Anda di halaman 1dari 4

Login Register

Home
Palangka Raya
Hukum&Kriminal
Opini
Nasional
Internasional
Pilar Demokrasi
Pendidikan
Spirit
o Spirit Kalteng
o Spirit Kalsel
o Spirit Borneo
Buah Bibir

Home
Home
/
Opini
/
Penetapan WPR Jadi Solusi Penanggulangan PETI ?

Penetapan WPR Jadi


Solusi Penanggulangan
PETI ?
Category: Opini
09-01-2013 00:01:35
Ditulis oleh : Harian Umum Tabengan
Hits: 52

Oleh ARIANDO)**
Pertambangan secara riil telah merubah wilayah terpencil menjadi wilayah yang komplek,
dengan dinamikanya telah memberikan dampak dalam pembangunan infrastruktur,
penerimaan negara, dan penyediaan lapangan kerja, tetapi kegiatan ini juga menyisakan
beberapa permasalahan.
Pertambangan mineral dan batubara dapat menjadi penggerak pembangunan, namun kegiatan
sektor pertambangan mineral dan batubara harus memiliki legalitas yang mengarah pada
keadilan dan ketertiban, dengan demikian memiliki pengaruh positif terhadap ekonomi,
sosial, dan lingkungan hidup, sehingga potensi pertambangan dapat menjadi kekuatan dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung.
Seperti saat ini, daerah cukup lama merasakan dana royalty yang dibagi dengan komposisi 16
persen untuk provinsi, 32 persen untuk daerah penghasil dan 32 persen dibagi untuk daerah
kabupaten/kota non penghasil dan 20 persen untuk pemerintah pusat. Persentase ini akan
menjadi acuan dalam pembagian terhadap pendapatan negara yang diatur dalam UndangUndang Minerba sebesar 10 persen dari keuntungan bersih yang wajib dibayar perusahaan.
Dari 10 persen pendapatan negara tersebut akan dibagi sebesar 4 persen untuk pemerintah
dan 6 persen untuk pemerintah daerah, dan dari 6 persen ini akan dibagi dengan komposisi 1
persen untuk provinsi, 2,5 persen untuk daerah penghasil, dan 2,5 persen akan dibagi untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi. Yang menjadi pertanyaan terhadap pembagian ini
adalah sudah adilkah negara hanya mendapat 10 persen dari keuntungan tersebut, dan sudah
pantaskah pemerintah (pusat) mendapatkan hampir 50 persen dari sharingnya terhadap
pemerintah daerah.
Kegiatan pertambangan selain memiliki peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, pertambangan mineral dan batubara juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan,
keamanan, dan keselamatan di daerah pertambangan.
Dalam rangka memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berada pada sekitar wilayah
pertambangan mineral dan batubara, baik orang perseorangan, kelompok masyarakat,
maupun koperasi untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, ditetapkan Wilayah
Pertambangan Rakyat. Kajian terhadap hal ini didasarkan pada peraturan perundangundangan yang terkait dengan Pertambangan Minerba yaitu UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Minerala dan Batubara, PP Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan, PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan.
Pertambangan Rakyat
Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR). Pengaturan WPR lebih sederhana jika dibanding dengan pengaturan tentang Wilayah
Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Penetapan WPR
didasarkan pada perencanaan dengan melakukan sinkronisasi data dan informasi melalui
sistem informasi Wilayah Pertambangan.
WPR ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota,
namun sebelumnya terhadap rencana WPR harus diumumkan secara terbuka kepada
masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui secara lengkap peta situasi yang
menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat, dan dilengkapi daftar
pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.

Kegiatan pertambangan di WPR dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan izin yaitu Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) yang diberikan oleh bupati/walikota berdasarkan permohonan,
dan kewenangan ini dapat dilimpahkan kepada camat. IPR diberikan dengan memenuhi
syarat administrasi, teknis, dan finansial setelah ditetapkan WPR. Jadi untuk dapat
dikatakan Pertambangan Rakyat harus ada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah
Pertambangan Rakyat dan penambang telah memiliki izin.
IPR diberikan terutama kepada penduduk setempat, yaitu perseorangan dengan luas
maksimal 1 hektar, kelompok masyarakat maksimal 5 hektar, dan/atau koperasi maksimal 10
hektar, dan tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Dari
ketentuan ini dapat dicermati bahwa IPR dapat saja diberikan kepada bukan penduduk
setempat (dalam hal ini sering menjadi bibit konflik di antara masyarakat).
Dilema Pemerintah Daerah
Dalam menetapkan WPR dalam PP Nomor 22 Tahun 2010 ditentukan kriteria, diantaranya
adalah: (a) mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal
25 meter, (b) luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 hektare, (c) merupakan
wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan minimal 15 tahun, (d)
tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN, (e) merupakan kawasan peruntukan
pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.
Ketentuan tentang kriteria WPR dalam PP Nomor 22 Tahun 2010 ini bersifat komulatif.
Dari kriteria WPR di atas jika dikaji, pertama, untuk huruf (b) apabila WPR maksimal
wilayahnya 25 hektar, dan tiap orang mendapat wilayah 1 hektar, maka untuk 1 WPR hanya
terdapat 25 orang penambang, atau kalau kelompok masyarakat, dan tiap kelompok mendapat
5 hektar, maka akan ada maksimal 5 kelompok penambang, atau kalau koperasi, dan tiap
koperasi mendapat 10 hektar, maka akan ada maksimal 2 sampai 3 koperasi penambang.
Dari sini dapat diperkirakan bahwa penambang yang dapat memiliki IPR di wilayah WPR
sangat terbatas, artinya serapan tenaga kerja dari pertambangan rakyat tidak banyak, apalagi
sumber daya ini adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kegiatan ini hanya bersifat temporer atau tidak dapat diharapkan
berlangsung terus.
Kemudian untuk kriteria huruf (c) yaitu bahwa kegiatan pertambangan tersebut telah
berlangsung minimal 15 tahun, artinya di sini untuk menentukan daerah suatu wilayah
menjadi WPR di Kota Palangka Raya sangat sulit, karena ketentuan batas minimal aktivitas
pertembangan tersebut cukup lama.
Yang tidak kalah pentingnya bahwa ketentuan tentang kriteria penentuan WPR bersifat
komulatif (dengan menggunakan kata dan), ini berarti bahwa untuk menentukan suatu
wilayah menjadi WPR harus memenuhi syarat-syarat tersebut secara keseluruhan (apakah
aktivitas pertambangan di Kecamatan Rakumpit sudah berlangsung selama 15 tahun ?).
Terkait dengan permasalahan terakhir yaitu tentang ketentuan yang bersifat komulatif,
ternyata bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009,
yang mengatur bahwa ketentuan kriteria tersebut bersifat komulatif alternatif, artinya PP ini
tidak sinkron dengan UU, secara hukum ini bertentangan dengan prinsip lex superior
derogat legi imferiori, sehingga hal ini menjadi beban Pemerintah Daerah untuk melakukan
judicial review, jika tidak akan menjadi beban dan ganjalan dalam menentukan kebijakan
yang terkait dengan pertambangan rakyat. Di samping itu juga bahwa ketentuan tentang
kriteria WPR dalam PP ini lebih banyak daripada yang ada dalam UU, artinya PP telah

menambah ketentuan terhadap keharusan yang telah ditetapkan dalam UU, dan hal ini
menyalahi teori perundang-undangan.
Permasalahan selanjutnya yaitu, bahwa keinginan pemerintah daerah untuk mengatur
kebijakan pertambangan rakyat adalah dengan harapan akan terwujud keadilan, ketertiban,
dan kemanfaatan bagi penambang, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat
karena pendapatan bertambah. Tapi di samping itu juga tanggung jawab pemerintah daerah
tidaklah ringan, terutama bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Tanggung jawab tersebut diantaranya adalah, bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, dan pasca tambang
(Pasal 69, 70, dan 73 UU Nomor 4 Tahun 2009).
Di samping itu juga pemerintah daerah harus melakukan pembinaan dan pengawasan di
bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen,
juga memberikan bantuan modal, sebab ini adalah hak dari penambang yang diatur dalam
undang-undang.
Akhirnya pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara memiliki kedudukan yang sama
dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, sehingga harus dikelola secara berkelanjutan
dan bijaksana untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian agar dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
**(PNS DISTAMBEN Kota Palangka Raya.
Copyright 2012 Harian Umum Tabengan

Anda mungkin juga menyukai