Anda di halaman 1dari 11

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani. Namun sayangnya masalah yang dihadapi petani
semakin lama semakin banyak. Selain sebagai negara agraris, Indonesia juga
dikenal dengan negara maritim, karena luasnya laut yang dimiliki negara ini. Garis
pantainya saja mencapai 90.000 km. Namun, belakangan ini justru garam menjadi
masalah. Negeri yang seharusnya mampu memproduksi garam berlimpah, malah
harus mendatangkan garam dari negara lain seperti, Australia, India, Singapura,
bahkan dari Jerman. Dan ternyata impor garam ini sudah berlangsung lama. Dan
lebihnya parahnya lagi, garam yang diimpor justru lebih besar daripada garam
lokal.
Keadaan ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa akumulasi dari
garam lokal dan impor itu telah melabihi kebutuhan garam Indonesia yang
mengakibatkan rendahnya harga garam (BPS 2003). Sebagai contoh, produksi
garam nasional hanya mencapai 780.250 ton, sedangkan impor membeludak
sebesar 1,826 juta ton sehingga jumlah pasokan nasional pada 2007 mencapai 2,61
juta ton, sementara total konsumsi hanya 2,40 juta ton, sehingga harganya
cenderung jatuh. Selain itu, harga jual dari garam tradisional pun masih rendah,
pada tahun 2009 berdasarkan ketetapan dari pemerintah pusat harga garam K1
(kualitas teratas) adalah Rp. 325/kg dan K2 adalah Rp. 250/kg. Sedangkan untuk
garam K3 tidak diberlakukan lagi karena pabrik tidak mau menerima garam
kualitas rendah dari petani.

B. Rumusan masalah
1 . Apakah faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk melakukan
impor garam di Indonesia?
2. Bagaimanakah hubungan antara kebijakan impor garam terhadap kesejahteraan
petani garam Indonesia?
3. Bagaimanakah solusi untuk mengatasi dampak kebijakan impor garam terhadap
petani garam Indonesia?

C. Tujuan
1 Mengetahui faktor yang mempegaruhi keputusan pemerintah mengenai
kebijakan impor garam di Indonesia
2 Manganalisis hubungan antara kebijakan impor garam terhadap kesejahteraan
petani garam Indonesia
3 Mengetahui solusi untuk mengatasi dampak kebijakan impor garam terhadap
petani garam Indonesia.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Undang-Undang yang Mengatur Impor Garam di Indonesia


Impor yang terjadi di indonesia sudah berlangsung sejak lama bahkan
sejak zaman pemerintahan presiden Soekarno dan semakin meningkat pada saat
pemerintahan presiden Soeharto. Jika menyangkut tentang kebijakan impor garam
yang telah terjadi di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1994, kita bisa
mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 69 tahun 1994 tentang Pengadaan
Garam Beriodium dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Setelah itu, juga
dikeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/MDAG/PER/1012007, sebagai perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005. Namun, pada dasarnya isi
dari peraturan menteri perdagangan tersebut adalah sama namun, perubahan yang
terjadi hanya dalam bentuk perubahan-perubahan cara (teknis) dalam proses
impor garam di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI tersebut, hal yang
melatarbelakangi dilaksanakannya impor garam di Indonesia adalah produksi
garam dalam negeri, baik mutu maupun jumlah, sampai saat ini belum dapat
memenuhi kebutuhan garam dalam negeri, terutama garam sebagai bahan baku
industri masih sangat rendah, sehingga masih diperlukan garam yang bersumber
dari impor.
Kebijkan yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk didalamnya kebijakan
impor, tentu saja bertujuan terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang
sejahtera. Mengenai kesejahteraan ini, penulis setuju dengn Edi Soeharto, PhD
yang menyatakan dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik,
kesejahteraan adalah suatu keadaan dimana seseorang mampu memenuhi
kebutuhannya (Soeharto 2010). Dalam bukunya ini, Edi Soeharto lebih banyak
berbicara mengenai kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial,
dibutuhkan suatu bentuk pembangunan kesejahteraan sosial yang diharapkan
mampu menciptakan kondisi sosial yang adil dan merata serta berjalannya suatu
sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan melembaga sebagai salah satu piranti
kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menjadi bangsa yang maju,

mandiri, dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar


kemanusiaan. Sedangkan Entang Sastraatmadja dalam tulisannya yang berjudul
Indikator Kesejahteraan Publik menyatakan bahwa kesejahteraan bisa dilihat dari
berbagai aspek tak hanya sosial. Salah satunya adalah kesejahteraan secara
ekonomi. Kesejahteraan ekonomi bisa terlihat jelas melalui tingkat pendapatan
masyarakat. Diindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendapat, maka semakin
tinggi pula tingkat kesejahteraan masyarakatnya (Sastraatmadja 2010).
B. Jumlah Produksi dan Impor Garam di Indonesia
Garam merupakan komoditi strategis sebagai bahan baku industri dan
bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat.
Namun, produksi garam yang dihasilkan oleh petani garam Indonesia belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan garam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan impor garam. Tapi, dalam
realisasinya, tujuan dilakukan impor sebagaimana yang telah dijelaskan
sebalumnya yaitu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, justru menimbulkan
masalah baru karena melebihi jumlah yang dibutuhkan. Ini bisa terlihat pada data
yang ada pada tabel dibawah ini.
Tabel Hasil Produksi dan Kebutuhan Garam Nasional Pada Periode 1999-2003
Luas
Produksi (ton/tahun)
No
Provinsi
area
1999
2000
2001
2002
2003
(Ha)
I
Pasokan Dalam Negeri
1
Aceh
277
12000
12000
12000
10000
8000
2
Jawa barat
1716
38000
40000
45000
130000 130000
3
Jawa tengah
3248
50000
55000
63000
220000 220000
4
Jawa timur
14613
271700
275000
292000
570000 615000
5
Bali
29
1200
1200
1200
2200
2500
6
NTB
1052
44700
47000
40000
61000
61500
7
NTT
304
12900
20000
11000
10000
30000
8
Sulawesi
1260
45000
50000
50000
70000
70000
Selatan
9
Sulawesi
300
140
140
140
18000
18000
Tengah
Jumlah
22799
475640
500340
514340 1091200 1155000
II Kebutuhan
1
Garam
895000
920000
940000
970000 1025000
konsumsi
2
Perminyakan
100000
100000
100000
100000 100000
3
Lain-lain
92000
92000
96000
96000 100000
4
Garam industri
951000
991000 1001000 1051000 1001000
Jumlah
2038000 2103000 2137000 2217000 2326000

III

Impor
Jumlah impor
IV Garam di Indonesia
Jumlah total
(produksi+impor)

1852509

1438336

1587359

1552658 1426340

2328149

1938676

2101699

2643858 2581340

Sumber : BPS 2003

Tabel di atas menunjukkan bahwa garam yang diimpor lebih banyak


daripada garam yang diproduksi lokal. Kita ambil satu contoh pada tahun 2002.
Pada tahun 2002, produksi garam nasional hanya mencapai 1091200 ton,
sedangkan impor membeludak sebesar 1.552.658 ton sehingga jumlah pasokan
nasional pada 2002 mencapai 2.643.858 ton, sementara total konsumsi hanya
2217000 ton (melebihi 426858 ton terhadap kebutuhan), akibatnya harga jatuh.
Selain itu, harga jual garam tradisional dari petani masih rendah. Hal ini
mengakibatkan posisi tawar garam rakyat makin lemah. Inilah yang akan
berdampak langsung terhadap kehidupan petani garam indonesia.
C. Dampak Impor Garam Terhadap Kesejahteraan Petani Garam Indonesia
Impor garam yang dilakukan oleh pemerintah akan berpengaruh terhadap
kesejahteraan petani garam Indonesia. Kesejahteraan tersebut bisa dilihat dari
aspek ekonomi maupun sosial. Aspek ekonomi ditandai dengan penurunan
pendapatan petani akibat harga yang sangat rendah, sedangkan aspek sosial bisa
dilihat dengan adanya perubahan struktur sosial yang ada di masyarakat setelah
adanya kebijakan impor garam di Indonesia.
-

Anjloknya harga garam nasional


Impor garam yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia telah memberikan
dampak yang sangat signifikan terhadap petani garam Indonesia. Tujuan impor
yang pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam negeri yang
tidak dapat diperoleh di dalam negeri ataupun untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri yang walaupun di dalam negeri ada, tapi tidak mampu untuk memenuhi
semua kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Namun, seiring dengan berjalannya
waktu, tujuan yang ditetapkan tersebut tidak terealisasi sesuai dengan rencana.
Kebijakan tersebut justru malah membawa dampak negatif bagi masyarakat
Indonesia, terutama petani garam Indonesia. Banyak petani tidak dapat bertahan
dengan pilihan usahanya, bahkan ada yang meninggalkan usahanya dan berpindah
menekuni mata pencaharian lain. Problem yang dihadapi petani garam yang

tampak kepermukaan, antara lain menyangkut harga, mutu garam yang sangat
rendah, sampai membanjirnya garam impor.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
20/M-DAG/PER/9/2005, harga garam KP1 (kualitas teratas) adalah Rp. 200.000,per ton, yang artinya garam rakyat yang kualitas bagus hanya dihargai Rp. 200,/kg. Harga garam kategori KP2 adalah Rp. 150.000,00 per ton, atau Rp.
150,00/kg. Dan harga garam KP3 adalah Rp. 80.000,00 per ton, atau hanya
dihargai Rp. 80,00/kg. Bahkan untuk garam KP3 tidak diberlakukan lagi karena
pabrik tidak mau menerima garam kualitas rendah dari petani.
Harga yang sangat rendah akibat membanjirnya garam impor telah
membuat kehidupan ekonomi petani garam lokal semakin merosot tajam.
Kebijakan pemerintah yang tidak begitu berpihak pada petani lokal, dan
sepertinya melupakan bahwa dalam stuktur masyarakat ada golongan pengepul
yang seringkali membantu petani garam berupa pinjaman alat dan modal usaha,
namun mengharuskan petani garam untuk menjual garam hasil produksinya hanya
kepada pengepul tersebut. Dan sangat disayangkan sekali harga yang diberikan
oleh para pengepul ini juga sangat rendah. Akhirnya posisi petani garam Indonesia
semakin sulit. Pemerintah yang seharusnya menjadi tempat mereka untuk
meminta perlindungan, malah menetapkan impor garam dan ketentuan harga yang
sangat rendah. Ketetapan pemerintah mengenai harga garam yang sangat rendah
ini, tentu saja akan mengakibatkan penurunan pendapatan petani garam Indonesia.
Dan menurunannya

pendapatan akan berimbas pada tingkat pendidikan,

kesehatan, dan pada akhirnya sejahtera semakin jauh dari harapan petani garam
Indonesia.
-

Perubahan struktur sosial masyarakat


Banyaknya petani yang menjual lahan pertanian garamnya akibat merasa
bahwa pertanian garam tidak lagi menjadi mata pencaharian yang potensial,
secara tidak langsung telah mengubah struktur sosial masyarakat. Mengenai hal
ini, kita bisa mengambil kasus yang diteliti oleh seorang mahasiswa Universitas
Diponegoro yaitu Yeti Rochwulaningsih mengenai petani garam di Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Dari penelitiannya, dia menyatakan bahwa
jumlah petani garam pemilik lahan pada tahun 1990 sebanyak 784 orang, tahun
2000 menurun menjadi 729 orang dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang.

Peningkatan terjadi pada jumlah petani penggarap/ buruh garap di mana pada
tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang dan pada tahun 2005 menjadi 4.739
orang. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di kabupaten Rembang juga
cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000
berkurang menjadi 6 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 4
perusahaan (Rembang Dalam Angka 1990, 2000 dan 2005). Padahal luas lahan
garam relatif tidak berubah, yaitu 1.189,449 ha pada tahun 1990 (Jawa Tengah
Dalam Angka, 1991), 1.184,965 ha pada tahun 2000 dan 1.184,965 ha pada tahun
2005 (Rochwulaningsih 2009).
Dari contoh diatas dapat kita lihat bagaimana menurunnya jumlah petani
garam yang masih memiliki lahan sendiri. Sedangkan petani penggarap semakin
meningkat jumlahnya. Fenomena itu pada satu sisi menunjukkan bahwa posisi dan
status sosial ekonomi petani garam semakin termarjinalkan atau terpinggirkan
dan pada sisi yang lain juga dapat dimaknai telah terjadi polarisasi dalam
penguasaan lahan garam atau dominasi oleh beberapa golongan perusahaan yang
ada di Rembang. Penguasaan lahan oleh beberapa perusahaan ini tentu saja telah
merubah struktus sosial yang ada di masyarakat.
Dalam proses produksi garam, lahan merupakan alat produksi yang sangat
penting bagi petani garam karena diatas lahan itulah kegiatan produksi mereka
lakukan. Oleh karena itu, struktur penguasaan lahan garam akan menentukan
accessibity petani garam pada surplus atas praduksinya. Artinya, petani garam
lahan sempit dan yang tidak menguasai lahan garam, aksesnya rendah bahkan
tidak memiliki akses pada surplus dari produksinya dan sebaliknya petani yang
menguasai lahan luas memiliki akses untuk dapat menikmati surplus dari produksi
garam. Artinya, Perusahaan- perusahaan yang masih bertahan telah mengusai
lahan-lahan yang ada di Kabupaten Rembang. Sedangkan petani yang pada
awalnya adalah petani yang mengolah garam pada lahannya sendiri, sekarang
harus menjadi petani penggarap pada lahan yang pada awalnya adalah miliknya.
Kasus yang hampir sama juga terjadi di Kecamatan Losarang, Indramayu.
Pertanian garam bukan lagi menjadi primadona mata pencaharian bagi masyarakat
disana. Mereka hanya menjadikan usaha pertanian garam sebagai mata
pencaharian sampingan. Mereka melakukan produksi garam hanya pada saat
musim kemarau tiba. Namun sangat disayangkan karena pada umumnya petani

garam di Losarang Indramayu termasuk dalam petani yang menyewa tanah atau
lahan penggaraman atau yang menggarap tambak milik orang lain melalui sistem
maro (Sarjono 2011). Yang menjadi pertanyaan adalah kemana para petani garam
lokal. Ternyata para petani garam lokal hanya memiliki sedikit sekali dari lahan
yang ada di daerah tersebut bahkan tidak memiliki sama sekali. Mereka banyak
yang memutuskan merantau ke daerah lain akibat tak adanya lahan yang mereka
kuasai untuk produksi garam. Mengenai keadaan ini, penulis setuju dengan
pernyataan Darmawan sebagai berikut: Bukan hanya lahan yang sempit,
kehidupan ekonomi-sosial masyarakat bisa dilihat dari bentuk rumah masyarakat
yang sangat sederhana tanpa memperhatikan sanitasi yang baik (Darmawan
2007).
Kasus di atas sudah cukup menjelaskan bahwa kebijakan impor garam yag
ditetapkan pemerintah Indonesia telah membawa dampak negatif bagi petani
garam indonesia. Jika tidak segera diatasi, dampak tersebut bisa mengakibatkan
hal yang lebih parah lagi yaitu semakin jauhnya kesejahteraan dan kemakmuran
bagi rakyat Indonesia.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang ditetapkan pemerintah untuk
melakukan impor garam di Indonesia telah membawa dampak negatif bagi petani
garam Indonesia yang sangat menggantungkan kehidupannya pada pertanian garam.
Membludaknya impor garam yang dilakukan oleh pemerintah mengakibatkan
anjloknya tingkat harga garam nasional. Kualitas garam impor yang cenderung lebih
bagus dari pada garam lokal, mengakibatkan masyarakat Indonesia lebih memilih
untuk mengkonsumsi garam impor dengan harga yang relatif sama. Kedudukan petani
garam semakin lemah oleh ketetapan harga garam yang sangat rendah oleh
kementrian perdagangan nasional. Dan ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan petani garam Indonesia terutama petani garam kecil. Jatuhnya harga
garam lokal berpengaruh langsung terhadap penghasilan mereka. Ekonomi mereka
tentu saja akan semakin menghawatirkan jika impor garam ini tetap berlangsung.
Kondisi ekonomi yang semakin terpuruk membuat para petani garam kecil akhirnnya
memutuskan untuk beralih kepada usaha lain. Lahan pun akhirnya dikuasai oleh para
pengusaha garam. Sehingga ketika mereka (petani garam kecil) memutuskan untuk
kembali melakukan usaha pertanian garam, mereka sudah tidak memiliki lahan lagi
dan akhirnya mereka hanya bisa menjadi buruh penggarap pada perusahaanperusahaan garam. Dampak-dampak tersebut akan terus berkelanjutan kearah yang
lebih serius jika tidak langsung ditangani oleh pemerintah.

Saran
Untuk mengatasi permasalahan ini, banyak hal yang harus dilakukan yaitu:
sebelum menetapkan suatu kebijakan (dalam kasus impor garam), pemerintah
seharusnya mampu mempertimbangkan berbagai aspek terlebih dahulu terutama
petani garam nasional. Jangan sampai merugikan petani garam lokal. Jika memang
harus dilakukan impor, diharapkan tidak melebihi dari produksi garam Indonesia
sehingga harga garam bisa tetap stabil. Adanya bantuan dari pemerintah untuk petani
garam lokal dari aspek teknologi akan sangat membantu. Dengan adanya teknologi
yang lebih bagus, diharapkan mampu memenuhi memenuhi kebutuhan garam
nasional bahkan bisa melakukan ekspor. Selain pemerintah, petani garam sendiri juga
harus berusaha untuk menjadi petani yang cerdas. Mereka harus terbuka pada

teknologi baru yang diperkenalkan pemerintah. Sehingga dengan adanya kerja sama
yang baik antara pemerintah dan petani, kesejahteraan akan terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Hasil produksi dan kebutuhan garam nasional.
Jakarta [ID]: BPS dan Ditjen PLS Depdiknas.
Darmawan W. 2007. Potret kehidupan sosial ekonomi. Media Karya. Jakarta
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005
Tentang Ketentuan Impor Garam. Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/1012007
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/MDAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Republik Indonesia.
Rochwulaningsih Y. 2009. Petani garam dalam jeratan kapitalisme. Graha Ilmu.
Yogyakarta
Sarjono MC. 2011. Menelusuri lintasan air penggaraman. Liberty. Yogyakarta
Sastraatmadja E. 2010. Suara petani. Rafika Aditama. Bandung.
Soeharto. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Rineka Cipta. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai