922E/V9922E09.htm. diakses pada tanggal 25 September 2014.
Birdi, G. S. (1979). Water Supply and Sanitary Engineering. Dhanpat Rai & Sons.
New Delhi.

Buckle, K.A.; R. A. Edwards; G.H. Fleet;& N.Wooton. (1987). Ilmu Pangan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Day, B.A. & A.L. Underwood. (1992). Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Kelima.
Erlangga. Jakarta.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Gintings, P. (1992). Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.

Graham, R P. (1956). The Essentials of Chemistry. Clarke-Irwin Company. United
States of America.

Hadiharja, J. (1997). Rekayasa Lingkungan. Gunadarma. Jakarta.

Hammer, M. J. & M. J. Hammer Jr. (1996). Water and Wastewater Technology 3
rd
ed.
Prentice Hall. New Jersey.
Ibrahim, B, Erungan A. C, Heriyanto. (2009). Nilai Parameter Biokinetika Proses
Denitrifikasi Limbah Cair Industri Perikanan pada Rasio COD / TKN yang
Berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol XII .

Jenie, B. S. L. & W. P. Rahayu. (1993). Penanganan Limbah Industri Pangan.
Kanisius. Yogyakarta.
Kristanto, P. (2002). Ekologi Industri. LPPM. Penerbit ANDI Yogyakarta.

Kusnaedi. (1998). Mengolah Air Gambut dan Air Kotor Untuk Air Minum. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Mahida, U. N. (1992). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV.
Rajawali. Jakarta
79


Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah. (2012).
http://blhblitar.ppejawa.com/get.php?file=74289Lampiran%20Perda-5-2012-
BMAL.pdf. diakses pada tanggal 2 September 2014
Petrucci, R.H. (1990). Kimia Dasar Prinsip Dan Terapan Modern Jilid 2. Erlangga.
Jakarta.

Rahayu, Suparni S. (2009). Karakteristik limbah Kimia Cair. http://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/kimia-industri/limbah-industri/karakteristik-kimia-limbah-
cair/

Romayanto, Muhammad Eko Wibowo, Wiryanto, dan Sajidan. (2006). Pengolahan
Limbah domestik dengan aerasi dan penambahan bakteri Pseudomonas putida.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sastrawijaya, A. T. (1991). Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sugiharto. (1987). Dasar Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia.
Jakarta.

Suhardi. (1991). Petunjuk Laboratorium Analisa Air dan Penanganan Limbah. PAU
Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Sunu Pramudya, 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001.
Penerbit PT Grasindo. Jakarta : Gramedia.

Suratno, F.G. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Universitas Gajah Mada
Press. Cetakan 8. Yogjakarta.

Suriawiria, U., 1996. Mikroba Air dan Dasar-dasar Pengolahan Bahan Buangan
Secara Biologis. Bandung : Alumni

Tchobanoglous, G. (1981). Waste Water Engineering: Treatment, Disposal, Reuse.
Tata McGraw. Hill Publishing Company Ltd. New Delhi.

Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga
Wulandari, Desi dan Riska Hesti Marlitasari. (2011). Proses Pengolahan Limbah Cair
Domestik Secara Anaerob. Universitas Diponegoro. Semarang.





80
7. LAMPIRAN

7.1. Baku Mutu Limbah

LAMPIRAN I
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
NOMOR 5 TAHUN 2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2004
TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH

Parameter Kadar Maksimum (mg/L) Beban Penc. Maks.
(kg/ton)
BOD
5
50 0,25
COD 100 0,50
TSS 100 0,50
Minyak dan Lemak 2 0,01
pH 6,0 9,0 6,0 9,0
Debit maks. 5 m
3
/ton produk 5 m
3
/ton produk

7.2. Perhitungan
Rumus:
a.) TS =
( )
) (
1000
L sampel volume
A B

Keterangan:
A = berat cawan kosong (mg)
B = berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan (mg)
TS = Total Solid (ppm)
b.) TSS =
sampel L
x A B 1000 ) (

81

Keterangan :
B : berat kertas saring berisi residu (mg)
A : berat kertas saring kosong (mg)
TSS : total suspended solid atau padatan tersuspensi total (ppm)
c.) TDS = TS TSS
d.) COD (ppm) =
()



()

Keterangan:
Blanko = 42 ml
N Na
2
S
2
O
3
= 0,1
Volume sampel = 10 ml
e.) BOD
5
= ( volume titrasi BOD
0
volume titrasi BOD
5
) x f
p

f
p
= faktor pengenceran, 1 ml Na
2
S
2
O
3
= 1 mg / lt BOD
f
p
= 10
2
= 100

7.2.1.Kelompok F4
7.2.1.1. Analisa Pengujian Limbah Sebeleum Treatment
7.2.1.1.1. Karakteristik Fisik
7.2.1.1.1.1. Analisa Total Solid (TS)
Ulangan I =
()

= 210000 mg/L
Ulangan II =
()

= 210000 mg/L
Rata-rata =
()

= 210000 mg/L
82


7.2.1.1.1.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Ulangan I =
()

= 25200 mg/L
Ulangan II =
()

= 16200 mg/L
Rata-rata =
()

= 20700 mg/L

7.2.1.1.1.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Ulangan I TDS = 210000 25200 = 184800 mg/L
Ulangan II TDS = 210000 16200 = 193800 mg/L
Rata-rata TDS = 210000 20700 = 189300 mg/L

7.2.1.1.2. Karakteristik Kimiawi
7.2.1.1.3. Analisa Chemical Oxygen Demand (COD)
Ulangan I COD =
()

= -10640 mg/L
Ulangan II COD =
()

= 2160 mg/L
Rata-rata COD =
()

- 4240 mg/L

7.2.1.2. Analisa Pengujian Limbah Setelah Treatment
7.2.1.2.1. Karakteristik Fisik
7.2.1.2.1.1. Analisa Total Solid (TS)
Ulangan I
()

= 69000 mg/L
Ulangan II
()

= 95000 mg/L
Rata-rata
()

= 82000 mg/L
7.2.1.2.1.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Ulangan 1
()

= 840 mg/L
83


Ulangan 2
()

= 860 mg/L
Rata rata
()

= 850 mg/L

7.2.1.2.1.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Ulangan 1 TDS = 69000 840 = 68160 mg/L
Ulangan 2 TDS = 95.000 860 = 94.140 mg/L
Rata rata TDS = 82.000 850 = 81.150 mg/L

7.2.1.2.2. Karakteristik Kimiawi
7.2.1.2.2.1. Analisa Chemical Oxygen Demand(COD)
Ulangan 1 COD =
()

= 720 mg/L
Ulangan 2 COD =
()

= 1120 mg/L

Rata-rata COD =
()

= 920 mg/L

7.2.1.2.2.2. Analisa Biochemical Oxygen Demand(BOD)
Rumus = (volume titrasi BOD
0
- volumet titrasi BOD
5
) x faktor pengenceran
Ulangan 1 BOD
5
= (25- 25,3) x 10= -3 mg/L
Ulangan 2 BOD
5
= (26,5-28,4) x 10 = -24 mg/L
Rata-rata BOD
5
= (25,75 26,85) x 10 = - 11 mg/L

7.2.2. Kelompok F5
7.2.2.1. Analisa Pengujian Limbah Sebelum Treatment
84

7.2.2.1.1. Karakteristik Fisik
7.2.2.1.1.1. Analisa Total Solid (TS)
Ulangan I
()


Ulangan II
()


Rata-rata =
()

= 12500 mg/L

7.2.2.1.1.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Ulangan I
()


Ulangan II
()


Rata-rata =

= 20300 mg/L

7.2.2.1.1.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Ulangan I TDS = 15000 20400 = - 5400 mg/L
Ulangan II TDS = 10000 20200 = - 10200 mg/L
Rata-rata TDS = 12500 20300 = -7800 mg/L

7.2.2.1.2. Karakteristik Kimiawi
7.2.2.1.2.1. Analisa Chemical Oxygen Demand (COD)
Ulangan I COD =
()

= 8160 mg/L
Ulangan II COD =
()

= 4880 mg/L
Rata-rata COD =
()

= 6520 mg/L


7.2.2.2. Analisa Pengujian Limbah Setelah Treatment
7.2.2.2.1. Karakteristik Fisik
1.1.2.2.1.2. Analisa Total Solid (TS)
Ulangan I
()

= 66500 mg/L
85


Ulangan II
()

= 60000 mg/L
Rata-rata
()

= 63500 mg/L

1.1.2.2.1.3. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Ulangan 1
()

= 721 mg/L
Ulangan 2
()

= 1820 mg/L
Rata rata
()

= 1260 mg/L
1.1.2.2.1.4.Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Ulangan 1 TDS = 66500 720 = 65780 mg/L
Ulangan 2 TDS = 60000 1820 = 58180 mg/L
Rata rata TDS = = 62240 mg/L
1.1.2.2.2. Karakteristik Kimiawi
1.1.2.2.2.1. Analisa Chemical Oxygen Demand(COD)
Ulangan 1 COD =
()

= 6560 mg/L
Ulangan 2 COD =
()

= 6000 mg/L
Rata-rata COD =
()

= 6280 mg/L

1.1.2.2.2.2. Analisa Biochemical Oxygen Demand(BOD)
Rumus = (volume titrasi BOD
0
- volumet titrasi BOD
5
) x faktor pengenceran
Ulangan 1 BOD
5
= (26,5- 14,5) x 10= 120 mg/L
Ulangan 2 BOD
5
= (30-17) x 10 = 130 mg/L
Rata-rata BOD
5
= (28,25 15,75) x 10 = 125 mg/L
86

7.3. Foto

Limbah setelah treatment Limbah setelah netralisasi
COD




87










BOD

7.4. Laporan Sementara
7.5. Report Viper

Anda mungkin juga menyukai