Malam ini kembali kau pergi, seperti malam malam sebelumnya kau
menghabiskan seluruh malam bersama kawan kawanmu dengan
menenggak berbotol botol minuman beralkohol dengan kadar cukup
tinggi, malam sebelumnya kau bilang ini untuk yang terakhir kalinya,
katamu menghargai teman teman lama, malam ini pun ketika kau mau
keluar rumah dengan mengendap ngendap seperti pencuri dan sial
bagimu karena aku pergoki, kau mengajukan alasan yang sama. Ah
sampai kapankah kau akan terus seperti ini, aku sudah lelah untuk
mengingatkanmu, kaupun mungkin sudah lelah dengan sikapku yang
terus menerus mengikuti gerak gerikmu, karena bagiku kau tetaplah adik
kecilku yang kusayangi, setelah semuanya pergi hanya kaulah milikku,
betapa kuingin kau mengetahui hal ini. ah seandainya saja kau bukan
adikku, ya aku berfikir seandainya kau bukan adikku aku tidak akan
begitu peduli.
***----***
Aku mengerti semua resahmu adikku karena akupun mengalami hal yang
sama, sepeninggal marhumah ibu rumah kita menjadi begitu kering dan
hampa, kadang akupun merasa sangat lelah dengan semua ini, selintas
Tanya hinggap di benakku mengapa marhumah ibu begitu cepat pergi
dan mengapa menitipkanmu padaku sebelum kepergiannya mengapa
tidak pada ayah. Tiba tiba aku merasa sangat berdosa berfikir seperti ini,
maaf ibu ini hanya ungkapan seorang yang merasa lelah dan tidak
berdaya menghadapi kehidupan ini, kita sudah sama sama mengetahui
kalau ayah orang yang tidak bisa di andalkan, dari dulu dia tidak pernah
ada dia hanya peduli pada gundik gundik piaraannya, aku masih ingat
waktu itu kau masih sangat kecil adiku mungkin enam tahun atau tujuh
tahun aku sudah lupa tepatnya karena berusaha kulupakan, tapi peristiwa
itu begitu lekat dan sangat membekas, mungkin kau juga masih
mengingatnya ketika ayah datang kerumah dalam keadaan mabuk di
gandeng seorang perempuan muda, saat itu ibu tidak meradang seperti
yang kubayangkan akan terjadi, meski kulihat ada luka mendalam di
wajahnya beliau menyongsong ayah dengan sikap elegan sebagai
seorang perempuan terhormat,
“siapa perempuan yang kau bawa ini” Tanya ibu dengan tegas
“jelas aku peduli, aku ini istrimu, ibu dari anak anakmu”
ibu tetap tenang sambil menenangkanmu yang menangis meronta, meski
kau belum mengerti apa yang terjadi waktu itu, tapi kuyakin kaupun
merasa sangat sakit melihat ibu diperlakukan seperti itu
“kau hanyalah pesakitan yang tidak memberiku kepuasan, kau hanya bisa
beranak, aku bosan denganmu” jawaban ayah nyaris tanpa ekspresi
“ceraikan aku”
seolah tak berdosa ayah ngeloyor begitu saja pergi dari rumah kami
dengan perempuan piaraannya.
***----***
Sepeninggal ayah aku lihat kesehatan ibu semakin menurun, tapi beliau
tak pernah menampakkan sedikitpun rasa sakitnya di hadapan kami,
beliau bekerja semakin keras untuk mencukupi semua kebutuhanku dan
kau yang masih kecil. Beliau juga harus berperan ganda dalam keluarga
ini, kasih sayang beliau kepada kami tak pernah berubah, meskipun harus
bekerja membanting tulang. Saat itu usiaku baru empat belas tahun aku
belum terlalu memahami persoalan orang orang dewasa, ibuku sering
menasihatiku jika kami sedang berkumpul bersama
“kalian anak anaku, satu satunya alasan ibu hidup. Jangan pernah
sekalipun kalian menyakiti orang lain, meskipun kalian disakiti karena
membalas kesakitan tidak akan memberi kalian apa apa selain
kehampaan”.
Waktu itu aku tidak mengerti yang ibuku bicarakan, karena mungkin
beliau sedang berbicara dengan dirinya sendiri, aku hanya manggut
manggut saja mengiyakan, kau hanya tersenyum waktu itu karena
kaupun tentu tidak mengerti.
***----***
***----***
Hari itu sore yang cerah awal bulan mei ketika kau genap berusia 17
tahun, kau kelihatan senang sekali, ibu membelikanmu sebuah hadiah
yang selama ini kau idamkan sebuah gitar, katamu kau ingin jadi musisi
dan ibu sangat peduli padamu memberikan yang kau butuhkan meski kau
tidak pernah memintanya.
Segera setelah kau dapatkan hadiah itu, kau pamit ingin menemui teman
teman katamu. Kau memiliki banyak teman dan selalu ingin membagi
kebahagianmu dengan mereka, dan selang beberapa menit sejak
kepergianmu ibu memanggilku dengan suara yang amat dalam dan lirih
Hanya itu saja yang dikatakannya, kulihat air mukanya tampak begitu
tenang meskipun gurat gurat kelelahan terlukis di wajahnya, aku baru
menyadari beliau tampak sangat tua melebihi usianya, selama ini belum
pernah kutatap wajahnya selama dan sedekat ini, penyakit dan kerja
keras telah merampas semua kemudaannya.
***----***
Hari sudah malam ketika kutinggalkan kamar ibuku, aku langsung pergi
ke kamar tidurku, kau belum pulang, ah kau senang sekali rupanya dapat
hadiah dari ibu.
Saat ini aku merasa sangat dekat sekali dengan ibu, belum pernah
kurasakan sedekat ini dengan beliau, aku tak pernah mengira ini akan
menjadi pembicaraan kami yang terakhir,
***----***
Pagi hari ketika aku tersadar dari tidurku, matahari sudah beranjak satu
tumbak dari peraduannya, sinarnya berpendaran menerpa seisi kamarku
melewati tirai jendela, dan saat kesadaranku mulai penuh sayup sayup
kudengar tangis, tangis yang khas dan seperti pernah kukenal, tangis
yang juga mewakili semua perasaanku. Ah ternyata itu tangismu tangis
yang sama kau lagukan sepuluh tahun yang lalu, tapi tangismu kali ini
lebih terdengar lirih.
***----***
Seperti malam malam sebelumnya setiap kau pergi dari rumah aku selalu
merasakan ada cambuk yang dipukulkan bertubi tubi ke arahku, sejak ibu
kita pergi kau Nampak sangat berubah, kau begitu terluka dengan
kejadian ini. Tapi kenapa kau timpakan semua itu padaku seolah olah aku
yang bersalah, kau tinggalkan bangku sekolah, kau tidak mau menerima
semua pemberianku, kau lebih senang berada di jalanan bersama kawan
kawanmu menghabiskan malam dengan menenggak minuman, berbicara
sedikit sekali dan selalu menghindar ketika kukejar dengan sejumlah
pertanyaan seolah aku yang layak disalahkan atas kepergian ibu, karena
aku tertidur dan tidak berada di sisinya saat beliau meninggalkan kita
untuk selamanya.
***----***
***----***
Pagi masih buta ketika handphoneku berdering, kulihat ada pesan singkat
dari adikku. Ah senang sekali rasanya sepagi ini kau mengirimiku pesan,
ini pertanda baik pikirku….
Pesan yang singkat dan membuat dadaku tercekat, ah apalagi ini… belum
cukupkah semua kekejaman ini??? Baru saja aku akan merasa bahagia,
mungkin kebahagiaan memang bukan untukku.
Aku bergegas pergi ke rumah sakit, dan kudapati kau tergeletak tak
berdaya dengan luka di sekujur tubuhmu dan terutama di kepalamu, aku
bahkan sudah tidak mengenali wajahmu lagi,
Aku merasa ada desiran halus meresap kedalam sukma dan meriap ke
seluruh tubuhku
***----***
“maaf, kami hanya mampu berusaha tapi tidak bisa memberinya nyawa”
***----***
Malam ini, setelah kau pergi untuk selamanya, kutulis puisi ini;