Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Diabetes mellitus
a. Pengertian
Diabetes Mellitus (diabetes) adalah suatu kondisi terganggunya
metabolisme didalam tubuh karena ketidakmampuan tubuh membuat
atau menyuplai hormon insulin sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar gula darah melebihi normal (Desriani, 2003).

b. Klasifikasi Diabetes Melitus


Berdasarkan Perkeni (2006) diabetes, diklasifikasikan menjadi:
1) Diabetes Mellitus Tipe-1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut, yangdisebabkan oleh: autoimun dan idiopatik
2) Diabetes Mellitus Tipe-2
Penderita diabetes mellitus tipe-2 memiliki satu atau lebih
keabnormalan di bawah ini, antara lain:
a)

Defisiensi insulin relatif: insulinyang disekresi oleh sel-


pankreas untuk memetabolisme tidak mencukupi (Kumar et al,
2005).

b) Resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif (Perkeni,


2006).

10

11

3) Diabetes Mellitus Tipe Lain


Diabetes tipe ini dapat disebabkan karena beberapa hal,
antara lain : defek genetic fungsi sel beta, defek genetic
kerja insulin penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan
sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes
a) Diabetes Mellitus Kehamilan
Diabetes mellitus kehamilan atau sering disebut dengan
istilah Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah suatu
gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui
pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung. Faktor
risiko diabetes tipe ini antara lain obesitas, adanya riwayat
DMG, gukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes,
abortus berulang, adanya riwayat melahirkan bayi dengan berat
> 4 kg, dan adanya riwayat preeklamsia. Penilaian adanya risiko
diabetes melitus gestasional perlu dilakukan sejak kunjungan
pertama untuk pemeriksaan kehamilannya.

c. Etiologi
Diabetes

adalah

suatu

penyakit

yang

disebabkan

karena

peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan


hormon insulin absolut ataupun relatif.

12

1) Diabetes melitus tipe 1


Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Penderita tipe ini mewarisi kerentanan
genetik

yang merupakan

predisposisi

untuk

kerusakan

autoimum sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh


aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan
terhadap insulin itu sendiri (Misnadiarly,2006).
2) Diabetes melitus tipe 2
Pada diabetes melitus tipe

2, jumlah

insulin

normal

tetapi

jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang


kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan
glukosa dalam darah menjadi meningkat. (Misnadiarly,2006).
3) Diabetes mellitus Tipe Spesifik Lain
Etiologi bagi diabetes tipe ini merupakan defek spesifik pada
sekresi atau fungsi insulin, kelainan metabolik yang menyebabkan
gangguan sekresi insulin, kelainan mitokondria, dan keadaankeadaan yang lainnya yang menyebabkan IGT (Powers, 2005).

d. Patofisiologi
1) Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu: resistesni insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor

13

tersebut, terjadi suatu rangkain reaksi dalam metabolisme glukosa


dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan
(Smeltzer & Bare, 2002 ). Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin
yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe 2
(Smeltzer & Bare, 2002 ).
2) Pada diabetes melitus tipe1, dikenal 2 bentuk dengan patofisiologi
yang berbeda
a) Tipe 1A, diduga pengruh genetik dan lingkungan memegang
peran utama untuk terjadinya kerusakan pancreas. HLA-DR4
ditemukan mempunyai hubungan yang sangat erat.
b) Tipe1B berhubungan dengan keadaan autoimun primer pada
sekelompok penderita yang juga sering menunjukan manifestasi
autoimun lainnya, seperti Hasbimoto disease, pernisious anemia,
dan myasthenia gravis. keadaan ini berhubungan dengan antigen

14

HLA-DR3 dan muncul pada usia sekitar 30-50 tahun. Pada


diabetes tipe 1 cenderung terjadi ketoasidosis diabetic.

e. Kriteria diagnosis diabetes melitus


Kriteria diagnosis menurut American Diabetes Association (2008)
1) Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L).Puasa
diartikan pasien tidak mendapatkan asupan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam.
2)

Tampak gejala klasik diabetes melitus dan kadar glukosa darah


sewaktu 200mg/dL (11,1 mmol/L). Gejala klasik diabetes
mellitus termasuk poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan. Glukosa sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir.

3)

Kadar glukosa darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral 200
mg/dL(11,1mmol/L).Tes Toleransi Glukosa Oral dilakukan dengan
standar World Health Organization, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gramglukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal
atau diabetesmelitus, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok Toleransi GlukosaTerganggu (TGT) atau Glukosa

15

Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantungdari hasil yang


diperoleh:
a) TGT: glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
b) GDPT: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9
mmol/L).

f.

Faktor resiko diabetes


Pemeriksaan penyaring atau skrining dilakukan pada kelompok
dengan faktor risiko diabetes mellitus seperti usia 45 tahun, obesitas
(Indeks

Massa

Tubuh

>

23

kg/m), riwayat

keluarga

diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan > 4000
gram (4kg), atauriwayat diabetes gestasional, hipertensi ( 140/90
mmHg), kolesterol (HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250
mg/dL), riwayat

penyakit

jantung, orang sebelumnya

dinyatakan sebagai TDT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT


(Glukosa Darah Puasa Terganggu).

g.

Komplikasi Diabetes Mellitus


Diabetes

mellitus

merupakan

penyakit

kronis

yang

membutuhkan pengobatan yang terkontrol. Tanpa didukung oleh


pengelolaan yang tepat, diabetes dapat menyebabkan beberapa
komplikasi (IDF, 2007). Komplikasi yang disebabkandapat berupa:

16

1) Komplikasi Akut
a) Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia
terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,
gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2006).
b) Ketoasidosis diabetik
Keadaan ini berhubungan dengan defisiensi insulin, jumlah
insulin yangterbatas dalam tubuh menyebabkan glukosa tidak
dapat digunakan sebagaisumber energi, sehingga tubuh
melakukan penyeimbangan dengan;. memetabolisme lemak.
Hasil dari metabolisme ini adalah asam lemak bebasdan
senyawa keton. Akumulasi keton dalam tubuh inilah yang
menyebabkanterjadinya asidosis atau ketoasidosis (Gale,
2004).Gejala klinisnya dapat berupa kesadaran menurun, nafas
cepat dan dalam(kussmaul) serta tanda-tanda dehidrasi. Selain
itu, sesorang dikatakanmengalami ketoasidosis diabetik jika
hasil pemeriksaan laboratoriumnya:
1) Hiperglikemia (glukosa darah >250 mg/dL)
2) Na serum <140 meq/L
3) Asidosis metabolik (pH <7,3; bikarbonat <15 meq/L)
4) Ketosis (ketonemia dan atau ketonuria

17

c) Hiperosmolar non ketotik


Riwayat penyakitnya sama dengan ketoasidosis diabetik,
biasanya berusia > 40 tahun. Terdapat hiperglikemia disertai
osmolaritas darah yang tinggi >320.
2) Komplikasi Kronis (Menahun)
a) Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah
tepi, pembuluh darah otak
b) Mikroangiopati: pembuluh

darah

kapiler

retina

mata

(retinopati diabetik) dan Pembuluh darah kapiler ginjal


(nefropati diabetik)
c) Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di
mana serat-serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera
atau penyakit
d) Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi,
contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi
kulit dan infeksi kaki. dan disfungsi ereksi.

h. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes adalah menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah sebagai upaya untuk mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik
pada setiap tipe diabetes melitus adalah mencapai kadar glukosa darah

18

normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola


aktivitas pasien (Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan diabetes melitus dalam jangka pendek
bertujuan untuk menghilangkan keluhan/gejala diabetes melitus,
sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah
komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan
kadar glukosa, lipid, dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya
tujuan tersebut, kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan
pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri (Mansjoer
dkk, 2007).
Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes
melitus yaitu diet, latihan, pemantauan, terapi (jika diperlukan), dan
pendidikan. Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes
melitus akan bervariasi mengikuti kemajuan dalam metode terapi yang
dihasilkan dari riset, perubahan pada gaya hidup, keadaan fisik, dan
mental daripenderita diabetes melitus sendiri. Para diabetisi diharapkan
dapat mengontrol kadar glukosa darahnya secara rutin agar dapat
dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin (Smeltzer & Bare,
2002).

19

Tabel 2.1 Kriteria Pengendalian diabetes melitus


Kriteria
Baik
Sedang
Buruk
Gukosa darah plasma vena
(mg/dl)
-puasa
80-100 100-125
>126
-2 jam PP
80-144 145-179
>180
Hb A1c (%)
<6,5
6,5-8
>8
Kolesterol total (mg/dl)
<200
200-239
>240
Kolesterol LDL
-tanpa PJK
<130
130-159
>160
Kriteria
Baik
Sedang
Buruk
-dengan PJK
<100
100-129
130
Kolesterol HDL (mg/dl)
>45
35-45
<35
Trigliserida (mg/dl)
-tanpa PJK
<200
200-249
>250
-dengan PJK
<150
150-199
>200
IMT/BMI
-perempuan
18,5-23,9 23-25
>25 atau <18,5
-laki-laki
20-24,9 25-27
>27 atau<20
Tekanan darah (mmHg)
<130/80 130-139/80-89 140/90
Sumber: Konsensus Pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia,
PERKENI 2006.

2. Glukosa darah
a. Pengertian
Glukosa darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang
terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen
di hati dan otot rangka. ( Joyce LeeFever, 2007 ).

b. Macam-macam pemeriksaan glukosa darah


1) Glukosa darah sewaktu
Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang
hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan
kondisi tubuh orang tersebut.( Depkes RI, 1999).

20

2) Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan


Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan
glukosa yang dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam,
sedangkan pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah
pemeriksaan

yang dilakukan

jam

dihitung

setelah

pasien

menyelesaikan makan ( Depkes RI, 1999 ).

c. Nilai Normal Glukosa Dalam Darah


Nilai normal glukosa dalam darah dapat dihitung dengan berbagai
cara dan kriteria yang berbeda. Berikut ini tabel penggolongan kadar
glukosa dalam darah dengan metode enzimatik.
Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dengan metode enzimatik
Kriteria
Bukan DM
Belum pasti DM DM
Kadar
glukosa <110 mg/dl
110-199 mg/dl

200
plasma vena
mg/dl
Kadar
glukosa < 90 mg/dl
darah kapiler
Sumber: Dalimartha, 2007.

90-199 mg/dl

200
mg/dl

Tabel 2.3 Kriteria DM berdasarkan nilai diagnostik kadar glukosa


darah secara enzimatik setelah beban glukosa 75
Kriteria
Plasma vena
Darah kapiler
Diabetes Mellitus
-Puasa
126 mg/dl
100 mg/dl
-2 jam PP
200 mg/dl
200 mg/dl
Toleransi glukosa terganggu
-puasa
110-125 mg/dl
90-109 mg/dl
-2 jam PP
140-199 mg/dl
140-199 mg/dl
Sumber: Dalimartha, 2007.

21

d. Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah dari
rentang kadar glukosa normal. Penyebab utama yang paling umum
diketahui adalah defisiensi insulin dan faktor herediter. Penyebab lain
yaitu akibat pengangkatan pankreas, kerusakan kimiawi sel pulau
langerhans. Faktor imunologi pada penderita hiperglikemia khususnya
diabetes terdapat bukti adanya respon autoimun. Respon ini merupakan
respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap sebagai
jaringan asing (Smeltzer & Bare, 2002; Ganong, 2005).
Hipeglikemia memiliki faktor risiko utama dan faktor risiko
tambahan. Faktor risiko utama terdiri dari sekresi insulin, penurunan
utilisasi glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Faktor risiko
tambahan yaitu stress (emosional), tidak cukup berolah raga, makan
makanan berlebihan dan makan makanan yang salah, infeksi, penyakit,
trauma, dan obat-obatan yang menyebabkan hiperglikemia (Smeltzer &
Bare, 2002; Ganong, 2005).

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah


1) Diet
Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti usia, penyakit lain, makanan, latihan fisik, obat hipoglikemia
oral, insulin, emosi dan stress. Makanan atau diet merupakan faktor

22

utama yang berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah


pada pasien diabetes terutama setelah makan (Holt, 2010). Respon
peningkatan kadar glukosa darah setelah makan berhubungan dengan
sifat

monosakarida

yang

diserap,

jumlah

karbohidrat yang

dikonsumsi, tingkat penyerapan dan fermentasi kolon (Wolever,


2003).
2) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang kurang juga dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah. Aktivitas fisik merupakan gerakan
yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka yang memerlukan energi
melebihi pengeluaran energi selama istirahat. Latihan merupakan
bagian dari aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur dengan
gerakan secara berulang untuk meningkatkan atau mempertahankan
kebugaran fisik (Sigal, 2004). Selama melakukan latihan otot menjadi
lebih

aktif

dan

terjadi

peningkatan

permiabilitas

membran

serta adanya peningkatan aliran darah akibatnya membran kapiler


lebih banyak yang terbuka dan lebih banyak reseptor insulin yang
aktif dan terjadi pergeseran penggunaan energi oleh otot yang berasal
dari sumber asam lemak ke penggunaan glukosa dan glikogen otot.
Aktivitas fisik meningkatkan transport glukosa melalui Glucose
Transporter-4 (GLUT-4) kedalam membran sel yang memungkinkan
terajadinya

mekanisme peningkatan

AMP

otot.

AMP

kinase

menyebabkan perubahan metabolisme termasuk metabolisme glukosa

23

sehingga dengan meningkatnya intensitas dan durasi latihan akan


lebih banyak menggunakan pemecahan karbohidrat (Sigal, 2004).
Pada fase pemulihan setelah aktivitas terjadi proses pengisian
kembali cadangan glikogen otot dan hepar yang berlangsung sampai
12-72 jam sesuai dengan berat dan ringannya latihan yang dilakukan
(Soegondo, Soewondo, Subekti 2009).
3) Penggunaan obat
Kadar glukosa darah juga dapat dipengaruhi oleh penggunaan
obat hipoglikemia oral maupun dengan insulin. Mekanisme kerja obat
dalam menurunkan

kadar

glukosa

darah

antara

lain

dengan

merangsang kelenjar pankreas untuk meningkatkan produksi insulin,


menurunkan produksi glukosa dalam hepar, menghambat pencernaan
karbohidrat

sehingga

dapat

mengurangi absorpsi

glukosa

dan

merangsang receptor. Insulin yang diberikan lebih dini dan lebih


agresif

menunjukkan

hasil

klinis

yang

lebih

baik

terutama

berkaitan dengan masalah glukotoksisitas yang ditunjukan dengan


adanya

perbaikan fungsi

sel

beta

pankreas

(Sudoyo,

Setiyohadi, Alwi,Simadibrata & Setiati 2007).


4) Stress
Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena
stress menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin,
ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan
timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan

24

melepaskan sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa


menit (Guyton and Hall, 2007). Hal ini yang menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah pada saat stress atau tegang. Penyakit
ini hanya dapat dikendalikan saja tanpa bisa diobati dan komplikasi
yang ditimbulkan juga sangat besar seperti penyakit jantung, stroke,
disfungsi ereksi, gagal ginjal dan kerusakan sistem syaraf (Dhania,
2009).
3. Tidur
a. Pengertian
Tidur adalah kondisi tidak sadar di mana persepsi reaksi individu
terhadap lingkungan menurun atau hilang dan dapat di bangukan kembali
dengan stimulus dan sensori yang cukup (Guyton 1986).

b. Tahapan tidur
Tahapan tidur menurut Tarwoto & Wartonah, (2006) sebagai berikut :
1) Non REM
Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut :
NonREM Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya,
berlangsung beberapa menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan
metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi. NonREM
Tahap II tubuh mulai relaksasi otot, berlangsung 10 20 menit, fungsi
tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan dengan mudah.
NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit di

25

bangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun,


berlangsung 15 30 menit. NonREM Tahap IV sudah terdapat tidur
nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus
otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat.
2) REM
Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan
terbuka, kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan tidak
teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan darah
meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme
meningkat, temperatur tubuh naik, siklus tidur sulit di bangunkan.

c. Fungsi Tidur
Menurut

Kozier

(2004),

tidur

menggunakan

kedua

efek

psikologis pada jaringan otak dan organ-organ tubuh manusia. Tidur


dalam beberapa cara dapat menyegarkan kembali aktivitas tingkatan
normal dan aktivitas normal pada bagian jaringan otak. Menurut
(2001),

istirahat

dan

tidur

yang

Dewit

cukup sangat penting bagi

kesehatan dan pemulihan dari kondisi sakit. Potter (2005) berpendapat


bahwa, selama tidur NREM bermanfaat dalam memelihara fungsi
jantung dan selama tidur gelombang rendah yang dalam (NREM
tahap IV) tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk
memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak.
Selain itu, tubuh menyimpan energi selama tidur dan penurunan

26

laju metabolik basal menyimpan persediaan energi tubuh. Selama tidur


semua fungsi-fungsi tubuh terisi diperbaharui lagi. Istirahat tidak hanya
mencakup tidur, tetapi juga bersantai, perubahan aktifitas, menghilangkan
mental atau masalah-masalah lainnya (Dian, 2006).
Menurut Aman (2005), tidur memang sangat penting bagi
tubuh manusia untuk jaringan otak dan fungsi organ-organ tubuh manusia
karena dapat memulihkan tenaga dan berpengaruh terhadap metabolisme
tubuh. Selain itu juga bisa merangsang daya asimilasi karena tidur terlalu
lama justru bisa menimbulkan hal yang tidak sehat dikarenakan tubuh
menyerap atau mengasimilasi sisa metabolisme yang berakibat tubuh
menjadi loyo dan tidak bersemangat saat bangun tidur. Sehingga
berfungsi

untuk

mengembalikan

tenaga

untuk beraktifitas

tidur
sehari-

hari, memperbaiki kondisi yang sedang sakit, tubuh menyimpan


energi

selama

tidur

dan

penurunan

laju

metabolik

basal

menyimpan persediaan energi tubuh.

d.

Pola Tidur Normal


Tidur dengan pola yang teratur lebih penting jika dibandingkan
dengan jumlah jam tidur itu sendiri. Pada beberapa orang, mereka merasa
cukup dengan tidur selama 5 jam saja pada tiap malamnya (Kozier, 2004).
Secara umum, durasi atau waktu lama tidur mengikuti pola sesuai dengan
tahap tumbuh kembang manusia.

27

1) Bayi
Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14 18 jam sehari,
pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit, 50% tidur NREM dan terbagi
dalam

7 periode. Dan pada bayi

tidur selama

12 14 jam

sehari, sekitar 20 30 % tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari
dan punya pola terbangun sebentar (Asmadi, 2008).
2) Toddler
Kebutuhan tidur pada toddler menurun menjadi 10 12 jam sehari.
Sekitar 20 30 % tidurnya adalah tidur REM, banyak. Tidur siang
dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering terbangun pada malam
hari yang menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari
(Asmadi, 2008).
3) Preschool
Pada usia prescool biasanya memerlukan waktu tidur 11 12 jam
semalam. Kebanyakan pada usia ini tidak menyukai waktu tidur. Bisa
jadi anak usia 4 5 mengalami kurang istirahat tidur dan mudah sakit
jika kebutuhan tidurnya tidak terpenuhi. Sekitar 20 % tidurnya adalah
tidur REM (Asmadi, 2008).
4) Anak usia sekolah
Anak usia sekolah tidur antara 8 12 jam semalam tanpa tidur siang.
Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap
malam. Tidur REM pada anak usia ini berkurang sekitar 20 %
(Asmadi, 2008).

28

5) Adolesen
Kebanyakan remaja memerlukan waktu tidur sekitar 8 10 jam tiap
malamnya untuk mencegah terjadinya kelemahan dan kerentaan
terhadap infeksi. Tidur pada usia ini 20 % adalah tidur REM. Pada
remaja

laki-laki

megalami Nocturnal

Emission (orgasme

dan

mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang biasanya kita
kenal dengan istilah mimpi basah (Potter, 2005).
6) Dewasa muda
Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif dan membutuhkan waktu
tidur antara 7 8 jam dalam semalam. Kurang lebih 20 % tidur
mereka adalah tidur REM. Dewasa muda yang sehat membutuhkan
cukup

tidur

untuk

berpartisipasi

dalam

kesibukan

aktifitas

karena jarang sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008).


7) Dewasa tengah
Pada masa ini mungkin akan mengalami Insomnia atau sulit tidur,
mungkin disebabkan oleh perubahan atau sters usia menegah. Mereka
biasanya tidur selama 6 8 jam semalam (Asmadi, 2008).
8) Dewasa akhir.
Pada dewasa akhir kebutuhan akan tidurnya kurang dari 6 jam
semalamnya. Periode tidur REM cenderung memendek sekitar 20 25
% dan tidur tahap IV mengalami penurunan (Asmadi, 2008). Menurut
Aman (2005), untuk itu diperlukan sebuah pola tidur yang sehat.

29

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur


Menurut (Alimul, 2006). Kualitas dan kuantitas tidur
dipengaruhi beberapa faktor. Kualitas tersebut dapat menunjukan
adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah
istirahat sesuai dengan kebutuhanya.di antaranya faktor faktor yang
mempengaruhi tidur antara lain adalah:
1) Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang.
Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya :
penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan
memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan.
Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur,
bahkan tidak bisa tidur (Widodo, 2009).
2) Latihan dan Kelelahan
Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan
lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah
dikeluarkan karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek
(Widodo, 2009).
3) Sres dan psikologi
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat
ketegangan jiwa yang memiliki masalah psikologis mengalami
kegelisahan sehingga sulit untuk tidur (Harry, 2009).

30

4) Obat
Obat dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat
yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat
diuretic menyebabkan seseorang menjadi isomnia, anti depresan
dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan syaraf simpatis
yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker
dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan golongan narkotik
dapat menekan REM (Ria&Lina, 2005).

f. Kualitas tidur
Kualitas tidur merupakan gambaran secara subyektif yang
menjelaskan tentang kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur
serta tidak adanya gangguan yang dialami selama periode tidur yang
secara subyektif yang diukur dengan menggunakan kuesioner standar
dan pengukuran secara obyektif dengan menggunakan polygraph atau
berdasarkan observasi (Cauter, 2007).
Pengkajian tentang kualitas tidur pada pasien diabetes dapat
dilakukan dengan kuesioner the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
yang terdiri dari tujuh komponen meliputi waktu yang diperlukan
untuk dapat memulai tidur (sleep latency), lamanya waktu tidur (sleep
duration), prosentase antara waktu tidur dengan waktu yang
yang dihabiskan pasien diatas tempat tidur (sleep efficiency), gangguan
tidur yang sering dialami sewaktu malam hari (sleep disturbance),

31

kebiasaan penggunaan obat-obatan untuk membantu tidur, gangguan


yang sering dialami saat siang hari dan (subyective sleep quality)
kualitas tidur secara subyektif (Buysse, 1989).
Hasil penelitian oleh Lei Zhang et al (2009) tentang kualitas
tidur dan faktor yang mempengaruhi gangguan tidur menunjukkan
selama menjalani perawatan di rumah sakit jumlah pasien yang
memiliki kualitas tidur buruk sebesar 45.6% dan setelah menjalani
perawatan pasien yang kualitas tidurnya menurun adalah sebanyak
57.4%. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas
tidur pasien selama di rumah sakit antara lain adalah adanya
kecemasan

terkait penyakitnya,

adanya

ketidakyamanan,

sering

kencing dimalam hari dan suara gaduh dari sepatu perawat.


Gangguan tidur pada pasien Diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2
dapat berhubungan dengan tanda dan gejala klinik. Menurut Cunha,
Zanetti, & Hass (2008) gangguan tidur yang terjadi pada pasien
diabetes berhubungan dengan adanya gangguan metabolisme yang
menyebabkan

terjadinya

diuresis

osmotik

dan

dehidrasi

yang dimanifestasikan dengan gejala nokturia serta adanya gejala


stress dan kecemasan sehingga mengurangi waktu tidur.

32

g. Hubungan tidur dengan kadar glukosa


Pengaturan kadar glukosa darah dipertahankan dalam keadaan
normal melalui keseimbangan antara produksi glukosa oleh hepar dan
penggunaan

glukosa

oleh jaringan.

Selain

itu

pengaturan

keseimbangan glukosa darah juga berhubungan dengan kemampuan


sel beta kelenjar pankreas untuk mensekresi insulin serta kemampuan
insulin

untuk

menghambat

produksi

glukosa

oleh

hepar.

Penurunan toleransi glukosa dapat terjadi selama periode tidur malam


dan pada saat tidur siang. Selama tidur juga terjadi peningkatan kadar
glukosa darah dimana rentang peningkatan kadar glukosa berkisar
antara 20-30% dan maksimal terjadi pada pertengahan periode tidur
(Spiegel, Tasali, Leproult, & Cauter, 2009). Perubahan hormonal yang
terjadi terkait dengan gangguan tidur dapat disebabkan adanya
aktivitas Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dan sistem saraf
simpatis. Aktivitas HPA dan sistem saraf simpatis dapat merangsang
pengeluaran

hormon seperti

katekolamin

dan

kortisol

yang

menyebabkan gangguan toleransi glukosa dan resistensi insulin dan


berhubungan dengan diabetes tipe 2 (Taub & Redeker, 2008).
Perubahan respon tubuh yang terjadi akibat adanya gangguan tidur
adalah terjadinya peningkatan resistensi insulin sehingga sel tidak
dapat menggunakan hormon secara efisien (Smith, 2010). Tidur dapat
mempengaruhi produksi katekolamin sistem saraf simpatis. Selama
periode tidur terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Selain

33

hal tersebut tidur juga mempengaruhi produksi epinefrin dan


norepinefrin serta pengeluaran melatonin (Carlson, Campbell, Garland,
& Grossman, 2007).
Mekanisme hubungan antara gangguan tidur seperti sleep
apnea dengan metabolisme glukosa belum jelas. Gangguan tidur
seperti sleep apnea menyebabkan gangguan aliran udara pada saluran
pernafasan hal tersebut akan memicu terjadinya hipoksia dan
merangsang individu untuk bangun dari tidurnya, hal tersebut tentunya
akan mengurangi waktu normal tidur individu. Gangguan tidur dapat
menyebabkan

rangsangan

pada

sistem

saraf

simpatik,

Axis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan jaringan adiposa. Aktivasi


sistem saraf simpatik memicu pengeluaran katekolamin, kortisol,
sitokin dan substansi vasoaktif lain yang dapat menyebabkan gangguan
toleransi glukosa, resistensi insulin dan munculnya gejala diabetes
(Punjabi & Beamer (1995 dalam Colten & Altevogt, 2006).
Periode tidur terdiri dari tidur REM dan tidur NREM. Tidur
NREM ditandai adanya tidur yang dalam. Periode tidur NREM dapat
mempengaruhi metabolisme glukosa di otak, keseimbangan aktivitas
saraf simpatis dan pengeluaran hormon yang memiliki sifat counterregulatory serta juga terjadi peningkatan kadar hormon pertumbuhan
sampai aktivitas HPA axis dihambat (Spiegel, Tasali, Leproult, &
Cauter, 2009). Menurut Bergman (1989) dalam Speigel et al
(2009) akibat adanya gangguan pada periode tidur NREM selama 3

34

hari dapat menyebabkan penurunan sesitivitas insulin sekitar 25% dan


merupakan salah satu faktor resiko timbulnya diabetes.

4. Hipnoterapi
a.

Pengertian dan Manfaat


Hipnoterapi merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang
mempelajari manfaat sugesti untuk mengatasi masalah pikiran,
perasaan dan perilaku (Setiawan, 2009). Hipnosis adalah pendekatan
psikologis di mana terapis menunjukkan bahwa klien akan mengalami
perubahan dalam sensasi, pikiran persepsi, dan perilaku (Kirsch,
1995). Menurut Batbual (2010), hipnoterapi adalah salah satu jenis
hipnosis sebagai sarana penyembuhan gangguan psikologis maupun
fisik (psikomatis). Selain itu, hipnoterapi dapat juga dikatakan sebagai
suatu teknik terapi pikiran menggunakan hipnotis (Setiawan, 2009).
Menurut Gunawan (2007) hipnoterapi, sesuai dengan namanya,
adalah terapi yang menggunakan hipnosis sebagai sarana untuk
menjangkau pikiran bawah sadar klien. Karena yang diotak-atik adalah
pikiran. Manusia mempunyai dua macam pikiran yaitu pikiran sadar
dan pikiran bawah sadar. Peran dan pengaruh pikiran sadar terhadap
diri kita adalah sebesar 12%, sedangkan pikiran bawah sadar mencapai
88%. Induksi merupakan tahap sebelum memberikan sugesti untuk
meningkatkan daya relaksasi. Sugesti seseorang tampaknya menjadi

35

variabel penting dalam efektivitas hipnosis dan dalam jangka panjang


efek pengobatan (Patterson & Jensen 2003).

b.

Proses Fisiologis Hipnosis


Menurut Budi dan Ervin (2010), proses hipnosis dapat
berlansung karena adanya gap duration dalam berlangsungnya
perjalanan impuls, penalaran atas suatu impuls yang diterima dan
perjalanan respons sebagai reaksi terhadap suatu impuls serta terjadi
atau muculnya reaksi, yang diakibatkan oleh adanya kelambatan
berlangsungnya proses tersebut. Kelambatan proses tersebut yang
menyebabkan adanya gap duration dapat tejadi sebagai akibat dari:
1) Perjalanan masing-masing rangsangan yang melalui jejas serabut
saraf mengalami perbedaan kecepatan.
2) Rangsangan yang timbul memiliki perbedaan dalam kejelasan,
jenis, lokasi, dan kekuatannya.
3) Selama melawati jejas serabut saraf, rangsangan dapat mengalami
modifikasi baik pembelokan maupun penguatan bahkan blocing
atau inhibiasi (penghambatan).
4) Kelambatan alur impuls tersebut dapat menyebabkan kelambatan
loading otak di dalam memersepsikan semua impuls yang masuk,
yaitu kelambatan dalam perjalanan impuls untuk dipersepsikan
atau diolah.

36

5) Dapat pula sebagai akibat dalam kelambatan alur respons saraf


setelah dipersepsikan di dalam otak.
Saat dimana seseorang telah terfokus kepada suatu hal maka
pada saat itulah terjadi gap duration yang memungkinkan dilakukan
sugesti suatu kalimat-kalimat perintah yang disebut afirmasi
sehingga obyek akan masuk ke alam pikir bawah sadar dan akan
mengikuti apapun yang diperintahkan subyek pemberi hipnosis.
Menurut Wong (2010) pola pendekatan perilaku pikiran sadar
(conscious) sebagai kerja hemisfer dominan pada otak (otak kiri),
sedangkan perilaku bawah sadar (unconscious) identik dengan
perilaku kerja otak yang non-dominan (otak kanan). Menurut Heller
(2005) kedua belahan otak selalu melekat pada setiap proses sistem
pikiran sadar dan bawah sadar, berinteraksi, bekerja sama, serta
bersinergi secara harmonis dan bukannya bekerja secara terpisah dan
berlawanan. Dengan demikian terjadinya proses hipnosis terhadap
seorang subjek atau klien merupakan hasil interaksi fungsi verbal
dan analitis yang dilakukan oleh hemisfer otak bagian kiri dan fungsi
kreatif dan nonverbal yang dilakukan oleh hemisfer otak bagian
kanan.

37

c. Tahapan Proses Hipnoterapi


Menurut Wong & Andri (2009) dan Setiawan (2009), kondisi
hipnoterapi dapat dicapai dalam beberapa proses, yaitu tahap Pre
Induction, Induction, Deepening, Suggestion dan Termination.
1) Pre induction
Pre induction merupakan suatu proses mempersiapkan suatu
situasi dan kondisi yang bersifat kondusif antara terapis dengan
orang yang akan dihipnosis (klien). Agar proses pre induction
berlangsung dengan baik maka sebelumnya terapis harus dapat
mengenali aspek-aspek psikologis dari klien, antara lain hal yang
diminati, hal yang tidak diminati, apa yang diketahui klien
terhadap proses hipnoterapi.
Pre induction dapat berupa percakapan ringan, saling
berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan seorang
terapis secara mental terhadap seorang klien. Pre induction
merupakan tahapan yang bersifat kritis, seringkali kegagalan
proses hipnoterapi diawali dari proses pre induction yang tidak
tepat.
Salah satu yang harus dilakukan pada pre induction adalah
suggestivity test yang harus dilakukan untuk mengetahui tingkat
suggestivitas alamiah dari klien. Tes ini merupakan standar yang
harus dilakukan setiap menghipnoterapi pada saat melakukan

38

hipnoterapi kepada orang yang belum pernah merasakan hipnosis


langsung.
2) Induction
Induction (induksi) merupakan teknik untuk membawa
subjek berada dalam kondisi hipnosis. Induksi ini dilakukan
dengan memberikan suatu kejutan kepada subjek sehingga critical
area terbuka secara tiba-tiba dan terjadi masa tegang (blank). Pada
masa tegang tersebut, kita berikan perintah sederhana kepada
subjek.
3) Deepening
Deepening merupakan suatu teknik yang bertujuan membawa
subjek memasuki kondisi hipnosis yang lebih dalam lagi dengan
memberikan suatu sentuhan imajinasi. Konsep dasar dari
deepening ini adalah membimbing subyek klien untuk berimajinasi
melakukan sesuatu kegiatan atau berada di suatu tempat yang
mudah dirasakan oleh subyek. Rasa mengalami secara dalam ini
akan membimbing subyek memasuki trance level lebih dalam.
4) Sugestion
Sugestion

merupakan

suatu

kalimat-kalimat

saran

yanng

disampaikan oleh hipnotis ke bawah sadar obyak. Dalam hal ini,


sugesti tersebutlah yang menjadi tujuan kegiatan hipnosis
dilakukan .

39

5) Temination
Temination merupakan tahap pengakhiran untuk mengembalikan
subyek pada keadaan semula. Sebuah terminasi dilakukan dengan
memberikan kalimat lanjutan setelah kalimat-kalimat sugesti.

d. Mekanisme hipnoterapi dalam mempengaruhi tubuh


1) Cara kerja
Salah satu komponen dari mekanisme terapi hipnosis bahwa
dalam keadaan hipnosis, individu yang diinduksi berada dalam
keadaan rileks yang dalam dan mulai mengharmoniskan tubuh.
Tindakan ini untuk mengurangi rangsangan sistem saraf simpatik,
dan gejala yang berhubungan dengan simpatik hyperarousal. Proses
keseluruhan terdapat dua bagian yaitu proses relaksasi dan proses
terapi. Proses relaksasi yang bermanfaat untuk menyeimbangkan
aktivitas saraf, mengharmoniskan fungsi kerja tubuh, melepaskan
ketegangan pada tubuh dan pikiran, serta mengaktifkan mekanisme
dan kecerdasan penyembuhan alami dalam diri. Proses terapi yang
memberikan sugesti penyembuhan positif pada tubuh fisik (setiap
sel, jaringan, organ, saraf, kelenjar dan fungsi tubuh), tubuh halus
(pusat dan jalur energi tubuh) serta pikiran (aspek sadar dan bawah
sadar) dan jiwa agar mengharmoniskan diri secara alamiah dan
aman. (Simon dan Schwartz, 1999).

40

Menurut Klein dan Spiegel (1989) kemampuan hipnosis


bermanfaat untuk mencapai relaksasi sempurna dan ketenangan
batin, memicu respon penyembuhan alami dari dalam diri,
memperoleh
meningkatkan

kualitas

tidur

daya

tahan

yang

lelap

dan vitalitas

dan

menyegarkan,

tubuh,

membantu

melepaskan luka batin, dan menyeimbangkan aktivitas seperti


saraf, tekanan darah, kadar gula, kolesterol dan hormon.
2) Hipnosis dalam mengontrol kadar gula
Hipnosis merupakan suatu teknik persuasi diri. Teknik ini
bertujuan menanamkan suatu program positif ke dalam pikiran
bawah

sadar

yang

berguna

untuk

perubahan

diri

dan

kesehatan. Sasaran hipnosis adalah otak kanan yang berhubungan


dengan kreatifitas, imajinasi dan pikiran bawah sadar. Berdasarkan
hasil pemerikasaan elektro ensefalografi terdapat 4 tingkat vibrasi
otak manusia. Pada tingkat gelombang alfa 98-13 cps) dan theta (47 cps) atau pada tingkat relaksasi yang dalam merupakan area
dimana terapi hipnosis efektif diberikan. Apabila diabetes dapat
memasuki area ini maka penderita diabetes dapat berada dalam
keadaan pikiran terfokus atau konsetrasi terapi yang diberikan akan
menjadi lebih efektif. Hipnosis akan membantu penderita diabetes
memasuki area konsentrasi dan efek sugesti yang diberikan dapat
dengan mudah masuk alam bawah sadar (gunawan, 2006).

41

Hipnosis merupakan kondisi alami dari pikiran yang


memungkinkan diabetesi mampu melakukan perubahan kebiasaan
dan gaya hidup sehat secara lebih berarti dan permanen di pikiran
bawah sadar. Stres merupakan faktor yang berpengaruh penting
bagi penyandang diabetes. Peningkatan hormon-hormon stres yang
diproduksi dapat menyebabkan kadar glukosa dalam darah menjadi
tinggi (McEwen BS, 1998 Rice, 2001).
Hipnosis secara proaktif merubah tingkat stres diabetes
dengan membiarkan pikiran terbuka untuk suatu perubahan positif
yang memungkinkan menjadi lebih rileks, mudah menghentikan
kebiasaan tidak sehat dengan hipnosis, diabetes menjadi lebih
disiplin memonitor glukosa darah, melakukan perencanaan makan
yang lebih sehat, melakukan olahraga yang teratur, mengelola
dengan baik pengobatan yang diterima. Pada saat seseorang berada
dalam keaadaan relaksasi, metabolisme karbohidrat dalam tubuh
menjadi lebih efisien, dengan demikian dapat menurunkan kadar
glukosa dalam darah. Namun penurunan kadar glukosa darah pada
diabetes paska intervensi tidak menunjukan hasil yang signifikan
namun relaksasi telah memberikan beberapa keuntungan seperti
meningkatkan kemampuan manajemen diri, memperbaiki perasaan
sejahtera, meningkatkan ketrampilankoping, menurunkan insiden
depresi, dan menurunkan perasaan stres (Hasting, 2007).

42

B. Kerangka Teori
Berdasarkan teori Hasting (2007), McEwen BS (1998) Rice (2001), Gunawan (2006), Spiegel Wong & Andri (2009) dan
Setiawan (2009) dapat dapat digambarkan suatu kerangka teori sebagai berikut:
Hipnosis

Proses relaksasi

Rangsangan sistem
saraf simpatik

menyeimbangkan aktivitas saraf


mengharmoniskan fungsi kerja
tubuh
melepaskan ketegangan
mengaktifkan mekanisme
kecerdasan penyembuhan

Rileks

Kualitas Tidur baik


Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas tidur

1.
2.
3.
4.

Penyakit
Latihan dan kelelahan
Stress dan psikologis
Obat

Proses terapi

memberikan
sugesti
penyembuhan
positif pada tubuh
fisik

Pemberian sugesti

Kadar gula darah

Self Talk

Gambar 2.1 Kerangka Terori

Faktor-faktor yang
mempengaruhi kadar
gula
1. Diet
2. Stress
3. Aktifitas fisik

43

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen

Variabel Dependen
Kadar glukosa
darah pasien

Hipnosis

Kualitas tidur
pasien

Variabel Pengganggu
1. Suara atau bunyi

Keterangan:
: diteliti

: tidak diteliti
Gambar 2.3 Kerangka konsep

Pekerjaan
Jenis kelamin
Diet
Latihan dan kelelahan
Obat-obatan

44

D. Hipotesis
Ha1 : ada pengaruh hipnoterapi terhadap kualitas tidur pasien diabetes
melitus
Ha2 : ada pengaruh hipnoterapi terhadap kadar gula darah pasien diabetes
melitus

Anda mungkin juga menyukai