Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

FIKSASI INTERNAL FRAKTUR KRANIOMAKSILOFASIAL

Oleh
Yan Aditya

Pembimbing :
dr Sulandri G. SpBP-RE

FK UNPAD/FK UNLAM
RSHS / RSUD ULIN
Banjarmasin
2014

FIKSASI INTERNAL FRAKTUR KRANIOMAKSILOFASIAL

PENDAHULUAN

Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma


maksilofasial. Penilitian Rabi dan Khateery (2002), menunjukan bahwa diantara
beberapa etiologi trauma maksilofasial, kecelakaan lalulintas merupakan penyebab
utama terjadinya trauma, diikuti dengan penyebab lainnya seperti trauma ketika
bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri, kecelakaan sewaktu
berolahraga, dan lain-lain.
Pada makalah ini akan dibahas lebih pada aspek cedera jaringan keras atau
fraktur di regio maksilofasial. Fraktur yang melibatkan tulang maksilofasial yang
kompleks yang meliputi sepertiga wajah bagian atas, tengah dan bawah disebut juga
dengan fraktur Panfasial. Tulang tulang yang biasanya terlibat dalam fraktur
panfasial yaitu: os frontale, kompleks zygomaticomaxillary, kompleks naso-ethmoid,
os maksila, dan os mandibula.

ANATOMI KRANIOMAKSILOFASIAL
Secara umum tulang tengkorak/kraniofasial terbagi menjadi dua bagian yaitu
Neurocranium

adalah

tulang-tulang

yang

membungkus

otak

Viscerocraniumadalah tulangtualng yang membentuk wajah/maksilofasial

dan

Neuroccranium dibentuk oleh :


1. Os. Frontale
2. Os. Parietale
3. Os. Temporale
4. Os. Sphenoidale
5. Os. Occipitalis
6. Os. Ethmoidalis
Viscerocranium dibentuk oleh :
1. Os. Maksilare
2. Os. Palatinum
3. Os. Nasale
4. Os. Lacrimale
5. Os. Zygomatikum
6. Os. Concha nasalis inferior
7. Vomer
8. Os. Mandibulare
Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan
yang lain melalui sutura - sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan tulangtulang berdinding tipis. Tulang tulang pembentuk wajah atau viscerocranium terdiri
atas tulang tulang yang berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan untuk
terhadap fraktur jika mendapat suatu trauma. Tulang tulang tersebut dihubungkan
oleh sutura sutura yang juga dapat menjadi garis fraktur

Gambar 1. Tulang tulang kraniofasial

Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda.


Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang menopang/penyangga
proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior. Buttress
pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris pada medial, tulang zigomatikomaksilaris
pada lateral dan tulang pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini
menghasilkan suatu sistem penyangga unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital.

Gambar 2. Buttress vertikal dan horizontal

PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk
penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yang mendapat
cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan untuk
menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat
diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang
pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi.
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah
sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak
sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi
dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan

adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit
gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan
peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah
korban bertindak sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk
pengaman yang putus? Apabila pasien merupakan korban kejahatan, apakah
digunakan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis
resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi tetanus juga harus dicatat. Penting juga
dicatat ada tidaknya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat
kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan
dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum.
Langkah pertama pada setiap proses diagnostik adalah memperoleh sebuah
riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari
pasien, yang meliputi informasi tentang who, when, where, and how.

Pemeriksaan Klinis
Pendekatan awal terhadap pasien trauma maksilofasial akut sedikit berbeda
dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran
pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum
melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran pernapasan dan
perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu. Kemudian
baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis (paling tidak

mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat). Pembukaan
mata merupakan alat pemeriksan yang berharga untuk menentukan tingkat kesadaran
dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya jika diberi stimuli
tertentu, termasuk stimuli yang menyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia
paska trauma merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan
otak, bila ada
Pasien yang mengalami cedera maksilofasial biasanya disertai dengan
tersumbatnya jalan pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau
benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam kondisi
stabil, perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun pemeriksaan fisik
tersebut meliputi:
1.

Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan jaringan

lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara
hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya dicatat pada saat
ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma pada jaringan lunak
dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka bakar, avulsi, dan laserasi.
Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan
struktur vital, seperti saraf, glandula parotis dan sebagainya .
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,
pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati

terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi


zygomatik, dan mandibula.
2.

Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah


Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan adanya

mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan
zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila, kepala pasien
harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu
tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu
sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian
ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila.
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan mempalpasi
dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang mengalami fisik
dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial
dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis
dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah
lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan
lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau
tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura
zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga
dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus
zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari

aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi
pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan .
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, karena
trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah
wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien
yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar.
Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi.
Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan
hemotimpanum dan otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis
tulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda
waspada terhadap kemungkinan cedera pada kondil mandibula .
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum
hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma septum
hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya
nekrosis tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan bentuk hidung .
Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya
anestesi atau parestesi . Saraf kranialis ketiga, empat, lima, enam dan tujuh dites
untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien mengangkat alisnya dan
meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil
bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi?

3.

Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,

terjadi pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan
jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada
penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak
interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan
cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke
depan untuk melakukan palpasi endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat
dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan
yang Amat sangat atau caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior
mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simphisis mandibula.
Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan kontinuitas harus dicatat .
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu
kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid
(gambar 5). Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe
frakturnya, yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompon (gambar 6).

Gambar 5. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula

Gambar.6. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya.


A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon

4.

Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut


Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi

dioklusikan seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibula diperiksa
kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang giginya mengalami
pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat.
Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan

diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam
kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah disisihkan,
sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan
gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral.
Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus
alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan
prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas
Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang.
Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi
pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya
jalan pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya
fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite
lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ.
Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya
fraktur Le Fort (I, II, ataupun III).

Pemeriksaan Radiografi
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya diperlukan
radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan
sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini.
Meskipun demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk

mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang mendukung. Film panoramik
merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula .
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih
gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2)
proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi oblik lateral kiri dan
kanan (gambar 9) .

Gambar 7. Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur mandibula.


A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula
(panah).
B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah).
C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah).
D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada cbela kiri badan
mandibula dan fraktur subkondilar cbela kanan (panah) .

Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi
Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi
submental verteks . Fraktur pada arkus zygomatikus ditunjukkan dengan baik oleh
proyeksi submentoverteks (gambar 8).

Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah
.
A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita
B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan
kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium.
C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan


kemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka
bisa dilakukan CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran
yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua sifat
tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan diagnosis yang
akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur
penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat menunjukkan
adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-serebral, daerah
kontusio, dan edema cerebral .

Gambar 9. Gambaran CT Scan .


A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).

B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita kanan

Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan tiga


dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur
dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang

Gambar 10.Radiografi digital imaging 3D

PENANGANAN TRAUMA MAKSILOFASIAL


Penanganan Gawat Darurat
Prinsip utama penanganan

gawat darurat (emergency care) adalah

menyelamatkan hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien. Secara
berurutan primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABCD :
1) Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea.

Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal,


adapun cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift, headtilt atau jaw trust. Pada
penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih,
walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada
penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan
memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi
atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan
pada riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis
dapat dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua

perrtama

jenis fraktur akan

terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus
dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara
maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini
harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik
dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi
secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.

Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang
berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru dan open
pneumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.
3) Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama
pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di
rumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai
keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume
darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovalemia.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas
jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat, keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia. Periksalah pada
nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak
cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar
harus dikelola pada primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan
penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak
jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila
sudah ada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari

perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tembus dada/
perut.
4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan
evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS merupakan sistem
scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. Penurunan
kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/ dan penurunan perfusi ke
otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut
dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila
diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.
Perawatan Definitif
Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum pasien
lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan gawat
darurat. Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan yang
terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi.
Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan :
1. Lokasi dan luasnya fraktur
2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur
3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf
4. Luas kehilangan tulang
5. Keadaan trauma dentoalveolar

Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari seluruh
perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual. Dibutuhkan
perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan lamanya perawatan di
rumah sakit.
Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks
secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi
primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali
tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, dan pengelolaan gigi geligi
yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan tidak kooperatif. Pada
periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga
pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan
wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele
intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan
Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk
pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus
keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan
kontraktur
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak
stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan

transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu
dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah)
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial
anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana strukturstruktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat
direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila terdapat diskontinuitas pada
lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial dan diskontinuitas pada
dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan dilakukan dalam
arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat
menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis
kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan
resiko kerusakan atau perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah
diperbaiki.
Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung
mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik
unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk
mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi dengan baik, maksila
yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan menyesuaikan oklusi pada rahang
bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah
atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila
terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan
kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai.

Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada


maksila. Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai
dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial.
Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan
asimetri wajah.

Gambar 11. Teknik Bottom up

Pada tehnik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka
fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik,
kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian
dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal,
sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada
maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi
pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris.

Gambar 12. Teknik top to bottom

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan


hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila dibutuhkan
untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah.

Gambar 13. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior

Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang


mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi
pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular,
retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan pemaparan
yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian atas. Selain itu
insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat mereduksi dan memfiksasi
fragmen tulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier
Saunders. 2005.
2. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis. 2008.
3. Hiatt James L.& Gartner Leslie P. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010.
4. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. Oral and Maxillofacial Surgery
Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009.
5. Michael Miloro. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC
Decker Inc. Hamilton. London. 2004
6. Rabi AG, Khateery SM. Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi
Arabia: A 5-Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg. 2002.14:10-14.
7. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. A Retrospective Anlisis of
Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral Maxillofac Surg.
2006. 64:1731-1735.
8. Jong WD.

Buku

EGC.Jakarta. 1997.
.

Ajar

Ilmu

Bedah.

Penerjemah.

R.Sjamsuhidayat.

Anda mungkin juga menyukai