Anda di halaman 1dari 8

Edisi 19-25 September 2012 No.

3474 Tahun XLIII


2
AgroinovasI
Badan Litbang Pertanian
S
elama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus
penyakit flu burung, baik yang dilaporkan pada unggas maupun manusia
yang tersebar hampir di seluruh dunia. Dalam istilah ilmiah, penyakit flu
burung ini diistilahkan dengan Avian Influenza (AI). Penyakit flu burung
atau Avian Influenza (AI) secara perhitungan ekonomi dapat menyebabkan kerugian
yang sangat besar bagi pelaku dunia perunggasan. Di samping itu, penyakit ini juga
sangat membahayakan kesehatan manusia dan bahkan dapat menyebabkan kematian
pada manusia. Awal terjadinya wabah penyakit flu burung di Indonesia dimulai
pada pertengahan tahun 2003 di mana dari beberapa laporan yang ada melaporkan
bahwa unggas yang terserang penyakit flu burung akan memperlihatkan tanda-
tanda penyakit seperti pial dan jengger membengkak dan kebiruan (sianosis), muka
bengkak dan keluar cairan dari hidung dan mulut, bercak-bercak merah (ptekhi)
subkutan pada kaki dan telapak kaki, leher menekuk (tortikolis), diare atau mencret
dan kematian yang sangat tinggi. Selama dalam kurun waktu beberapa tahun
berikutnya, kebanyakan kasus penyakit flu burung yang dilaporkan pada unggas
di lapangan mengalami perubahan tanda-tanda penyakit yang ditimbulkannya
di mana unggas yang terkena penyakit flu burung ini akan tiba-tiba mengalami
kematian tanpa memperlihatkan tanda-tanda penyakit seperti yang disebutkan di
atas terlebih dahulu. Sebagaimana yang terlihat pada gambar di bawah ini di mana
ayam yang terinfeksi virus AI terlihat lemah, lesu dan biasanya tiba-tiba langsung
Waspadailah Keberadaan Itik dalam
Penyebaran Virus Flu Burung atau AI
Sumber : Koleksi pribadi
3 AgroinovasI
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
Badan Litbang Pertanian
mati keesokan harinya.
Untuk penyakit flu burung pada manusia di Indonesia, pertama kali dilaporkan
kejadiannya di Kabupaten Tangerang pada tahun 2005. Kasus flu burung pada
manusia di Indonesia itu sendiri sampai dengan akhir tahun 2011 sudah berkembang
menjadi sebanyak 150 orang yang meninggal dari 182 orang yang positif terinfeksi
flu burung (H5N1). Biasanya penyakit flu burung ini akan mengganggu saluran
pernafasan manusia yang ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot (mialgia),
batuk, lesi, kebengkakan (coryza), sakit tenggorokan dan batuk.
Penyakit flu burung ini disebabkan virus influenza yang menurut klasifikasinya
termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus ini adalah virus RNA, berpolaritas
negatif, mempunyai amplop (envelope) dan genomnya bersegmen. Segmen-segmen
dari virus ini terdiri dari protein Polymerase component 2 (PB2), Polymerase component
1(PB1) dan Polymerase component (PA) yang mengkodekan Polymerase, Hemaglutinin
(HA), Nucleocapsid (NP), Neuraminidase (NA), Matrix Protein 1 (M1), Matrix Protein
2(M2), Non Structural Protein 1 (NS1) dan Non Structural Protein 2 (N2). Dalam
kemampuannya menimbulkan penyakit pada unggas, virus ini dibedakan menjadi
Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
sedangkan berdasarkan genetik dan antigenik, virus ini dibedakan menjadi tipe
A, B dan C. Virus yang menyebabkan penyakit flu burung yang terjadi selama ini
termasuk virus Influenza tipe A. Virus influenza A dapat menyerang berbagai jenis
unggas, mamalia dan manusia. Virus influenza tipe A dibedakan menjadi beberapa
subtipe berdasarkan kombinasi 2 antigen permukaan utama yaitu Hemaglutinin
(HA) dan Neuraminidase (NA). Sampai saat ini, sudah ada 16 subtipe HA dan 9
subtipe NA yang telah diidentifikasi yang memungkinkan berpeluang berkembang
menjadi 144 kombinasi subtipe. Virus AI subtipe H5N1 ini dianggap sebagai agen
penyakit penyebab terhadap terjadinya pandemik atau wabah influenza pada
manusia akhir-akhir ini.
Keberadaan unggas air liar Anseriformes (itik, entok dan angsa) dan Charadriiformes
(burung camar (laut), burung laut, burung liar) yang tersebar luas di seluruh dunia
diduga sebagai inang perantara alami (reservoir) virus influenza A yang paling
heterogen. Unggas air liar adalah inang perantara alami yang unik untuk virus
AI dikarenakan semua subtipe H dan N virus AI dapat ditemukan dalam tubuh
unggas air. Semua subtipe virus AI berkembangbiak dalam jumlah besar di dalam
saluran pencernaan unggas air dan unggas air yang mengandung semua subtipe
virus AI ini biasanya tanpa memperlihatkan gejala sakit seperti yang ditunjukkan
oleh unggas lain yang terserang penyakit flu burung. Keragaman subtipe virus AI
pada unggas air semakin menguatkan dugaan kita selama ini bahwa unggas air
mempunyai peranan yang sangat penting dalam penularan virus AI ke manusia.
Itik adalah salah satu dari kelompok unggas air yang peka terhadap serangan
penyakit flu burung. Dari laporan penelitian yang telah dilakukan, berbagai jenis
4
AgroinovasI
Badan Litbang Pertanian
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
itik (Anas crecca, Anas cyanoptera, Anas discors, Anas acuta, dan Anas discors) yang
tinggal di Texas telah ditemukan beberapa subtipe hemaglutinin yaitu H2, H7, H8
dan H1. Apabila kita kembali lihat keberadaan itik yang tersebar luas di dunia
dan itik yang mempunyai perilaku berpindah-pindah tempat dan berpergian
dalam jarak yang sangat jauh di mana ini memberikan peluang yang sangat besar
terhadap itik sebagai pembawa penyakit (carrier) flu burung dari satu daerah ke
daerah yang lain. Selain itu, kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu
dalam menggembalakan itik secara bebas atau liar dan berpindah dari satu tempat
ke tempat lainnya terutama pada saat musim panen tiba dimungkinkan sebagai
faktor yang berperan terhadap penyebaran virus flu burung (HPAI H5N1) ke
lingkungan sekitar. Para peternak atau petani itik yang ada di Indonesia juga
masih banyak yang melakukan kebiasaan menggembalakan itik secara berpindah
dari satu sawah ke sawah lainnya pada musim panen tiba. Itik ini biasanya secara
Sumber : Koleksi pribadi
5
AgroinovasI
Badan Litbang Pertanian
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
berkelompok dibiarkan bebas atau berkeliaran untuk mencari makan sendiri di
sawah yang habis panen. Apabila makanan bagi itik yang tersedia di sawah yang
sebelumnya habis maka gerombolan itik tersebut akan berpindah ke sawah lain
yang masih menyediakan makanan bagi itik tersebut. Perpindahan itik ini bisa
berlangsung dalam beberapa hari dan dalam jarak yang cukup jauh. Kondisi ini
sangat mendukung terjadinya penyebaran virus oleh itik yang terserang penyakit
flu burung dari satu tempat ke tempat lainnya melalui pengeluaran (shedding) virus
dari tubuh itik. Gambar di bawah ini memperlihatkan penggembalaan itik secara
liar di sawah-sawah yang ada di Indonesia.
Di dalam tubuh itik sendiri virus flu burung yang bersifat LPAI dapat berubah
menjadi HPAI. Virus flu burung yang tidak berbahaya atau patogen dalam itik dapat
menjadi virus berbahaya melalui proses evolusi atau adaptasi dalam tubuh itik.
Biasanya virus flu burung yang sudah mengalami perubahan dalam tubuh itik akan
bersifat sangat patogen atau berbahaya pada ayam peliharaan atau peternakan ayam.
Melihat kondisi seperti ini, terdapat dugaan bahwa itik mempunyai kemampuan
untuk menularkan virus flu burung kepada unggas lain tanpa menderita penyakit
yang parah. Tetapi akhir-akhir ini telah ada laporan yang menyatakan bahwa
virus flu burung H5N1 dapat menyebabkan penyakit yang parah sampai dengan
menimbulkan kematian dalam jumlah tinggi pada itik. Itik yang mengidap penyakit
flu burung biasanya bisa disertai dengan tanda-tanda penyakit atau tanpa menderita
penyakit. Akan tetapi meskipun tanpa menderita penyakit itik yang terserang
penyakit flu burung masih dapat mengeluarkan virus flu burung dalam jumlah
yang sangat besar melalui kotoran (feses) dari lubang kloaka maupun cairan dari
oropharing.
Virus flu burung dalam tubuh itik selama dalam masa infeksi dapat dikeluarkan
dari dalam tubuh dalam jumlah besar melalui kotoran selama 7 hari, bahkan
mungkin sampai 21 hari. Itik air sangat peka dan mudah terinfeksi oleh virus flu
burung melalui perantara makanan dan air yang biasa mereka konsumsi dan yang
terkontaminasi virus flu burung. Habitat atau tempat tinggal dan kebiasaan hidup
itik yang dekat dengan lingkungan air sangat memungkinkan untuk penularan virus
flu burung dari itik ke lingkungan sekitar melalui media air. Air adalah suatu media
yang cocok untuk penyebaran virus AI tidak ganas (nonvirulent) dan sebagian virus
AI sangat ganas (virulent) di antara spesies unggas yang lain yang berkumpul dalam
suatu lahan yang basah (unggas air, burung laut dan burung pantai). Di dalam air
yang tergenang, virus ini masih dapat bersifat infektif selama 4 hari pada suhu 22
o
C
dan lebih dari 30 hari pada suhu 0
o
C. Di samping itu, virus ini juga dapat bertahan
dalam masa yang lebih lama lagi jika berada dalam daerah atau lahan dingin. Data
survei di Indonesia juga menyebutkan bahwa letupan-letupan kasus flu burung
biasanya akan meningkat pada saat musim hujan di mana kita ketahui kelembaban
tinggi pada musim hujan menjadi faktor pendukung terhadap perkembang biakan
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
6
AgroinovasI
Badan Litbang Pertanian
dan penyebaran virus AI di lingkungan. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan
Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor juga memperlihatkan bahwa sirkulasi virus
AI subtipe H5 pada unggas termasuk unggas air di Jawa Barat, Banten, Jawa Timur
sepanjang tahun 2008 sampai 2009 lebih meningkat pada musim hujan daripada
musim kemarau. Suhu yang tinggi pada musim kemarau kemungkinan menyebabkan
virus flu burung atau AI yang ada di lingkungan menjadi inaktif. Virus AI dapat
diinaktifasi pada suhu 56
0
C selama 3 jam atau suhu 60
0
C

selama 30 menit, dengan
pH <5 atau pH >8. Gambar di bawah ini menunjukkan kebiasaan unggas air yang
sering berhubungan dengan lingkungan air menjadi penyebab meningkatnya faktor
resiko terhadap penularan virus AI ke lingkungan sekitar.

Pada dasarnya, virus flu burung atau AI ini tidak dengan mudah menginfeksi
manusia dikarenakan manusia tidak memiliki reseptor (2,3) sialyllactose (Neu-
Ac2,3Gal) untuk penempelan virus flu burung. Meskipun demikian, virus AI dapat
ditularkan di antara manusia dan spesies unggas lain sebagaimana yang diperlihatkan
oleh virus human reasortant yang menyebabkan wabah influenza pada tahun 1957 dan
1968. Struktur virus Influenza A yang termasuk virus RNA, berantai tunggal (single
stranded), dan terdiri dari 8 segmen dengan gen yang berbeda adalah faktor-faktor
yang kemungkinan memberikan peluang besar terjadinya pencampuran virus yang
berbeda (genetic reassortment) dalam tubuh unggas air. Proses ini juga dapat merubah
virus AI menjadi virus yang ganas pada manusia. Kebiasaan masyarakat Indonesia
yang pada umumnya bertempat tinggal atau hidup berdampingan dengan unggas
peliharaan dan unggas air dalam satu lingkungan tempat tinggalnya memberikan
peluang yang sangat besar terjadi pencampuran genetik antara virus influenza
manusia dan unggas. Gambar di bawah ini juga menunjukkan bagaimana dekatnya
unggas air dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Kasus penularan penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) biasanya terjadi
karena adanya kontak langsung yang sering antara manusia dan hewan baik itu
Sumber : Koleksi pribadi
7 AgroinovasI
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
Badan Litbang Pertanian
Sumber : Koleksi pribadi
8
AgroinovasI
Badan Litbang Pertanian
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
hewan peliharaan maupun domestik serta adanya peningkatan jumlah perdagangan
hewan liar di dunia akhir-akhir ini. Hal lain yang perlu lebih diwaspadai lagi adalah
ketika penularan penyakit zoonosis yang bersifat ganas sudah terjadi dari manusia
ke manusia. Meskipun demikian, penularan langsung dari hewan ke manusia untuk
beberapa penyakit zoonosis seperti Avian Influenza atau flu burung juga sangat penting
untuk diwaspadai dan diperlukan suatu upaya pengendalian penyebaran virus
AI dengan cara memutus mata rantai penyebaran virus tersebut sehingga wabah
penyakit yang diakibatkannya dapat diminimalkan. FAO bersama dengan WHO
telah bekerjasama dalam perencanaan upaya pengendalian dan pemberantasan
wabah flu burung atau AI HPAI yang terjadi di dunia akhir-akhir ini.
Program Pemerintah Indonesia dalam upaya-upaya untuk mengendalikan
penyebaran dan pemberantasan virus AI yang sudah ada sebaiknya harus
diterapkan di lapangan secara nyata dalam rangka upaya untuk memotong mata
rantai penyebaran virus AI dari unggas. Sebagaimana dengan kebijakan strategi
No. 17/Kpts/ PD.640/F/02/04 yang sudah dikeluarkan Pemerintah Indonesia
melalui Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian yang berisi tentang
1). penerapan biosekuriti yang tepat, 2). depopulasi selektif di daerah tertular, 3).
vaksinasi, 4). pengendalian lalu lintas unggas, 5). surveilen dan penelusuran, 6).
peningkatan kesadaran masyarakat, 7). pengisian kandang kembali, 8). stamping out
di daerah tertular baru, 9). monitoring, pelaporan dan evaluasi. Sembilan langkah
ini diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit flu burung atau AI lebih
lanjut tetapi kondisi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Sejak penyakit flu
burung dilaporkan kejadiannya pada tahun 2003, penyebaran penyakit ini malah
semakin meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Sampai dengan tahun 2011
saja, hampir semua propinsi di Indonesia tertular flu burung dan hanya Maluku,
Papua, Papua Barat dan Maluku Utara. Penyebaran flu burung pada unggas ini
lebih ironis lagi ketika data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan, Dirjen
Peternakan, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa penyakit flu burung atau
AI telah menjadi endemis di 32 propinsi dan hanya 1 propinsi yang dinyatakan
bebas AI yaitu propinsi Maluku Utara. Untuk itu, suatu pengembangan strategi
alternatif untuk pencegahan dan pengendalian penyebaran virus AI yang efektif
sangat diperlukan. Program pengendalian dan pemberantasan AI memerlukan
suatu pendekatan yang komprehensif dan intensif mencakup tindakan pencegahan,
pengendalian dan pemberantasan AI pada unggas pekarangan, peternakan unggas
komersial, itik dan sepanjang rantai pemasaran unggas serta melibatkan semua
pihak. Strategi utama pengendalian AI yang ditetapkan pemerintah melalui
Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian pada tahun
2012 ini lebih menitik beratkan pada 1) peraturan perundangan, 2) public awareness,
3) biosekuriti di farm dan rantai pemasaran unggas, 4) depopulasi terbatas di daerah
endemis dan stamping out di daerah bebas, 5) surveilans yang meliputi partisipasi,
9
AgroinovasI
Badan Litbang Pertanian
Edisi 19-25 September 2012 No.3474 Tahun XLIII
prevalensi, pembebasan dan monitoring dinamika virus, 6) pengawasan lalu lintas,
7) vaksinasi tertarget di daerah kasus tinggi, 8) restrukturisasi perunggasan.
Apabila kita bicara tentang pengendalian flu burung HPAI tidak bisa hanya
semata-mata dilakukan melalui pendekatan teknis saja. Selain kendala adanya
berbagai otoritas kebijakan yang berbeda dalam menangani kesehatan hewan di
tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota serta populasi unggas di Indonesia yang
sangat besar, masih banyak faktor lain yang menjadi kendala pengendalian virus
AI yang tidak bisa diabaikan begitu saja seperti aspek kesehatan masyarakat,
dampak ekonomi, sosial budaya, politik, dan efek psikologis yang ditimbulkan
kasus flu burung atau AI sehingga penanggulangan penyakit flu burung atau AI
menjadi sangat rumit. Supaya program pengendalian dan pemberantasan penyakit
flu burung atau AI ini dapat berjalan sukses sebaiknya perlu ada kerjasama yang
baik antara masing-masing instansi yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan
manusia. Masyarakat juga diharapkan sadar dengan sendirinya terhadap bahaya
yang ditimbulkan oleh penyakit flu burung dan selalu mendapatkan pembinaan
dari dinas yang terkait dengan kesehatan hewan maupun manusia dalam upaya
pengendalian dan pemberantasan penyebaran virus AI dari unggas ke manusia.
Dyah Ayu Hewajuli, Bbalitvet, Bogor

Anda mungkin juga menyukai