Anda di halaman 1dari 5

BAB VI

PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan pada 7 Maret 2012 7 Mei 2012 mengenai
hubungan abses dengan demam di Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo dengan
tujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara abses dengan demam.
Bentuk penelitian yang dilakukan berupa pengukuran suhu oral pasien yang telah
di diagnosis abses oleh dokter. Abses merupakan salah satu infeksi odontogenik
yang paling umum dan paling sering kita jumpai pada manusia yang bisa
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya virulensi atau resistensi, pertahanan
seluler atau keradangan dan pertahanan humoral. Infeksi bisa juga terjadi apabila
keseimbangan mikroflora yang berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya,
apabila mukosa mulut dan pulpa gigi terpenetrasi dan apabila sistem kekebalan
dan pertahanan selular terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut.
Selain itu, dari referensi lain menyebutkan bahwa Infeksi bisa bersifat akut
atau kronis dan bersifat subyektif. Suatu kondisi akut biasanya disertai dengan
pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan manifestasi sistemik yaitu
malaise dan demam yang berkepanjangan. Bentuk kronis bisa berkembang dari
penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang
kuat. Infeksi-infeksi kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam
berbagai tingkatan dan bukannya rasa sakit, serta reaksi ringan dari jaringan
sekitarnya.

44

Adapun gejala yang ditimbulkan dari infeksi yaitu berupa gejala lokal dan
sistemik. Gejala lokal seperti rubor, kalor, tumor, dolor, dan perubahan fungsi.
Adapun gejala sistemiknya seperti demam, malaise, hipotensi, takhikardi,
takhipnea, limpadenopati, dan perubahan laju endap darah.1
Pada tabel 5.1 mengenai distribusi karakteristik sampel penelitian dalam hal
ini tingkat kejadian abses, dalam tabel terlihat pasien yang abses dengan frekuensi
kejadian sebanyak 46,6% (41 orang) dan sampel yang tidak abses sebanyak
53,4% (47 orang). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ternyata tingkat kesdaran
dari masyarakat sudah terjadi peningkatan mengenai kesehatan gigi dan mulut.
Hal ini juga memperlihatan penurunan pada tingkat kejadian abses yang terjadi
pada tahun 2011 dirumah sakit Wahidin Sudirohusodo yaitu sebanyak 60
kejadian. Artinya terjadi penurunan yang cukup signifikan apabila dibandingkan
dengan tingkat kejadian abses pada tahun 2012.
Pada penelitian ini kriteria sampel dibagi menjadi empat kriteria yang
terlihat pada tabel 5.2 yaitu pasien abses disertai demam, pasien abses yang tidak
demam, pasien tidak abses tapi demam dan pasien yang tidak abses yang tidak
demam. Hal ini peneliti lakukan sebagai kontrol atau pembanding dalam
penelitian ini. Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel sebanyak 88 orang,
yang terdiri dari 41 laki-laki (46,6%) dan 47 perempuan (53,4%). Hasil ini
memperlihatkan bahwa jumlah sampel perempuan yang lebih banyak dari lakilaki. Hal ini memang sesuai bila melihat hasil penelitian badan pusat statistik yang
menyatakan bahwa komposisi penduduk perempuan lebih banyak daripada lakilaki. Namun, hal ini juga bisa hanya suatu ketidaksengajaan, mungkin pada saat

45

peneliti melakukan penelitian pada saat itu pasien perempuan yang datang lebih
banyak daripada pasien laki-laki.
Hasil penelitian yang terlihat pada tabel 5.3 mengenai usia pada penelitian
ini didapatkan rata-rata usia yang datang dengan keluhan abses berkisar 32-40
tahun. Untuk kasus abses odontogenik peneliti belum menemukan teori atau
pendapat yang menyebutkan pada usia berapa seseorang rentan terkena abses
odontogenik. Namun, abses odontogenik bisa saja di alami oleh semua umur yang
muda maupun yang tua, tidak ada yang mengkhususkan di umur berapa seseorang
dapat terkena abses odontogenik, karena tergantung dari bagaimana seseorang
dapat menjaga kebersihan gigi dan mulutnya. Rata-rata usia yang peneliti
dapatkan dari hasil penelitian, itu mungkin disebabkan pada saat peneliti
melakukan penelitian jumlah sampel yang ada berusia rata-rata 30-40 tahun.
Hasil penelitian pada tabel 5.3 juga memperlihatkan mengenai suhu ratarata pasien abses yaitu sekitar 37,49oC. Penelitian ini menemukan bahwa ternyata
tidak semua pasien yang datang dengan keluhan abses pasti disertai demam. Hal
ini menunjukkan ketidaksesuaian sebagaimana teori dalam buku oral surgery yang
dipaparkan oleh pederson menyatakan bahwa gejala sistemik yang utama dari
infeksi/keradangan adalah demam.

Demam merupakan suatu keadaan tubuh

diatas normal yaitu diatas 37,2o C (tetapi ada referensi lain yang menyebutkan
diatas 37,5 o C) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus
yang dipengaruhi oleh interleukin, dimana demam sebagai penanda adanya suatu
proses peradangan atau inflamasi.

46

Pada tabel 5.4 memperlihatkan distribusi gigi yang terdiagnosis abses


dalam penelitian ini. Terlihat pada tabel, gigi yang paling sering terkena abses
adalah gigi 36 dan gigi 38 dengan frekuensi kejadian sebanyak lima kali (5.7%).
Sesuai dengan teori dalam jurnal yang berjudul Annals and Essences of Dentistry
bahwa Infeksi odontogenik adalah salah satu infeksi yang paling umum dari
rongga mulut. Dapat disebabkan oleh karies gigi. Dalam semua kasus infeksi
tersebut berasal dari mikroba mulut. Tergantung pada jenis, jumlah dan virulensi
dari mikroorganisme yang dapat menyebar ke jaringan lunak, keras dan
sekitarnya. Hal ini juga dapat dikaitkan bahwa gigi 36 adalah gigi permanen yang
paling awal erupsi yaitu pada umur 6-7 tahun, menggantikan gigi decidui
sehingga akibat untuk terjadinya karies sangat mudah dan cepat. Sebagaimana
yang diketahui bahwa abses odontogenik dapat terjadi akibat kerusakan gigi salah
satu diantaranya karies. Karies merupakan proses demineralisasi email (tahap
awal) yang disebabkan oleh bakteri streptococcus mutans (cricetus, rattus, ferus,
sobrinus) yang merupakan bakteri utama yang dapat menyebabkan penyakit
dalam rongga mulut. Terjadinya karies sampai tahap akhir dan akhirnya
menyebabkan

gigi

nekrosis

merupakan

permulaan

terbentuknya

abses

odontogenik, dimana tanda klinis dari abses odontogenik terlihat adanya pus
(nanah) yang terlokalisir disekitar gigi yang nekrose tersebut. Sedangkan untuk
gigi 38 yang merupakan gigi paling akhir pertumbuhannya didalam rongga mulut
dan sering terjadi abnormal pada proses tumbunya akibat kurangnya ruang yang
tersedia didalam rongga mulut. Erupsinya gigi 38 sering menimbulkan masalah
salah satu diantaranya food impaksi, yang akan mengakibatkan mudahnya terjadi

47

retensi makanan pada gigi tersebut, sulit untuk dilakukan pembersihan dan sulit
dijangkau oleh sikat gigi, sehingga mudah untuk terjadinya karies, jika karies ini
berlanjut tanpa ada penanganan yang cepat maka bakteri penyebab karies tersebut
akan menyebar kesekitar apeks akar sehingga abses odontogenikpun dapat terjadi.
Pada tabel 5.5 setelah dilakukan uji chi-square, didapatkan p>0,05
(p=0737), artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian abses
odontogenik dengan demam. Walaupun secara teori yang dikemukakan oleh
pederson didalam buku oral surgery, ada hubungan antara abses odontogenik
dengan demam. Bila melihat dasar hubungan ini, mungkin disebabkan pada saat
peneliti melakukan pengukuran suhu pada pasien yang datang dengan keluhan
abses terdapat beberapa faktor perancu yang dapat membuat hasil pengukuran
menjadi bias atau tidak akurat salah satu diantaranya. Hal ini mungkin yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian yang dilakukan.

48

Anda mungkin juga menyukai