Anda di halaman 1dari 12

PEMBAHASAN

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

I.

DEFINISI
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan

peradangan

granulomatosa

yang

bersifat

kronik

destruktif

oleh

mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi


sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793 ) yang pertama kali
menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit
ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 L3, dan paling jarang pada
vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang
mengenai arkus vertebra.

II.

ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus
urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.

III.

PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi
hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya
kifosis.

Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.
Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang
garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau
kavum pleura.
Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan
muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat
menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah
femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dlam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6
8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium Destruksi Awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 6
minggu.
3. Stadium Destruksi Lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2
3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum
serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji
terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra,
yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis


Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. vertebra
thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia,
yaitu :
Derajat I

: Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan

aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.
Derajat II

: Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita

masih dapat melakukan pekerjaannya.


Derajat III

: Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi

gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anestesia


Derajat IV

: Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan

defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang
sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang
kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari
jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan
dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra. Derajat I III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai
paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di
sebelah depan.

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung noduslimfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari
fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luartulang belakang. Pada
penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi
yangpaling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.Pada anakanak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru
sementarapada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadimelalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitusetengah bagian bawah
vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batsondsyang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena. Hal inilah yang menyebabkanpada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali
dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada20% kasus melibatkan
tiga atau lebih vertebra.Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga
bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di
area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior /area subkondral). Banyak
ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis
diskus.Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadipada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehinggamenghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma.Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di
atas dan dibawahnya. Gambaranradiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji).Pola ini diduga disebabkan karena
adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawahligamentum
longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

4. Bentuk atipikal Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus
primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasukdidalamnya adalah tuberkulosa spinal
dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalisspinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan
spinosus, sertalesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi
tuberkulosa yang melibatkan elemen posteriortidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar
antara 2%-10%.

IV.

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anaksering disertai denganmenangis pada malam hari.
Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melaluiruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya
radiks dorsalis di tingkat torakal.
Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinale. Deformitas pada
punggung (gibbus)
Pembengkakan setempat (abses)
Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 %
kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa:
o Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan padagerakan berjalan dan nyeri.
o Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya
batas defisit sensorik setinggi tempatgibbus atau lokalisasi nyeri interkostal
(Tachdjian, 2005).

V.

DIAGNOSIS
Diagnosis pada spondilitis tuberkulosa meliputi:

1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi
keluhan utama, keluhan sistem badan,riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.
2. Pemeriksaan fisika
a. InspeksI : Pada klien dengan spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat,
dan pada tulang belakang terlihat bentukkiposis.
b. Palpasi

: Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi, keadaan tulang belakang

terdapat adanya gibbus pada area tulangyang mengalami infeksi.


c. Perkusi

: Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.

d. Auskultasi

: Pada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak

ditemukan kelainan.
3. Pemeriksaan medis dan laboratorium (Lauerman, 2006).

VI.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratoriuma.
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i.

Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi


menghasilkan negatif palsu pada penderitadengan alergi.

j.

Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA


kuman tuberkulosis melekatkannukleotida tertentu pada fragmen DNA dan
amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantaiDNA
utuh yang diidentifikasi dengan gel.

2. Pemeriksaan radiologisa.
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses
dingin tampak sebagai suatubayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus
vertebra, penyempitan diskusintervertebralis, dan mungkin ditemukan
adanya massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesiirreguler,
skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanyapenekanan saraf (Lauerman, 2006).

VII.

DIAGNOSIS BANDING

Osteitis piogen

Lebih cepat timbul demam

Poliomielitis

Paresis / paralisis tungkai, skoliosis, dan


bukan kifosis

Skoliosis idiopatik

Tanpa gibus, tanpa paralisis

Penyakit paru dengan ( bekas ) empiema

Tulang belakang bebas penyakit

Metastasis tulang belakang

Tidak mengenai diskus, adakah karsinoma


prostat

Kifosis senilis

Kifosis tidak lokal, osteoporosis seluruh


rangka

a. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.


b. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat karsinoma
prostat.
c. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
d. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
e. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
f. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
g. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit

h. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).


i.

Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier, 2004).
Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulangbaru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebrayang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkinds disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst danEwingds sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi
berbedadengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karenainfeksi mempunyai
bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang
berbatas jelas.
Scheuermannds disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpusvertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

VIII.

TATALAKSANA
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :

1. Terapi konservatif berupa:


a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
- Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg.
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama
4 bulan (54 kali).
- Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk
penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid
1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat
diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik,
laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme
berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif
Indikasi operasi yaitu:
Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin
berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis

tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.


Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft.
Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan
CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan
penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi
tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan
drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

PSSW
Instrumentasi posterior torakolumbal bertujuan meningkatkan atau menjaga
stabilitas segmen tulang belakang, mengurangi deformitas kifosis (gibus), dan untuk
membagi beban yang diterima tulang belakang oleh struktur jaringan tubuh. Instrumentasi
posterior untuk kasus-kasus spondilitis tuberkulosis dapat dilakukan dengan beberapa

alternatif seperti wiring systems (luque wiring, rummond/wisconsin wiring), hook-based


systems (pedicle, transverse proces) dll.

IX.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:

1. Pottds paraplegiaa.
Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringangranulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulaspinalis dan saraf.
Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatantulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebraa.
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberculosis.
Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas
abses yang merupakan coldabsces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pustuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pottds paraplegia prognosabaik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh
:menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis padatumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dancorda spinalis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad Chairuddin. Infeksi dan Inflamasi. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang
Lamumpatue; 2003. Hal. 144 149.
2. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Samsuhidajat, Wim de Jong. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, 2003,hlm
907 910.
4. Apley & Solomon. Apleys System of Orthopaedics and Fractures. Seventh Edition. Great
Britain : Bath Press, Avon;1993

Anda mungkin juga menyukai