Anda di halaman 1dari 20

A.

PENGERTIAN
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun
tajam.
B. KLASIFIKASI
Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam terapi dan prognosis.

Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan :
1.cedera minor
Merupakan 85% kasus. Kontusio maupun ekskoriasi renal paling sering terjadi. Kontusio renal kadang diikuti
hematom subkapsuler. Laserasi korteks superfisial juga merupakan trauma minor.
2. cedera mayor
Merupakan 15% kasus.Terjadi laserasi kortikomeduler yang dalam sampai collecting system menyebabkan
ekstravasasi urine kedalam ruang perirenal. Hematom perirenal dan retroperitoneal sering menyertai laserasi dalam
ini. Laserasi multiple mungkin menyebabkan destruksi komplit jaringan ginjal. Jarang terjadi laserasi pelvis renalis
tanpa laserasi parenkim pada trauma tumpul.
3. cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.
Terjadi sekitar 1% dari seluruh trauma ginjal. Trauma vaskuler pada pedikel ginjal ini memang
sangat jarang dan biasanya karena trauma tumpul.

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle :
Grade I
Lesi meliputi
a. Kontusi ginjal
b. Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices
c. Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang)
75
Grade II
Lesi meliputi
a. Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine
b. Sering terjadi hematom perinefron

10
Grade III
Lesi meliputi
a. Ginjal yang hancur
b. Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal

Grade IV
Meliputi lesi yang jarang terjadi yaitu
a. Avulsi pada ureteropelvic junction
b. Laserasi dari pelvis renal




D.ETIOLOGI
1. Trauma tumpul
Trauma tumpul sering menyebabkan luka pada ginjal, misalnya karena kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh
atau trauma pada saat berolahraga. Luka tusuk pada ginjal dapat karena tembakan atau tikaman.
Trauma tumpul dibedakan menjadi :
a.Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal
biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain.
b.Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di
dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri
renalis yang menimbulkan trombosis.

2.Trauma Iatrogenik
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya
termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy

3.Traumatajam
Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh tusukan benda tajam misalnya tusukan pisau.terkena
Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal sehingga bila terdapat
luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal sampai terbukti sebaliknya. Pada luka tembus ginjal, 80%
berhubungan dengan trauma viscera abdomen.


C. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala dari trauma ginjal antara lain :
1. Bengkak dan memar daerah pinggang ( swelling & bruising renal angle )
2. Distensi abdomen akibat penimbunan darah atau urine
3. Dapat terjadi ileus
4. Berkurangnya produksi air kemih
5. Bengkak tungkai, kaki atau pergelangan kaki
6. Nyeri pinggang hebat ( kolik )
7. Demam
8. Mual dan muntah
9.Hematuria
E.PATOFISIOLOGI
F.PATHWAY

G.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan radiologi
Sebagian besar trauma tumpul ginjal adalah derajat 1 ( kontusio ginjal ) yang dapat sembuh spontan tanpa
komplikasi lanjutan.
b. Intravenous Urography
Tujuan pemeriksaan ini untuk melihat adanya ekstravasasi urin dan pada trauma tajam untuk melihat alur peluru.
Pemeriksaan ini sangat akurat untuk melihat adanya trauma ginjal. Tetapi tidak sensitif dan spesifik untuk melihat
adanya cidera parenkim ginjal.
c. CT scan
Pada pasien yang stabil dapat dilakukan pemeriksaan CT, yang merupakan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik
untuk menentukan laserasi parenkim, ekstravasasi urin, infark segmental, dan melihat hematom retroperitoneal
atau cidera organ intra abdomen yang lain ( hepar, limpa, pankreas, danusus ).
d. Ultrasonography
Pemeriksaan ini terutama ditujukan untuk melihat adanya hemoperitoneum pada trauma tumpul abdomen. Tapi
tidak dianjurkan untuk mengevaluasi pada trauma ginjal yang akut, mengingat terbatasnya visualisasi ginjal dan lebih
tergantung pada operator yang melakukan pemeriksaan
e. Arteriography
Mempunyai peran selektif hanya untuk mengevaluasi dan terapi persistent delayed renal bleeding atau symptomatic
post traumatic arterio - venous fistulas.
Pemeriksaan sinar X untuk ginjal dan saluran kemih, misalnya urografi intravena dan CT scan, dapat secara akurat
menentukan lokasi dan luasnya cedera.
f. Pemeriksaan laboratorium
Biasanya didapatkan adanya hematuri baik gross maupun mikroskopis. Beratnya hematuri tidak berbanding lurus
dengan beratnya kerusakan ginjal. Pada trauma minor bisa ditemukan hematuri yang berat, sementara pada trauma
mayor bisa hanya hematuri mikroskopis
H. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi,
nadi, suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut,
penurunan kadar hemoglombin dan perubahan warna urin pada pemeriksaan urin .Trauma ginjal minor 85% dengan
hematuri akan berhenti dan sembuh secara spontan. Bed rest dilakukan sampai hematuri berhenti.

2. Eksplorsi
a. Indikasi absolut
Indikasi absolut adalah adanya perdarahan ginjal persisten yang ditandai oleh adanya hematom retroperitoneal yang
meluas dan berdenyut. Tanda lain adalah adanya avulsi vasa renalis utama pada pemeriksaan CT scan atau
arteriografi.

b. Indikasi relatif
1.) Jaringan nonviable
Parenkim ginjal yang nekrosis lebih dari 25% adalah indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi.
2.)Ekstravasasi urin
Ekstravasasi urin menandakan adanya cedera ginjal mayor. Bila ekstravasasi menetap maka membutuhkan
intervensi bedah.
3.)Incomplete staging
Penatalaksanaan nonoperatif dimungkinkan apabila telah dilakukan pemeriksaan imaging untuk menilai derajat
trauma ginjal. Adanya incomplete staging memerlukan pemeriksaan imaging dahulu atau eksplorasi /rekonstruksi
ginjal. Pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan tindakan laparotomi segera, pemeriksaan imaging
yang bisa dilakukan hanyalah one shot IVU di meja operasi. Bila hasil IVU abnormal atau tidak jelas atau adanya
perdarahan persisten pada ginjal harus dilakukan eksplorasi ginjal.
4.)Trombosis Arteri
. Trombosis arteri renalis bilateral komplit atau adanya ginjal soliter dibutuhkan eksplorasi segera dan revaskularisasi.
5.)Trauma tembus
Pada trauma tembus indikasi absolut dilakukan eksplorasi adalah perdarahan arteri persisten. Hampir semua trauma
tembus renal dilakukan tindakan bedah. Perkecualian adalah trauma ginjal tanpa adanya penetrasi peluru
intraperitoneum Luka tusuk sebelah posterior linea aksilaris posterior relatif tidak melibatkan cedera organ
lain.(Brandes, 2003)

3.Teknik Operasi
J.KOMPLIKASI
Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera
1. Urinoma
2. Delayed bleeding
3. Urinary fistula
4. Abses
5. Hipertensi

Komplikasi lanjut
1. Hidronefrosis
2. Arteriovenous fistula
3. Piolenofritis


1. Pengkajian
Data Primer
a. Airway
Tidak ada obstruksi jalan nafas.
b. Breathingia
Ada dispneu, penggunaaan otot bantu nafas dan nafas cuping hidung.
c. Circulation
Hipotensi, pendarahan, adanya tanda ( Bruit ), takikardia, diaforesis.
d. Dissabiliti
Nyeri, penurunan kesadaran.

Data Sekunder
a. Aktivitas / istirahat
1.)Kelemahan atau keletihan
2.)Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur
3.)Keterbatasan partisipasi dalam hobi atau latihan
b. Sirkulasi
1) Palpitasi dan nyeri
2.)Perubahan pada tekanan darah
c. Integritas ego
1.) Faktor stress, dan cara mengatasi stress, Pencarian pengobatan, keyakinan religius/ spiritual
2.) Masalah perubahan dalam penampilan ( mis ; alopasia, pembedahan ).
o Perasaan tidak berdaya , putus asa, tidak mampu, tidak bermakna, depresi.
d. Eliminasi
o Perubahaneliminasiurinaryus, misalnyanyeriatau rasa terbakarpadasaatberkemih, hematuria, seringberkemih.
o Perubahanpadabisingusus, distensi abdomen
e. Makanan dan cairan
o Anoreksia, mual dan muntah
o Intoleransi makanan
o Penurunan berat badan, kakeksia, berkurangnya masa otot.
o Perubahan pada kelembaban/trugor kulit.
f. Neurosensoris
o Pusingatausinkope.
g. Seksualitas
o Masalah seksual; dampak pada hubungan , perubahan padatingkat kepuasan
h. Interaksi sosial
o Ketidakkuatan / kelemahan system pendukung.
o Dukunganatau support darikeluarga.
o Masalah tentang fungsi/ tanggung jawab peran.


Definisi
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam trauma baik tumpul maupun tajam.

Epidemiologi
Trauma ginjal merupakan trauma yang paling sering terjadi.

Etiologi dan Patofisiologi
Ada 2 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu
1. Trauma tajam
2. Trauma Iatrogenik
3. Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.Baik
luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai
hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya
termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin
meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian
menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas
jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga
mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan
ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau
robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

Klasifikasi
Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pedoman dalam menentukan terapi dan prognosis.

Grade I
Kontusio ginjal,terdapat perdarahan di ginjal tanpa adanya kerusakan jaringan,kematian jaringan maupun kerusakan
kaliks. Hematuria dapat mikroskopik atau makroskopik.pencitraan normal.

Grade II
Hematom subkapsular atau perineal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan parenkim.

Grade III
Laserasi ginjal < 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks dan tidak terjadi ekstravasasi.

Grade IV
Laserasi > 1cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin. Laserasi yang mengenai
korteks,medulla dan pelviokaliks

Grade V
Cedera pembuluh darah utama, avulsi pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan perdarahan ginjal,
laserasi luas pada beberapa tempat/ ginjal yang terbelah

Gejala Klinik
Pada trauma tumpul dapat ditemukan adanya jejas di daerah lumbal, sedangkan pada trauma tajam tampak luka.
Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba.
Massa yang cepat menyebar luas disertai tanda kehilangan darah merupakan petunjuk adanya cedera vaskuler.
Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas, dengan intenitas nyeri yang
bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa ditemukan adanya tanda perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera
Tr. Digestivus ditemukan adanya tanda rangsang peritoneum.
Fraktur costae terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan sebaiknya diperhatikan keadaan paru
apakah terdapat hematothoraks atau pneumothoraks
Hematuria makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat hematuria tidak berbanding dengan
tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya
pedikel dari ginjal atau ureter dari pelvis ginjal. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda shock.

Diagnostik Radiologi
Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita trauma ginjal, yaitu:
1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan menentukan prognosisnya
2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya
Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :

Grade I
Hematom minor di perinephric , pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal yang abnomal
Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau terlihat mirip dengan
kontusi ginjal
Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat menunjukkan gambaran ginjal
normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan
operasi .
Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara parenkim ginjal

Grade II
Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke daerah perinefron atau
bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.
Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
Akumulasi masif dari kontras, terutama pada medial daerah perinefron, dengan parenkim ginjal yang masih
intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat terjadinya avulsi ureteropelvic junction

Grade III
Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi shock dan sering teraba
massa pada daerah flank.dapt diertai dengan hematuria.
Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat gangguan fungsi ekskresi
baik parsial maupun total
Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis. Angiografi dapat
memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.
Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi memperlihatkan 2 fragmen ginjal
yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik.
Fragmen diantaranya berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.

Grade IV
Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.
Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah perinefron tanpa pengisian
ureter.
Sebagai kesimpulan, sampai sekarang belum ada pembatasan yang jelas kapan seorang penderita yang diduga
trauma ginjal memerlukan IVP atau CT Scan sebagai pemeriksaan penunjangnya. Keputusan tersebut harus
didasarkan kepada pemeriksaan manakah yang lebih tersedia.
CT San biasanya diambil sebagai pemeriksaan penunjang pertama pada psien yang mengalami trauma multiple
organ intra abdomen, dan pasien yang diduga trauma ginjal Grade III atau IV.
CT Scan berfungsi sebagai pemeriksaan kedua setelah IVP pada pasien yang pada IVP memperlihtkan gambaran
kerusakan luas parenkim ginjal dan pasien yang keadaan umumnya menurun.

Terapi dan Prognosis
Lesi minor, grade 1, biasanya diobati secara konservatif. Pengobatan konservatif tersebut meliputi istirahat di
tempat tidur, analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal,
kadar hemoglobin, hematokrit serta sedimen urin.
Penanganan trauma ginjal grade 2 masih menimbulkan suatu kontroversi. Penenganan secara konservatif, seperti
yang dipilih oleh kebanyakan dokter, mengandalkan kemampuan normal ginjal untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Penenganan secara operatif biasanya dilakukan apabila pasien tidak memberikan respon positif terhadap
pengobatan konservatif, seperti kehilangan darah yang terus bertambah, bertambah besarnya massa pada regio
flank, rasa sakit yang terus menerus dan disertai dengan adanya demam. Pengecualian dari indikasi diatas adalah
oklusi pada A. Renalis ( grade 3 ). Tindakan konservatif ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya tindakan
nephrektomi. Sedangkan dokter yang memilih tindakan operatif secara dini mengemukakan bahwa finsidens
terjadinya komplikasi lanjut dapat diturunkan dengan tindakan nephrektomi.
Penanganan trauma ginjal unuk grade 3,4,dan 5 memerlukan tindakan operatif berupa laparotomi.

Komplikasi
Komplikasi awal: Perdarahan yang masiv sangat sering terjadi, terutama di retroperitoneal. Persisten
retroperitoneal persisten atau gross hematuri yang berat, indikasi untuk dilakukan operasi.
Komplikasi lanjut: hypertensi, hydronephrosis, arteriovenous fistula, pembentukan calculus, dan
pyelonephritis. renal atrophy dapat muncul dari vascular compromise dan dapat diditeksi dengan urography.
Perdarahan yang berat dan lanjut dapat muncul setelah 1-4 minggu.

TRAUMA URETER

Epidemiologi
Trauma ureter jarang terjadi, biasanya terjadi akibat tembakan atau tusukan.

Etiologi
Cedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah
retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter biasanya
disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenic. Untuk trauma tumpul pada ureter,
walaupun frekuensinya sangat kecil, namun hal tersebut dapat menyebabkan terputusnya ureter, terikatnya ureter
(akibat iatrogenic, seperti pada operasi pembedahan) yang bila total dapat menyebabkan sumbatan, atau bocor
yang bisa menyebabkan urinoma atau fistula urine. Bila kebocoran terjadi intraperitoneal, dapat menyebabkan
tanda-tanda peritonitis.

Gambaran Klinis:
- Umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik.
- Hematuria, yang menunjukkan cedera pada saluran kemih.
- Bila terjadi ekstravasasi urin, dapat terjadi urinoma.
- Pada trauma tumpul gejalanya sering kurang jelas.
- Pada cedera ureter bilateral ditemukan anuria.
- Pada trauma yang disebabkan oleh akibat iatrogenic, seperti pada pembedahan, bila terjadi ureter terikat total
atau sebagian, maka pasca bedah bisa ditenukan gejala-gajala febris, nyeri pinggang yang sering bersama-sama
gejala ileus paralitik seperti mual, muntah.
Diagnosis:
- Pada cedera ureter akibat trauma tajam biasanya ditemukan hematuria mikroskopik.
- Pada cedera ureter bilateral terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah.
- Lokasi cedera ureter dapat diketahui dari pemeriksaan pielografi intravena.

Terapi:
- Pada setiap trauma tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk menilai ada tidaknya cedara ureter serta
cedera ikutan lain.
- Yang terpenting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi dan menghilangkan obstruksi.
- Rekonstruksi ureter tergantung jenis, bentuk, luas, dan letak cedera.
- Untuk cedera ureter bagian atas, dilakukan uretero-ureterostomi, nefrostomi, uretero-kutaneostomi,
autotransplantasi, dan nefrektomi bila rekonstruksi tidak memungkinkan.
- Cedera ureter bagian tengah, dilakukan uretero-ureterostomi atau transuretero-ureterostomi.
- Alternative rekonstruksi ureter distal adalah uretero-ureterostomi, uretero-neosistostomi, misalnya melalui
tabung yang dibuat dari dinding kandung kemih yang disebut nefrostomi.
Ruptur Uretra
RUPTUR URETRA
Oleh: Jorianto Muntari


PENDAHULUAN
Dari semua cedera yang terdapat dalam unit gawat darurat, 10 % diantaranya merupakan cedera sistem
urogenitalia. Kebanyakan dari cedera tersebut terabaikan dan sulit untuk mendiagnostik dan memerlukan keahlian
diagnostik yang baik. Diagnosis awal sangat perlu untuk mencegah komplikasi lanjut. Cedera uretra merupakan
cedera yang jarang dan paling sering terjadi pada laki-laki, biasanya bersamaan dengan terjadinya fraktur pelvis atau
straddle injury. Cedera uretra jarang terjadi pada wanita. Beberapa bagian dari uretra dapat mengalami laserasi,
terpotong, atau memar. Penatalaksaannya bermacam-macam tergantung pada derajat cedera. Menurut
anatomisnya, uretra dibedakan menjadi dua, uretra posterior terdiri atas pars prostatika dan pars membranasea dan
uretra anterior yang terdiri atas pars bulbosa dan pars pendulosa. Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi
trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal
etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan serta prognosisnya.
1,2,3

ANATOMI
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Secara anatomis uretra
dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli
dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter
uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh,
sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot lurik dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini tetap terbuka dan tetap tertutup pada
saat menahan miksi.
3

Panjang uretra laki-laki dewasa sekitar 18 cm, dengan perbandingan uretra posterior 3 cm dan uretra anterior 15 cm,
titik baginya berada antara 2 lokasi pada membran perineal. Uretra dapat dibedakan ke dalam 5 segmen yaitu :
Uretra posterior
Uretra pars prostatika
Uretra pars membranasea
Uretra anterior
Uretra pars bulbosa
Uretra pars pendulosa
Fossa naviculare
7


Uretra pars prostatika berjalan menembusi prostat, mulai dari basis prostat sampai pada apeks prostat. Panjang kira-
kira 3 cm. Mempunyai lumen yang lebih besar daripada di bagian lainnya. Dalam keadaan kosong dinding anterior
bertemu dengan dinding posterior. Dinding anterior dan dinding lateral membentuk lipatan longitudinal. Pada
dinding posterior di linea mediana terdapat crista urethralis, yang kearah cranialis berhubungan dengan uvula
vesicae, dan ke arah caudal melanjutkan diri pada pars membranasea. Pada crista urethralis terdapat suatu tonjolan
yang dinamakan collicus seminalis (verumontanum), berada pada perbatasan segitiga bagian medial dan sepertiga
bagian caudal uretra pars prostatika. Pada puncak dari colliculus terdapat sebuah lubang, disebut utriculus
prostaticus, yang merupakan bagian dari suatu diverticulum yang menonjol sedikit ke dalam prostat. Bangunan
tersebut tadi adalah sisa dari pertemuan kedua ujung caudalis ductus paramesonephridicus (pada wanita ductus ini
membentuk uterus dan vagina). Di sisi-sisi utriculus prostaticus terdapat muara dari ductus ejaculatorius (dilalui oleh
semen dan secret dari vesicula seminalis). Saluran yang berada di sebelah lateral utriculus prostaticus, disebut sinus
prostaticus, yang pada dinding posteriornya bermuara saluran-saluran dari glandula prostat (kira-kira sebanyak 30
buah).
6

Uretra pars membranasea berjalan kearah caudo-ventral, mulai dari apeks prostat menuju ke bulbus penis dengan
menembusi diaphragma pelvis dan diaphragma urogenitale. Merupakan bagian yang terpendek dan tersempit, serta
kurang mampu berdilatasi. Ukuran panjang 1 2 cm, terletak 2,5 cm di sebelah dorsal tepi caudal symphysis osseum
pubis. Dikelilingi oleh m.sphincter urethrae membranasea pada diaphragma urogenitale. Tepat di caudalis
diaphragma urogenitale, dinding dorsal urethra berjalan sedikit di caudalis diaphragma. Ketika memasuki bulbus
penis urethra membelok ke anterior membentuk sudut lancip. Glandula bulbourethralis terletak di sebelah cranial
membrana perinealis, berdekatan pada kedua sisi uretra. Saluran keluar dari kelenjar tersebut berjalan menembusi
membrana perinealis, bermuara pada pangkal uretra pars spongiosa.
6

Uretra pars spongiosa berada di dalam corpus spongiosum penis, berjalan di dalam bulbus penis, corpus penis
sampai pada glans penis. Panjang kira-kira 15 cm, terdiri dari bagian yang fiks dan bagian yang mobil. Bagian yang
difiksasi dengan baik dimulai dari permukaan inferior membrane perinealis, berjalan di dalam bulbus penis. Bulbus
penis menonjol kira-kira 1,5 cm di sebelah dorsal uretra. Bagian yang mobil terletak di dalam bagian penis yang
mobil. Dalam keadaan kosong, dinding uretra menutup membentuk celah transversal dan pada glans penis
membentuk celah sagital. Lumen uretra pars spongiosa masing-masing di dalam bulbus penis, disebut fosssa
intrabulbaris, dan pada glans penis, dinamakan fossanavicularis urethrae. Lacunae urethrales ( = lacuna morgagni )
adalah cekungan-cekungan yang terdapat pada dinding uretra di dalam glans penis yang membuka kearah ostium
uretra eksternum, dan merupakan muara dari saluran keluar dari glandula urethrales. Ostium uretra eksternum
terdapat pada ujung glans penis dan merupakan bagian yang paling sempit.
6

Uretra pars bulbosa bermula di proksimal setinggi aspek inferior dari diafragma urogenitalia, yang menembus dan
berjalan melalui korpus spongiosum. Korpus spongiosum merupakan jaringan serabut otot polos dan elastin yang
kaya akan vaskularisasi. Kapsul fibrosa yang dikenal sebagai tunika albuginea mengelilingi korpus spongiousum.
Korpus spongiosum dan korpus kavernosum bersama-sama ditutupi oleh dua lapisan berurutan. Lapisan ini antara
lain fascia bucks dan fascia dartos, fascia bucks merupakan lapisan paling tebal terdiri dari dua lapisan dan masing-
masing terdiri atas lamina interna dan eksterna. Dua lamina dari fascia bucks membagi diri untuk menutupi korpus
spongiosum. Fascia dartos merupakan lapisan jaringan ikat longgar subdermal yang berhubungan dengan fascia
colles di perineum.
4

Lumen uretra terletak di tengah bagian posterior korpus spongiosum melalui uretra pars bulbosa, tetapi terpusat
pada uretra pars pendulosa. Berdasarkan defenisinya, uretra pars bulbosa tidak hanya ditutupi oleh korpus
spongiosum, tetapi juga oleh penggabungan garis tengah dari otot ischiokavernosus. Otot bulbospongiosum berakhir
hanya pada proksimal sampai penoskrotal junction, dimana uretra berlanjut ke distal sebagai uretra pars pedunlosa.
Uretra pars pendulosa dekat dengan korpus korporal di bagian dorsal. Di distal sebagian besar bagian dari uretra
anterior adalah fossa naviculare, yang dikelilingi oleh jaringan spongiosa dari glans penis.
4

Uretra wanita dewasa berukuran panjang sekitar 4 cm dan berjalan uretrovesikal junction pada kollumna vesika
urinaria ke vestibulum vagina. Dua lapisan otot polos berjalan ke distal dari kollumna vesika urinaria mengelilingi
bagian proksimal uretra lapisan dalam merupakan bagian sirkuler, sedangkan lapisan luar berjalan secara
longitudinal. Otot polos dikelilingi oleh lapisan otot lurik yang paling tebal setinggi pertengahan uretra dan
berkurang pada aspek posteriornya.
4


Vaskularisasi dan aliran limfe
Pada uretra maskulina, pars prostatika mendapat suplai darah terutama dari arteri vesikalis inferior dan arteri
rektalis media. Uretra pars membranasea diberi suplai darah dari cabang-cabang arteri dorsalis penis dan arteri
profunda penis. Aliran darah venous menuju pleksus venosus prostatikus dan ke vena pudenda interna. Aliran limfe
dari uretra pars prostatika dan pars membranasea dibawa oleh pembuluh-pembuluh limfe yang berjalan mengikuti
vasa pudenda interna menuju ke lymphonodus iliaka interna (sebagian besar) dan ke lymphonodus iliaka eksterna
(sebagian kecil). Aliran limfe dari uretra pars spongiosa, sebagian besar dibawa menuju lymphonodus inguinalis
profunda dan sebagian besar dibawa menuju ke lymphonodus iliaka interna.
6

Uretra feminine pars kranialis mendapatkan vaskularisasi dari arteri vesikalis. Pars medialis mendapatkannya
dari arteri vesikalis inferior dan cabang-cabang dari arteri uterine, sedangkan pars kaudalis disuplai oleh arteri
pudenda interna. Pembuluh darah vena membawa aliran darah venous menuju ke plexus venosus vesikalis dan vena
pudenda interna.
6

Innervasi
Uretra maskulina, pars prostatika menerima persarafan dari pleksus nervosus prostatikus. Uretra pars
membranasea dipersarafi oleh nervus kavernosus penis, pars sponsiosa dipersarafi oleh pleksus nervosus vesikalis
dan pleksus nervosus uretrovaginalis, pars kaudalis dipersarafi oleh nervus pudendus.
6


RUPTUR URETRA POSTERIOR
ETIOLOGI
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars posterior. Menurut sejarahnya,
banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena
perbaikan dalam hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan
peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari
fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul
terjadi bersamaan fraktur pelvis.Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada
cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah
yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum
pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial.
2,4


Gambar 3. Cedera pada uretra posterior (membranasea). Prostat mengalami avulsi dari uretra membranasea akibat
fraktur pelvis. Terjadi ekstravasasi di atas ligamentum triangular dan periprostatik dan perivesikal. Dikutip dari
kepustakaan
3


Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena kecelakaan kendaraan
bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko,
mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada pengendara.
4

EPIDEMIOLOGI
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan angka kejadian 20 per
100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh
cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%)
dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal
ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis
adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%).
7

Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang menyebabkan cedera uretra bervariasi
antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi,
tetapi beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-6%.
8

Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis kebanyakan ditemukan pada awal
dekade keempat, dengan umur rata-rata 33 tahun. Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%. Terdapat
perbedaan persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera uretra pada anak dan dewasa. Fraktur
pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra.
7,8

Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, perbedaan ini disebabkan karena uretra
wanita pendek, lebih mobilitas dan mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku.
7

MEKANISME TRAUMA
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa junction sehingga prostat
terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars
membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars
membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh
ligamentum puboprostatikum.
9

KLASIFIKASI
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis :
Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan
adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh.
Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras yang masih terbatas di atas diafragma
Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram
menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai ke perineum
2

GAMBARAN KLINIS
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian
bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa dijumpai tanda
rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian
bawah.
10,11

Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada pasien yang telah didiagnosis fraktur
pelvis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa jenis fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan
cedera uretra posterior dan terlihat pada 87% sampai 93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada meatus uretra
tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari
kandung kemih atau memar pada perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan yang merujuk pada
gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada
meatus dan urin tidak bisa keluar dari kandung kemih.
4

Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting dari kerusakan uretra. Pada
kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan infeksi pada
periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi complete laserasi. Cedera uretra karena
pemasangan kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis
dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung fascia yang
rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi
infeksi. Adanya darah pada ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk menegakkan
diagnosis.
3,10

Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan pengeseran prostat ke superior.
Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip denagan
prostat pada palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh.
Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai oleh pergeseran prostat.
3

Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari
hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra
posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat
pada prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin
adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal
yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari pemeriksa menunjukkan adanya
suatu jejas pada lokasi yang diperiksa.
12


GAMBARAN RADIOLOGI
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera uretra karena akurat,
sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk
saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara
MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak
berperan dalam pemeriksaan cadera uretra. Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam
pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.
4

Gambar 5. Uretra posterior masih utuh tetapi meregang pada trauma tumpul. Retrograd uretrogram
memperlihatkan peregangan dari uretra posterior dan diastasis dari simphisis pubis. Dikutip dari kepustakaan
13


Gambar 6. Ruptur uretra posterior diatas dari diafragma urogenital yang masih utuh disertai trauma tumpul (cedera
uretra tipe II). Dikutip dari kepustakaan
13


Gambar 7. Ruptur uretra posterior meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia, dan uretra pars bulbosa bagian
proksimal ikut rusak (cedera uretra tipe III). Dikutip dari kepustakaan
13


PENATALAKSANAAN
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik. Pasien dengan kontusio
atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing
dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang
adekuat.
14

Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi
uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon
selama 3 minggu.
10

Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus dihindari.
Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline pada abdomen bagian bawah
dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah
superior oleh pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi
volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan bebas dari darah,
tetapi mungkin terdapat grosshematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan
jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan pemasangan tube sistotomi untuk drainase
urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma
pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan ke posisi anatominya.
3

Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari kemudian, sebaiknya dipasang
kateter secara langsir (railroading)
10

Gambar 8. Cara langsir (rail roading) pemasangan kateter Foley
menetap pada ruptur uretra. Dikutip dari kepustakaan
10

A. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari
meatus uretra
B. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua
melalui sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai
bunyi denting yang dirasa di tempat ruptur
C. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan
bimbingan sonde dari buli-buli
D. Sonde dicabut dari uretra
E. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung
kateter Foley yang dijahit pada kateter Nelaton
F. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
G. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan
sehingga balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka
ruptur merapat. Insisi di buli-buli ditutup



Delayed urethral reconstruction
Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan
dalam 3 bulan, diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau
bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi, dilakukan
kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang
sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm
dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih
adalah single-stage reconstruction pada ruptur uretra dengan
eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter
uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas.
Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter
suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan.
Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan striktur.
3

Immediate urethral realignment
Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan hematoma sekitar ruptur
merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate
cystotomy dandelayed reconstruction. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan
dengan immediate urethral realignment.
3

KOMPLIKASI
Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa paling berat
yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi
sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan sistotomi suprapubik, dengan pendekatan delayed repair maka insidens
striktur dapat dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah primary repair, sekitar 30-80% (rata-rata
sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik pada rekontruksi uretra tertunda.
Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 % biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat
dan cedera nervus S2-4.
3


PROGNOSIS
Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih akan teratasi dengan
penatalaksaan yang sesuai.
14


RUPTUR URETRA ANTERIOR
ETIOLOGI
Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle injury dapat menyebabkan laserasi
atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial
10

Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Secara klasik,
cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah perineum, dimana
uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra (luka tembak atau luka
tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior. Penyebab lain dari cedera uretra anterior adalah trauma
penis yang berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing.
9


Gambar 9. Cedera pada uretra pars bulbosa. Kiri : Mekanisme : Biasanya jatuh mengangkang, uretra terjepit diantara
tulang pelvis dan benda tumpul. Kanan: ekstravasasi darah dan urin terbatas dalam fascia Colles.Dikutip dari
kepustakaan
3

MEKANISME TRAUMA
Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan cedera uretra anterior. Trauma tumpul adalah diagnosis
yang sering dan cedera pada segmen uretra pars bulbosa paling sering (85%), karena fiksasi uretra pars bulbosa
dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra pars pendulosa yang mobile. Trauma tumpul pada uretra pars
bulbosa biasanya disebabkan olehstraddle injury atau trauma pada daerah perineum. Uretra pars bulbosa terjepit
diantara ramus inferior pubis dan benda tumpul, menyebabkan memar atau laserasi pada uretra.
4

Tidak seperti cedera pada uretra pars prostatomembranous, Trauma tumpul uretra anterior jarang
berhubungan dengan trauma organ lainnya. Kenyataannya, straddle injury menimbulkan cedera cukup ringan,
membuat pasien tidak mencari penanganan pada saat kejadian. Pasien biasanya datang dengan striktur uretra
setelah kejadian yang intervalnya bulan atau tahun.
4

Cedera uretra anterior dapat juga berhubungan dengan trauma penis (10% sampai 20% dari kasus).
Mekanisme cedera adalah trauma langsung atau cedera pada saat berhubungan intim, dimana penis yang
sementara ereksi menghantam ramus pubis wanita, menyebabkan robeknya tunika albuginea.
4

KLASIFIKASI
Klasifikasi rupture uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan Armenakas berdasarkan atas gambaran
radiologi
Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi uretrografi retrograde normal
Incomplete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi masih ada kontinuitas uretra sebagian. Kontras
terlihat mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria.
Complete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak ada kontras mengisi uretra proksimal atau
vesika urinaria. Kontinuitas uretra seluruhnya terganggu.
4

GAMBARAN KLINIS
Pada rupture uretra anterior terdapat memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di
meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi rupture uretra total, penderita mengeluh tidak bisa
buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin
ditemukan kandung kemih yang penuh.
10

Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstuksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral
atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fascia
yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrate yang disebut infiltrate urin yang mengakibatkan
selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi.
10

Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentasi dan darah yang
menetes dari uretra.
10

Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas
pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,
ekstravasai urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau
dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly
hematoma atau hematoma kupu-kupu.
2

GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologik dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur
uretra. Uretrogram retrograde akan menunjukkan gambaran ekstravasasi, bila terdapat laserasi uretra, sedangkan
kontusio uretra tidak tampak adanya ekstravasasi. Bila tidak tampak adanya ekstravasasi maka kateter uretra boleh
dipasang.
10,11

Gambar 10. Ruptur uretra pars bulbosa akibat straddle injury. Ekstravasasi (tanda panah) pada uretrogram. Dikutip
dari kepustakaan
3

PENATALAKSANAAN
Penanganan Awal
Kehilangan darah yang banyak biasanya tidak ditemukan pada straddle injury. Jika terdapat pendarahan yang berat
dilakukan bebat tekan dan resusitasi. Armenakas dan McAninch (1996) merencanakan skema klasifikasi praktis yang
sederhana yang membagi cedera uretra anterior berdasarkan penemuan radiografi menjadi kontusio, ruptur
inkomplit, dan ruptur komplit. Kontusio dan cedera inkomplit dapat ditatalaksana hanya dengan diversi kateter
uretra. Tindakan awal sistotomi suprapubik adalah pilihan penanganan pada cedera staddle mayor yang melibatkan
uretra.
Pilihan utama berupa surgical repair direkomendasikan pada luka tembak dengan kecepatan rendah, Ukuran kateter
disesuaikan dengan berat dari striktur uretra. Debridement dari korpus spongiosum setelah trauma seharusnya
dibatasi karena aliran darah korpus dapat terganggu sehingga menghambat penyembuhan spontan dari area yang
mengalami kontusi. Diversi urin dengan suprapubik direkomendasikan setelah luka tembak uretra dengan kecepatan
tinggi, diikuti dengan rekonstruksi lambat.
3,15

Penanganan Spesifik
Kontusio Uretra
Pasien dengan kontusio uretra tidak ditemukan bukti adanya ekstravasasi dan uretra tetap utuh. Setelah uretrografi,
pasien dibolehkan untuk buang air kecil; dan jika buang air kecil normal, tanpa nyeri dan pendarahan, tidak
dibutuhkan penanganan tambahan. Jika pendarahan menetap, drainase uretra dapat dilakukan.
3

Laserasi Uretra
Instrumentasi uretra setelah uretrografi harus dihindari. Insisi midline pada suprapubik dapat membuka kubah dari
buli-buli supaya pipa sistotomi suprapubik dapat disisipkan dan dibolehkan pengalihan urin sampai laserasi uretra
sembuh. Jika pada uretrogram terlihat sedikit ekstravasasi, berkemih dapat dilakukan 7 hari setelah drainase kateter
suprapubik untuk menyelidiki ekstravasasi. Pada kerusakan yang lebih parah, drainase kateter suprapubik harus
menunggu 2 sampai 3 minggu sebelum mencoba berkemih. Penyembuhan pada tempat yang rusak dapat
menyebabkan striktur. Kebanyakan striktur tidak berat dan tidak memerlukan rekonstuksi bedah. Kateter suprapubik
dapat dilepas jika tidak ada ekstravasasi. Tindakan lanjut dengan melihat laju aliran urin akan memperlihatkan
apakah terdapat obstuksi uretra oleh striktur.
3

Laserasi Uretra dengan Ekstravasasi Urin yang Luas
Setelah laserasi yang luas, ekstravasasi urin dapat menyebar ke perineum, skrotum, dan abdomen bagian bawah.
Drainase pada area tersebut diindikasikan. Sistotomi suprapubik untuk pengalihan urin diperlukan. Infeksi dan abses
biasa terjadi dan memerlukan terapi antibiotik.
3

Rekonstruksi segera
Perbaikan segera laserasi uretra dapat dilakukan, tetapi prosedurnya sulit dan tingginya resiko timbulnya striktur.
3

Rekonstruksi lambat
Sebelum semua rencana dilakukan, retrograde uretrogram dan sistouretrogram harus dilakukan untuk mengetahui
tempat dan panjang dari uretra yang mengalami cedera. Pemeriksaan ultrasound uretra dapat membantu
menggambarkan panjang dan derajat keparahan dari striktur. Injeksi retrograde saline kombinasi dengan
antegrade bladder filling akan mengisi uretra bagian proksimal dan distal, dan sonogram 10-MHz akan
mengambarkan dengan jelas bagian yang tidak bisa terdistensi untuk di eksisi. Jaringan fibrosa padat yang terbentuk
karena trauma sering menjadi significant shadow.
Uretroplasty anastomosis adalah prosedur pilihan pada ruptur total uretra pars bulbosa setelah straddle injury. Skar
tipikal berukuran 1,5 sampai 2 cm dan harus dieksisi komplit. Uretra proksimal dan distal dapat dimobilisasi untuk
anastomosisend-to-end. Tingkat keberhasilan dari prosedur ini lebih dari 95% dari kasus
Insisi endoskopik melalui jaringan skar dari uretra yang ruptur tidak disarankan dan sering kali gagal. Penyempitan
parsial uretra dapat diterapi awal dengan insisi endoskopi dengan tingkat keberhasilan tinggi. Saat ini uretrotomi dan
dilatasi berulang telah terbukti tidak efektif baik secara klinis maupun biaya. Lebih lanjut, pasien dengan prosedur
endoskopik berulang juga sering diharuskan untuk dilakukan tindakan rekonstruksi kompleks seperti graft. Open
repairseharusnya ditunda paling tidak beberapa minggu setelah instrumentasi untuk membiarkan uretra stabil.
3,15

KOMPLIKASI
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan
epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra.
10

PROGNOSIS
Striktur uretra adalah komplikasi utama tetapi pada banyak kasus tidak memerlukan rekonstruksi bedah. Jika,
striktur ditetapkan, laju aliran urin kurang baik dan infeksi urinaria dan terdapat fistel uretra, rekonstruksi
dibutuhkan.
3


TRAUMA PENIS

Pendahuluan
Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, terkena mesin pabrik, ruptur tunika
albuguinea, atau strangulasi penis.
Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup dibersihkan dan dilakukan
penjahitan primer. Jika terjadi amputasi penis total) dan bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan
larutan garam fisiologis kemudian disimpan di dalam kantung es, dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih mungkin
dilakukan replantasi (penyambungan) secara mikroskopik.
Fraktur Penis
Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis yang terjadi pada saat penis dalam keadaan
ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan
oleh pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi
bengkok (angulasi) dan timbul hematoma pada penis dengan disertai rasa nyeri.
Untuk mengetahui letak ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto kavernosografi yaitu memasukkan
kontras ke dalam korpus kavernosum dan kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika
albuginea.
Tindakan
Eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkuminsisi, kemudian dilakukan evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakukan
penjahitan pada robekan tunika albuginea. Robekan yang cukup lebar jika tidak dilakukan evakuasi hematom dan
penjahitan, dapat menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada tunika yang menimbulkan perasaan nyeri pada
penis dan bengkok sewaktu ereksi.
Strangulasi Penis

Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan gangguan aliran darah pada penis.
Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi
nekrosis.
Jeratan ini dapat terjadi pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Pada orang dewasa penjeratnya berupa logam,
tutup botol, atau karet yang biasanya dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil
biasanya jeratan pada penis dipasang oleh ibunya untuk mencegah ngompol (enuresis) atau bahkan secara tidak
sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi
dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis.
Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk dilepaskan. Beberapa cara untuk melepaskan
cincin yang menjerat batang penis adalah: (1) memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, tetapi dalam
hal ini energi panas yang ditimbulkan dapat merusak jaringan penis, (2) melingkarkan tali pada penis pada sebelah
distal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan seperti pada Gambar 6-7, atau (3) melakukan insisi pada
penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan (edema) sehingga logam dapat dikeluarkan.

Cara melepaskan logam yang melingkar pada penis, a. Cincin logam melingkar di pangkal penis, b. Seutas tali
dimasukkan di antara penis dan cincin, c. Bagian tali yang berada di sebelah distal penis dilingkarkan pada batang
penis sehingga d. diameter penis di sebelah distal cincin lebih kecil daripada diameter lumen cincin, e. Perlahan-
lahan cincin dapat ditarik ke luar dengan tetap menambah lingkaran tali pada penis, f. Cincin dapat dikeluarkan dari
penis.
Trauma luka pada alat kelamin jarang terjadi, sebagian karena mobilitas penis dan skrotum. Tahap phalik luka
trauma tumpul biasanya menjadi perhatian hanya dengan penis tegak, ketika fraktur albuginea tunika dapat
menghasilkan. Secara umum, mendorong bedah rekonstruksi dari kebanyakan penis biasanya menyebabkan cedera
yang cukup dan dapat diterima kosmetik dan hasil fungsional.

Fracture Penis
Etiology
Fraktur penis adalah gangguan dari tunika albuginea dengan pecahnya corpus cavernosum. Patah tulang kuat
biasanya terjadi selama hubungan seksual, ketika penis yang kaku slip keluar dari vagina dan perineum pemogokan
atau tulang kemaluan (kecerobohan du coit), mempertahankan kelukan cedera.
Tunika albuginea adalah struktur bilaminar (dalam lingkaran, luar longitudinal) terdiri dari kolagen dan elastin.
Lapisan luar menentukan kekuatan dan ketebalan tunika, yang bervariasi di lokasi yang berbeda sepanjang poros
(Hsu et al, 1994; Brock et al, 1997). Kekuatan tarik albuginea tunika luar biasa, menolak tekanan intracavernous
pecah sampai naik ke lebih dari 1500 mm Hg (Bitsch et al, 1990). Ketika penis ereksi tikungan tidak normal, yang
tiba-tiba peningkatan tekanan intracavernosal melebihi kekuatan tarik tunika albuginea, dan robekan melintang
poros proksimal biasanya hasil.
Sedangkan penis patah tulang yang paling sering dilaporkan dengan hubungan seksual, hal itu juga telah dijelaskan
dengan masturbasi, berguling atau jatuh ke ereksi penis, dan berbagai skenario lainnya. Di Timur Tengah, akibat
perbuatan diri fraktur mendominasi; yang ereksi penis bengkok secara paksa selama masturbasi atau sebagai sarana
untuk mencapai detumescence cepat, praktek taghaandan.
Mydlo (2001) melaporkan bahwa 94% dari patah tulang di Philadelphia, Pennsylvania, adalah akibat dari hubungan
seksual; Zargooshi (2000) menggambarkan 69% dari patah tulang di Kermanshah, Iran, sebagai akibat manipulasi diri.
Air mata yang biasanya tunical melintang dan 1 hingga 2 cm panjangnya (Asgari et al, 1996; Mydlo, 2001). Cedera
biasanya sepihak, walaupun air mata di kedua kopral jenazah telah dilaporkan (Mydlo, 2001; El-Taher et al,
2004). Meskipun situs rupture dapat terjadi di mana saja di sepanjang batang penis, sebagian besar distal ke
suspensori ligament.
Diagnosis and Imaging
Diagnosis fraktur penis sering langsung dan dapat dibuat dipercaya oleh sejarah dan pemeriksaan fisik saja. Pasien
biasanya menggambarkan retak atau suara muncul sebagai tunika air mata, diikuti oleh rasa sakit, detumescence
cepat, dan perubahan warna dan pembengkakan pada batang penis. Jika fasia Buck tetap utuh, hematom penis
tetap berisi antara kulit dan tunika, mengakibatkan cacat terung yang khas (Gambar 83-1). Jika fasia Buck terganggu,
hematom dapat memperluas ke skrotum, perineum, dan daerah suprapubik. Yang bengkak, lingga ecchymotic sering
menyimpang ke sisi yang berlawanan dengan tunical air mata karena massa hematom dan efek. Garis yang patah
tulang di tunika albuginea dapat teraba. Bekuan darah secara langsung terhadap situs fraktur bisa teraba; yang
bergulir tanda menggambarkan suatu perusahaan, mobile, diskrit, pembengkakan lembut di mana kulit penis
dapat digulung (Naraynsingh dan Raju, 1985). Karena rasa takut dan malu yang umumnya terkait, presentasi pasien
ke klinik gawat darurat atau kadang-kadang secara signifikan tertunda.


Gambar 1 Eggplant deformity, Terong cacat, penampilan klasik fraktur penis selama hubungan seksual
berkelanjutan
Insiden cedera uretra secara signifikan lebih tinggi di Amerika Serikat dan Eropa (20%) dibandingkan di Asia dan
Timur Tengah (3%), mungkin karena etiologi yang berbeda-hubungan seksual versus trauma cedera akibat perbuatan
sendiri (Eke, 2002; Zargooshi , 2002; Jack et al, 2004). Sebagian besar cedera uretra yang berhubungan dengan
hematuria gross, darah di meatus, atau ketidakmampuan untuk membatalkan, meskipun tidak adanya temuan ini
tidak mengesampingkan definitif cedera uretra (Tsang dan Demby, 1992; Mydlo, 2001; Jack et al, 2004). Mengingat
bahwa cedera uretra tidak jarang terjadi dan bahwa urethrography adalah kajian sederhana dan dapat diandalkan,
dokter harus memiliki ambang yang rendah untuk uretra evaluasi dalam semua kasus fraktur penis.
Khas sejarah dan presentasi klinis fraktur penis biasanya membuat studi pencitraan ajuvan yang tidak perlu.
Meskipun telah cavernosography menganjurkan untuk membantu dalam diagnosis, studi negatif palsu telah
dilaporkan (Mydlo, 2001); false-positif dapat hasil penelitian dari memadai kopral mengisi satu tubuh dan salah tafsir
drainase vena yang rumit (Pliskow dan Ohme, 1979; Beysel et al, 2002). Cavernosography tidak disarankan dalam
evaluasi fraktur penis yang dicurigai karena memakan waktu dan tidak familiar bagi kebanyakan urolog dan ahli
radiologi (Morey et al, 2004). Ultrasonography, meskipun non-invasif dan mudah dilakukan, juga telah dikaitkan
dengan studi falsenegative signifikan (Koga et al, 1993; Fedel et al, 1996).
Magnetic Resonance Imaging adalah non-invasif dan sangat akurat sarana menunjukkan gangguan dari tunika
albuginea (Fedel et al, 1996; Uder et al, 2002). Argumen yang menentang penggunaan rutin Magnetic Resonance
Imaging adalah biaya, terbatasnya ketersediaan, dan waktu persyaratan yang terlibat dengan studi. Magnetic
Resonance Imaging adalah wajar dalam evaluasi pasien tanpa presentasi yang khas dan temuan fisik fraktur penis.
Patah tulang palsu telah dilaporkan pada pasien yang hadir dengan penis pembengkakan dan ecchymosis, meskipun
mereka tidak menggambarkan klasik snap-pop atau detumescence cepat biasanya berkaitan dengan fraktur.
Pemeriksaan fisik mungkin tidak memadai untuk diagnosa definitif kopral air mata dalam kondisi berikut (Shah et al,
2003). Pembedahan eksplorasi atau evaluasi dengan pencitraan resonansi magnetik harus dipertimbangkan. Kondisi
lain yang mungkin meniru fraktur penis dorsal pecahnya arteri atau vena penis selama hubungan seksual (Bagus et al,
1992; Armenakas et al, 2001).
Management
Beberapa publikasi kontemporer menunjukkan bahwa penis yang diduga patah tulang harus segera diperbaiki
dieksplorasi dan pembedahan. Sebuah menyunat distal sayatan (Gambar 83-2) yang pantas dalam kebanyakan kasus,
sehingga memberikan pemaparan ke semua tiga penis kompartemen (Morey et al, 2004). Penutupan tunical sela
cacat dengan 2-0 atau 3-0 jahitan diserap dianjurkan; dalam vaskular kopral dbridement bahu ligasi atau berlebihan
dari jaringan ereksi yang mendasari halus harus dihindari. Cedera uretra parsial harus oversewn jahitan diserap
dengan baik melalui kateter uretra. Lengkap cedera uretra harus dbrided, dimobilisasi, dan diperbaiki dalam mode
bebas dari ketegangan di atas kateter. Antibiotik spektrum luas dan 1 bulan pantang seksual dianjurkan.

Gambar 2 Transverse kiri lecet corpus cavernosum penis berhubungan dengan patah tulang, berhasil diperbaiki
melalui sayatan sunat.
Outcome and Complications
Bedah rekonstruksi langsung menghasilkan pemulihan lebih cepat, penurunan morbiditas, tingkat komplikasi yang
lebih rendah, dan insiden rendah jangka panjang lekukan penis (Nicolaisen et al, 1983; Orvis dan McAninch, 1989;
Hinev, 2002; El-Taher et al, 2004; Muentener et al, 2004). Pengelolaan konservatif hasil fraktur penis dalam lekukan
penis di lebih dari 10% pasien, abses atau melemahkan plak di 25% hingga 30%, dan secara signifikan lebih lama
rawat inap kali dan pemulihan (Meares, 1971; Nicolaisen et al, 1983; Kalash dan Young, 1984; Orvis dan McAninch,
1989). Zargooshi (2002) melaporkan dalam serangkaian bedah pribadi dari 170 pasien bahwa pengelolaan bedah
penis patah tulang mengakibatkan fungsi ereksi dibandingkan dengan kontrol dari populasi. Waktu operasi dapat
mempengaruhi keberhasilan jangka panjang. Di antara pasien yang diobati dengan pembedahan, yang mengalami
perbaikan dalam waktu 8 jam dari cedera yang secara signifikan lebih baik hasil jangka panjang daripada mereka
yang menjalani operasi tertunda 36 jam setelah terjadi fraktur (Asgari et al, 1996; Karadeniz dkk, 1996)
Gunshots and Penetrating Injuries

Luka tembakan
Mayoritas luka menembus ke alat kelamin disebabkan oleh tembakan (Mohr et al, 2003), dan paling membutuhkan
eksplorasi bedah. Prinsip pengobatan segera meliputi eksplorasi, berlebihan irigasi, eksisi benda asing, antibiotik
profilaksis, dan bedah penutupan. Tembakan cedera pada lingga terisolasi jarang luka; 77% hingga 80% dari korban
luka-luka yang berhubungan signifikan, termasuk Genitourinary tambahan, perut, panggul, ekstremitas bawah,
pembuluh darah, atau cedera inguinalis (Goldman et al, 1996; Bandi dan Santucci, 2004 ). Excellent kosmetik dan
hasil fungsional yang dapat diharapkan dengan segera rekonstruksi (Gomez et al, 1993; Goldman et al, 1996).
Cedera uretra telah dilaporkan terjadi pada 15% sampai 50% dari luka tembak penis (Miles et al, 1990; Goldman et al,
1996; Mohr et al, 2003). Urethrography retrograde harus benar-benar dipertimbangkan dalam menembus setiap
pasien dengan cedera pada penis, terutama dengan kecepatan tinggi rudal cedera, darah di meatus, atau kesulitan
buang air kecil dan ketika sedang berada di dekat lintasan peluru uretra (Goldman et al, 1996; Mohr et al , 2003;
Bandi dan Santucci, 2004); alternatif, uretra mundur intraoperative suntikan metilena nila biru atau merah tua dapat
mengidentifikasi situs cedera dan kecukupan penutupan. Cedera uretra harus ditutup terutama dengan
menggunakan prinsip-prinsip urethroplasty standar; hasil yang sangat baik telah dilaporkan (Miles et al, 1990; Bandi
dan Santucci, 2004). Pasien dengan cedera uretra di hadapan kerusakan jaringan luas dan efek ledakan dari
kecepatan tinggi senjata atau senapan jarak dekat ledakan biasanya membutuhkan perbaikan dan kencing
dipentaskan pengalihan (Bandi dan Santucci, 2004).
Gigitan Hewan dan Manusia
Morbiditas gigitan binatang secara langsung berhubungan dengan keparahan luka awal. Kebanyakan korban adalah
laki-laki, dan gigitan anjing adalah cedera yang paling umum (Gomes et al, 2001; Van der Horst et al, 2004).
Komplikasi infeksi yang biasa dicari perawatan sejak dini. Pengelolaan awal gigitan anjing berlebihan termasuk irigasi,
dbridement bahu, dan segera penutupan utama bersama dengan profilaksis antibiotik spektrum luas (Cummings
dan Boullier, 2000). Imunisasi tetanus dan rabies harus digunakan sebagaimana mestinya. Karena polymicrobial
risiko infeksi, empiris pengobatan dengan antibiotik spektrum luas seperti cephalexin cefazolin atau dianjurkan. Wolf
dan koleganya (1993) menyarankan penggunaan tambahan penisilin V (500 mg empat kali sehari) untuk
menyediakan cakupan terhadap Pasteurella multocida, yang hadir dalam 20% sampai 25% dari luka gigitan anjing.
Atau, kloramfenikol sendirian (50 mg / kg setiap hari selama 10 hari) adalah mudah tersedia, murah pilihan yang
telah terbukti efektif di negara-negara berkembang (Gomes et al, 2001).
Menggigit manusia terkontaminasi berpotensi menghasilkan luka yang sering tidak boleh ditutup terutama.
Kebanyakan korban gigitan manusia mencari perhatian medis setelah penundaan yang substansial dan dengan
demikian lebih mungkin hadir dengan infeksi kotor. Administrasi antibiotik empiris dibenarkan dengan cara yang
sama seperti dengan gigitan anjing, meskipun bakteriologi dari luka-luka tidak identik.
Amputasi
Traumatik amputasi dari penis, meskipun jarang, biasanya merupakan hasil genital melukai diri sendiri. Enam puluh
lima persen menjadi 87% dari pasien melakukan mutilasi diri alat kelamin adalah psikotik (Greilsheimer dan Groves,
1979; Aboseif et al, 1993; Romilly dan Ishak, 1996). Konsultasi psikiatri harus dicari dalam semua kasus.
Pasien harus dipindahkan ke fasilitas dengan kemampuan microsurgical, namun jika ini tidak tersedia, makroskopik
anastomosis dari uretra dan kopral badan dapat dilakukan dengan hasil ereksi yang baik, meskipun dengan sedikit
sensasi dan kehilangan kulit yang lebih besar. Rekonstruksi uretra dan reanastomosis dari microsurgical kavernosum
dengan perbaikan kapal dan saraf penis mencapai hasil yang sangat baik. Setiap upaya harus dilakukan untuk
mencari, bersih, dan melestarikan potongan bagian dalam tas ganda teknik. Distal penis harus dibilas berulang kali
dalam larutan garam, terbungkus kain kasa basah garam, dan disegel di dalam kantong plastik yang steril. Tas
kemudian harus ditempatkan dalam kantong luar dengan es atau lumpur (Jezior et al, 2001). Termal cedera pada
segmen diamputasi dapat terjadi jika berada dalam kontak langsung dengan es untuk waktu yang lama. Sukses
reimplantation mungkin setelah 16 jam dari waktu ischemia dingin atau 6 jam hangat iskemia (Lowe et al, 1991). Jika
bagian yang rusak tidak tersedia, tunggul penis harus diformalkan oleh korporasi dan menutup uretra spatulating
yang neomeatus, mirip dengan prosedur penectomy parsial penyakit ganas.
Mikrovaskuler rekonstruksi dorsal arteri, vena, dan saraf adalah metode paling disarankan untuk memperbaiki
diamputasi penis (lihat Key Points: Langkah demi Langkah Pendekatan untuk penis Reattachment). Memadai fungsi
ereksi mungkin dengan kedua mikrovaskuler reanastomosis dan makroskopik replantation, dengan lebih dari 50%
laki-laki mampu mencapai ereksi dengan baik teknik (Bhanganada et al, 1983; Lowe et al, 1991; Aboseif et al, 1993).
Namun, komplikasi seperti striktur uretra, kulit kehilangan, dan kelainan sensorik semua jauh lebih tinggi tanpa
mikrovaskuler perbaikan. Sensasi penis normal kembali dalam 0% sampai 10% pasien setelah makroskopik
replantation (Bhanganada et al, 1983; Lowe et al, 1991), sedangkan sensasi hadir di lebih dari 80% dari mikroskopis
replantations (Yordania dan Gilbert, 1989; Lowe et al, 1991; Jezior et al, 2001). Kulit penis kehilangan, seringkali
lengkap, masalah yang signifikan setelah makroskopik perbaikan. Salah satu strategi yang efektif adalah dengan
menggunduli lingga semua kulit dan mengubur dalam skrotum, meninggalkan kelenjar terbuka, dengan pemisahan
struktur setelah 2 bulan (Bhanganada et al, 1983; Yordania dan Gilbert, 1989). Mineo dan rekan (2004) melaporkan
penggunaan lintah medis pada penis setelah nonmicroscopic replantation sebagai sarana untuk meningkatkan aliran
vena dan menurunkan edema.
KEY POINTS: STEP BY STEP PENDEKATAN PENIS REATTACHMENT
Dua-lapisan penutupan uretra melalui kateter dengan 5-0 jahitan diserap
Pembedahan Minimal sepanjang neurovaskular bundel untuk mengidentifikasi pembuluh dan saraf putus
Penutupan tunika albuginea dengan 3-0 jahitan diserap
Mikroskopis anastomosis dari arteri dorsal dengan nilon 11-0
Mikroskopis vena dorsalis perbaikan dengan 9-0 nilon
Mikroskopis epineural perbaikan saraf dorsal dengan nilon 10-0
Suprapubik cystostomy
Luka terkena Risleting
Ritsleting luka ke penis biasanya perangkap mabuk tidak sabar laki-laki atau orang dewasa. Beberapa manuver yang
tersedia untuk membebaskan kulit dan terjebak untuk menghapus mekanisme. Setelah penis blok, geser ritsleting
dan berbatasan potongan kulit bisa dioleskan minyak mineral, diikuti oleh satu upaya untuk unzip dan melepaskan
(Kanegaye dan Schonfeld, 1993; Mydlo, 2000). Bahan kain terhubung ke ritsleting dapat menorehkan dengan
pemotongan tegak lurus di antara setiap gigi untuk melepaskan dukungan lateral ritsleting, memungkinkan
perangkat berantakan dan melepaskan kulit yang terperangkap (Oosterlinck, 1981). Tulang alat pemotong atau
serupa dapat digunakan untuk memotong median bar (sambungan berbentuk berlian) dari potongan slide. Manuver
ini memungkinkan pemisahan atas dan bawah perisai dari perangkat geser, dan seluruh ritsleting berantakan
(Flowerdew et al, 1977; Saraf dan Rabinowitz, 1982). Beberapa anak mungkin memerlukan lebih dari bius lokal atau
sedasi; sunat atau eksisi elips kulit dapat dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi (Yip et al, 1989; Mydlo, 2000).
Luka-luka Strangulasi
Terkadang luka-luka dengan benang, rambut, atau karet gelang terjadi pada anak-anak, tetapi pelecehan anak-anak
harus dipertimbangkan dalam kasus seperti itu. Setiap anak dengan penis yang tidak dapat dijelaskan bengkak,
eritema, atau kesulitan buang air kecil harus diperiksa dengan cermat untuk rambut strangulating yang tersembunyi
atau string. Orang dewasa mungkin letakkan benda di sekitar poros sebagai sarana kenikmatan seksual atau untuk
memperpanjang ereksi. Perangkat yang konstriksi dapat mengurangi aliran darah, menyebabkan edema, dan
menginduksi iskemia; gangren dan cedera uretra dapat berkembang dalam presentasi tertunda. Memerlukan
perawatan mendadak dekompresi dari penis terbatas untuk memungkinkan aliran darah dan berkemih. Tergantung
pada perangkat konstriksi, sumber daya yang signifikan mungkin diperlukan dari dokter.
String, rambut, dan karet gelang dapat bertakuk. Awal upaya untuk menghapus perangkat konstriksi padat
menyebabkan penis pencekikan melibatkan pelumasan poros dan benda asing dan mencoba penghapusan langsung.
Edema distal ke pencekikan penghapusan sering membuat sulit. Sebuah string atau lateks dapat turniket distal
melilit poros untuk mengurangi pembengkakan dan untuk meningkatkan kemungkinan mengeluarkan perangkat
dengan pelumas. Jika objek konstriksi tidak dapat dipotong atau dihapus, teknik string harus dipertimbangkan
(Browning dan Reed, 1969; Vahasarja et al, 1993; Noh et al, 2004). Benang sutra tebal atau tali pita melewati
proksimal di bawah objek dan luka tercekik erat di penis distal menuju kelenjar. Tag pada jahitan atau tape proksimal
ke cincin ditangkap; lilitan dari ujung proksimal akan mendorong objek distal. Glanular tusuk dengan jarum atau
pisau akan memungkinkan pelarian terjebak gelap darah dan meningkatkan kemungkinan menghapus objek dengan
metode string (Browning dan Reed, 1969; Noh et al, 2004).
Perangkat konstriksi plastik dapat menorehkan dengan pisau bedah atau berosilasi cast melihat (Pannek dan Martin,
2003), tetapi benda logam sekarang tantangan yang lebih sulit. Tersedia peralatan rumah sakit (cincin pemotong,
pemotong besi, bor gigi, ortopedi dan operasi bedah saraf latihan) mungkin tidak akan cukup untuk memotong besi
atau baja berat item. Penggunaan latihan industri, baja gergaji, hacksaws, saber gergaji, dan kecepatan tinggi bor
listrik telah dilaporkan (Perabo et al, 2002; Santucci et al, 2004). Pada kesempatan itu, pemadam kebakaran dan
peralatan pelayanan medis darurat mungkin diperlukan untuk memotong melalui cincin besi dan baja. Lingga harus
dilindungi dari cedera termal, bunga api, dan pisau memotong atau bit dengan menggunakan lidah depressors,
spons, atau lentur retraktor. Rumit seperti usaha yang paling baik dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi. Jika
ada keterlambatan dalam dekompresi dan pasien tidak dapat batal dan tidak nyaman atau menggelembung, sebuah
kateter kandung kemih suprapubik harus ditempatkan.

Anda mungkin juga menyukai