Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

Daftar isi1
1. Latar Belakang2-3
2. Presentasi Kasus4
3. Diskusi...............5
3.1.
Definisi NAPZA......5
3.2.
Jenis- jenis NAPZA...5-6
3.3.
Penyalahgunaan dan tahapan pemakaian NAPZA....6-7
3.4.
factor resiko penyalahgunaan NAPZA.8-9
3.5.
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA.....9-10
3.6.
Undang- undang mengatur penyalahgunaan NAPZA.1011
4. Kesimpulan..
5. Daftar Pustaka..

Latar belakang
1

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya


(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat kita sebagai NARKOBA
merupakan masalah yang sangat kompleks, memerlukan upaya penanggulangan
secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama banyak pihak dan peran serta
masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten.
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi
sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari
data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun.
Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh
karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman
kelangsungan pembinaan generasi muda.
Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan
sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika
secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun
masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih
besar bagi kehidupan dan niali nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat
melemahkan ketahanan nasional.
Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya penanggulangan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan,
karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara
berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama sama yaitu berupa jaringan
yang dilakukan oleh sindikat clandestine yang terorganisasi secara mantap, rapi dan
sangat rahasia.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika
2. Apa saja hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pemberantasan
tindak pidana narkotika
Ruang Lingkup Masalah
Undang undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika dan peraturan yang
terkait lainnya merupakan instrument dalam menyelesaikan masalah kejahatan
penyalahgunaan narkotika, karena di dalam tujuan pembentukannya untuk mengatur
penggunaan narkotika yakni untuk pengobatan dan pendidikan atau penelitian serta
digunakan untuk menanggulangi dan pemberantasan tindak pidana narkotika.
Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna mencegah luasnya
cakupan tersebut di perlukan batasan batasan sehingga di perlukan ruang lingkup
masalah.
Ruang lingkup masalah menggambarkan luasnya cakupan lingkup
penelitiannya yang akan dilakukan. Ruang lingkup masalah dibuat untuk
mengemukakan batas area penelitian dan umumnya digunakan untuk mempersempit
pembahasan. Karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang

lingkup dalam permasalahan pertama akan dibatasi pada upaya penanggulangan dan
pemberantasan tindak pidana narkotika.
Dalam permasalahan yang kedua akan dibahas khususnya hambatan- hambatan yang
dialami dalam melaksanakan penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika.
Tujuan Umum
Untuk pengembangan di bidang penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
yang terkait dengan keberlakuan Undang undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Tujuan
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis upaya penanggulangan dan
pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hambatan-hambatan yang dialami
dalam melaksanakan penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika.

Presentasi kasus
3

Catur berusia 18 tahun adalah anak bontot dari 3 bersaudara, ia salah satu
pasien yang kini menjalankan rehabilitas di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
Cibubur selama 2 bulan terakhir. Pendidikan terakhir SMP, berstatus sebagai pelajar.
Pertama kali menggunakan narkoba pada saat kelas 5 sekolah dasar yang di awali
dengan perokok aktif, ia juga minum minuman beralkohol dan mencoba ganja dengan
cara dihirup. Pada saat pertama kali mencoba ia merasa tidak enak, parnok, pusing,
berdebar- debar dan mual dan semakin lama efek yang dirasakan oleh catur berubah
menjadi nyaman, rileks, tenang dan bahagia. Pada saat SMP rasa penasaran dan ingin
mencoba hal- hal yang baru dari ia pun timbul, ia mencoba untuk menggunakan sabu,
putau dan obat penenang lainnya. Ia mengaku dalam sehari bisa menggunakan barang
tersebuat sebanyak 10-12 kali per hari dengan cara di hirup ataupun menggunakan
jarum suntik. Catur memperoleh barang tersebut dari abang- abang yang ada
dilingkungan rumahnya. Ia bisa menggunakan barang tersebut dimana saja (dirumah,
sekolah dll), uang yang digunakan untuk membeli barang tersebut didapat dari uang
jajan, membohongi orang tua sampai menjual barang- barang yang ada. Dan pada saat
SMA ia pun putus sekolah.
Faktor lingkunganlah (rumah, sekolah) yang sangat berpengaruh hingga bisa
menjadikan ia sebagai pecandu, karena sebagian besar masyarakat yang ada
dilingkungan tempat tinggalnya banyak yang menjadi pecandu narkoba. Salah satu
faktor lainnya adalah perhatian yang kurang dari keluarganya, ia merasa seorang
orang tua yang seharusnya khawatir jika anaknya pulang malam ataupun mencari jika
anaknya tidak pulang kerumah selama 3minggu tetapi hal ini tidak dilakukan oleh
orang tuanya. Keluargapun mengetahui kalau ia seorang pecandu, karena kebanyakan
remaja yang ada di lingkungannnya adalah sebagai pecandu. Langkah yang diambil
oleh keluarganya adalah mengurung catur di dalam kamar dengan tujuan agar ia tidak
berinteraksi dengan teman- temannya yang sebagian besar juga sebagai pecandu, ia
pun menolak dan memberontak terhadap apa yang dilakukan oleh keluarganya. Lalu
pada bulan Agustus keluarga Catur pun sepakat agar ia menjalankan pengobatan di
RSKO yang ada di Cibubur dikarenakan keluarga sudah tidak sanggup melihat
tingkahlaku yang dilakukan anaknya tersebut.
Selama menjalani pengobatan yang ada, ia mengaku sangat sulit untuk
berhenti secara total menggunakan barang tersebut karena ia merasakan efek yang
sangat tidak nyaman jika tidak menggunakan barang tersebut ( reaksi putus obat,
sakau dll), butuh waktu yang lama dan dengan cara bertahap. Pada saat ini hal yang
bisa ia lakukan adalah mengurangi dosis obat yang ia pakai. Catur mengaku ia sangat
menyesal karena telah mengecewakan keluarga dan ada hal yang harus ia capai, ia
ingin menjadi broadcasting.

Definisi NAPZA
4

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif


lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan
perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004).
NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian
tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA
bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya, dan
bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).
JenisJenis NAPZA
NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif
lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok, antara lain :
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga
memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat
tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat
lepas dari cengkraman-nya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke
dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
1. Narkotika golongan I adalah : narkotika yang paling berbahaya. Daya
adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk
kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.
2. Narkotika golongan II adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin
dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
3. Narkotika golongan III adalah : narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein
dan turunannya.
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah
maupunsintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan
perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati
gangguan jiwa (psyche).
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat dikelompokkan ke
dalam 4 golongan, yaitu
1. Golongan I adalah : psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum
diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya.
Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
2. Golongan II adalah : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin,
5

metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.


3. Golongan III adalah : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina,
fleenitrazepam, dan sebagainya.
4. Golongan IV adalah : psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK,
mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain.
3. Bahan Adiktif Lainnya
Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat
menimbulkan ketergantungan. Contohnya :
1. Rokok
2. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan.
3. Thinner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin,
yang bila dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan.
Jadi, alkohol, rokok, serta zat-zat lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan
juga tergolong NAPZA (Partodiharjo, 2008).
Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis,
paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan
dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk
kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit.
Tetapi karena efeknya enak bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara
salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.
Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa
ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik (Sumiati,
2009).
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi
yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus
dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala
fisik dan psikis yang khas.
Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009):
1. Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau
menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan
mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat,
ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi.
2. Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan
NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat untuk
menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik.
Tahapan Pemakaian NAPZA
Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut :
1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental) Karena pengaruh kelompok
sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-coba. Biasanya mencoba
mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman beralkohol. Jarang yang
langsung mencoba memakai putaw atau minum pil ekstasi.
6

2. Tahap pemakaian sosialTahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat


berkumpul atau pada acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya.
Mula-mula NAPZA diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia
belum secara aktif mencari NAPZA.
3. Tahap pemakaian situasionalTahap pemakaian karena situasi tertentu,
misalnya kesepian atau stres. Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi
masalah. Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.
4. Tahap habituasi (kebiasaan)Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap
pemakaian teratur (sering), disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadi
perubahan pada faal tubuh dan gaya hidup. Teman lama berganti dengan
teman pecandu. Ia menjadi sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit
tidur atau berkonsentrasi, sebab narkoba mulai menjadi bagian dari
kehidupannya. Minat dan cita-citanya semula hilang. Ia sering membolos dan
prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul
bersama keluarga.
5. Tahap ketergantunganIa berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan
berbagai cara. Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia
sudah tidak dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi
pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak. Pada
ketergantungan, tubuh memerlukan sejumlah takaran zat yang dipakai, agar ia
dapat berfungsi normal. Selama pasokan NAPZA cukup, ia tampak sehat,
meskipun sebenarnya sakit. Akan tetapi, jika pemakaiannya dikurangi atau
dihentikan, timbul gejala sakit. Hal ini disebut gejala putus zat (sakaw).
Gejalanya bergantung pada jenis zat yang digunakan. Orang pun mencoba
mencampur berbagai jenis NAPZA agar dapat merasakan pengaruh zat yang
diinginkan, dengan risiko meningkatnya kerusakan organ-organ tubuh.
Gejala lain ketergantungan adalah toleransi, suatu keadaan di mana jumlah
NAPZA yang dikonsumsi tidak lagi cukup untuk menghasilkan pengaruh yang sama
seperti yang dialami sebelumnya. Oleh karena itu, jumlah yang diperlukan meningkat.
Jika jumlah NAPZA yang dipakai berlebihan (overdosis), dapat terjadi kematian
(Harlina, 2008).

Faktor Risiko Penyalahgunaan NAPZA


Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan
penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga, pergaulan
(teman sebaya), dan karakteristik individu.
1. Faktor Genetik
Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari orang
tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum alkohol
dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain
membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih
besar dibandingkan remaja kembar dizigot.
7

2. Lingkungan KeluargaPola asuh dalam keluarga sangat besar


pengaruhnya terhadap penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang
demokratis dan terbuka mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA lebih
rendah dibandingkan dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.
Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan
kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problemproblem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga.
Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak
harmonis dan matinya komunikasi antara mereka.
Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian. Kalau
pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya adalah sebuah rumah
tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering
minggat dari rumah atau pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Ke mana anak
harus berpaling? Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan
yang biasa-biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu luang
dan bercanda dengan orang tuanya (Jehani, dkk, 2006).
3. Pergaulan (Teman Sebaya)
Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman kelompok
sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong atau mencetuskan
penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut Hawari (2006) perkenalan
pertama dengan NAPZA justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman
kelompok ini dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang
bersangkutan sukar melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada
saat perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan seseorang
tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan kekambuhan (relapse).
Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas ikatan
psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam pengaruh teman
kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi si anak, misalnya dengan
cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak dan seterusnya sehingga anak turut
menyalahgunakan NAPZA dan sukar melepaskan diri dari teman kelompoknya.
Marlatt dan Gordon (1980) dalam penelitiannya terhadap para penyalahguna
NAPZA yang kambuh, menyatakan bahwa mereka kembali kambuh karena ditawari
oleh teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA (mereka kembali bertemu
dan bergaul). Kondisi pergaulan sosial dalam lingkungan yang seperti ini merupakan
kondisi yang dapat menimbulkan kekambuhan. Proporsi pengaruh teman kelompok
sebagai penyebab kekambuhan dalam penelitian tersebut mencapai 34%.
4. Karakteristik Individu
1.) Umur
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah mereka
yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan masih sangat labil,
mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang
memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak
70% penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah (Jehani, dkk,
2006).Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) proporsi penyalahguna
NAPZA tertinggi pada kelompok umur 17-19 tahun (54%).
8

2.)Pendidikan
Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang menyatakan apakah
pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan tetapi, pendidikan ada
kaitannya dengan cara berfikir, kepemimpinan, pola asuh, komunikasi, serta
pengambilan keputusan dalam keluarga.
Hasil penelitian Prasetyaningsih (2003) menunjukkan bahwa pendidikan
penyalahguna NAPZA sebagian besar termasuk kategori tingkat pendidikan dasar
(50,7%). Asumsi umum bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mempunyai
wawasan/pengalaman yang luas dan cara berpikir serta bertindak yang lebih baik.
Pendidikan yang rendah memengaruhi tingkat pemahaman terhadap informasi yang
sangat penting tentang NAPZA dan segala dampak negatif yang dapat
ditimbulkannya, karena pendidikan rendah berakibat sulit untuk berkembang
menerima informasi baru serta mempunyai pola pikir yang sempit.
3.)PekerjaanHasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia tahun
2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa penyalahguna NAPZA
tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI dengan
prevalensi 13%, dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11% (BNN, 2010).
Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2004) :
1.) Pencegahan primer
Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka,
individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi terhadap
penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu, kelompok, dan
masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA.
Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat
menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.
2.) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah


menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak menggunakan
NAPZA lagi.
3.) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi
penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk
menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap penyalahguna
NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan pendampingan yang
dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi,
maupun dengan melakukan rehabilitasi kembali.
Undang undang
Di Indonesia telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang penggunaan
NAPZA (Undang Undang No.5 Tahun 1997), dimana penggunaan NAPZA diluar
yang telah ditentukan adalah dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana.
9

Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik


Indonesia Nomor 17 tahun 2002 mempunyai tugas membantu Presiden dalam :
a.) Mengkoordinasikan instansi Pemerintah terkait dalam penyusunan
kebijakan dan pelaksanaannya di bidang ketersediaan, pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
b.) Melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika , dengan membentuk satuan tugas satuan tugas yang terdiri
dari unsur unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya masing masing.
Dalam mengantisipasi ancaman dan bahaya penyalahgunaan narkotika yang berskala
internasional di samping Undang undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika,
Indonesia secara keseluruhan telah memiliki instrument Undang undang sebagai
berikut :
1) Undang undang No. 8/1996 tentang Penegasan Konvensi Tunggal Narkotika
1961 beserta Protokol PerubahanPerubahannya.
2) Undang undang No. 7/1997 tentang Penegasan Konvensi PBB tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika 1998.
3) Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Kesemua Undang undang narkotika ini merupakan kekuatan hukum untuk
penanggulangan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika baik nasional maupun
internasional. Kendatipun adanya seperangkat instrument hukum untuk
penanggulangan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, namun secara faktual
tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak pernah surut.
Peredaran Gelap Narkoba
Peredaran gelap Narkoba di Indonesia semakin meningkat terutama sejak
tahun 2003. Jumlah tersangka kasus Narkoba meningkat setiaptahun, dari sekitar
5.000 tersangka pada tahun 2001 menjadi 32.000 tersangka pada tahun 2006. Dalam
kurun waktu 2001-2006 jumlah tersangka kasus mencapai sekitar 85.000 orang. Sejak
tahun 1998 Narkoba diungkap setiap tahun dengan jumlah yang semakin meningkat.

10

Anda mungkin juga menyukai