Anda di halaman 1dari 3

Cecilia Ratna Puspita Sari

1206244586
Summary Bab III

Bab III
GAMBARAN KONTRAK KONSTRUKSI SAMPAI SAAT INI

1. Gambaran Umum
Umumnya, yang sering terjadi dalam industri jasa konstruksi adalah pengguna jasa memiliki
kuasa atas penyedia jasa. Pemikiran ini terlihat dari posisi penyedia jasa, yang biasanya, lebih lemah
daripada posisi pengguna jasa. Penyedia jasa hampir selalu diharuskan untuk memenuhi kontrak yang
dibuat oleh pengguna jasa. Pengguna jasa selalu bertindak dengan anggapan bahwa pengguna jasa
lebih dominan daripada penyedia jasa.
Sejak periode pertama industri jasa konstruksi (1945-1950) hingga tahun 1999, hal tersebut
diperburuk dengan belum adanya peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak dan
kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi, sehingga dalam menyusun kontrak, pengguna jasa
menggunakan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer) Pasal 1320. Sebelum Undang-undang No.18/1999 terbentuk, pengguna jasa
bahkan bertindak lebih dominan, bahkan sampai dapat merugikan penyedia jasa karena pengguna jasa
dengan leluasa dapat menyusun kontrak sesuai dengan keinginannya.
Sikap dominan yang dimiliki oleh pengguna jasa ini berasal dari kebutuhan penyedia jasa akan
pengguna jasa untuk bertahan karena terbatasnya pekerjaan Konstruksi/Proyek yang tersedia,
sedangkan jumlah penyedia jasa yang ada cukup banyak. Kebanyakan penyedia jasa bersedia
menerima isi kontrak yang dibuat oleh pengguna jasa tanpa bertanya mengenai isi kontrak,
ketersediaan dana, dan hal penting lainnya. Sebab para penyedia jasa memiliki kekhawatiran tentang
tidak mendapatkan pekerjaan yang ditenderkan tersebut. Padahal, tidak sedikit dari pekerjaan
konstruksi/proyek tersebut yang merupakan pekerjaan fiktif. Bahkan banyak pekerjaan fiktif
tersebut yang merugikan para penyedia jasa.

2. Model Kontrak Konstruksi
Terdapat 3 golongan kontrak-kontrak konstruksi, yaitu:
a. Versi pemerintah
Versi-versi pemerintah ini digunakan oleh banyak proyek sebelum Undang-Undang
No.18/1999 dilahirkan. Biasanya tiap Departemen memiliki kontraknya masing-masing, namun
yang sering digunakan adalah versi Deparemen Pekerjaan Umum. Padahal bahkan Departemen
PU ini memiliki lebih dari 1 versi dari kontrak konstruksinya karena tiap Direktorat Jenderal
biasanya memiliki versinya masing-masing.

b. Versi swasta nasional
Versi ini biasanya tidak karuan dan sangat rawan sengketa. Karena versi ini biasanya
mengutip dari standar Departemen yang sudah ada, atau yang sudah lebih maju, sebagian lainnya
mengutip dari sistem kontrak luar negeri, seperti FIDIC, JCT, ataupun AIA.

c. Versi/Standar Swasta/Asing
Para pengguna jasa atau pemilik proyek asing biasanya menggunakan kontrak dengan sistem
FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Councels) atau JCT (Joint Contract Tribunals).

3. Kendala, Isi kontrak (Kerancuan, Salah Pengertian, Benturan)
Tidak jarang dalam suatu kontrak konstruksi mengandung hal-hal rancu, salah pengertian,
benturan pengertian, dsb. Hal-hal yang rancu yang biasa terjadi dalam kontrak konstruksi adalah
kontrak dengan sistem pembayaran pra pendanaan penuh dari kontraktor dianggap kontrak rancang
bangun, atau penyelesaian sengketa, dimana dalam kontrak biasanya tidak disebutkan dengan jelas
bentuk penyelesaiannya berupa pengadilan atau arbitrase.
Salah pengertian yang sering terjadi adalah pemahaman kata fixed dalam Kontrak Fixed Lump
Sum Price. Kesetaraan kontrak, yang mana sampai saat ini kontrak konstruksi belum ada yang adil
dan setara. Biasanya kesenjangan ini merugikan penyedia jasa, seperti misalnya apabila penyedia jasa
lalai maka sanksi bagi penyedia jasa akan berat namun apabila pengguna jasa lalai maka sanksinya
ringan atau tidak ada; contoh lainnya, sanksi juga akan diberikan apabila penyedia jasa terlambat
menyelesaikan pekerjaan namun keterlambatan pembayaran tidak mendapat ganti rugi.

4. Isi Kontrak Kurang Jelas
Sering kali pengertian pada kontrak konstruksi tidak diberi pengertian yang jelas, bahkan tidak
ada pengertian sama sekali, misalnya: jumlah hari pelaksanaan kontrak, tak jelas saat mulai,
kelengkapan, dan pengawasan tidak jalan. Untuk permasalahan jumlah hari pelaksanaan kontrak,
biasanya terjadi perbedaan pemahaman apakah hari yang dimaksud berhubungan dengan hari kerja
(tidak termasuk hari Sabtu, Minggu, dan libur nasional) atau hari kalender, dan menurut kalender
jenis apa, walaupun sebagian besar proyek mengikuti Kalender Gregorius.
Tak jelas saat mulai, biasanya terjadi perbedaan pemahaman dalam penetapan saat mulainya
konstruksi, apakah sejak tanggal kontrak, tanggal Surat Perintah Kerja atau saat Penyerahan Lahan.
Yang mana apabila pemahaman ini tidak diberikan, konsekuensi terburuknya adalah keterlambatan
penyelesaian pekerjaan. Kelengkapan, apabila terdapat dokumen yang tidak lengkap maka dapat
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pekerjaan. Pengawasan tidak jalan, manajemen kostruksi
tidak berfungsi optimal, karena pengguna jasa mencampuri pelaksanaan di lapangan sehingga
menyulitkan penyedia jasa.

5. Kepedulian pada Kontrak
Dalam permasalahan ini, antara penyedia jasa dan pengguna jasa sama-sama tidak peduli pada
kontrak. Kontrak dibaca hanya ketika timbul masalah. Dan ketika timbul masalah, penyelesaiannya
pun terlambat karena pihak-pihak yang bersangkutan tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk
memahami isi kontrak.

6. Administrasi Kontrak
Akibat dari kepedulian yang kurang terhadap kontrak, maka pengelolaan administrasi kontrak
menjadi tidak berjalan dengan baik. Tidak adanya petugas khusus yang professional dalam mengolah
kontrak.

7. Klaim Kontrak Konstruksi
Sampai tahun 1997, hampir tidak ada klaim yang diajukan oleh penyedia jasa, karena klaim
masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Kebanyakan klaim yang muncul merupakan klaim-klaim
dari perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Klaim sendiri berarti suatu permintaan. Namun
apabila klaim tidak dipenuhi, permintaan tersebut dapat berubah menjadi tuntutan atau gugatan.

Anda mungkin juga menyukai