Oleh:
110110120212
110110120218
110110120222
Andiani Apriliani
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai titik pertautan sekunder dalam
Hukum Perselisihan.
Makalah ini dibuat dengan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah hukum perselisihan.
Selain itu, dengan pembuatan makalah ini, penulis berharap dapat lebih memahami perihal
titik taut sekunder dalam Hukum Perselisihan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada pembahasan minggu lalu, telah dipelajari menegenai titik pertautan primer yang
bertugas untuk menentukan pembeda dalam suatu hubungan hukum,sehingga jelas bahwa
hubungan hukum tersebut berada dalam konteks hukum perselisihan. Setelah mengetahui apa
itu titik pertautan primer, selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan titik pertautan
sekunder. Titik pertautan sekunder atau titik penentu adalah metode unutk menentukan
hukum mana yang akan berlaku atau hukum siapa yang akan digunakan dalam hubungan
hukum yang terjadi. Berikut adalah faktor-faktor yang dapat menjadi penentu hukum yang
akan digunakan dalam suatu hubungan hukum.1
b) Pilihan Hukum
Pilihan huum menitikberatkan pada upaya penggunaan hukum pihak ketiga. Artinya,
hukum yang akan digunakan bukan hukum yang berlaku bagi dirinya ataupun yang
berlaku bagi mitranya. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan faktor kehendak atau
maksud dari para pihak yang telah diuraikan diatas.
Misalnya, dalam hal perjanjian jual beli rumah yang dilakukan oleh dua orang pribumi
pada tahun 1914. Pada masa itu, masih berlaku hukum yang disesuaikan bagi tiap-tiap
golongan penduduk. Apabila kedua orang pribumi tersebut memilih kaidah hukum yang
terdapat dalam Burgerlijk Wetboek,berarti para pihak yang merupakan pribumi tadi telah
melakukan pilihan hukum ke arah hukum perdata barat.
1
Eman Suparman, (2005), Hukum Perselisihan Konflik Kompetensi dan Pluralisme Hukum Orang Pribumi.
Halaman. 55