Anda di halaman 1dari 5

HUKUM PERSELISIHAN

Titik Pertautan Sekunder

Oleh:
110110120212

Resha Eka Dewi S.

110110120218

Kristina Rasnawua Fau

110110120222

Andiani Apriliani

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perselisihan


Di bawah bimbingan:

Artaji, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai titik pertautan sekunder dalam
Hukum Perselisihan.
Makalah ini dibuat dengan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan
tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Bandung, 26 September 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum Perselisihan merupakan keseluruhan kaidah yang menunjukkan stelsel hukum


manakah yang akan berlaku atau apakah yang merupakan hukum apabila suatu hubungan
hukum atau peristiwa hukum antar sesama warga negara di dalam satu negara terpaut lebih
dari satu stelsel hukum yang berlainan yang berlaku bagi masing-masing warga negara
dimaksud.
Sejarah munculnya Hukum Perselisihan di Indonesia adalah adanya penggolongan
penduduk berdasarkan Pasal 163 jo. 131 IS pada masa jajahan Belanda yang membagi
penduduk ke dalam tiga golongan yaitu golongan eropa, timur asing dan pribumi. Saat itu
berlaku hukum yang berbeda bagi tiap-tiap golongan sehingga timbul permasalahan hukum
manakah yang akan digunakan apabila antara golongan yang berbeda melakukan suatu
hubungan hukum.
Pasca kemerdekaan, meskipun Indonesia sudah memberlakukan hukum yang sifatnya
nasional, Hukum Perselisihan masih tetap dibutuhkan. Hal ini dikarenakan hukum lain yang
tidak diundangkan secara nasional masih tetap berlaku, misalnya hukum adat. Maka dari itu,
Hukum Perselisihan dalam hal ini mencoba membantu untuk mnyelesaikan tiap persoalan
hukum mana yang akan berlaku apabila terjadi hubungan hukum antar dua sistem hukum
yang berbeda. Untuk menyelesaikan suatu masalah, terdapat beberapa metode dalam Hukum
Perselisihan. Salah satunya adalah menetapkan titik pertautan sekunder.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan titik pertautan sekunder?
2. Bagaimana cara menentukan titik pertautan sekunder dalam suatu perkara?

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah hukum perselisihan.
Selain itu, dengan pembuatan makalah ini, penulis berharap dapat lebih memahami perihal
titik taut sekunder dalam Hukum Perselisihan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Titik Pertautan Sekunder

Pada pembahasan minggu lalu, telah dipelajari menegenai titik pertautan primer yang
bertugas untuk menentukan pembeda dalam suatu hubungan hukum,sehingga jelas bahwa
hubungan hukum tersebut berada dalam konteks hukum perselisihan. Setelah mengetahui apa
itu titik pertautan primer, selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan titik pertautan
sekunder. Titik pertautan sekunder atau titik penentu adalah metode unutk menentukan
hukum mana yang akan berlaku atau hukum siapa yang akan digunakan dalam hubungan
hukum yang terjadi. Berikut adalah faktor-faktor yang dapat menjadi penentu hukum yang
akan digunakan dalam suatu hubungan hukum.1

a) Kehendak atau Maksud dari Para Pihak.


Kehendak atau maksud dari para pihak diartikan bahwa para pihak secara bersama-sama
dapat saja atas kehendak mereka menyepakati apakah hukum yang berlaku bagi pihak
dirinya yang akan digunakan atau hukum yang berlaku bagi mitranya yang akan
digunakan dalam huubungan hukum yang terjadi.

b) Pilihan Hukum
Pilihan huum menitikberatkan pada upaya penggunaan hukum pihak ketiga. Artinya,
hukum yang akan digunakan bukan hukum yang berlaku bagi dirinya ataupun yang
berlaku bagi mitranya. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan faktor kehendak atau
maksud dari para pihak yang telah diuraikan diatas.
Misalnya, dalam hal perjanjian jual beli rumah yang dilakukan oleh dua orang pribumi
pada tahun 1914. Pada masa itu, masih berlaku hukum yang disesuaikan bagi tiap-tiap
golongan penduduk. Apabila kedua orang pribumi tersebut memilih kaidah hukum yang
terdapat dalam Burgerlijk Wetboek,berarti para pihak yang merupakan pribumi tadi telah
melakukan pilihan hukum ke arah hukum perdata barat.
1

Eman Suparman, (2005), Hukum Perselisihan Konflik Kompetensi dan Pluralisme Hukum Orang Pribumi.
Halaman. 55

c) Milieu atau Lingkungan.


Milieu atau lingkungan berarti hukum yang berlaku bagi para pihak adalah hukum yang
berlaku di lingkungan tempat berlangsungnya hubungan hukum. Misalnya, pada tahun
1931 seorang dari golongan eropa datang dan membeli hasil pertanian kepada para petani
di Pengalengan. Dalam konteks tersebut, hukum yang berlaku adalah hukum adat Jawa
Barat, meskipun orang yang membeli merupakan golongan eropa. Hal iini dikarenakan
orang-orang eropa tersebut datang dan masuk ke dalam lingkungan para petani
pengalengan yang merupakan orang pribumi.
Dapat dilihat bahwa faktor milieu atau lingkungan tempat berdomisilinya orang-orang
telah menjadi faktor penentu bagi hukum yang akan berlaku dalam suatu hubungan
hukum.

d) Kedudukan Masayarakat yang Jauh Melebihi dari Salah Satu Pihak.


Kedudukan masyarakat ini merupakan sutau yang bercorak diskriminatif, namun dalam
realitanya masih dijumpai hingga saat ini. Sudargo Gautama menyatakan, ....oleh
karena kedudukan masyarakat yang sangat kuat dan jauh melebihi dari salah satu pihak
dalam suatu hubungan kontrak, dapat terjadi bahwa pihak ini dengan leluasa dpaat
menetapkan syarat-syarat yang hendak dinyatakan berlaku untuk hubungan hukum yang
bersangkutan. Pihak yang secara ekonomis lebih lemah harus menerima pembebanan
secara sepihak (eenzijdig)oleh pihak terutama dalam hubungan kontrak yang
mempunyai maatschappelijk overheersende positie.
Adanya standard contract merupakan salah satu bukti bahwa pihak yang berkedudukan
lebih kuat ketika melakukan tawaran kepada umum, pihak yang menyambut tawaran
dipandang seolah-olah telah menerima baik bahwa dalam hubungan bersangkutan akan
berlaku huum dari pihak yang melakukan tawaran tadi. Contohnya, dalam keseharian
kita dimana nasabah bank yang melakukan pinjaman kepada bank manapun yang
menawarkan kredit, maka sudah pasti posisi nasabah sebgai debitur dianggap menerima
baik semua syarat yang diajukan oleh bank.

Anda mungkin juga menyukai