Anda di halaman 1dari 29

INFARK MIOKARD

GOLONGAN PENYAKIT 3B
Tri Wahyudi
0907101010141
Definisi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan
oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus (Dorland,
2002). Iskemia terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma dan
vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh darah dapat disebabkan oleh embolus, trombus atau plak
aterosklerosis. Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus atau hernia.
Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis dan vaskulitis. Vaskokonstriksi
pembuluh darah dapat disebabkan obat-obatan seperti kokain (Wikipedia, 2010).
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009).
Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 3555 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan
dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian
bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens
anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks
kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung.
Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah (Oemar,
1996). Anatomi pembuluh darah jantung dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Anatomi arteri koroner jantung

Dikutip dari NewYork-Presbyterian Hospital


Etiologi dan Faktor Resiko
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:
1.Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak
aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang
inadekuat memicu munculnya infark miokard.Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia,
aritmia dan hiper atau hipotensi.
2.Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis inidisebabkanoleh vaskonstriksi dan spasme arterimenurunkan
aliran darah miokard.
3.Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar
pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4.Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali
lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI)
yang memicu terjadinya infark miokard.
b.Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5.Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark
miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakityang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resikol
ain masih dapat diubah sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso,
2005). Faktor-faktor tersebuta dalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok,
diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas
fisik (Ramrakha, 2006).
Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9
tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan

dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia
muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian
menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga karena adanya efek perlindungan
estrogen (Santoso, 2005).
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas
normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL
sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial
(CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard (Brown, 2006).

Faktor Risiko
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau
tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila
proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen
yang tersedia (Brown, 2006).
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%.
Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000
kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006).
Menurut Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark
akut prematur di daerah Asia Selatan.
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49%
penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks
masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas
dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti
peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial,
personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko
terkena aterosklerosis (Ramrakha, 2006).

Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang
rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol
satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark
miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari,
pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004).

2.1.3. Patologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian
ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi
bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah
ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial.
Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat
disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti
nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi.
Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit
bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan
kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa
menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke
tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi
arteri (Price, 2006).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian
tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah
koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh
terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab

itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya
(Selwyn, 2005).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun
dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard.
Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner
berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan
struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon
dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi,
glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard
(Selwyn, 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka
terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis
koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat cepat (Antman, 2005).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma
menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim,
2001).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam
beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian
miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn,
2005).

2.1.4. Gejala Klinis


Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif
dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian
nitrogliserin (Irmalita, 1996). Angina pektoris adalah jeritan otot jantung yang merupakan
rasa sakit pada dada akibat kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit
pada dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan,
leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi
berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan
peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien sedang
beristirahat (Hanafiah, 1996).
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan
lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk
menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat
pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin (Antman, 2005).
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat
(Irmalita, 1996). Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang
dipompa jantung (Antman, 2005). Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark
miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.
Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa
minggu, tekanan darah kembali normal (Irmalita, 1996).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik
abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung
tambahan

(S3

dan

S4),

penurunan

intensitas

suara

jantung

dan

paradoxal

splittingsuarajantung S2 merupakan pertanda disfungsiventrikeljantung. Jika didengar dengan


seksama,

dapat

terdengar

suara

frictionrubperikard,

umumnya

pada

pasieninfark

miokardtransmural tipe STEMI (Antman, 2005).


Diagnosis
Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih
dari 3 kriteria,yaitu
1.Adanyanyeri dada
Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.
2.Perubahan elektrokardiografi (EKG)

Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut,
EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST.
Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang
Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak
menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran
EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI
(Cannon, 2005).
3.Peningkatan petanda biokimia.
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikro vaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999).
Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang
disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase
(AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin,
carbonic anhydrase III (CAIII), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T
(cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini
mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).

EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard


Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel
berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak
menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi
negatif abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark
gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan
gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik
kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya 0,04 detik. Namun hal
ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang
Q di lead ini lebar dan dalam (Chou, 1996).
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area
tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika
elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk
elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area
injury, maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST
depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury

oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran
ST depresi (Chou, 1996).
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih
negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi
daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai
gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T,
mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena
potensial elektrik dihasilkan repolarisasi sub-endokardium terhambat, maka gelombang T
terekam sangat tinggi (Chou, 1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi
infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan
gambaran EKG dapat dilihat di Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Lokasiinfark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
Lokasi

Perubahan gambaranEKG

Anterior

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5

Anteroseptal

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3

Anterolateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL

Lateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi


gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di Idan aVL

Inferolateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,aVF, dan V5-V6


(kadang-kadang I dan aVL).

Inferior

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, danaVF

Inferoseptal

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,aVF, V1-V3

True posterior

Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen STdepresi di V1-V3.


Gelombang T tegak di V1-V2

RV infarction

Elevasi segmen ST diprecordial lead(V3R-V4R). Biasanya ditemukan


konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam
beberapa jam pertama infark.

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung pada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard
yang terkena. Bagi pria usia 40 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST
di V1-V3 2mm dan 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST
elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu
(Antman, 2005)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudonormalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non
STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST 0,5 mm di V1-V3 dan 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit),
dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T
yang simetris 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).

Tata Laksana
1. Pengobatan trombolitik

Lebih dari 1000 pasien secara random dii kutkan dalam penelitian trombolisis
vs kontrol, memakai satu macam trombolitik dibandingkan dengan yang
lainnya. Pada pasien yang mempunyai onset gejala infark dalam 12 jam,
terbukti bahwa keuntungan terapi dengan trombolitik sangat menakjubkan
(Stevenson, 1993).
Pada pasien yang menunjukkan gejala dalam 6 jam, dan elevasi ST atau
bundle branch block, sekitar 30 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang
diobati. Pada yang menunjukkan gejala antara 7 -12 jam, 20 kematian dapat
dicegah tiap 1000 orang yang mendapat pengobatan. Bila lebih dari 12 jam
tidak ada bukti yang meyakinkan tentang keuntungannya.
Penelitian

ISIS -2

menunjukkan

keuntungan

pemberian

aspirin,

sehingga ada penurunan kira -kira sebesar 50 kematian tiap 1000 orang
diterapi. Secara keseluruha n, keuntungan terbesar terlihat pada pasien dengan
resiko tinggi, walau proporsional keuntungannya hampir sama. Maka, lebih
banyak nyawa terselamatkan tiap 1000 nyawa yang diobati Thrombolitik,
sebagai contoh diantaranya mereka yang berusia 65 tahun keatas , yang

mempunyai tekanan sistolik <160mmHg, yang mempunyai infark anterior


atau yang mempunyai bukti iskemia yang lebih berat (Adams, 1993).

Jangka waktu pengobatan


Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat pengobatan segera
setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian dimana pasien diacak
untuk

trombolisis

pre

dan

dalam

rumah

sakit

menunjukkan

bahwa

menyelamatkan satu jam mengurangi kematian secara signifikan, tetapi pada


penelitian yang relatif kecil gagal menunjukkan besarnya a ngka keuntungan
yang pasti. Pada pengamatan terhadap fibrinolitik didapat penurunan yang
progresif sekitar 1-6 kematian tiap jam penundaan per 1000 pasien yang
diobati.

Bahaya trombolisis
Terapi trombolitik dihubungkan dengan timbulnya efek samping cukup
signifikan, yaitu 3-9 ekstra stroke per 1000 pasien yang diobati, dan semua
bahaya tersebut timbul pada hari pertama setelah pengobatan. Stroke awal
dianggap berasal dari perdarahan serebral; stroke selanjutnya lebih sering
karena trombosis atau emboli. Re siko stroke bervariasi tergantung pada umur.
Terdapat peningkatan resiko untuk orang dengan usia diatas 75 tahun dan
juga

bagi

mereka

yang

mempunyai

hipertensi

sistolik.

Pemberian

streptokinase dan anistreplase mungkin dihubungkan dengan hipotensi, tetapi


reaksi alergi berat jarang terjadi. Pemberian hidrokortison secara rutin bukan
merupakan indikasi. Jika terjadi hipotensi, berilah infus, letakkan pasien
berbaring dengan posisi kaki lebih tinggi. Terkadang atropin dan plasma
ekspander juga dibutuhkan (T.T .T, 1994).

Perbandingan obat-obat trombolitik


Tidak ada perbedaan mortalitas antara pemberian streptokinase dan t -PA
(tissue plasminogen activator) atau anistreplase. Pemberian heparin subkutan
tidak akan menurunkan mortalitas dibanding mereka yang tidak diberi.
Resiko stroke pada pemberian t -PA atau anistreplase lebih tinggi dibanding
dengan streptokinase. Pilihan strategi reperfusi tergantung kepada risiko

masing-masing

individu

juga

faktor -faktor

seperti

ketersediaan

dan

efektivitas biaya.

Implikasi klinis
Berdasarkan pada beberapa kejadian yang di amati, terdapat keuntungan ganda
dalam morbiditas dan mortalitas untuk terapi yang tepat pada IMA dengan
trombolisis dan aspirin, bahwa kedua obat tersebut juga berefek aditif. Jika
fasilitas yang memadai tersedia, dengan tenaga medis dan paramedis yang
terlatih, trombolisis pre -rumah sakit mungkin dapat dilakukan jika penderita
menunjukkan gambaran klinis infark miokard dan ECG menunjukkan elevasi
ST dan bundle branch block.
Kecuali jika jelas ada kontra indikasi, pasien dengan infark, yang
didiagnosis den gan gejala klinis, elevasi segmen ST atau bundle branch
block, harus mendapat terapi aspirin dan obat trombolitik dengan penundaan
seminim

mungkin.

Jika

EKG

pertama

tidak

menunjukkan

perubahan

diagnostik, rekaman EKG serial dan kontinyu sebaiknya dilakukan . Analisa


enzim yang cepat, ECG, dan kadang -kadang angiografi dapat berguna. Tujuan
yang realistik adalah untuk pemberian trombolisis dalam waktu 90 menit pada
pasien yang butuh terapi segera. Pada pasien yang mengalami perubahan
secara perlahan atau yang infark miokardnya tidak jelas, EKG serial dan
pemeriksaan klinis sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi infark yang
bekembang secara lambat (dengan analisa enz ym yang cepat jika tersedia).
Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada keadaan:
Mereka dengan kemungkinan keberhasilan kecil, misal jika EKG tetap
normal,

atau

menunjukkan

hanya

ada

perubahan

gelombang

T.

Pada

percobaan klinis tidak menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan


depresi ST, walau resiko pasien ini tinggi (ISIS -3, 1992).

Kontra indikasi terapi trombolitik

Stroke

Ada riwayat trauma mayor/bedah/luka kepala dalam 3 minggu

Perdarahan Gastro Intestinal dalam 1 bulan terakhir

Kelainan darah

Dissecting aneurisma

Kontra indikatif relatif

Serangan iskemia transient dalam 6 bulan terakhir

Terapi coumadin/walfarin

Kehamilan

Puncture atau kebocoran yang tidak bisa ditekan saja

Resusitasi trauma

Hipertensi refrakter (sistolik>180mmHg)

Riwayat terapi laser retina.

Pemberian kembali obat trombolitik


Jika ada bukti reoklusi atau reinfark dengan rekuren elevasi ST atau bundle
branch block. Streptokinase dan terapi trombolitik tetap dilanjutkan, atau
dipertimbangkan angioplasti. Streptokinase dan anistreplase tidak diberikan
kembali dalam jangka waktu 5 hari dan minimal 2 tahun setelah terapi awal
dengan salah satu obat ini (Gusto, 1993).

Terapi antitrombolitik dan antiplatelet tambahan


Keuntungan tambahan aspirin telah dijelaskan diatas. Masih tidak jelas
apakah aspirin bekerja dengan cara meningkatkan trombolisis, mencegah
reoklusi atau dengan me mbatasi pengaruh mikrovaskular dari aktivasi
platelet. Dosis pertama yaitu 150 -160mg harus dikunyah dan dosis yang sama
diberikan per oral setiap harinya. Heparin tidak memperbaiki lisis bekuan
secara cepat tetapi patensi koroner yang dievaluasi dalam bebe rapa jam atau
hari setelah pemberian trombolisis terlihat lebih baik dengan intravena
heparin. Tidak ada perbedaan yang terlihat apakah heparin dan streptokinase
diberikan

secara

subkutan

atau

intravena.

Pemberian

heparin

yang

diperpanjang tidak terlihat d apat mencegah reoklusi setelah terbukti secara


angiografi terjadi trombolisis koroner, atau sebelum pemberian coumadin.
Infus heparin setelah terapi t -PA dapat dihentikan setelah 24 -28 jam.
Obsevasi ketat dari terapi heparin adalah evaluasi PTT dihubungkan dengan
resiko terjadinya perdarahan serebral. Pada percobaan ISIS -2, pemberian

heparin

subkutan

(12.500U)

tidak

mempengaruhi

mortalitas

walau

dikombinasi dengan aspirin, streptokinase, alteplase, atau anistreplase (Gissi,


1986).

Tabel 1. Pemberian Trombo litik pada IMA

No.

TOMBOLITIK

PENGOBATAN AWAL

PENGGUNAAN
HEPARIN

1.

Streptokinase

1,5 juta unit dalam 100 cc

12.500 unit cara

(K)

Dextrose 5% atau N.S. 0,9%

S.C. 2 kali sehari

30 60 menit
2.

Anistreplase

30 unit diberikan I.V. dalam

3 5 menit
3.

4.

Alteplase (tPA)

Urokinase

Total dosis <100 mg

Diberikan

0,7 mg/kg 30 menit

dalam 48 jam

2 juta unit I.V.

Diberikan

Bolus + 1,5 juta unit 1 jam

dalam 48 jam

I.V.

I.V.

(Eur. Heart. J. 1996)

2. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)


Peranan PTCA pada jam -jam awal dari infark miokard dibagi menjadi
angioplasti primer, angioplasti yang dikombinasi dengan trombolisis dan
angioplasti penyelamatan (Gibbons, 1993).

Angioplasti primer
Digolongkan

sebagai

PTCA

tanpa

diikuti

pengobatan

trombolitik

dan

merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke laboratorium
kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan tim khusus, yang
melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga staf yang terlatih dengan
baik. Hal ini hanya di rumah sakit yang mempunyai ahli kardiologi dan alat
yang dapat melakukannya. Sedang pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa
fasilitas ini, harus mempertimbangkan keterlambatan terapi dan juga resiko
transportasi menuju laboratorium k eteterisasi.

Angioplasti primer efektif dalam menjaga patensi arteri koroner dan


menghindari resiko terjadinya perdarahan otak karena obat trombolitik. Bila
dibandingkan dengan terapi trombolitik ada keuntungan antara lain perbaikan
patensi yang lebih baik, fungsi ventrikel yang lebih baik, dan kecenderungan
untuk hasil klinis yang lebih baik pula. Pasien dengan kontraindikasi
terhadap trombolitik mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada yang diterapi dengan ini. PTCA primer dapat dilakukan dengan
sukses pada sebagian besar pasien, tetapi pengalaman masih terbatas,
disamping itu keefektifan dan keselamatan diluar pusat pelayanan masih
kurang baik hasilnya.

Angioplasti yang dikombinasi dengan tromboliti k


PTCA yang dilakukan setelah pemberian trombolitik yang dimaksudkan untuk
meningkatkan reperfusi atau menurunkan resiko reoklusi telah menunjukkan
bukti rendah keberhasilannya dan membuktikan kecenderungan meningkatkan
komplikasi dan kematian. Oleh karena itu tidak dianjurkan.

Rescue angioplasti (Angioplasti Penyelamatan)


Merupakan PTCA yang dilakukan pada arteri koroner yang tetap mengalami
oklusi setelah pemberian trombolitik. Pengalaman terbatas yang didapat dari
dua penelitian acak menunjukkan kecende rungan adanya hasil yang lebih baik
jika

pembuluh

darah

yang

mengalami

sumbatan

di

rekanalisasi

saat

angioplasti. Walaupun angka keberhasilan angioplasti cukup tinggi, masalah


yang belum terpecahkan adalah kurang bisa diterimanya metode invasif untuk
menimbulkan patensi pembuluh darah.

3. Coronary Artery Bypass Surgery (CABG)


Pembedahan ini jarang sekali dilakukan untuk menangani infark miokard akut
tetapi diindikasikan bila PTCA gagal pada saat kateterisasi atau bila
dihubungkan dengan pembedahan untuk de fek septum intraventrikel atau
regurgitasi mitral karena disfungsi dan ruptur otot papiler.

4. Terapi Profilaksis Pada Fase Akut

Aspirin
Efektifitas aspirin ditunjukkan dari studi IS IS -2 yang menunjukkan bahwa
keuntungan aspirin dan streptokinase saling melengkapi. Pada percobaan
yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien ini, 160 mg tablet pertama
dikunyah, selanjutnya 160 mg tablet ditelan setiap hari. Mortalitas pada
mereka yang mendapatkan aspirin pada studi ini adalah 9,4% dibandingkan
mereka yang mene rima plasebo yaitu 11,8%. Hal ini efektif baik bagi mereka
yang menerima trombolisis atau

yang tidak.

Pada pengamatan secara

keseluruhan dari studi aspirin didapatkan 29% pengurangan angka kematian,


dengan mortalitas vaskuler 24 nyawa terselamatkan dari 1 000 pasien. Bahkan
didapatkan angka yang lebih kecil untuk terjadinya stroke non fatal dan
reinfark miokard yang non fatal pada kelompok yang mendapat pengobatan.

Sedikit

kontraindikasi

penggunaan

aspirin,

aspirin

tidak

boleh

diberikan pada orang yang a lergi, perdarahan tukak peptik, kelainan darah,
atau penyakit hepar yang parah. Aspirin mungkin dapat memicu spasme
bronkus pada asma. Tidak seperti pada trombolisis, tidak ada bukti yang jelas
hubungan antara keefektifan dan waktu dari terjadinya keluhan dan gejala.
Aspirin sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada semua pasien dengan
sindrom koroner akut setelah diagnosis ditegakkan (IS IS -3, 1993).

Obat anti-aritmia
Walaupun lignocaine dapat menurunkan insiden fibrilasi ventrikular pada
fase akut miokard infark, obat ini dapat meningkatkan resiko asistole.
Analisa dari 14 studi menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada
kelompok yang mendapat terapi lignocaine dibanding kontrol. Penggunaan
obat ini untuk profilaksis tidak dibenarkan.

Beta blocker
Banyak percobaan tentang pemberian beta blocker secara intravena pada fase
akut miokard infark karena kemampuannya untuk membatasi infark dan
mengurangi insiden aritmia yang fatal dan untuk mengurangi nyeri. Penelitian
pada 16.000 pasien mengungkapkan penguran gan mortalitas selama 7 hari.

Pada penelitian dibeberapa negara, penggunaan beta blocker sangatlah jarang.


Terdapat indikasi penggunaan beta blocker ketika ada takikardi (bila tidak
ada gagal jantung), hipertensi relatif, atau nyeri yang tidak berespon ter hadap
opioid. Sangat berguna untuk menguji respon pasien terhadap obat ini dengan
menggunakan preparat kerja cepat (BBPP, 1988).

Nitrat
Suatu analisa dari 10 studi yang menggunakan terapi nitrat intravena secara
dini pada 2.041 pasien, menunjukkan penurun an mortalitas sampai sepertiga.
Masing-masing studi itu dalam skala kecil, hanya dengan 329 kematian secara
keseluruhan. Percobaan GISSI-3 juga menggunakan terapi nitrat intravena
(yang diikuti dengan nitrat transdermal) pada 19.394 pasien, tidak didapatka n
penurunan

mortalitas

yang

bermakna.

Berdasarkan

beberapa

analisa

penelitian, penggunaan nitrat secara rutin pada fase awal infark miokard
tidak menunjukkan kegunaan secara meyakinkan.

Antagonis kalsium
Suatu meta-analisa dari penggunaan antagonis kalsium pada fase awal infark
miokard akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Tidak ada indikasi
penggunaan obat golongan ini sebagai profilaksis pada fase akut infark
miokard.

Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor


Sekarang ditetapkan bahwa pe mberian ACE inhibitor dimulai waktu di rumah
sakit pada pasien yang mempunyai fraksi ejeksi yang rendah dan yang pernah
mengalami gagal jantung pada fase awal. Akhir -akhir ini penelitian GISS I-3,
IS IS-4 dan di Cina menunjukkan bahwa ACE inhibitor yang dibe rikan pada
hari pertama dapat menurunkan mortalitas pada 4 -6 minggu berikutnya dalam
jumlah yang kecil tetapi bermakna. Percobaan CONSENSUS II akan tetapi
gagal menunjukkan keuntungan. Pengamatan secara sistematis dari percobaan
terhadap ACE inhibitor pada fase akut miokard infark menunjukkan bahwa
terapi ini akan menghasilkan 4 -6 kematian yang lebih sedikit per 1000 pasien
yang diobati. Walau disadari ada bahaya pada analisa sub grup, tampak
kemungkinan bahwa terapi ini berharga khususnya pada kelompok den gan
faktor resiko tertentu, seperti mereka yang mempunyai gagal jantung atau
dengan infark sebelumnya. Keuntungan obat ini pada infark miokard
tergantung pada kelasnya. Sebagaimana didiskusikan sebelumnya terdapat
perbedaan pendapat apakah pemberian terapi ACE inhibitor pada semua
pasien (yang tidak ada kontraindikasi) pada hari pertama atau dimulai pada
kelompok yang diseleksi segera setelahnya. Dari pandangan Task Force
terdapat argumentasi yang valid untuk keduanya. Seharusnya ada ambang
batas dan frak si ejeksi yang rendah untuk menggunakan obat pada tahap awal
jika

gagal

jantung

tidak

berespon

dengan

cepat

dengan

parameter

konvensional (Lindsay, 1995).

Magnesium
Analisa dengan terapi magnesium pada fase akut miokard infark menunjukkan
keuntungan yang signifikan, tetapi penelitian ISIS -4 dosis yang digunakan
tidak mendukung hal ini. Walaupun ada sanggahan bahwa pada penelitian
IS IS-4 dosis yang digunakan tidak optimal, tetapi belum ada bukti yang
cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin obat ini (W oods, 1992).

Trombus Vena Dalam dan Emboli Paru


Komplikasi -komplikasi ini sekarang relatif jarang setelah infark, kecuali
pada pasien yang tetap di tempat tidur oleh karena gagal jantung. Pada pasien
semacam itu, komplikasi -komplikasi tersebut dapat dicegah oleh heparin. Jika
hal-hal tersebut terjadi, harus diterapi dengan heparin, diikuti pemberian
antikoagulan oral selama 3 -6 bulan.

Trombus Intraventrikular dan Emboli Sistemik


Echokardiografi akan mampu menunjukkan trombi intraventrikular pada
banyak kasus, terutama infark anterior yang luas. Apabila trombi yang
bergerak dan menonjol, keadaan tersebut harus ditangani, mula -mula dengan
heparin dan selanjutnya dengan antikoagulan oral selama 3 -6 bulan.

Perikarditis
Perikarditis akut dapat sebagai pen yulit infark miokard, meningkatkan nyeri
dada yang dapat disalahartikan sebagai infark rekuren atau angina. Nyeri
tersebut, dibedakan menurut sifatnya yang tajam, dan hubungannya dengan
postur dan respirasi. Diagnosisnya dapat ditegakkan dengan suatu pericardial
rub. Bila nyeri mengganggu, dapat ditangani dengan pemberian aspirin oral
dosis tinggi atau intravena, NSAID, atau steroid. Suatu efusi haemorhagik
dengan tamponade
penanganan

jarang terjadi,

antikoagulan.

ekhokardiografi.

Hal

Penanganannya

dan khususnya
terseb ut

ialah

dapat

dengan

dihubungkan dengan
diketahui

melalui

pericardiocentesis

bila

gangguan hemodinamik terjadi.

Aritmia Ventrikel
Tarikardi

ventrikel

dan

fibrilasi

ventrikel

terjadi

pada

hari

pertama

menyebabkan hanya sedikit prognosis buruk , namun aritmia-aritmia yang


terjadi lebih lanjut, dalam perjalanannya aritmia -aritmia tersebut cenderung
berulang dan dihubungkan dengan resiko kematian yang tinggi. Hal ini terjadi
karena hubungan dengan kerusakan miokard yang berat; penilaian terhadap
anatomi koroner dan fungsi ventrikel harus dilakukan. Apabila aritmia
diinduksi

oleh

iskemia,

revaskularisasi

dengan

jalan

angioplasti

atau

pembedahan harus dipertimbangkan. Apabila ini tidak mungkin, beragam cara

pendekatan terapetik tersedia, namun sement ara ini, belum diteliti secara
adekuat. Hal -hal tersebut meliputi penggunaan -blocker, amiodaron, dan
terapi anti -aritmia yang dipandu secara elektrofisiologik. Pada beberapa
kasus, penggunaan suatu conventer defibrilator diindikasikan.

Angina dan Iskemia Pasca Infark


Angina ringan yang terjadi pada mereka berespons memuaskan terhadap
penanganan medis biasa, namun angina baru khususnya saat istirahat, pada
awal fase pascainfark membutuhkan perhatian lebih dalam.
Penggunaan rutin PTCA secara efektif menguji peran terapi trombolitik
dibandingkan dengan percobaan konservatif pada beberapa uji random. Dapat
disimpulkan bahwa PTCA rutin tanpa keberadaan iskemia spontan atau yang
dapat diprovokasi tidak memperbaiki fung si ventrikel kiri atau survival.
Dalam menangani angina atau iskemia rekuren, apakah disebabkan oleh
oklusi atau stenosis residual, PTCA memiliki suatu peran yang pasti. PTCA
juga memiliki nilai dalam penatalaksanaan aritmia yang dihubungkan dengan
iskemia persisten. Sekalipun analisa dari beberapa uji telah mengidentifikasi
patensi pembuluh -pembuluh darah sebagai suatu petanda bagi hasil jangka
panjang yang baik, belum jelas peran PTCA lanjut untuk sasaran utama
mengembalikan kepatenan oleh kejadian yang l ain.
Pembedahan pintas arteri koroner dapat diindikasikan bila gejala tidak
terkontrol dengan cara -cara yang ada atau angiografi koroner menunjukkan
lesi, stenosis pembuluh koroner utama kiri atau penyakit tiga pembuluh darah
dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, dimana pembedahan dapat
memperbaiki prognosis (Hopper, 1989; Maynard, 1993).

Penilaian Resiko, Program Rehabilitasi, dan Preventif Sekunder

Penilaian resiko
Penilaian

resiko

sebelum

memulangkan

penderita

memiliki

tujuan

memperkirakan progno sis, dengan cara pengamatan lebih lanjut apa yang
dibutuhkan, dan membantu dalam mengatur strategi terapetik individu mana
yang terbaik bagi pasien yang telah melampaui masa akut tersebut. Penilaian

ini tergantung pada data klinis, termasuk usia, faktor re siko yang ada
sebelumnya, infark sebelumnya, diabetes, keadaan hemodinamik, aritmia
selama fase akut, dan pengamatan dan penginderaan status ( imaging)
fungsional (Monica, 1994).
Penggolongan resiko klinis dapat digunakan untuk membagi pasien ke
dalam kategori resiko tinggi, sedang, dan rendah, penggolongan resiko klinis
ini penting.
Pasien-pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan gagal jantung
persisten, fungsi ventrikel kiri yang rusak berat, atau penampakan awal dari
angina saat istirahat atau aritmia rekuren, dan mereka yang tidak mampu
melakukan uji exercise sebelum keluar RS. Pasien -pasien semacam itu
cenderung berusia lebih tua, memiliki faktor resiko banyak, dan telah
mengalami infark sebelumnya. Fungsi ventrikel kiri harus dievaluasi dengan
echokardiografi

dan/atau

scintigrafi.

Angiografi

koroner

memberikan

informasi prognostik yang independen dan bermakna sebagai petunjuk untuk


penanganan lebih lanjut seperti halnya revaskularisasi.
Pasien yang secara klinis berisiko sedang mungkin berusia lebih d ari
55 tahun, pernah mengalami gagal jantung sementara, pernah mengalami
infark sebelumnya atau memiliki faktor resiko seperti halnya hipertensi atau
diabetes. Pasien -pasien ini harus dinilai disfungsi ventrikel kiri dan iskemia
residualnya. Iskemia residu al dapat dinilai dengan ECG exercise, scanning
perfursi miokard atau stress echokardiografi, tergantung pada ketersediaan
peralatan. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang rusak dan/atau iskemia
yang dapat diinduksi harus dipertimbangkan untu k angiografi.
Pasien resiko rendah berusia lebih muda (kurang dari 55 tahun), tidak
memiliki infark sebelumnya dan memiliki perjalanan klinis yang bebas
keluhan. ECG exercise merupakan pemeriksaan pertama yang paling berguna
pada kelompok ini. Ini dapat berupa tes subma ksimal sebelum pemulangan
atau tes yang dibatasi gejala pada treadmill atau cycle ergometer pada 3-8
minggu pascainfark atau keduanya. Keragaman yang mencerminkan iskemia
miokard residual yang diinduksi olahraga tampaknya tidak berhubungan erat
dengan kematian.
Pasien yang gagal mencapai beban kerja pada pengujian olahraga, atau
mengalami

angina

atau

menunjukkan

tanda

iskemik

pada

EKG,

atau

mengalami sesak nafas berat harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan lebih


lanjut. Secara jelas, keakuratan prediktif negatif bagi pasien yang dapat
menyelesaikan tahap III dari protokol standar Bruce atau ekuivalennya tanpa
nyeri dada atau perubahan iskemia pada ECG adalah tinggi.

Sebagai

tambahan, efek dari semangat pasien adalah positif, dan informasi tersebut
membantu dalam merencanakan rehabilitasi. Tidak terdapat keharusan untuk
menghentikan pengobatan sebelum pengujian olahraga.

Penilaian Iskemia
Pasien-pasien yang gagal mencapai beban kerja yang diharapkan pada
pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunj ukkan tanda iskemik
pada ECG saat beban kerja sedang harus dipertimbangkan untuk evaluasi
lebih lanjut untuk mengkuantifikasi jumlah miokard yang rusak, demikian
pula

dengan

derajat

miokard

yang

berpotensi

baik.

Pilihan

antara

echokardiografi stress dan scanning perfusi radio -isotop tergantung pada


pengalaman dari tiap sentra dan sumberdaya yang tersedia. Bagi dokter yang
berkompeten,

kedua

teknik -teknik

ini

lebih

sensitif

dan

spesifik

dibandingkan ECG exercise.

Evaluasi dari Fungsi Pompa


Evaluasi dari ke rusakan miokard melalui ekhokardiografi atau ventrikulografi
radionuklida berguna untuk menilai pasien tanpa bukti gagal jantung,
khususnya jika dikerjakan pada kondisi stress, meskipun fungsi ventrikel kiri
mungkin cukup baik pada kasus -kasus resiko rendah.

Evaluasi Resiko Aritmia


Monitoring Holter dan kajian elektrofisiologis dalam menilai pasien yang
dianggap bersiko tinggi mendapat aritmia. Variabilitas denyut jantung,
dispersi QT, sensitivitas barorefleks, semua memiliki nilai prognostik setelah
infark miokard, namun pengalaman klinis dibutuhkan untuk menentukan
apakah perlu tambahan tes -tes prognostik yang lebih konvensional.
Juga penting untuk mengukur petanda -petanda resiko metabolik seperti
halnya total kolesterol, LDL dan HDL, trigliserida dan glu kosa darah puasa
pada semua pasien.

Indikasi untuk Angiografi Koroner


Angiografi koroner sebaiknya dilakukan pada awal periode post infark
(Maynard, 1993) jika ada :

Angina yang tidak berkurang terhadap pengobatan farmakologis

Angina atau bukti adanya iskemia pada saat istirahat

Angina yang diinduksi oleh latihan atau iskemia miokard pada saat kerja
ringan, atau pada monitoring Holter ketika tidak ada peningkatan denyut
jantung.

Angiografi harus dipertimbangkan bila ada :


Angina atau bukti yang obyekti f iskemia miokard

yang dapat dirangsang

(dengan tanda-tanda yang digambarkan diatas)


Angina post infark yang berkurang terhadap terapi farmakologi
Disfungsi ventrikel kiri yang berat
Aritmia ventrikel yang kompleks lebih dari 48 jam setelah gejala.

Pada kasus yang dipilih, khususnya pada individu yang muda, angiografi
koroner

dapat

dipertimbangkan

untuk

pasien

tanpa

komplikasi

untuk

mengevaluasi keberhasilan reperfusi, untuk mengidentifikasi mereka dengan


penyakit arteri koroner yang luas, dan untuk memud ahkan mereka yang
pulang dari rumah sakit untuk cepat dan kembali bekerja.

Rehabilitasi
Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan pasien ke kehidupan seperti
semula,

dan

harus

sosioekonominya.

dipertimbangkan

Prosesnya

harus

faktor

dimulai

fisik,

sesegera

psikologis,
mungkin

dan

setelah

penatalaksanaan di rumah sakit, dan diteruskan pada minggu dan bulan -bulan
berikutnya.

Rehabilitasi

secara

detail

tidak

dibahas

di

sini,

karena

pertimbangan panjang lebar dan metodenya terdapat dalam laporan Working


Group on Rehabilitation of the European Societ y of Cardiology.

Aspek Psikologis dan Sosioekonomi

Kecemasan selalu muncul, baik pada pasien dan rekan kerjanya, sehingga
keyakinan diri dan penjelasan mengenai penyakit adalah sangat penting dan
harus ditangani sec ara hati -hati. Juga harus dikonfirmasikan mengenai sering
terjadinya depresi dan iritasi setelah pulang. Juga disadari bahwa penolakan
sering terjadi : hal ini merupakan perlindungan pada fase akut, dan diagnosis
selanjutnya menjadi lebih sulit. Diskusi te ntang bisa kembali kerja dan
aktivitas lainnya harus dilakukan setelah kepulangan dari rumah sakit.

Nasehat tentang gaya hidup


Penyebab yang mungkin dari penyakit jantung koroner harus didiskusikan
dengan pasien dan rekannya selama perawatan di rumah saki t, dan nasehat
secara individu mengenai diet yang sehat, pengontrolan berat badan, merokok
dan olahraga harus diberikan.

Aktivitas Fisik
Semua pasien harus diberi nasehat, dengan mengamati aktivitas fisik
berdasarkan hasil pemulihan mereka dari serangan j antung, umurnya, kadar
aktivitas mereka sebelum serangan, dan keterbatasan fisik mereka. Penilaian
tersebut sangat dibantu dengan tes sebelum kepulangan, yang tidak hanya
merupakan

informasi

klinis

yang

sangat

berharga

tetapi

juga

dapat

meyakinkan kembali pasien yang terlalu cemas (Amstrong, 1972).

6. Preventif Sekunder

Merokok
Walau belum ada penelitian secara acak yang dilakukan, bukti meyakinkan
bahwa bagi mereka yang menghentikan kebiasaan merokok mempunyai
mortalitas separuh lebih sedikit dibanding dengan mereka yang tidak
berhenti. Hal ini merupakan pencegahan sekunder yang potensial : usaha
keras harus dilakukan untuk penghentian merokok. Kebanyakan pasien tidak
merokok selama serangan akut dan periode laten ini merupakan kesempatan
bagi tenaga kesehatan profesional untuk membantu pasien menghentikan
kebiasaan tersebut. Mer okok biasanya dilakukan kembali setelah pulang ke
rumah sehingga dukungan dan nasehat selama rehabilitasi diperlukan. Studi

secara acak menunjukkan keefektifan dari program yang diarahkan untuk


perawat : protokol untuk penghentian merokok harus diadopsi ol eh setiap
rumah sakit (Monica, 1994).

Suplemen Makanan dan Diet


Terdapat bukti yang kecil mengenai keefektifan terapi diet pada pasien post
infark, tetapi pengurangan berat badan harus dianjurkan bagi mereka yang
berat badannya berlebihan. Semua pasien ha rus dianjurkan untuk diet
makanan yang mengandung lemak dengan saturasi rendah dan banyak makan
buah dan sayuran. Satu penelitian menyebutkan bahwa mengkonsumsi lemak
ikan 2 kali seminggu menurunkan resiko reinfark dan kematian. Peranan
antioksidan dalam p encegahan penyakit koroner belum dibakukan.

Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan


Dari analisa yang dilakukan The Trialists Colaboration dilaporkan sekitar
25% penurunan reinfark dan kematian pada pasien post infark. Pada
penelitian tersebut aspirin yang d iberikan bervariasi antara 75 -325 mg per
hari dan terdapat bukti bahwa penggunaan dosis yang lebih kecil akan efektif
dan efek sampingnya kecil.
Percobaan

yang

dilakukan

secara

luas

menggunakan

aspirin

menunjukkan bahwa antikoagulan oral efektif dalam me ncegah reinfark dan


kematian pada infark miokard. Pasien dalam percobaan ini diacak paling
tidak selama 2 minggu setelah infark. Peranan antikoagulan oral setelah
infark miokard akut kurang jelas dan hanya dievaluasi setelah pemberian
trombolitik. Pada pas ien tersebut belum ada bukti yang jelas mengenai
keuntungan antikoagulan. Kemungkinannya, pada beberapa pasien, yang
mempunyai aneurisma ventrikel kiri, yang mempunyai fibrilasi atrial, atau
secara ECG terbukti ada trombus pada ventrikel kiri, akan

mengun tungkan

bila diberikan antikoagulan oral awal, tetapi penelitian tentang ini sangat
sedikit. Kombinasi

antara antikoagulan dan antiplatelet

miokard akut memberikan hasil


1986).

setelah infark

sementara ini cukup memuaskan (GISSI,

Beta Blocker
Beberapa uji dan meta-analisis menunjukkan bahwa obat -obat penghambat adrenoseptor mengurangi kematian dan reinfark 20 -25% pada mereka yang
sembuh dari infark miokard akut. Uji positif telah dilakukan dengan
propranolol, metaprolol, timolol, dan acebutolol, namun kajian dengan blocker lainnya, meskipun tidak bermakna, mempunyai efek yang sama
baiknya. Sekitar 25% penderita memiliki kontraindikasi terhadap -blocker
karena gagal jantung yang tak terkontrol, penyakit pernafasan, atau kondisi kondisi lain. Dari sis anya, mungkin separuh dapat didefinisikan sebagai
resiko rendah dimana penghambat hanya memberi suatu keuntungan
marginal, dengan berpikir efek samping minor namun terkadang menyulitkan.
Masih terdapat opini yang berbeda, apakah -blocker harus diberikan kepada
semua

orang

yang

indikasi,

atau

apakah

-blocker

seharusnya

hanya

diberikan kepada mereka dengan resiko sedang yang memiliki banyak


keuntungan (BBPP, 1988).

Kalsium Antagonis
Uji dengan verapamil dan diltiazem telah memberi kesan bahwa keduanya
dapat

mencegah

reinfark

dan

kematian,

namun

harus

hati -hati,

perlu

dipikirkan keberadaan fungsi ventrikel yang menurun. Kalsium antagonis


mungkin tepat bila -blocker merupakan kontra in dikasi (terutama pada
penyakit obstruksi jalan nafas).
Uji

dengan

dihidropiridin

gagal

menunjukkan

keuntungan

untuk

memperbaiki prognosis setelah reinfark miokard; oleh karenanya, hanya


diberikan bagi indikasi -indikasi klinis yang jelas, dengan berpikir efek
samping yang dapat terjadi pada mereka dengan fungsi ventrikel kiri yang
rendah (Gibbons, 1993).

Nitrat
Tidak ada bukti bahwa nitrat oral atau transdermal memperbaiki prognosis
setelah infark miokard, Uji IS IS -4 dan GISS I-3 gagal menunjukkan suatu
keuntungan pada 4 -6 minggu setelah kejadian. Nitrat, tentu saja, tetap
menjadi terapi pertama hanya bagi angina pectoris.

ACE inhibitor
Beberapa uji telah membuktikan bahwa ACE inhibitor mengurangi kematian
setelah infark miokard. Dalam uji SAVE pasien dili batkan 11 hari setelah
masa akut memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% pada pencitraan nuklir, dan
jika mereka bebas dari iskemia yang manifes pada sebuah tes olahraga. Tidak
didapatkan keuntungan dalam hal penurunan mortalitas pada tahun pertama,
namun terdapat pengurangan 19% pada 3 -5 tahun berikutnya dari follow-up
(dari 24,6%). Reinfark dan gagal jantung lebih sedikit, terlihat bahkan dalam
tahun pertama.
Pada uji AIRE pasien diacak untuk ramipil dengan rata -rata 5 hari
setelah onset infark miokard d itunjukkan oleh gambaran klinis dan radiologis
dari gagal jantung. Pada rata -rata 15 bulan kemudian, kematian berkurang
dari 22,6% hingga 16,9%. Pada kajian TRACE, pasien diacak untuk
tradolapril atau placebo suatu median 4 hari setelah infark, mereka memi liki
disfungsi ventrikel kiri yang diperlihatkan oleh indeks wall motion 1,2 atau
kurang. Rata-rata follow -up 108 minggu, angka kematian 34,7% pada
kelompok perlakuan dan 42,3% pada kelompok pacebo. Mengambil ketiga
kajian tersebut bersama -sama, diindikasi kan pemberian ACE inhibitor kepada
pasien yang mengalami gagal jantung pada keadaan IMA, memiliki fraksi
ejeksi kurang dari 40% atau indeks wall motion 1,2 atau kurang, dan tidak
ada kontraindikasi (Lindsay, 1995).
Sebagaimana diskusi diatas, dapat diber ikan ACE inhibitor kepada
semua pasien dengan infark akut sejak masuk RS, dengan syarat tidak
terdapat kontra indikasi. Berlawanan terhadap kebijakan tersebut, terdapat
kenaikan insiden dari hipotensi dan gagal ginjal pada mereka yang menerima
ACE inhibitor pada tahap akut, dan sedikit keuntungan pada mereka dengan
resiko relatif rendah, seperti halnya pasien dengan infark inferior yang kecil.

Lipid-Lowering Agents
Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S) melaporkan keuntungan akan
penurunan

lemak

pascainfark dengan

pada

suatu

populasi

kolesterol serum

4.444

pasien

angina

dan/atau

5,5 6,0 mmol/l (212 308 mg/dl)

setelah pelaksanaan diet dilakukan. Pasien tidak dimasukkan ke dalam uji

sampai 6 bulan setelah infark akut, dan kelompok resiko relatif rendah
diikutkan. Angka kematian keseluruhan pada suatu median 5 -4 tahun turun
30% (dari 12 8%). Diperoleh 33 yang diselamatkan per 1.000 pasien yang
diberi perlakuan selama periode ini. Terdapat p enurunan angka kematian
akibat penyakit koroner, dibanding pembedahan pintas koroner. Pasien di atas
usia 60 tahun tampak hasilnya sama dengan pasien yang lebih muda. Wanita
diuntungkan dalam hal kejadian koroner mayor, namun pengurangan kematian
yang bermakna secara statistik belum jelas; hal ini mungkin karena jumlah
yang relatif kecil dari wanita yang direkrut.
Lipid-lowering

Agents

seharusnya

diberikan

kepada

pasien

dengan

dislipidemia, namun masih terdapat kontroversi tentang seberapa cepat penanganan harus
dimulai setelah kejadian, dan apakah kriteria untuk penanganan dapat diperluas kepada
mereka dengan kadar lipid yang lebih rendah (Sargowo, 2008).

Daftar Pustaka
Prof.DR.dr.H. Djanggan Sargowo, SpPD.,SpJP (K), FIHA, FACC, FCAPC,FESC. 2008
Fakultas Kedokteran UB. Management of Acute Corronary Syndrome

Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal Definition of
Myocardial Infarction for the Twenty-First Century. AccessMedicine from McGraw-Hill.
Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/716457 [Accessed 23 Februari 2010]

Anand, S.S., Islam, S., Rosengren, A., et al., 2008. Risk factors for myocardial infarction in
women and men: insights from the INTERHEART study, European Heart Journal. Available
from: http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/29/7/932.short [Accessed 12 April 2010]

Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450

Beers, M.H., Fletcher A.J., Jones, T.V., 2004. Merk Manual of Medical Information:
Coronary Artery Disease. 2nd ed. New York: Simon & Shcuster.

Brown, T.C., 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., ed.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC 580-587.
Cannon, C.P., Braunwald, E., 2005. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial
Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson,
J. L., eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 14441445.

Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W. B.
Saunders Company.
Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Besar Kedokteran Dorland. Edisi 1. Jakarta: EGC
Fenton,

D.E.,

2009.

Myocardial

Infarction.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/759321-overview [Accessed 23 Februari 2010]


Hanafiah, A., 1996. Angina Pektoris. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S.,
Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI 166- 167.
Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono,
P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 173-174.

Ismail, J., Jafar, T.H., Jafary, F.H., White, F., Faruqui, A.M., Chaturvedi, N., 2004. Risk
factors for non-fatal myocardial infarction in young South Asian adults. PubMed. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14966040 [Accessed 12 April 2010]

Nigam. P.K., 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of Clinical
Biochemistry. Available from: http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p10.pdf [Accessed 02
Mei 2010]

Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F.,
Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 12
Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1st
ed. USA: Oxford University Press.

Samsu, N., Sargowo, D., 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada Diagnosis
Infark Miokard Akut. Tinjauan Pustaka. Malang: Fakultas Kedokteran Brawijaya. Available
from

http://mki.idionline.org/index.php?uPage=mki.mki_viewall&smod=mki&s

p=public&id_katparent=14&id_artikel=178 [Accessed 19 Februari 2010]

Santoso, M., Setiawan, T., 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.
Available from: http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/CDK/article/view/2860 [Accessed 23
Februari 2010]

Selwyn, A.P., Braunwald E., 2005. Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S.,
Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds., Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw- Hill 1434-1435.
Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P., Erwinanto,
Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut: Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5.

Anda mungkin juga menyukai