Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini pengetahuan mengenai pemeriksaan laboratorium dan
menentukan diagnosis banding masih lah kurang dipahami oleh para mahasiswa
kesehatan (terutama mahasiswa kedokteran), padahal teknologi dan bidang ilmu
yang berhubungan dengan hal tersebut selalu berkembang dan mengalami
pembaruan. Dalam pemeriksaan laboratorium kita dapat menganalisis darah,
cairan sendi, dan lain-lain dan untuk menegagkan diagnosisi pastilah diperlukan
beberapa pemeriksaaan lanjut seperti pemeriksaan laboratorium untuk analisis
darah dan cairan sendi.
Oleh sebab itu pengetahuan mengenai pemeriksaan laboratorium
khususnya analissi darah dan cairan sendi serta cara menentukan diagnosis
banding sangatlah diperlukan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemeriksaan Darah Lengkap?
2. Bagaimana Pemeriksaan cairan Sendi Lengkap?
C. Tujuan
Untuk menambah pengetahuan mengenai pemeriksaan laboratorium
darah dan cairan sendi serta cara menentukan diagnosis banding.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu


jenis pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau
untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu
juga pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi
pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi.
Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan,
yaitu
1. Hemoglobin
2. Hematokrit
3. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
4. Trombosit (platelet)
5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
6. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
7. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
8. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
9. Platelet Disribution Width (PDW)
10.Red Cell Distribution Width (RDW)
Pemeriksaan Darah Lengkap biasanya disarankan kepada setiap pasien
yang datang ke suatu Rumah Sakit yang disertai dengan suatu gejala klinis, dan
jika didapatkan hasil yang diluar nilai normal biasanya dilakukan pemeriksaan
lanjutan yang lebih spesifik terhadap gangguan tersebut, sehingga diagnosa dan
terapi yang tepat bisa segera dilakukan. Lamanya waktu yang dibutuhkan suatu
laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ini berkisar maksimal 2 jam.
1. Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang
berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan
tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru.
Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat darah
berwarna merah.
Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin
seseorang kita harus memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini berbedabeda di tiap laboratorium klinik, yaitu :
Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl
Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl

Anak anak : 11-13 gram/dl


Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl

Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah


anemia. Ada banyak penyebab anemia diantaranya yang paling sering
adalah perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum tulang, pengobatan
kemoterapi dan penyakit sistemik (kanker, lupus,dll).
Sedangkan kadar hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai pada orang yang
tinggal di daerah dataran tinggi dan perokok. Beberapa penyakit seperti
radang paru paru, tumor, preeklampsi, hemokonsentrasi, dll.
2. Hematokrit
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan banyaknya jumlah
sel darah merah dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam persent (%).
Nilai normal hematokrit untuk pria berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk
wanita berkisar 36,1% - 44,3%.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa kadar hemoglobin berbanding lurus
dengan kadar hematokrit, sehingga peningkatan dan penurunan hematokrit
terjadi pada penyakit-penyakit yang sama.
3. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam
memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses
metabolik toksin, dll.
Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi
virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa
ditemukan pada penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis,
perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal, dll
4. Trombosit (platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi
membantu dalam proses pembekuan darah dan menjaga integritas vaskuler.
Beberapa kelainan dalam morfologi trombosit antara lain giant platelet
(trombosit besar) dan platelet clumping (trombosit bergerombol).
Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/ul
darah.
Trombosit yang tinggi disebut trombositosis dan sebagian orang biasanya
tidak ada keluhan. Trombosit yang rendah disebut trombositopenia, ini bisa
ditemukan pada kasus demam berdarah (DBD), Idiopatik Trombositopenia
Purpura (ITP), supresi sumsum tulang, dll.
5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)

Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang


paling banyak, dan berfungsi sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari
paru-paru untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan membawa kardondioksida
dari seluruh tubuh ke paru-paru.Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,7
juta - 6,1 juta sel/ul darah, sedangkan pada wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta
sel/ul darah.Eritrosit yang tinggi bisa ditemukan pada kasus
hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru obstruksif kronik), gagal jantung
kongestif, perokok, preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah bisa
ditemukan pada anemia, leukemia, hipertiroid, penyakit sistemik seperti
kanker dan lupus, dll
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) Biasanya digunakan untuk
membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi di mana ada
terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya dipakai antara
lain :
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER),
yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter
(fl)
MCV = Hematokrit x 10
Eritrosit
Nilai normal = 82-92 fl
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit RataRata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan
pikogram (pg)
MCH = Hemoglobin x 10
Eritrosit
Nilai normal = 27-31 pg
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi
Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang
didapt per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat
adalah gr/dl)
MCHC = Hemoglobin x 100
Hematokrit
Nilai normal = 32-37 %
6. Laju Endap Darah
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah
kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan
satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai
meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan
jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi
stress fisiologis (misalnya kehamilan).
International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH)
merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen dalam
pemeriksaan LED, hal ini dikarenakan panjang pipet Westergreen bisa dua
kali panjang pipet Wintrobe sehingga hasil LED yang sangat tinggi masih
terdeteksi.

Nilai normal LED pada metode Westergreen : Laki-laki : 0 15 mm/jam


Perempuan : 0 20 mm/jam

7. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)

Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai


jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki
fungsi yang khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil,
limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit memberikan
informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit. Hitung
jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel.
Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai
relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total dan hasilnya dinyatakan dalam sel/l.
Nilai normal : Eosinofil 1-3%, Netrofil 55-70%, Limfosit 20-40%, Monosit 28% Platelet Disribution Width (PDW) PDW merupakan koefisien variasi
ukuran trombosit. Kadar PDW tinggi dapat ditemukan pada sickle cell disease
dan trombositosis, sedangkan kadar PDW yang rendah dapat menunjukan
trombosit yang mempunyai ukuran yang kecil.
Red Cell Distribution Width (RDW)RDW merupakan koefisien variasi dari
volume eritrosit. RDW yang tinggi dapat mengindikasikan ukuran eritrosit yang
heterogen, dan biasanya ditemukan pada anemia defisiensi besi, defisiensi asam
folat dan defisiensi vitamin B12, sedangkan jika didapat hasil RDW yang
rendah dapat menunjukan eritrosit yang mempunyai ukuran variasi yang kecil.

B. Pemeriksaan Cairan Sendi Lengkap


Pemeriksaan ini dikenal dengan nama formal yaitu: analisis cairan sinovial,
tetapi mempunyai nama lain berupa analisis cairan sendi.1 Pemeriksaan cairan sendi
dilakukan untuk membantu mendiagnosis penyebab peradangan, nyeri, dan
pembengkakan pada sendi. Cairan sendi diambil menggunakan jarum yang ditusuk
ke dalam cairan itu berada (area diantara tulang pada sendi tersebut).1 Cairan
sinovial menjadi pelumas dalam sendi. Cairan sinovial akan memberikan nutrisi bagi
tulang rawan sehingga tidak dapat aus selama penggunaan (gesekan dalam
pergerakan sendi).2

Analisis cairan sendi terdiri dari serangkaian uji yang dilakukan untuk
mendeteksi perubahan yang terjadi akibat dari penyakit tertentu. Ada beberapa
karakteristik cairan sinovial yang patut dikaji antara lain:
1. Karakteristik fisik: evaluasi dari penampilan secara umum dari cairan sinovial,
meliputi kekentalan (viskositas). Karakteristik fisik yang normal berupa: cairan
bening, berwarna jernih hingga kekuningan, dan kental (viskositas tinggi akibat
kandungan asam hialuronat, ketika mengambilnya dengan jarum membentuk
string beberapa inchi layaknya cairan kental pada umumnya). Perubahan yang
terkait pada aspek fisik ini yaitu: cairan keputihan (berawan) disebabkan oleh
hadirnya mikroorganisme dan sel darah putih) dan berwarna kemerahan akibat
hadirnya sel darah merah. Antara cairan sinovial berawan dan kemerahan dapat
terjadi dalam satu spesimen.
2. Karakteristik kimia: mendeteksi perubahan zat kimia tertentu pada cairan
sinovial, meliputi: glukosa (level glukosa di dalam cairan ini lebih rendah
daripada level glukosa darah dan dapat menurun lebih signifikan lagi pada
inflamasi dan infeksi sendi, protein (kandungan protein meningkat akibat
peradangan infeksi), asam urat yang meningkat (pada Gout).
3. Karakteristik mikroskopik: menghitung sel-sel yang terdapat pada cairan
sinovial (terutama untuk menghitung leukosit) meliputi: hitung leukosit (batas
normal yaitu <200 sel / mm3, leukosit yang berlebihan menandakan adanya
inflamasi seperti pada Gout dan rheumatoid artritis, neutrofilia menandakan
infeksi bakteri, dan eosinifilia menandakan penyakit Lyme), dan melewati cairan
sinovial ke sinar polarisasi untuk melihat adanya kristal asam urat (kristal jarum)
pada penyakit Gout.
4. Karakteristik infeksius: menemukan agen infeksius (bakteri atau jamur) dalam
cairan sinovial meliputi: pewarnaan gram (untuk melihat tipe agen infeksius),
pembiakan, uji kerentanan terhadap antibiotik (sebagai panduan dalam memilih
antibiotik), dan uji BTA jika dikhatirkan adanya mikrobakterium.
Analisis cairan sendi dilakukan jika menemukan sesuatu yang mencurigakan
di daerah persendian, berupa1: (1) nyeri di daerah persendian, (2) eritema meliputi
daerah persendian dan sekitarnya, (3) inflamasi di daerah persendian, dan (4)
akumulasi cairan sinovial.
Prosedur dalam pengambilan cairan sinovial dikenal
dengan arthrocentesis1,2. Setelah dianastesi lokal, dokter akan melakukan
penyuntikan hinga masuk ke tempat cairan sinovial berada (area diantara tulang).
Selain untuk mengambil spesimen cairan sinovial, prosedur ini dilakukan juga
dalam:
Pengambilan cairan sinovial berlebihan untuk mengurangi tekanan yang berlebihan.
Injeksi kortikosteroid ke dalam cairan sinovial yang mengalami inflamasi.

Selain hal yang telah dibahas sebelumnya, ada uji bekuan musin terhadap
cairan sinovial2. Cairan sinovial ditambahkan dengan asam asetat. Asam asetat akan
bereaksi dengan asam hialuronat untuk membentuk presipitasi. Dalam cairan
sinovial normal (kadar asam hialuronat optimal) membentuk endapan sementara
pada inflamasi sendi dimana asam hialuronat dipecah oleh enzim lisosom sehingga
menghasilkan endapan yang tidak begitu memuaskan. Selain itu, kejernihan pada
cairan sinovial akan menghilang akibat munculnya zat/sel dalam peradangan.

Beberapa perbandingan cairan sinovial terhadap keadaan penyakit tertentu2:


Normal

Degeneratif

SLE

Gout

Atritis
reumatoid

Sindrom
Reiter

Warna dan
kejernihan

jernih
kekuningan

jernih
kekuningan

jernih
kekuningan

berawan dan
kekuningan

berawan dan
kekuningan

buram

berawan

Bekuan
musin

baik

baik

sedang
sampai baik

buruk

buruk

buruk

buruk

Hitung
leukosit
(rata-rata)

200

1000

5000

10000-20000

15000-20000

20000

5000075000

Artritis infeksius , cairan sendi berawan, endapan musin buruk, leukosit 50000-75000/mm3.

C. Diagnosis Banding (diferensial)

1. Konsep diagnosis diferensial


Diagnose sebagian besar penyakit umumnya dapat ditentukan melalui tanda
dan gejala klinis yang ada. Namun perlu dicermati bahwa tanda dan gejala demikian
tidak selalu spesifik untuk satu penyakit, tetapi dapat terjadi karena berbagai proses
penyakit. Oleh karena itu analisis akurat dan kritis mengenai berbagai facta klinis
seperti lokasi, distribusi, tes khusus atau tanda dan gejala yang menyertainya sangat
diperlukan dalam rangka menentukan diagnosis kerja atau diagnosis diferensialnya.
Tidak tertutup kemungkinan diantara berbagai kelainan yang ada mempunyai
etiologi atau faktor pre desposisi yang sating tumpang tindih.
Manifestasi klinis kelainan tersebut spesifik atau dengan kata lain tidak ada
penyakit yang menghasilkan kondisi serupa. Diagnosis penyakit atau kelainan
nondental sering tidak mudah ditetapkan karena manifestasi klinis dan penyebabnya
bervariasi. Da-lam hal demikian maka perlu cara pendekatan agar dapat
mengakomodasi berbagai faktor yang kemungkinan menjadi penyebab. Oleh karena
itu untuk kasus nondental selalu dilakukan pendekatan melalui diagnosis diferential
atau diagnosis banding.
Diagnosis diferensial adalah menentukan diagnosis suatu penyakit dengan
cara membandingkan dua atau lebih penyakit yang mempunyai beberapa tanda dan
gejala yang sama. Pada dasarnya kegiatan demikian telah dimulai sejak permulaan
anamnesis dan akan dilaksanakan terus setama melakukan pemeriksaan fisik.
Bahkan diagnosis diferensial demikian akan memberikan arch untuk dilakukannya
tes atau pemeriksaan khusus. Secara konseptual dan prosedural diagnosis diferensial
dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
Tahap 1: Klasifikasi abnormalitas
Tahap 2: Menentukan ciri-ciri klinis sekunder
Tahap 3: Membuat daftar berbagai kondisi penyebab manifestasi primer.
Tahap 4: Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai penyebab
Tahap 5: Menyusun beberapa kemungkinan penyebab
Tahap 6: Menentukan diagnosis kerja / diagnosis difinitif

2. Menentukan ciri-ciri sekunder


Untuk lebih memahami abnormalitas yang dicurigai, maka berdasarkan
klasifikasi manifestasi primer suatu abnormalitas tersebut di atas ditentukan
secara obyektif ciri-ciri kfinis sekunder yang dapat memberikan bukti tambahan
mengenai sifat dasar dari proses penyakit. Ciri klinis sekunder demikian sangat
diperlukan dalam diagnosis diferensial antara penyakit-penyakit yang diketahui
dapat menyebabkan manifestasi primer. Klinisi pemula sering terpancing untuk
segera membuat diagnosis berdasarkan satu atau dua ciri-ciri obyektif tanpa
melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dari suatu lesi. Perlu diperhatikan
bahwa cara demikian sering menimbulkan kekeliruan diagnostik, yang lebih
lanjut akan menimbulkan kecenderungan terjadinya salah interprestasi terhadap
ciri klinis sekunder lainnya. Klinisi yang berpengalaman umumnya tidak akan
mengeluarkan pendapat tentang diagnosis suatu lesi sampai dapat
dikumpulkannya sebanyak mungkin informasi diagnostik untuk lesi tersebut.
Perlu diperhatikan apakah abnormalitas tersebut berdiri sendiri (bersifat
fokal) atau disertai dengan abnormalitas sama di tempat lain yang menunjukkan
adanya proses multifokal. Batas lesi dengan jaringan sekitarnya harus diperiksa
dengan seksama untuk menentukan bentuk dan ciri-ciri tepi abnormalitas teratur

11

atau tidak. Penampakan klinis abnormalitas apakah bersifat homogen atau


heterogen haws diperhatikan. Dengan palpasi diharapakan dapat diketahui
konsisitensi jaringan yang terlibat dan ada tidaknya respon nyeri. Disamping
tanda-tanda klinis lesi tersebut faktor penunjang yang lain seperti umur, jenis
kelamin, ras dan riwayat medik dapat memberikan informasi dasar untuk
diagnosis diferensial.

3. Membuat daftar berbagai kondisi yang dapat menyebabkan


manifestasi primer
Pada tahapan ini perlu dipikirkan mengenai berbagai kondisi yang
diketahui dapat menyebabkan manifestasi primer. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya bahwa diagnosis diferensial yang akurat suatu abnormalitas
nondental perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan penyebab. Untuk itu
maka dibuat daftar mengenai kondisikondisi yang dapat menyebabkan
menifestasi primer. Bagi klinisi pemula sering hanya memperhatikan kondisikondisi yang mudah diingat dan dapat menimbulkan satu tanda spesifik dari suatu
lesi. Ada kecenderungan mereka hanya memperhatikan beberapa kondisi yang
umum dan mengiterprestasikan beberapa temuan klinis untuk di cocokkan
dengan salah satu penyakit. Cara demikian merupakan metode diagnostik yang
keliru.
Diagnosis diferensial akan mendekati suatu diagnosis yang benar jika
ciri-ciri khas dari berbagai kemungkinan penyakit dibandingkan dengan
abnormalitas yang ada pada pasien. Untuk itu pemaharpan dan interprestasi tanda
dan gejala klinis serta patofisiologi penyakit sangat diperlukan.

4. Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai


penyebab
Setelah dibuat daftar mengenai ciri-ciri diagnostik suatu lesi dan
kemungkinan penyebab manifestasi primernya, berbagai ciri klinis sekunder dan
informasi klinik tambahan yang lain dibandingkan untuk mengesampingkan
penyebab yang tidak mungkin. Pada tahapan ini dilakukan penilaian mengenai
kesesuaian antara berbagai kemungkinan diagnosis dengan temuan klinis yang
ada pada pasien. Bila terdapat temuan yang kontradiktif antara temuan klinis pada
pasien dengan ciri-ciri diagnostik suatu penyakit, maka kemungkinan diagnose
penyakit tersebut dapat dikesampingkan.
Untuk kebanyakan kasus strategi diagnosis diferensial yang efisien
didasarkan pada beberapa ciri diagnostik yang mudah diinterprestasikan dan
secara konsisiten dapat dipercaya untuk mengesampingkan kondisi-kondisi
tertentu. Dengan melakukan klasifikasi abnormalitas ke dalam kelompok lesi
seperti di atas akan memberi kemu dahan untuk menentukan berbagai ciri klinis
sekunder yang sesuai atau paling dapat dipercaya. Sasaran utama pada tahapan ini
ialah mengurangi sebanyak mungkin berbagai penyebab yang harus
dipertimbangkan, sehingga kasus-kasus yang serupa akan lebih mudah
diperhatikan.

5. Menyusun beberapa kemungkinan penyebab


Setelah berbagai kondisi yang tidak mungkin sebagai diagnosis yang
potensial dikesampingkan maka langkah berikutnya ialah membuat daftar urutan
penyakitpenyakit yang dapat menjelaskan terjadinya abnormalitas, tanda dan
gejala klinis yang menyertainya. Urutan kemungkinan sebagai diagnosis
didasarkan pada besarnya frekuensi kejadian dari masing-masing penyebab dan

12

banyaknya kesesuaian antara tanda-tanda klinis skunder dengan ciri-ciri khas dari
masing-masing kemungkinan diagnosis. Dalam berbagai situasi hal demikian
relatif subyektif, sehingga penilaian terhadap berbagai tampilan klinis antara
klinisi yang satu dapat berbeda dengan yang lain. Kecenderungan demikian dan
sifat biologik proses penyakit yang kadang sulit diprediksi serta pengaruhnya
terhadap tahapan perjalanan suatu penyakit tertentu pada individu harus selalu
dipertimbangkan. Dalam membandingkan ciri-ciri lesi pada pasien dengan ciriciri khusus dari suatu kemungkinan diagnosis tidak jarang diperoleh kesan bahwa
diagnosis yang kemungkinannya besar belum tentu menunjukkan yang benar atau
sebaliknya yang kelihatannya sepele atau tidak begitu menonjol tetapi
mempunyai kemungkinan / peluang kebenaran yang besar.

6. Menentukan diagnosis kerja


Kondisi yang paling mungkin menjadi penyebab dari lesi yang ada pada
pasien dipandang sebagai diagnosis kerja atau diagnosis sementara. Diagnosis
kerja dan diagno-sis yang paling kecil kemungkinannya akan memberikan dasar
pemikiran untuk dilaku-kannya prosedure diagnostik tambahan seperti biopsi,
atau tes laboratorium dan untuk menentukan management klinis awal dari kondisi
tersebut. Hasil tes dan pemeriksaan penunjang disgnostik tambahan ini biasanya
dapat dipakai untuk membedakan secara efektif diagnosis yang tepat dari
beberapa kemungkinan penyebab sehingga diagnosis akhir atau diagnosis
definitif dapat ditegakkan. Jika tidak ada test pembeda atau jika di-perlukan
perawatan yang segera, maka dapat diberikan perawatanan dengan assumsi
bahwa diagnosis kerja adalah benar.
Kontrol atau pemeriksaan ulang merupakan aspek klinis lain yang harus
dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial. Perkembangan kondisi abnormal
selama periode waktu tertentu balk dengan perawatan atau tanpa perawatan
khusus merupa kan salah satu sumber informasi penting untuk konfirmasi
diagnostik. Suatu perjalanan klinis yang tidak terduga dari abnormalitas sering
mengungkap adanya kesalahan diag nostik atau diagnosis difinitif yang tidak
benar. Disisi lain lesi-lesi dengan diagnosis yang benar mungkin kambuh dan
memerlukan perawatan tambahan. Untuk kedua alasan tersebut maka kontrol
pasien dan pemeriksaan ulang merupakan unsur yang esensial dalam proses
diagnosis diferensial.

7. Klasifikasi abnormalitas berdasarkan lokasi dan manifestasi primer


Setelah menjumpai suatu abnormalitas, klinisi harus segera menentukan
dua keputusan awal yaitu: (1) menentukan apakah abnormalitas tersebut
merupakan variasi normal atau sebagai tanda-tanda aktual adanya penyakit, dan
(2) kalau abnormalitas tersebut merupakan bukti aktual adanya penyakit maka
klasifikasi atau kelompok lesi yang mana paling cocok untuk mengungkap
diagnosis diferensial abnormalitas tersebut.
Untuk menentukan kedua keputusan tersebut khususnya bagi klinisi yang
belum berpengalaman sering mendapat kesulitan. Namun perlu diperhatikan
bahwa kesalahan pada salah satu dari keputusan tersebut akan memberikan
konsekuensi bahwa diagnosis diferensial akan berjalan pada jalur yang salah, dan
biasanya penilaian yang dilakukan terhadap abnormalitas sering keliru. Tahapan
awal klasifikasi abnormalitas di mukosa mulut dapat di lihat pada gambar di
halaman berikutnya.

13

Pengelompokkan abnormalitas berdasarkan jaringan yang terlibat dan


manifesatsi primernya seperti terlihat pada bagan berikut dimaksudkan agar
klinisi lebih mudah untuk memfokuskan pada kondisi-kondisi yang kemungkinan
menjadi penyebab. Dan sisi yang lain dengan cara demikian beberapa penyakit
yang menyebabkan manifestasi primer berbeda dapat dikeluarkan dari
pertimbangan awal diagnosis diferensial.

14

BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter
pemeriksaan, yaitu
1. Hemoglobin
2. Hematokrit
3. Leukosit (White Blood Cell / WBC)
4. Trombosit (platelet)
5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
6. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
7. Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
8. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
9. Platelet Disribution Width (PDW)
10.Red Cell Distribution Width (RDW)

Beberapa perbandingan cairan sinovial (sendi) terhadap keadaan penyakit tertentu2:

Diagnosis Banding ditentukan melalui beberapa tahap berikut ini:


Tahap 1: Klasifikasi abnormalitas
Tahap 2: Menentukan ciri-ciri klinis sekunder
Tahap 3: Membuat daftar berbagai kondisi penyebab manifestasi primer.
Tahap 4: Mengesampingkan beberapa kondisi yang tidak mungkin sebagai penyebab
Tahap 5: Menyusun beberapa kemungkinan penyebab
Tahap 6: Menentukan diagnosis kerja / diagnosis difinitif

B. Kritik dan Saran


Demikian tugas ini penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada
penulis.

15

Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan


memakluminya, karena penulis hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan
lupa.
Terimakasih

16

DAFTAR PUSTAKA
Mulyanto, Kris Cahyo. Pemeriksaan Darah Lengkap. Available at:
http://www.itd.unair.ac.id/files/pdf/protocol1/PEMERIKSAAN%20DARAH%20
LENGKAP.pdf
Lab test online.org [homepage on the Internet]. New York: American Association of
Clinical Chemistry, Inc.; 2001-11 [updated 2011 Apr 29]. Available
from: www.labtestsonline.org.
Price, Sylvia A. (2002). Pathophysiology: clinical concepts of diseases processes.
6th ed.Elsevier Science: Mosby.
JR Swagerty, Daniel L. Hellinger, Deborah. Radiographic assessment of osteoartritis.
American family physician [serial on the Internet]. Available
from: www.aafp.org/afp.
Anonim. Diagnosis Diferensial. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Available from:
http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/50021/22239c79ec43dc81f3a01886
0fce8101

17

Anda mungkin juga menyukai