Anda di halaman 1dari 3

Penduduk dan aktivitas di sekitar krakatau

Terkenal gunung Krakatau (atau Krakatoa) terletak di Selat Sunda antara pulau Jawa dan
Sumatera. Runtuhnya bangunan Krakatau leluhur, mungkin dalam iklan 416, membentuk sebuah
kaldera 7-km-lebar. Sisa-sisa Gunung leluhur ini dilestarikan di Verlaten dan pulau-pulau Lang;
Selanjutnya Rakata, Danan dan Perbuwatan gunung berapi dibentuk, menggabung untuk
membuat pulau Krakatau pra-1883. Runtuhnya kaldera selama letusan tahun 1883 bencana
menghancurkan gunung berapi Danan dan Perbuwatan, dan meninggalkan hanya sisa-sisa
Gunung berapi Rakata. Letusan ini, ke-2 terbanyak di Indonesia selama waktu sejarah,
disebabkan kematian lebih dari 36.000, paling akibat bencana tsunami yang menyapu garis
pantai berdekatan Sumatera dan Jawa. Piroklastik lonjakan bepergian 40 km melintasi Selat
Sunda dan mencapai pantai Sumatera. Setelah ketenangan kaum kurang dari setengah abad,
kerucut pasca runtuhnya Anak Krakatau (anak Krakatau) dibangun dalam kaldera Aira 1883
pada titik antara kerucut mantan Danan dan Perbuwatan. Anak Krakatau telah menjadi situs
sering letusan sejak tahun 1927.
Terkenal gunung Krakatau (atau Krakatoa) terletak di Selat Sunda antara pulau Jawa dan
Sumatera. Runtuhnya bangunan Krakatau leluhur, mungkin dalam iklan 416, membentuk sebuah
kaldera 7-km-lebar. Sisa-sisa Gunung leluhur ini dilestarikan di Verlaten dan pulau-pulau Lang;
Selanjutnya Rakata, Danan dan Perbuwatan gunung berapi dibentuk, menggabung untuk
membuat pulau Krakatau pra-1883. Runtuhnya kaldera selama letusan tahun 1883 bencana
menghancurkan gunung berapi Danan dan Perbuwatan, dan meninggalkan hanya sisa-sisa
Gunung berapi Rakata. Letusan ini, ke-2 terbanyak di Indonesia selama waktu sejarah,
disebabkan kematian lebih dari 36.000, paling akibat bencana tsunami yang menyapu garis
pantai berdekatan Sumatera dan Jawa. Piroklastik lonjakan bepergian 40 km melintasi Selat
Sunda dan mencapai pantai Sumatera. Setelah ketenangan kaum kurang dari setengah abad,
kerucut pasca runtuhnya Anak Krakatau (anak Krakatau) dibangun dalam kaldera Aira 1883
pada titik antara kerucut mantan Danan dan Perbuwatan. Anak Krakatau telah menjadi situs
sering letusan sejak tahun 1927.
Letusan ini, 2 terbesar di Indonesia selama sejarah waktu (yang paling kemudian Gana datang
untuk adalah letusan Tambora tahun 1815), menyebabkan kematian lebih dari 36.000, paling
sebagai akibat dari bencana Tsunami yang menyapu pantai berdekatan Sumatera dan Jawa.
Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang bermula pada
tanggal 26 Agustus 1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan berpuncak dengan letusan hebat
yang meruntuhkan kaldera. Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh
dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas
seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung
api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan setidaknya 36.417
korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan ini juga bisa
dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di Ketimbang (sekarang
Katibung, Lampung). Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu ini.[5] Kombinasi aliran
piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar
Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang
jaraknya sekitar 13 km (8.1 mil) dari Krakatau. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih
1

1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km (25 mil) di sebelah utara
Krakatau. Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417,
namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.
Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami,
dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten
luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km (25
mil) jauhnya ke daratan.[6] Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir
seluruhnya menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah di
sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-m (820 kaki). Dari dua pulau di
utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang tersisa; Poolsche Hoed juga
menghilang sepenuhynya.
Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2 C. Pola cuaca tetap tak beraturan selama
bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888

penduduk
Seperti halnya di daerah perbukitan, aktivitas permukiman sulit dilakukan secara luas. Hanya
pada bagian tertentu saja yang relatif datar dimanfaatkan untuk permukiman. Permukiman
dibangun di daerah yang dekat dengan sumber air, terutama di daerah lereng bawah atau di kaki
gunung. Selain pertanian, aktvitas lainnya di daerah pegunungan yang berkembang adalah
pariwisata. Pemandangan alam yang indah dan udaranya yang sejuk menjadi daya tarik wisata.
Keragaman bentuk muka bumi ternyata diikuti pula oleh keragaman aktivitas penduduk dan
komoditas yang dihasilkannya. Daerah pegunungan dan perbukitan biasanya menghasilkan
produk-produk pertanian berupa sayuran, buah-buahan, dan palawija. Daerah ini memasok
kebutuhan penduduk di daerah dataran yang umumnya merupakan pusat-pusat permukiman
penduduk. Sebaliknya, daerah dataran menghasilkan banyak produk industri yang dikonsumsi
oleh daerah lainnya. Mobilitas atau pergerakan penduduk dan barang terjadi di antara daerahdaerah tersebut karena perbedaan aktivitas penduduk dan komoditas yang dihasilkannya.
Potensi bencana alam di daerah pegunungan yang harus diwaspadai adalah longsor dan letusan
gunung berapi. Tanda-tanda longsor dan upaya untuk menghindarinya telah dijelaskan pada
bagian sebelumnya.
Tampaknya, Krakatau yang "menakutkan" hanya cerita lampau. Sebagian penduduk Kalianda,
Lampung Selatan, misalnya, tidak lagi menyimpan banyak jejak keganasan Krakatau. Terjangan
tsunami pada tahun 1883, seolah tidak lagi menjadi ancaman yang menakutkan. Warga kini
justru menangkap laut sebagai "peluang" peningkatan ekonomi.
Edi Novian, kepala Subdirektorat Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Lampung
Selatan, mengungkapkan, dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2011-2031 kabupatennya,
mengakomodasikan berbagai peluang dengan dibangunnya JSS.
Pembangunan rel kereta, jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar, dan pelebaran jalan sepanjang
pantai Kalianda dijanjikan akan terwujud. Pantai Canti, Merak Belatung, Wartawan, Marina,
dan pantai lainnya di wilayah ini menjadi tempat persinggahan lantaran pengguna kendaraan
2

pribadi di- arahkan melintas jalan pantai. "Potensi ekonomi dan pariwisata kami akan berbuah,"
ungkapnya.
Tidak hanya Lampung, Banten juga menuai manfaat dari jembatan tersebut. Kehidupan industri,
khususnya industri kimia dan pariwisata, yang terfokus di kawasan Selat Sunda, semakin marak.
Saat ini saja, geliat investasi di Banten pesat. Hingga Juli 2011 tercatat 193 proyek dengan
investasi sebesar Rp 12,9 triliun, urutan ke-4 dari 33 provinsi penerima investasi terbesar.
Melihat segenap langkah antisipatif kedua provinsi, terbayangkan betapa semaraknya aktivitas
ekonomi di sepanjang Selat Sunda, kawasan yang juga rawan bencana. Persoalannya kini,
seberapa jauh upaya mitigasi diwujudkan di kedua wilayah ini?
Komodifikasi
Kemungkinan terjadinya bencana telah terpaparkan dalam perencanaan. Letusan Krakatau
paling dikhawatirkan akan melanda 7 kawasan industri strategis Banten, 2 pembangkit listrik,
4 kawasan pariwisata, dan fasilitas ekonomi rakyat. Menjadi semakin parah lantaran di dalam
kawasan tersebut terdapat 35 industri pengolah bahan kimia berikut 26 pelabuhan kimia.
Artinya, bencana letusan ataupun tsunami berpotensi mengakibatkan bencana ledakan kimia
ataupun gas beracun yang mengancam 417.015 jiwa di Cilegon, Serang, dan Pandeglang.
Langkah mengurangi risiko bencana dilakukan. Kota Cilegon, tempat berkumpulnya industri
kimia, memiliki pusat krisis yang menyebarkan informasi kemungkinan bencana. "Kami
menempatkan dua sirene peringatan dini di Ciwandan dan Tegal wangi," ungkap Lilit Basuki
dari Pusat Pengendalian Operasi, Crisis Centre Cilegon. Selain itu, jalur evakuasi telah
ditentukan di kawasan ini. Begitu terjadi bencana, tsunami misalnya, sirene aktif mengingatkan
penduduk.
"Beberapa waktu lalu pernah ada latihan bencana, sekarang tidak lagi. Lagi pula buat apa,
Krakatau tidak akan meletus," ungkap Wahidin, yang lebih dari 30 tahun bermukim di Pantai
Carita.
Bagi Wahidin, sekalipun bencana tiba, itu sebagai takdir. Dalam situasi demikian, sosialisasi
bencana menjadi kurang efektif. Malah, tidak jarang yang terjadi selanjutnya muncul aksi
"pembangkangan" warga, terutama kalangan pemegang kuasa. "Lihat saja keberadaan vila
sepanjang pantai yang jelas rawan, tetapi sulit dikendalikan," ungkap Achyar.
Jika Banten bersama masyarakatnya masih bergelut dalam persoalan efektivitas mitigasi,
Lampung Selatan justru menginterpretasikan model mitigasi Krakatau secara berbeda. Lampung
selatan justru mengeruk material padat Krakatau di kawasan cagar alam, dengan dalih untuk
semacam kantong lahar. Pemerintah pun menjalin kerja sama dengan swasta.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Letusan_Krakatau_1883
http://10507276.blog.unikom.ac.id/status-anak-gunung.72m
http://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau
https://www.scribd.com/doc/72643452/Kondisi-Geologi-Daerah-Gunung-Merapi
3

Anda mungkin juga menyukai