Disusun Oleh :
Andreas Kresna
(11-2013-243)
Pembimbing :
dr. Lukman Muliadi, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
PERIODE 18 Agustus 2014 25 Oktober 2014
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan
penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Diperkirakan hampir 5%
dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal
jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal
jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan
hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan
harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.1
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta
tidak spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal penyakit.
Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta
perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka
perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup.1
Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan kita tentang antikoagulan pada
gagal jantung sesuai dengan clinical trial yang telah dilakukan dan disusun dalam rangka
pemenuhan tugas laporan kasus dalam proses pembelajaran di bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS. Mardi Rahayu Kudus.
BAB II
PATOFISIOLOGI TROMBOGENESIS PADA
GAGAL JANTUNG
Patofisiologi trombogenesis pada gagal jantung dapat dijelaskan dalam konteks triad
Virchow, yaitu aliran darah yang tidak normal, kelainan pada dinding pembuluh darah dan
kelainan pada konstituen darah. 2
Rongga jantung melebar, kontraktilitas yang berkurang, kelainan dinding regional dan
fibrilasi atrium yang terjadi bersamaan merupakan predisposisi tromboemboli pada aliran
darah dalam jantung yang tidak statis. Pasien dengan gagal jantung berat memiliki tingkat
plasma viskositas, fibrinogen, kompleks thrombinantithrombin III, fibrinopeptida A dan Ddimer yang tinggi. Peningkatan kadar plasma fibrinopeptida A dan kompleks trombinantitrombin III pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi erat kaitannya dengan volume akhir
diastolic ventrikel kiri dan berkorelasi negatif dengan pemendekan fraksional dari ventrikel
kiri, sedangkan pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofik, mereka secara signifikan
berkorelasi dengan diameter atrium kiri, menunjukkan bahwa sistem koagulasi diaktifkan
pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofi dan dilatasi yang mungkin dipicu oleh dilatasi
atrium kiri dan pembesaran ventrikel kiri dan disfungsi pada masing-masing. 2
Sistem neuroendokrin pada pasien CHF juga diaktifkan, dimana terjadi peningkatan
konsentrasi plasma angiotensin II dan endotelin, yang terkait dengan kadar plasma von
Willebrand factor, penanda kerusakan / disfungsi endotel. Disfungsi endotel pada gagal
jantung juga tampaknya berhubungan dengan berkurangnya bioavailabilitas Nitric Oxide
(NO), yang dapat berkontribusi untuk peningkatan vasokonstriksi perifer yang merupakan
karakteristik dari gagal jantung. Berkurangnya NO juga dapat mengakibatkan adhesi monosit
dan trombosit pada endotel, yang merupakan predisposisi untuk trombosis in situ dan
tromboemboli, dan berhubungan dengan perkembangan penyakit dan prognosis yang lebih
buruk.2
Kelainan trombosit pada CHF, dengan volume trombosit rata-rata lebih tinggi dan
penurunan kelangsungan hidup trombosit, serta indeks abnormal aktivasi trombosit
(Ithromboglobulin, faktor trombosit 4 dan soluble P-selectin) dan peningkatan agregasi
trombosit. Peningkatan agregasi trombosit yang beredar juga dapat dikaitkan dengan
2
peningkatan resistensi vaskular. Permukaan trombosit P-selektin dan CD40L meningkat pada
CHF yang terdekompensasi dan dapat secara signifikan berkorelasi dengan keparahan gagal
jantung. Namun, soluble P-selectin tidak diketahui apakah berkorelasi dengan LVEF; Lebih
jauh lagi, hal itu tidak memprediksi prognosis pada pasien CHF.2
BAB III
OBAT ANTIKOAGULAN
1. Warfarin
Merupakan antikoagulan oral antagonis vitamin K. Faktor koagulasi II, VII, IX,X dan
Protein antikoagulan C dan S di sintesis utama di Hati dan secara biologi tidak aktif sampai
9-13 residu asam glutamate berkarboksilasi untuk membentuk the residu gamakarboksiglutamat. Reaksi dekarbosi precursor protein ini membutuhkan CO2, O2, penurunan
vitamin K dan di katalisasi oleh glutanyl carboxylase. Karboksilasi secara langsung
bergabung dengan oksidasi epoxide vitamin K.3
vitamin K ini terjadi karena penurunan vitamin K menjadi cofactor dari glutamyl
carboxylase yang mengkatalisis proses karboksilasi, dimana menconversi prozymogen
menjadi zymogen sehingga dapat mengikat Ca2+ dan dapat berinteraksi dengan permukaan
anion phospolipid. S Warfarin di metabolism oleh CYP2C9.Polimorphishm genetic umum
pada enzim ini dapat mempengaruhi metabolism warfarin. Polimorf di C1 subunit of vitamin
K reductase (VKORC1) juga dapat mempengaruhi kepekaan inhibisi yang di lakukan
warfarin, sehingga memerlukan peningkatan dosis warfarin. 3
4
Farmakokinetik :
Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian.
Farmakodinamik :
Indikasi :
Untuk profilaksis dan pengobatan komplikasi tromboembolik yang dihubungkan
dengan fibrilasi atrium dan penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya
emboli sistemik setelah infark miokard (FDA approved). Profilaksis
Kontraindikasi .
Semua keadaan di mana risiko terjadinya perdarahan lebih besar dari keuntungan
yang diperoleh
Interaksi obat :
Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen, beta
bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil,
hidantoin, glukagon,
Efek samping
Perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain, alopesia,
urtikaria, dermatitis, demam, mual, diare, kram perut, hipersensitivitas dan priapismus. Untuk
usia di bawah
digunakan pada orang tua.Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat melewati
plasenta sehingga bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya.Dijumpai pada ASI
dalam bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui.3,4
Dosis
Dosis inisial dimulai dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari. Obat
diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum tidur agar dapat
dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi sangat tergantung pada
kasusnya.Secara umum, terapi anti koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya
emboli dan trombosis sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin barns dilakukan setiap
hari begitu dimulai dosis inisial sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas
terapeutik. Setelah tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada
penilaian dokter dan respon penderita terhadap obat. Interval yang dianjurkan adalah 1-4
minggu.3
2. Heparin
Heparin adalah polisakarida sulfat dengan berat molekul 3000-30.000 Da (rata-rata
15.000 Da). Heparin menghasilkan efek antikoagulan dengan menonaktifkan trombin dan
faktor Xa. Heparin mengikat AT melalui pentasaccharide yang berafinitas tinggi, yang ada
pada sekitar sepertiga dari molekul heparin. Untuk menghambat trombin, heparin harus
mengikat kedua enzim koagulasi dan AT, sedangkan mengikat enzim tidak diperlukan untuk
menghambat faktor Xa. Molekul heparin dengan rantai kurang dari 18 sakarida kurang
panjang untuk menjembatani trombin dan AT dan oleh karena itu tidak bisa menghambat
trombin. Sebaliknya, fragmen heparin yang sangat kecil berisi urutan pentasaccharide,
menghambat faktor Xa melalui AT. Dengan menonaktifkan trombin, heparin tidak hanya
mencegah pembentukan fibrin tetapi juga menghambat aktivasi trombin-diinduksi trombosit
dan faktor V dan VIII.5
Heparin umumnya diekstrak dari mukosa usus babi, yang banyak terdapat dalam sel
mast, dan mungkin berisi sedikit glikosaminoglikan lainnya. Meskipun heterogenitas dalam
komposisi antara preparat heparin berbeda, aktivitas biologisnya tetaplah sama (150 USP
6
unit/mg). A USP unit mencerminkan kuantitas dari heparin yang dapat mencegah 1 mL
bekuan dari plasma citrate yang diambil dari domba selama 1 jam setelah penambahan 0,2 Ml
dari 1% CaCl2. Meskipun di Amerika Utara secara tradisional potensi heparin telah diukur di
unit USP.Di Eropa potensi heparin diukur dengan menggunakan anti-factor Xa assay. Assay
ini memonitoring aktivitas dari faktor Xa yang ditambahkan ke plasma citrate manusia
dengan mensintetis faktor Xa-directed substrat yang berubah warna ketika diurai oleh enzim.
Semakin tinggi konsentrasi heparin dalam sampel, semakin berkurang factor Xa residual
yang dapat dideteksi. Untuk menentukan potensi heparin, aktivitas faktor Xa residual dalam
sampel dibandingkan dengan yang terdeteksi di kontrol yang mengandung konsentrasi yang
dikenal sebagai standar heparin internasional. Ketika dinilai dengan cara ini, potensi heparin
dinyatakan dalam satuan internasional per mg.3
Derivative heparin yang sekarang digunakan meliputi low-molecular-weight heparins
(LMWHs) dan fondaparinux. Gambaran yang membedakan derivatif ini dari heparin
diuraikan dalam tabel 30-1. Beberapa preparat LMWH telah ada dipasaran (misalnya,
daltaparin [FRAGMIN], enoxaparin [LOVENOX], tinzaparin [INNOHEP]), tetapi semua
berat molekul fragmen heparin berkisar antara 1-10 kDa (dengan rata-rata 5 kDa, 17 unit
sakarida). Preparat LMWH berbeda dari heparin dan, pada tingkat yang lebih rendah, satu
sama lain berdasarkan sifat-sifat pharmacokinetic mereka. Potensi LMWH dinilai dengan
anti-factor Xa assays, yang mana menggunakan standar LMWH internasional untuk tujuan
referensi.3,5
Tabel 1. Perbandingan antara Heparin, LMWH, dan Fondaparinux3
Berbeda dengan heparin dan LMWHs, yang mana derivate biologicalnya berasal dari
jaringan hewan, fondaparinux (ARIXTRA) adalah sintetik five-saccharide analog dari
7
pentasaccharide alami yang ditemukan dalam heparin dan LMWHs dan memediase interaksi
mereka dengan antithrombin. Fondaparinux memiliki sifat pharmacokinetic yang unik yang
membedakannya dari LMWH.Potensi dari fondaparinux juga dinilai dengan anti-Xa assay. 3
Mekanisme
Heparin, LMWHs dan fondaparinux tidak memiliki aktivitas antikoagulan intrinsik.
Sebaliknya, agen ini mengikat antithrombin dan mempercepat laju yang mana itu
menghambat berbagai koagulasi protease. Antithrombin adalah glikosilasi, satu rantai
polipeptida terdiri dari 432 asam amino residual (Olson dan Chuang, 2002). Disintesis di hati,
sirkulasi antithrombin dalam plasma berkisar antara 2,6 M. Antithrombin menghambat dari
aktivasi faktor koagulasi yang terlibat dalam jalur intrinsik dan jalur umum tetapi memiliki
sedikit aktivitas terhadap faktor VIIa. Antithrombin adalah
protease ini; inhibisi terjadi ketika protease menyerang ikatan Arg-Ser peptide dalam
lingkaran pusat reaktif dari antithrombin dan menjadi stabil 1:1 kompleks. 3,5
Heparin berikatan dengan antithrombin melalui pentasaccharide spesifik yang terdiri
dari 3-O-sulfated glukosamin residual (gambar 30-4). Struktur ini terjadi pada 30% molekul
heparin dan berkurang di endogen heparan sulfate molekul. Glikosaminoglikan lain
(misalnya, dermatan sulfat, kondroitin-4-sulfate, and kondroitin-6-sulfate) kurangnya ikatan
sktruktur antithrombin ini tidak dapat mengaktifkan antithrombin. 3
oleh anti-factor Xa-anti-factor IIa (trombin) rasio 1:1. Sebaliknya, setidaknya setengah dari
molekul LMWH (berat molecular 5000 Da, 17 unit sakarida) terlalu pendek untuk
menjembatani fungsi dan tidak mempunyai efek pada tingkat inhibisi trombin oleh
antithrombin. Karena molekul-molekul yang pendek ini masih menginduksi perubahan
konformasi pada antithrombin yang mempercepat inhibisi dari faktor Xa, LMWHs memiliki
aktivitas anti-factor Xa yang lebih besar daripada aktivitas anti-IIa, dan tingkat rasio berkisar
antara 3:1-2:1 tergantung pada preparat. Fondaparinux, analog dari pentasaccharide pada
heparin atau LMWHs yang memediasi interaksi mereka dengan antithrombin, hanya
memiliki aktivitas anti-factor Xa karena terlalu pendek untuk menjembatani antithrombin
dengan trombin. 3
Heparin, LMWHs dan fondaparinux berperan dalam mode katalitik. Setelah mengikat
antithrombin dan melakukan pembentukan kompleks kovalen antara antithrombin dan target
protease, heparin, LMWH, atau fondaparinux berdisosiasi dari kompleks dan kemudian dapat
mengkatalisasi molekul-molekul antithrombin lainnya. 3
Ketika konsentrasi heparin dalam plasma adalah 0.1-1 unit/mL, trombin, faktor IXa,
dan faktor Xa dapat terhambat dengan cepat (t1/2 < 0.1s) oleh antithrombin.Efek ini
memperpanjang masa APTT (telah dibahas sebelumnya) dan thrombin time (yaitu, waktu
yang dibutuhkan plasma untuk membeku ketika eksogen trombin ditambahkan); PT
dipengaruhi ke tingkat yang lebih rendah.Faktor Xa berikatan dengan trombosit pada
kompleks prothrombinase dan trombin berikatan dengan fibrin yang keduanya dilindungi dari
inhibisi oleh antithrombin yang ada didalam heparin atau LMWH. Dengan demikian, heparin
dan LMWHs dapat menginduksi terjadinya inhibisi dari faktor Xa dan trombin hanya setelah
mereka telah berdifusi dari ikatan-ikatan ini. 3,5
Platelet faktor 4, protein kationik dilepaskan dari granular selama aktivasi platelet,
mengikat heparin dan mencegah berinteraksi dengan antithrombin. Fenomena ini mungkin
membatasi aktivitas dari heparin di sekitar platelet yang kaya akan thrombin. Karena LMWH
dan fondaparinux memiliki afinitas yang lebih rendah terhadap platelet faktor 4, agen ini
mungkin menyimpan aktivitas mereka di sekitar thrombin untuk tingkat yang lebih besar
daripada heparin. 3,5
Monitoring heparin
Pemantauan laboratorium secara luas direkomendasikan untuk mengukur efek
antikoagulan dari UFH dan untuk menyesuaikan dosis untuk mempertahankan target terapi.
10
Uji laboratorium yang digunakan secara luas untuk memantau heparin adalah activated
partial thromboplastin time (aPTT). Target terapi aPTT adalah 1,5-2,5 kali nilai kontrol.
Dalam percobaan mendukung bahwa PTT harus diperiksa dalam waktu 24 jam untuk
menghindari trombosis. Hubungan antara peningkatan PTT (>2,5 kali) dengan angka
kejadian perdarahan sudah terbukti.6
Mekanisme Kerja
Efek antikoagulan UFH dan LMWH melalui aktivasi AT. Susunan pentasakarida
terdistribusi secara acak sepanjang molekul UFH dan LMWH den berinteraksi dengan AT
endogen. LMWH mengandung susunan pentasakarida lebih sedikit daripada UFH.
Pentasakarida berikatan AT memicu perubahan konformasi di dalam molekul AT dan
mempercepat interaksinya dengan thrombin dan Factor-Xa. Perbedaan utama antara UFH dan
LMWH adalah pada mekanisme inhibisi terhadap Factor-Xa dan thrombin. Kebanyakan
rantai UFH mengandung paling sedikit 18 sakarida dan membentuk kompleks ternary dengan
AT dan thrombin. Berbeda dengan UFH, kompleks LMWH dan AT mengikat Factor-Xa dan
mengkatalisis inaktivasinya. Jadi, LMWH memperlihatkan aktivitas lebih tinggi terhadap
Factor-Xa daripada Factor-IIa, dimana UFH menginaktivasi keduanya. Selain itu, UFH dan
LMWH memicu pelepasan penghambat Tissue Factor dari endotelium yang cedera,
meningkatkan efek inhibisinya pada Factor-Xa dan Factor-VIIa dan juga berkontribusi
terhadap aktivitas antikoagulan endogen.8
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari. LMWH menghasilkan
efek antikoagulan yang lebih dapat diprediksi daripada UFH dan memiliki waktu paruh lebih
panjang serta bioavailabilitas lebih baik, dihubungkan dengan penurunanikatannya pada
protein plasma, endotelium, dan makrofag. Eliminasinya bergantung pada dosis. Dalam hal
ini tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali pada pasien yang mengalami
11
insufisiensi ginjal dan memiliki berat badan terlalu tinggi atau rendah. Selain itu, LMWH
berikatan pada trombosit lebih sedikit dibandingkan UFH dan memiliki afinitas lebih lemah
pada sel endotel dan von Willebrand factor. Oleh karena itu, LMWH kurang berpengaruh
pada trombosit dan sel endotel sehingga pendarahan yang ditimbulkan lebih kecil
dibandingkan dengan UFH. Walaupun pasien yang diterapi dengan LMWH tidak
memerlukan pengawasan, aktivitas Antifactor-Xa plasma seharusnya diperiksa pada pasienpasien tertentu (usia tua, hamil, obesitas, dan dengan penyakit ginjal berat). Aktivitas
Antifactor-Xa biasanya diperiksa menggunakan chromogenic assay yang tersedia secara
komersial.8,9
pemberian terapi. Hasil ini mengindikasikan bahwa dosis enoxaparin terstandarisasi tidak
memperlihatkan efikasi yang baik untuk mencegah DVT pada semua pasien trauma
multipel.10
Penggunaan dalteparin sebagai profilaksis DVT pada pasien trauma mengalami
peningkatan. Sebuah pusat penelitian mengevaluasi pemberian dalteparin 5.000 IU subkutan
seharipada 743 pasien dengan risiko tinggi melaporkan bahwa rata-rata DVT proksimal dan
PE non-fatal berturut-turut 3,9% dan 0,8%. Data awal pada cedera medula spinalis
memperlihatkan bahwa pemberian dalteparin 5.000 IU subkutan sehari dan enoxaparin 30 mg
subkutan dua kali sehari sama-sama memberikan proteksi dari DVT dan risiko pendarahan. 10
Komplikasi
Komplikasi perdarahan dari pemberian LMWH sebagai profilaksis DVT bervariasi
dari penurunan kadar hemoglobin sementara sampai perdarahan yang memerlukan intervensi
(angiografi dan pembedahan). LMWH dikatakan meningkatkan insiden perdarahan mayor
pada saat digunakan sebagai profilaksis DVT. Hal ini didukung oleh penelitian Geerts dan
rekan-rekannya yang melakukan observasi pada pasien yang mendapatkan UFH mengalami
episode perdarahan lebih sedikit dibandingkan LMWH (berturut-turut 0,6% vs 2,9%) namun
tidak signifikan. Perdarahan diperkirakan mayor pada saat hemoglobin turun 2 g/dL atau
lebih, atau transfusi lebih dari 2 unit packed red blood cell (PRC). 11
LMWH dan UFH secara langsung dibandingkan pada tiga publikasi. Green dan
rekan-rekannya menemukan insiden perdarahan non-fatal dari pemberian LMWH dan UFH
berturut-turut 0% dan 9,5%. Mereka juga melaporkan 2 pasien (9%) meninggal karena PE
masif pada kelompok UFH. Keseluruhan insiden (perdarahan atau trombosis) adalah 0% pada
kelompok LMWH dan 34% pada kelompok UFH. Geerts dan rekan- rekannya menemukan
rata-rata perdarahan dari LMWH dan UFH berturut-turut 2,9% dan 0,6%. Mereka tidak
menemukan
adanya
perdarahan
fatal.
Pada
penelitian
Spinal
Cord
Injury
2,6%
dan
5,3%.
Dengan
menggunakan
analisis
regresi,
mereka
mengidentifikasi umur lebih dari 50 tahun, kadar hemoglobin rendah dan pemberian
profilaksis antikoagulan jangka pendek merupakan faktor prediksi mengalami perdarahan
mayor. 12
Protamine sulphate secara efektif melawan efek antikoagulan dari UFH, namun hanya
memiliki efek parsial pada LMWH. Diperkirakan 60% (utamanya aktivitas antifactor Xa)
13
dari efek LMWH dinetralisis oleh protamine sulphate. Pemberian infus protamine sulphate
seharusnya tidak melebihi dosis maksimum yaitu 50 mg. Pemberian dosis ulangan protamine
sulphate seharusnya dipertimbangkan pada saat perdarahan berlanjut dan tidak bergantung
pada hasil antifactor Xa plasma atau kadar aPTT yang memanjang. Fresh Frozen Plasma
(FFP) dan/atau rekombinan Factor VIIa efektif melawan efek antikoagulan LMWH dan
seharusnya diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan perdarahan berat atau perdarahan
pasca operasi.8
Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT) merupakan agregasi trombosit yang
dimediasi imun sampai terjadi trombositopenia yang memiliki asosiasi kuat dengan
terbentuknya trombosis arterial dan vena. HIT secara khas terjadi antara hari 4 dan 14 dari
terapi heparin. Berpotensi menimbulkan kejadian fatal, jika tidak terdeteksi dini, meliputi
tromboemboli, PE dan perdarahan. Diagnosis HIT terdiri dari klinis (trombositopenia) dan
deteksi serum (antibodi HIT).12
penurunan yang signifikan pada kematian akibat penyakit vaskular (p-value 0,04). Sebuah
analisis post-hoc melaporkan adanya pengaruh usia, dimana pasien dengan usia 75 tahun
memiliki tingkat perdarahan yang sama dengan penggunaan warfarin maupun D110, dengan
kecenderungan perdarahan yang lebih tinggi dengan D150, bagaimanapun juga, perdarahan
intrakranial lebih rendah dengan penggunaan kedua dosis dabigatran.13
Tingkat keamanan dan kemanjuran dabigatran konsisten pada semua tingkatan risiko
menurut CHADS2. Penggunaan VKA sebelumnya tidak mempengaruhi keuntungan kedua
dosis dabigatran dibandingkan dengan Warfarin. Kekhawatiran akan sedikit peningkatan
kejadian MI karena penggunaan dabigatran telah mendorong analisis lebih lanjut dimana
tidak ada keuntungan pada pasien rawat inap angina atau revaskularisasi dengan penggunaan
dabigatran. Sebuah meta analisis dari 7 studi mengenai dabigatran terhadap lebih dari 30.000
pasien menunjukkan peningkatan signifikan (33%) kejadian MI, tapi penurunan 11% pada
semua penyebab kematian ketika dabigatran dibandingkan dengan warfarin. Bagaimanapun
juga, ini menunjukkan efek protektif warfarin terhadap MI yang lebih baik.13
Sesuai dengan hasil RELY, dabigatran etexilate telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan the European Medicines Agency (EMA), serta di banyak negara
di seluruh dunia untuk pencegahan stroke dan emboli sistemik. 13,14
B. Rivaroxaban
Rivaroxaban diminum sekali sehari, secara oral, menghambat langsung faktor Xa
dibandingkan dengan vitamin K antagonis untuk pencegahan stroke dan Embolisme dalam
ROCKET trial, rivaroxaban adalah noninferior untuk warfarin untuk pencegahan stroke dan
emboli sistemik dan secara signifikan mengurangi perdarahan intrakranial pada pasien
dengan atrial fibrilasi nonvalvular. Kami mengeksplorasi keamanan dan kemanjuran
rivaroxaban pada pasien dengan gagal jantung (HF). 13
relevan besar atau nonmajor dengan rivaroxaban mirip dengan warfarin pada pasien dengan
HF (14.22 vs 14.02) dan tanpa HF (16.12 vs 15.35, P-interaksi = 0.99). Penurunan stroke
hemoragik diamati dengan rivaroxaban pada pasien dengan HF seperti dalam percobaan
keseluruhan (rasio hazard yang disesuaikan, 0,38; selang kepercayaan 95%, 0,19-0,76, Pinteraksi = 0.067). Di antara pasien dengan HF, efek rivaroxaban sama, terlepas dari LVEF
<40 atau 40% (P-interaksi = 0,38), New York Heart Association kelas I-II vs III-IV (Pinteraksi = 0,68), atau CHADS2 skor 2 vs 3 (P-interaksi = 0.48). 13
Kesimpulan
Hasil pengobatan adalah sama pada pasien dengan dan tanpa HF dan seluruh
subkelompok HF. Temuan ini mendukung penggunaan rivaroxaban sebagai alternatif untuk
warfarin pada pasien dengan atrial fibrilasi dan HF. 13
C. Apixaban
Kami memeriksa risiko stroke atau emboli sistemik (SSE) yang disebabkan oleh gagal
jantung (HF) dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVSD) dengan apixaban di Apixaban for
Reduction in Stroke and Other Thromboembolic Events in Atrial Fibrillation Trial
(ARISTOTLE) serta pengaruh apixaban dibandingkan warfarin. 13
16
Kesimpulan : Pasien dengan LVSD (dengan / tanpa HF) memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk SSE atau kematian (tapi tingkat yang sama dari SSE) dibandingkan dengan pasien
dengan HF tetapi dengan fungsi LV sistolik; keduanya memiliki risiko yang lebih besar
dibandingkan pasien tanpa baik HF atau LVSD. Apixaban mengurangi risiko dari kedua hasil
lebih dari warfarin dalam semua 3 kelompok pasien.13
17
18
BAB IV
PERCOBAAN KLINIK ANTIKOAGULAN PADA
GAGAL JANTUNG
1. SOLVD (Studies of Left Ventricular Dysfunction)
Dalam SOLVD, pencegahan dan pengobatan secara kohort, kejadian tahunan VTE
(stroke, PE, dan emboli perifer) pada pasien dengan HF (LVEF <35%) dengan irama sinus
adalah 2,4% pada wanita dan 1,8% pada laki-laki. Dari analisis menemukan bahwa LVEF
yang rendah dikaitkan dengan risiko VTE hanya pada wanita, dengan 53% peningkatan risiko
untuk setiap penurunan 10% LVEF. 14
Dalam analisis post hoc dari uji coba SOLVD, warfarin dikaitkan dengan
pengurangan semua penyebab kematian, risiko kematian, dan rawat inap karena HF (P =
0.0006). Namun, tidak ada penurunan kejadian VTE. Demikian juga aspirin, dikaitkan
dengan penurunan semua penyebab kematian (P = 0,0005), risiko kematian, dan rawat inap
karena HF, dan efek ini signifikan dalam plasebo tetapi tidak dalam kelompok enalapril.
Aspirin juga dikaitkan dengan kejadian VTE lebih rendah, yang bermakna secara statistik
pada wanita, dengan 53% pengurangan risiko relatif (P = 0.03).14
5. PROMISE Trial
Warfarin diberikan pada 324 pasien, dengan angka penurunan yang signifikan dalam
kejadian stroke hanya pada orang-orang dengan gagal jantung yang sangat parah saja, dimana
LVEF <20% (0,6% vs kontrol 3,3%, p <0,05). Hal ini sangat kontras dengan trial V-Heft,
dimana tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian tromboembolik dengan atau
tanpa terapi antitrombotik (2,7 kejadian per 100 pasien-tahun vs 2,9 kejadian per 100 pasientahun). Dalam trial V-HeFT II, kejadian tromboembolik lebih tinggi pada kelompok warfarin
dibandingkan dengan mereka yangbtanpa pengobatan (4,9 kejadian per 100 pasien-tahun vs
2,1 kejadian per 100 pasien-tahun, p = 0.01).2
20
6.
sinus. Pasien dengan penyakit jantung iskemik secara acak menerima baik aspirin (325 mg /
d) ataupun warfarin (target INR 2-3). Pasien dengan kardiomiopati dilatasi secara acak
menerima baik warfarin (target INR 2.5) atau plasebo. Primary end point adalah non-fatal
stroke, PE, MI, rehospitalization, eksaserbasi HF, atau penyebab kematian. Pasien dengan
kardiomiopati dilatasi lebih muda, lebih mungkin adalah perempuan, dan memiliki LVEF
rendah dan akhir diastolik dan sistolik LV yang lebih besar dibandingkan dengan orang-orang
dengan penyakit jantung iskemik. Insiden primary end points tidak berbeda antara kelompok;
Namun, ada kecenderungan warfarin lebih bermanfaat dari plasebo pada kelompok
kardiomiopati dilatasi. Selama 2 tahun masa follow-up, tingkat kejadiannya sangat rendah.
Penelitian ini juga kurang tenaga untuk membuat kesimpulan yang pasti.14
21
9. The Warfarin and Antiplatelet Therapy in Chronic Heart Failure trial (WATCH)
Di dalam trial WATCH, 1587 pasien dengan HF (LVEF <35%) dalam irama sinus
secara acak baik secara open-label warfarin (target INR 2.5) atau double-blind, pengobatan
double-dummy dengan aspirin (162 mg / d) ditambah plasebo atau clopidogrel (75 mg / d)
ditambah plasebo. Hasil utama adalah waktu un
MI, atau stroke nonfatal. Di antara karakteristik awal, satu-satunya perbedaan antar kelompok
22
yang mencapai signifikansi statistik adalah prevalensi diabetes, yang tertinggi pada kelompok
warfarin (38%) dan terendah pada kelompok clopidogrel (31%). Rerata INR adalah 2,6.
Tidak ada perbedaan yang ditemukan antara 3 kelompok studi berkaitan dengan hasil utama.
Namun, warfarin lebih dikaitkan dengan stroke nonfatal daripada dengan aspirin atau
clopidogrel. Banyak pasien yang secara acak mendapat aspirin dirawat di rumah sakit karena
memburuknya HF (P <0,02) dibandingkan dengan kelompok warfarin. Peristiwa pendarahan
mayor dan minor yang lebih tinggi pada kelompok warfarin dibandingkan kelompok
clopidogrel (P <0,01 dan P <0.025, masing-masing) dan kelompok aspirin (P = 0,22 dan P =
0.054, masing-masing). Dengan demikian, trial Watch tidak menunjukkan warfarin yang
lebih unggul aspirin atau clopidogrel yang lebih unggul aspirin berkaitan dengan
pengurangan tingkat kejadian kardiovaskuler utama. Jumlah pasien dengan diabetes yang
lebih tinggi pada kelompok warfarin, dengan risiko yang lebih tinggi, bisa meragukan
efektivitas warfarin berkaitan dengan pengurangan VTE.14
Tabel 3. Trial Antiplatelet vs Anticoagulation pada Gagal Jantung
23
BAB V
GUIDELINE ANTIKOAGULAN PADA HF
European Society of Cardiology guidelines
Selain gagal jantung (HF-REF maupun HF-PEF), tidak ada bukti bahwa antikoagulan
oral mengurangi angka kematian-kesakitan disbanding dengan placebo atau aspirin.16
Tabel 4. Rekomendasi Antikoagulan16
24
25
26
BAB VI
KESIMPULAN
Terjadinya thrombus pada gagal jantung disebabkan oleh adanya triad Virchow, yaitu
aliran darah yang tidak normal, kelainan pada dinding pembuluh darah dan kelainan pada
konstituen darah. Pasien dengan gagal jantung berat memiliki tingkat plasma viskositas,
fibrinogen, kompleks thrombinantithrombin III, fibrinopeptida A dan D-dimer yang tinggi.
Juga terjadi peningkatan konsentrasi plasma angiotensin II dan endotelin, yang terkait dengan
kadar plasma von Willebrand factor. Volume trombosit rata-rata lebih tinggi dan penurunan
kelangsungan hidup trombosit, serta indeks abnormal aktivasi trombosit (Ithromboglobulin,
faktor trombosit 4 dan soluble P-selectin) dan peningkatan agregasi trombosit.
Berdasarkan percobaan klinik yang telah dilakukan, pada percobaan SAVE
(percobaan yang dilakukan pada pasien dengan LVEF <28%), SOLVD, WASH, WATCH,
WARCEF (pasien dengan LVEF < 35%), pengurangan angka stroke dengan warfarin lebih
tinggi dibandingkan aspirin. Selain itu, penggunaan aspirin dikaitkan dengan angka rawat
inap yang tinggi untuk gagal jantung, angka kematian lebih rendah dengan pengguna
warfarin dibandingkan dengan aspirin. Tetapi pada kejadian pendarahan mayor lebih besar
pada pengguna warfarin dibandingkan dengan aspirin.
Berdasarkan guideline ACCP, ESC, ACC/AHA, HFSA, IUA, NICE, indikasi
penggunaan antikoagulan sebagai trombofilaksis adalah pasien dengan gagal jantung, fibrilasi
atrium, trombus ventrikel kiri, dan pernah mengalami tromboemboli sebelumnya.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and epidemiology.
BMJ:2000;320.p.39-42.
2. Lip GYH. Thrombogenesis in heart failure a brief overview. Int J Clin Pract CME.
Blackwell Publishing: 2006; 60(1).p.36-47.
Available from : http://www.medscape.org/viewarticle/529204_4 , 7th October 2014
3. Weitz JI. Blood Coagulation and AntiCoagulant, Fibrinolytic and AntiPlatelet Drugs.
In: Brunton L, Chabner B, Knollman B. Goodman and Gilmans the
Pharmacologicals Basic of Therapeutic, 12th eds. United States: The Mackgraw-Hill
Company, 2011.p.849-876.
4. Hirsh J, Fuster V, Ansell J, Halperin JL. American Heart Association/American
College of Cardiology Foundation Guide to Warfarin Therapy. 2003. Available from :
http://circ.ahajournals.org/content/107/12/1692.full , 7 th October 2014
5. Hirsh J, Anand SS, Halperin JL, Fuster V. Mechanism of Action and Pharmacology
of Unfractionated Heparin. 2001.
Available from : http://atvb.ahajournals.org/content/21/7/1094.full, 7 th October 2014
6. Lehman CM, Frank EL. Laboratory monitoring of heparin theraphy: partial
thromboplastin
time
or
anti-Xa
assay?.
2009.
Available
from:
and
Treatment
of
Venous
Throboemboli.
Thrombosis
Journal.2007;5(8).p.1 3
11. McMillian WD and Rogers FB. Deep vein thrombosis and pulmonary embolism. In:
Rabinovici R, Frankel HL, and Kirton O (eds). Trauma, Critical Care and Surgical
Emergencies. 1st. London: Informa Healthcare; 2010.p. 264 274
28
12. Datta I, Ball CG, Rudmik L, Hameed SM, and Kortbeek JB. Complications related to
deep venous thrombosis prophylaxis in trauma: a systematic review of the literature.
Journal of Trauma Management. 2010;4(1).p.111
13. Ferreira J, Ezekowits, Connolly SJ, Brueckmann M, Fraessdorf M, Reilly PA, et al.
Dabigatran compared with warfarin in patients with atrial fibrillation and
symptomatic heart failure: a subgroup analysis of the RE-LY trial. Eur J Heart Fail:
2013 ;15(9).p.1053-61. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23843099 , 7 th October 2014
14. Bettari L, Fiuzat M, Becker R, Felker M, Metra M, OConnor CM.
Thromboembolism and Antithrombotic Therapy in Patients With Heart Failure in
Sinus Rhythm. American Heart Association; 2011.
Available from : http://circheartfailure.ahajournals.org/content/4/3/361.full#ref-6 , 7 th
October 2014
15. Brighton T. New oral anticoagulant drugs -
mechanisms
2010;33.p.38-41.
Available from : http://www.australianprescriber.com/magazine/33/2/38/41 ,
7 th October 2014
16. McMurray J, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Dickstein K, Falk V,
Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012. European Heart Journal:2012;33.p.17871847. Available
from:http://www.escardio.org/guidelines-surveys/escguidelines/GuidelinesDocuments/Guidelines-Acute%20and%20Chronic-HF-FT.pdf ,
7 th October 2014
17. Guidelines for anticoagulation therapy in patients with heart failure. 2006. Available
from
http://www.thrombosisadviser.com/static/media/pdf/guidelines-for-
29