Tri Wahyudi-Infark Miocard
Tri Wahyudi-Infark Miocard
GOLONGAN PENYAKIT 3B
Tri Wahyudi
0907101010141
Definisi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan
oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus (Dorland,
2002). Iskemia terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma dan
vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh darah dapat disebabkan oleh embolus, trombus atau plak
aterosklerosis. Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus atau hernia.
Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis dan vaskulitis. Vaskokonstriksi
pembuluh darah dapat disebabkan obat-obatan seperti kokain (Wikipedia, 2010).
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009).
Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 3555 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan
dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian
bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens
anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks
kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung.
Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah (Oemar,
1996). Anatomi pembuluh darah jantung dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakityang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resikol
ain masih dapat diubah sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso,
2005). Faktor-faktor tersebuta dalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok,
diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas
fisik (Ramrakha, 2006).
Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9
tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan
dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia
muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian
menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga karena adanya efek perlindungan
estrogen (Santoso, 2005).
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas
normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL
sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial
(CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard (Brown, 2006).
Faktor Risiko
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau
tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila
proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen
yang tersedia (Brown, 2006).
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%.
Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000
kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006).
Menurut Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark
akut prematur di daerah Asia Selatan.
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49%
penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks
masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas
dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti
peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial,
personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko
terkena aterosklerosis (Ramrakha, 2006).
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang
rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol
satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark
miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari,
pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).
2.1.3. Patologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian
ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi
bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah
ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial.
Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat
disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti
nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi.
Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa
menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke
tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi
arteri (Price, 2006).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian
tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah
koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh
terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab
itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya
(Selwyn, 2005).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun
dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard.
Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner
berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan
struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon
dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi,
glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard
(Selwyn, 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat cepat (Antman, 2005).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma
menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim,
2001).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam
beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn,
2005).
(S3
dan
S4),
penurunan
intensitas
suara
jantung
dan
paradoxal
dapat
terdengar
suara
frictionrubperikard,
umumnya
pada
pasieninfark
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut,
EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST.
Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang
Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak
menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran
EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI
(Cannon, 2005).
3.Peningkatan petanda biokimia.
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikro vaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999).
Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang
disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase
(AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin,
carbonic anhydrase III (CAIII), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T
(cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini
mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).
oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran
ST depresi (Chou, 1996).
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih
negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi
daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai
gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T,
mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena
potensial elektrik dihasilkan repolarisasi sub-endokardium terhambat, maka gelombang T
terekam sangat tinggi (Chou, 1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi
infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan
gambaran EKG dapat dilihat di Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Lokasiinfark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
Lokasi
Perubahan gambaranEKG
Anterior
Anteroseptal
Anterolateral
Lateral
Inferolateral
Inferior
Inferoseptal
True posterior
RV infarction
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung pada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard
yang terkena. Bagi pria usia 40 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST
di V1-V3 2mm dan 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST
elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu
(Antman, 2005)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudonormalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non
STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST 0,5 mm di V1-V3 dan 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit),
dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T
yang simetris 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).
Tata Laksana
1. Pengobatan trombolitik
Lebih dari 1000 pasien secara random dii kutkan dalam penelitian trombolisis
vs kontrol, memakai satu macam trombolitik dibandingkan dengan yang
lainnya. Pada pasien yang mempunyai onset gejala infark dalam 12 jam,
terbukti bahwa keuntungan terapi dengan trombolitik sangat menakjubkan
(Stevenson, 1993).
Pada pasien yang menunjukkan gejala dalam 6 jam, dan elevasi ST atau
bundle branch block, sekitar 30 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang
diobati. Pada yang menunjukkan gejala antara 7 -12 jam, 20 kematian dapat
dicegah tiap 1000 orang yang mendapat pengobatan. Bila lebih dari 12 jam
tidak ada bukti yang meyakinkan tentang keuntungannya.
Penelitian
ISIS -2
menunjukkan
keuntungan
pemberian
aspirin,
sehingga ada penurunan kira -kira sebesar 50 kematian tiap 1000 orang
diterapi. Secara keseluruha n, keuntungan terbesar terlihat pada pasien dengan
resiko tinggi, walau proporsional keuntungannya hampir sama. Maka, lebih
banyak nyawa terselamatkan tiap 1000 nyawa yang diobati Thrombolitik,
sebagai contoh diantaranya mereka yang berusia 65 tahun keatas , yang
trombolisis
pre
dan
dalam
rumah
sakit
menunjukkan
bahwa
Bahaya trombolisis
Terapi trombolitik dihubungkan dengan timbulnya efek samping cukup
signifikan, yaitu 3-9 ekstra stroke per 1000 pasien yang diobati, dan semua
bahaya tersebut timbul pada hari pertama setelah pengobatan. Stroke awal
dianggap berasal dari perdarahan serebral; stroke selanjutnya lebih sering
karena trombosis atau emboli. Re siko stroke bervariasi tergantung pada umur.
Terdapat peningkatan resiko untuk orang dengan usia diatas 75 tahun dan
juga
bagi
mereka
yang
mempunyai
hipertensi
sistolik.
Pemberian
masing-masing
individu
juga
faktor -faktor
seperti
ketersediaan
dan
efektivitas biaya.
Implikasi klinis
Berdasarkan pada beberapa kejadian yang di amati, terdapat keuntungan ganda
dalam morbiditas dan mortalitas untuk terapi yang tepat pada IMA dengan
trombolisis dan aspirin, bahwa kedua obat tersebut juga berefek aditif. Jika
fasilitas yang memadai tersedia, dengan tenaga medis dan paramedis yang
terlatih, trombolisis pre -rumah sakit mungkin dapat dilakukan jika penderita
menunjukkan gambaran klinis infark miokard dan ECG menunjukkan elevasi
ST dan bundle branch block.
Kecuali jika jelas ada kontra indikasi, pasien dengan infark, yang
didiagnosis den gan gejala klinis, elevasi segmen ST atau bundle branch
block, harus mendapat terapi aspirin dan obat trombolitik dengan penundaan
seminim
mungkin.
Jika
EKG
pertama
tidak
menunjukkan
perubahan
atau
menunjukkan
hanya
ada
perubahan
gelombang
T.
Pada
Stroke
Kelainan darah
Dissecting aneurisma
Terapi coumadin/walfarin
Kehamilan
Resusitasi trauma
secara
subkutan
atau
intravena.
Pemberian
heparin
yang
heparin
subkutan
(12.500U)
tidak
mempengaruhi
mortalitas
walau
No.
TOMBOLITIK
PENGOBATAN AWAL
PENGGUNAAN
HEPARIN
1.
Streptokinase
(K)
30 60 menit
2.
Anistreplase
3 5 menit
3.
4.
Alteplase (tPA)
Urokinase
Diberikan
dalam 48 jam
Diberikan
dalam 48 jam
I.V.
I.V.
Angioplasti primer
Digolongkan
sebagai
PTCA
tanpa
diikuti
pengobatan
trombolitik
dan
merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke laboratorium
kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan tim khusus, yang
melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga staf yang terlatih dengan
baik. Hal ini hanya di rumah sakit yang mempunyai ahli kardiologi dan alat
yang dapat melakukannya. Sedang pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa
fasilitas ini, harus mempertimbangkan keterlambatan terapi dan juga resiko
transportasi menuju laboratorium k eteterisasi.
pembuluh
darah
yang
mengalami
sumbatan
di
rekanalisasi
saat
Aspirin
Efektifitas aspirin ditunjukkan dari studi IS IS -2 yang menunjukkan bahwa
keuntungan aspirin dan streptokinase saling melengkapi. Pada percobaan
yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien ini, 160 mg tablet pertama
dikunyah, selanjutnya 160 mg tablet ditelan setiap hari. Mortalitas pada
mereka yang mendapatkan aspirin pada studi ini adalah 9,4% dibandingkan
mereka yang mene rima plasebo yaitu 11,8%. Hal ini efektif baik bagi mereka
yang menerima trombolisis atau
yang tidak.
Sedikit
kontraindikasi
penggunaan
aspirin,
aspirin
tidak
boleh
diberikan pada orang yang a lergi, perdarahan tukak peptik, kelainan darah,
atau penyakit hepar yang parah. Aspirin mungkin dapat memicu spasme
bronkus pada asma. Tidak seperti pada trombolisis, tidak ada bukti yang jelas
hubungan antara keefektifan dan waktu dari terjadinya keluhan dan gejala.
Aspirin sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada semua pasien dengan
sindrom koroner akut setelah diagnosis ditegakkan (IS IS -3, 1993).
Obat anti-aritmia
Walaupun lignocaine dapat menurunkan insiden fibrilasi ventrikular pada
fase akut miokard infark, obat ini dapat meningkatkan resiko asistole.
Analisa dari 14 studi menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada
kelompok yang mendapat terapi lignocaine dibanding kontrol. Penggunaan
obat ini untuk profilaksis tidak dibenarkan.
Beta blocker
Banyak percobaan tentang pemberian beta blocker secara intravena pada fase
akut miokard infark karena kemampuannya untuk membatasi infark dan
mengurangi insiden aritmia yang fatal dan untuk mengurangi nyeri. Penelitian
pada 16.000 pasien mengungkapkan penguran gan mortalitas selama 7 hari.
Nitrat
Suatu analisa dari 10 studi yang menggunakan terapi nitrat intravena secara
dini pada 2.041 pasien, menunjukkan penurun an mortalitas sampai sepertiga.
Masing-masing studi itu dalam skala kecil, hanya dengan 329 kematian secara
keseluruhan. Percobaan GISSI-3 juga menggunakan terapi nitrat intravena
(yang diikuti dengan nitrat transdermal) pada 19.394 pasien, tidak didapatka n
penurunan
mortalitas
yang
bermakna.
Berdasarkan
beberapa
analisa
penelitian, penggunaan nitrat secara rutin pada fase awal infark miokard
tidak menunjukkan kegunaan secara meyakinkan.
Antagonis kalsium
Suatu meta-analisa dari penggunaan antagonis kalsium pada fase awal infark
miokard akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Tidak ada indikasi
penggunaan obat golongan ini sebagai profilaksis pada fase akut infark
miokard.
gagal
jantung
tidak
berespon
dengan
cepat
dengan
parameter
Magnesium
Analisa dengan terapi magnesium pada fase akut miokard infark menunjukkan
keuntungan yang signifikan, tetapi penelitian ISIS -4 dosis yang digunakan
tidak mendukung hal ini. Walaupun ada sanggahan bahwa pada penelitian
IS IS-4 dosis yang digunakan tidak optimal, tetapi belum ada bukti yang
cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin obat ini (W oods, 1992).
Perikarditis
Perikarditis akut dapat sebagai pen yulit infark miokard, meningkatkan nyeri
dada yang dapat disalahartikan sebagai infark rekuren atau angina. Nyeri
tersebut, dibedakan menurut sifatnya yang tajam, dan hubungannya dengan
postur dan respirasi. Diagnosisnya dapat ditegakkan dengan suatu pericardial
rub. Bila nyeri mengganggu, dapat ditangani dengan pemberian aspirin oral
dosis tinggi atau intravena, NSAID, atau steroid. Suatu efusi haemorhagik
dengan tamponade
penanganan
jarang terjadi,
antikoagulan.
ekhokardiografi.
Hal
Penanganannya
dan khususnya
terseb ut
ialah
dapat
dengan
dihubungkan dengan
diketahui
melalui
pericardiocentesis
bila
Aritmia Ventrikel
Tarikardi
ventrikel
dan
fibrilasi
ventrikel
terjadi
pada
hari
pertama
oleh
iskemia,
revaskularisasi
dengan
jalan
angioplasti
atau
pendekatan terapetik tersedia, namun sement ara ini, belum diteliti secara
adekuat. Hal -hal tersebut meliputi penggunaan -blocker, amiodaron, dan
terapi anti -aritmia yang dipandu secara elektrofisiologik. Pada beberapa
kasus, penggunaan suatu conventer defibrilator diindikasikan.
Penilaian resiko
Penilaian
resiko
sebelum
memulangkan
penderita
memiliki
tujuan
memperkirakan progno sis, dengan cara pengamatan lebih lanjut apa yang
dibutuhkan, dan membantu dalam mengatur strategi terapetik individu mana
yang terbaik bagi pasien yang telah melampaui masa akut tersebut. Penilaian
ini tergantung pada data klinis, termasuk usia, faktor re siko yang ada
sebelumnya, infark sebelumnya, diabetes, keadaan hemodinamik, aritmia
selama fase akut, dan pengamatan dan penginderaan status ( imaging)
fungsional (Monica, 1994).
Penggolongan resiko klinis dapat digunakan untuk membagi pasien ke
dalam kategori resiko tinggi, sedang, dan rendah, penggolongan resiko klinis
ini penting.
Pasien-pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan gagal jantung
persisten, fungsi ventrikel kiri yang rusak berat, atau penampakan awal dari
angina saat istirahat atau aritmia rekuren, dan mereka yang tidak mampu
melakukan uji exercise sebelum keluar RS. Pasien -pasien semacam itu
cenderung berusia lebih tua, memiliki faktor resiko banyak, dan telah
mengalami infark sebelumnya. Fungsi ventrikel kiri harus dievaluasi dengan
echokardiografi
dan/atau
scintigrafi.
Angiografi
koroner
memberikan
angina
atau
menunjukkan
tanda
iskemik
pada
EKG,
atau
Sebagai
tambahan, efek dari semangat pasien adalah positif, dan informasi tersebut
membantu dalam merencanakan rehabilitasi. Tidak terdapat keharusan untuk
menghentikan pengobatan sebelum pengujian olahraga.
Penilaian Iskemia
Pasien-pasien yang gagal mencapai beban kerja yang diharapkan pada
pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunj ukkan tanda iskemik
pada ECG saat beban kerja sedang harus dipertimbangkan untuk evaluasi
lebih lanjut untuk mengkuantifikasi jumlah miokard yang rusak, demikian
pula
dengan
derajat
miokard
yang
berpotensi
baik.
Pilihan
antara
kedua
teknik -teknik
ini
lebih
sensitif
dan
spesifik
Angina yang diinduksi oleh latihan atau iskemia miokard pada saat kerja
ringan, atau pada monitoring Holter ketika tidak ada peningkatan denyut
jantung.
Pada kasus yang dipilih, khususnya pada individu yang muda, angiografi
koroner
dapat
dipertimbangkan
untuk
pasien
tanpa
komplikasi
untuk
Rehabilitasi
Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan pasien ke kehidupan seperti
semula,
dan
harus
sosioekonominya.
dipertimbangkan
Prosesnya
harus
faktor
dimulai
fisik,
sesegera
psikologis,
mungkin
dan
setelah
penatalaksanaan di rumah sakit, dan diteruskan pada minggu dan bulan -bulan
berikutnya.
Rehabilitasi
secara
detail
tidak
dibahas
di
sini,
karena
Kecemasan selalu muncul, baik pada pasien dan rekan kerjanya, sehingga
keyakinan diri dan penjelasan mengenai penyakit adalah sangat penting dan
harus ditangani sec ara hati -hati. Juga harus dikonfirmasikan mengenai sering
terjadinya depresi dan iritasi setelah pulang. Juga disadari bahwa penolakan
sering terjadi : hal ini merupakan perlindungan pada fase akut, dan diagnosis
selanjutnya menjadi lebih sulit. Diskusi te ntang bisa kembali kerja dan
aktivitas lainnya harus dilakukan setelah kepulangan dari rumah sakit.
Aktivitas Fisik
Semua pasien harus diberi nasehat, dengan mengamati aktivitas fisik
berdasarkan hasil pemulihan mereka dari serangan j antung, umurnya, kadar
aktivitas mereka sebelum serangan, dan keterbatasan fisik mereka. Penilaian
tersebut sangat dibantu dengan tes sebelum kepulangan, yang tidak hanya
merupakan
informasi
klinis
yang
sangat
berharga
tetapi
juga
dapat
6. Preventif Sekunder
Merokok
Walau belum ada penelitian secara acak yang dilakukan, bukti meyakinkan
bahwa bagi mereka yang menghentikan kebiasaan merokok mempunyai
mortalitas separuh lebih sedikit dibanding dengan mereka yang tidak
berhenti. Hal ini merupakan pencegahan sekunder yang potensial : usaha
keras harus dilakukan untuk penghentian merokok. Kebanyakan pasien tidak
merokok selama serangan akut dan periode laten ini merupakan kesempatan
bagi tenaga kesehatan profesional untuk membantu pasien menghentikan
kebiasaan tersebut. Mer okok biasanya dilakukan kembali setelah pulang ke
rumah sehingga dukungan dan nasehat selama rehabilitasi diperlukan. Studi
yang
dilakukan
secara
luas
menggunakan
aspirin
mengun tungkan
bila diberikan antikoagulan oral awal, tetapi penelitian tentang ini sangat
sedikit. Kombinasi
setelah infark
Beta Blocker
Beberapa uji dan meta-analisis menunjukkan bahwa obat -obat penghambat adrenoseptor mengurangi kematian dan reinfark 20 -25% pada mereka yang
sembuh dari infark miokard akut. Uji positif telah dilakukan dengan
propranolol, metaprolol, timolol, dan acebutolol, namun kajian dengan blocker lainnya, meskipun tidak bermakna, mempunyai efek yang sama
baiknya. Sekitar 25% penderita memiliki kontraindikasi terhadap -blocker
karena gagal jantung yang tak terkontrol, penyakit pernafasan, atau kondisi kondisi lain. Dari sis anya, mungkin separuh dapat didefinisikan sebagai
resiko rendah dimana penghambat hanya memberi suatu keuntungan
marginal, dengan berpikir efek samping minor namun terkadang menyulitkan.
Masih terdapat opini yang berbeda, apakah -blocker harus diberikan kepada
semua
orang
yang
indikasi,
atau
apakah
-blocker
seharusnya
hanya
Kalsium Antagonis
Uji dengan verapamil dan diltiazem telah memberi kesan bahwa keduanya
dapat
mencegah
reinfark
dan
kematian,
namun
harus
hati -hati,
perlu
dengan
dihidropiridin
gagal
menunjukkan
keuntungan
untuk
Nitrat
Tidak ada bukti bahwa nitrat oral atau transdermal memperbaiki prognosis
setelah infark miokard, Uji IS IS -4 dan GISS I-3 gagal menunjukkan suatu
keuntungan pada 4 -6 minggu setelah kejadian. Nitrat, tentu saja, tetap
menjadi terapi pertama hanya bagi angina pectoris.
ACE inhibitor
Beberapa uji telah membuktikan bahwa ACE inhibitor mengurangi kematian
setelah infark miokard. Dalam uji SAVE pasien dili batkan 11 hari setelah
masa akut memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% pada pencitraan nuklir, dan
jika mereka bebas dari iskemia yang manifes pada sebuah tes olahraga. Tidak
didapatkan keuntungan dalam hal penurunan mortalitas pada tahun pertama,
namun terdapat pengurangan 19% pada 3 -5 tahun berikutnya dari follow-up
(dari 24,6%). Reinfark dan gagal jantung lebih sedikit, terlihat bahkan dalam
tahun pertama.
Pada uji AIRE pasien diacak untuk ramipil dengan rata -rata 5 hari
setelah onset infark miokard d itunjukkan oleh gambaran klinis dan radiologis
dari gagal jantung. Pada rata -rata 15 bulan kemudian, kematian berkurang
dari 22,6% hingga 16,9%. Pada kajian TRACE, pasien diacak untuk
tradolapril atau placebo suatu median 4 hari setelah infark, mereka memi liki
disfungsi ventrikel kiri yang diperlihatkan oleh indeks wall motion 1,2 atau
kurang. Rata-rata follow -up 108 minggu, angka kematian 34,7% pada
kelompok perlakuan dan 42,3% pada kelompok pacebo. Mengambil ketiga
kajian tersebut bersama -sama, diindikasi kan pemberian ACE inhibitor kepada
pasien yang mengalami gagal jantung pada keadaan IMA, memiliki fraksi
ejeksi kurang dari 40% atau indeks wall motion 1,2 atau kurang, dan tidak
ada kontraindikasi (Lindsay, 1995).
Sebagaimana diskusi diatas, dapat diber ikan ACE inhibitor kepada
semua pasien dengan infark akut sejak masuk RS, dengan syarat tidak
terdapat kontra indikasi. Berlawanan terhadap kebijakan tersebut, terdapat
kenaikan insiden dari hipotensi dan gagal ginjal pada mereka yang menerima
ACE inhibitor pada tahap akut, dan sedikit keuntungan pada mereka dengan
resiko relatif rendah, seperti halnya pasien dengan infark inferior yang kecil.
Lipid-Lowering Agents
Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S) melaporkan keuntungan akan
penurunan
lemak
pascainfark dengan
pada
suatu
populasi
kolesterol serum
4.444
pasien
angina
dan/atau
sampai 6 bulan setelah infark akut, dan kelompok resiko relatif rendah
diikutkan. Angka kematian keseluruhan pada suatu median 5 -4 tahun turun
30% (dari 12 8%). Diperoleh 33 yang diselamatkan per 1.000 pasien yang
diberi perlakuan selama periode ini. Terdapat p enurunan angka kematian
akibat penyakit koroner, dibanding pembedahan pintas koroner. Pasien di atas
usia 60 tahun tampak hasilnya sama dengan pasien yang lebih muda. Wanita
diuntungkan dalam hal kejadian koroner mayor, namun pengurangan kematian
yang bermakna secara statistik belum jelas; hal ini mungkin karena jumlah
yang relatif kecil dari wanita yang direkrut.
Lipid-lowering
Agents
seharusnya
diberikan
kepada
pasien
dengan
dislipidemia, namun masih terdapat kontroversi tentang seberapa cepat penanganan harus
dimulai setelah kejadian, dan apakah kriteria untuk penanganan dapat diperluas kepada
mereka dengan kadar lipid yang lebih rendah (Sargowo, 2008).
Daftar Pustaka
Prof.DR.dr.H. Djanggan Sargowo, SpPD.,SpJP (K), FIHA, FACC, FCAPC,FESC. 2008
Fakultas Kedokteran UB. Management of Acute Corronary Syndrome
Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal Definition of
Myocardial Infarction for the Twenty-First Century. AccessMedicine from McGraw-Hill.
Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/716457 [Accessed 23 Februari 2010]
Anand, S.S., Islam, S., Rosengren, A., et al., 2008. Risk factors for myocardial infarction in
women and men: insights from the INTERHEART study, European Heart Journal. Available
from: http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/29/7/932.short [Accessed 12 April 2010]
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450
Beers, M.H., Fletcher A.J., Jones, T.V., 2004. Merk Manual of Medical Information:
Coronary Artery Disease. 2nd ed. New York: Simon & Shcuster.
Brown, T.C., 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., ed.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC 580-587.
Cannon, C.P., Braunwald, E., 2005. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial
Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson,
J. L., eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 14441445.
Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W. B.
Saunders Company.
Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Besar Kedokteran Dorland. Edisi 1. Jakarta: EGC
Fenton,
D.E.,
2009.
Myocardial
Infarction.
Available
from:
Ismail, J., Jafar, T.H., Jafary, F.H., White, F., Faruqui, A.M., Chaturvedi, N., 2004. Risk
factors for non-fatal myocardial infarction in young South Asian adults. PubMed. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14966040 [Accessed 12 April 2010]
Nigam. P.K., 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of Clinical
Biochemistry. Available from: http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p10.pdf [Accessed 02
Mei 2010]
Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F.,
Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 12
Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1st
ed. USA: Oxford University Press.
Samsu, N., Sargowo, D., 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada Diagnosis
Infark Miokard Akut. Tinjauan Pustaka. Malang: Fakultas Kedokteran Brawijaya. Available
from
http://mki.idionline.org/index.php?uPage=mki.mki_viewall&smod=mki&s
Santoso, M., Setiawan, T., 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.
Available from: http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/CDK/article/view/2860 [Accessed 23
Februari 2010]
Selwyn, A.P., Braunwald E., 2005. Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S.,
Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds., Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw- Hill 1434-1435.
Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P., Erwinanto,
Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut: Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5.