Anda di halaman 1dari 6

Untuk Bunga-Bunga

Saka tiba-tiba bangkit dari tidurnya, dia kaget bukan kepalang, pusing
kepala dibuatnya, mimpi itu kembali datang menghampirinya, dia lihat
jam di hape

“sial baru jam dua pagi” dia menggerutu tapi tak urung bangun juga,
mula-mula dia ke kamar mandi cuci muka, lalu meyeduh kopi pahit, di
raba-raba saku celananya

“ah sialan Cuma setengah bungkus lagi, jam segini mana ada warung
buka” kembali dia menggerutu sambil menyalakan sebatang rokok
kreteknya, dicapit disela antara telunjuk dan jari tengah lalu diisapnya
rokok itu dalam-dalam, dihembuskannya perlahan-lahan, kepulan asap
menggumpal keluar dari mulutnya seperti kawah gunung berapi, nikmat
sekali tampaknya, rokok kretek dengan kopi pahit memang pasangan
yang serasi.

Dinihari musim penghujan ini cukup hangat dan bersahabat, saka hanya
mengenakan kaos oblong dan celana bokser, dia duduk di sofa ruang
tamu memandang langit-langit rumah, sesekali diperhatikannya cicak
yang mengendap-ngendap mengintai dan menunggu nyamuk mendekat,
di sudut sebelah sana malah dia lihat cicak lain yang sedang asik bercinta,

menikmati pagi buta, sambil memandang cicak dia menyeruput kopi


pahitnya yang masih panas, lalu berkata entah kepada siapa “cheers”.

Dia seperti mengingat sesuatu, tiba-tiba tertawa cekikikan, mungkin kalo


ibunya atau siapapun yang kebetulan lewat dan melihat tingkahnya akan
dikiranya dia orang gila,

“kalau ada program pendonoran otak, maka otak orang Indonesia akan
sangat laku, dan harganya paling mahal” joko temannya berkata

“kenapa???” saka menyela

“karena kebanyakan otak orang Indonesia masih orisinal” jawab joko


enteng

“Maksudnya” saka masih kebingungan

“kan jarang di pake” joko menukas sekenanya

Saka mengingat kembali percakapannya dengan joko tadi siang di tempat


nongkrong, dia lantas bergegas ke kamar menuju meja komputer,
menyalakan cpu dan menunggu, menghempaskan kepalanya pada
sandaran kursi, sembari asyik bermain-main dengan kepulan asap rokok,
sesekali menyeruput kopi pahitnya yang mulai dingin.
Dia menyadari sesuatu, selama ini otaknya sudah lama diistirahatkan,
percakapan tadi siang menggelikan sekaligus menyakitkannya, maka pagi
ini dia berniat menulis sebuah cerita, setidaknya dengan menulis berarti
dia befikir, soal bagus atau tidaknya apa yang akan di tulis, itu urusan
belakangan pikirnya, maka mulailah dia bercerita.

***_***

karena sekecil apapun tentangmu selalu membuatku bahagia, kulukis


cantikmu pada remang senja, aku selalu menunggu megamega, jika hari
cerah tanpa curah airmata langit yang sering memilukan itu, disana telah
pula kupahatkan namamu dengan ukiran indah dan dalam ukuran yang
besar, agar ingatku semakin menebal dan membebal,

***_***

devina sri eka mulyana, begitulah nama lengkapmu, putih mulus kulitmu,
dengan wajah opal seperti jeruk sunkis di belah dua, tubuhmu padat dan
berisi, sorot matamu tajam menantang seperti elang melihat anak ayam,
akh aku tak cukup pandai memberi gambaran tentang kecantikanmu,
biarlah tetap tak tergambar aku takut malah memudarkannya,

pertemuan dan perkenalan kita terjadi pada sebuah acara seminar


tentang lingkungan, kebetulan kau dan aku duduk bersebelahan

‘nama saya devina, anda seorang aktivis lingkungan?” kau mengulurkan


tangan,

dari tadi sebenarnya aku hendak mengajakmu berkenalan, tapi aku


bingung bagaimana cara memulainya, maka aku diam saja, diam tak
selamanya buruk pikirku

“saya hanya pencinta lingkungan, dan senang bercocok tanam” jawabku


agak fomal, karena terus terang aku gugup

“apa yang anda tanam?, senang sekali rasanya bersahabat dengan


tanaman”

“saya menanam bunga-bunga, ada mawar, anggrek, dan kaktus”

“oh…amazing, bolehkah aku melihat tanaman bungamu?”

“tentu, kau juga boleh mengambil bunga-bunga yang kau suka, dengan
senang hati mereka ikut dengan bidadari secantik kau” tanpa sadar aku
memujimu, kulirik sekilas wajahmu, kau merona merah, aku menunduk
takut ucapanku salah
“terima kasih, kau sangat baik” terdengar tulus, dan sangat merdu di
telingaku, aku jadi tersipu,

Dan kitapun lupa sedang berada di ruangan yang penuh dengan orang-
orang, kita asyik saja membicarakan bunga-bunga, tentang spesies
mawar yang kutemukan sendiri setelah beberapa kali melakukan
percobaan mengawinsilangkan mawar liar dengan beberapa spesies
mawar import, dan kau begitu asyik mendengarkan ceritaku tentang
bunga-bunga itu, akupun semakin bersemangat, meskipun tak pernah
berani kutatap matamu,

Waktu terasa begitu sempit, tiba-tiba ada yang memanggilmu, kaupun


bergegas, sebelum beranjak kau hanya sempat mengajukan sepotong
pertanyaan

“oh ya nama kamu siapa?”

“saka” jawabku pendek

Dan akhirnya aku harus merelakan keindahan itu menguap begitu saja
sebelum dapat benar-benar kusadari, mungkin kaupun merasakan hal
yang sama,

Tanpa alamat dan nomor kontak, kemanakah akan kucari engkau, devina
sri eka mulyana, di daftar hadir seminar tak ada nama seperti itu, adakah
kau memberikan nama samaran padaku, atau kau menyamarkan
namamu pada daftar hadir itu, akh…entahlah, kau membuatku berharap
tanpa mengetahui harapan itu,

Kadang aku sengaja berkeliling menyambangi florist-florist, flowers house,


dan tempat-tempat lainnya yang berbunga kecuali bank, hanya untuk
mencari, siapa tahu kau ada disana, meskipun aku tahu itu akan sia-sia
saja, dan memang benar selama empat tahun ini aku tak pernah
menemukanmu, maka aku berhenti mencari,

jika tak dapat dicari, maka kau layak untuk ditunggu, dan akhirnya aku
menunggu, meski menunggu bukan hal yang menyenangkan bagi
siapapun, termasuk aku

aku menghabiskan waktu seharian di kebun, merawat dan menata


semuanya, mawar-mawar menghuni rumah plastik berbaris rapi, anggrek
asyik bergelantungan di pohon-pohon nangka, pohon jambu, dan pohon
buah lainnya, yang memenuhi pekarangan rumahku,

di satu sudut dekat rumah plastik, kubuat kolam kecil tempat ikan-ikan koi
berwarna-warni bermain-main di bawah naungan bunga teratai, sebelum
menikmati warna-warni mawar kau bisa memanjakan matamu melihat
mahluk imut berwarna-warni itu bergurau

semuanya kulakukan untuk menyambut kedatanganmu, meskipun aku


agak sangsi kau akan datang, tapi aku tetap berharap,

begitulah aku terus memupuk harapan, dan kejadiannya tidak seperti


yang kubayangkan dan kuduga

suatu pagi di sebuah pasar di kota kembang setelah memasok beberapa


jenis bahan pangan, aku melihat kau menenteng keranjang belanjaan,
tapi aku ragu, tak mungkin orang secantik kau belanja di pasar tradisional
yang becek seperti ini pikirku, segera kuikuti dan kuhampiri ternyata
memang benar kau, kau kaget, aku gugup

tapi kau pandai menguasai suasana, sebelum aku bertanya lebih jauh,
kau jelaskan lebih dulu segalanya, tentang perjodohanmu, tentang rumah
kering tanpa bunga-bunga, tentang anak-anakmu yang lahir tanpa
rencana, aku mendengarkan tanpa sela, hanya dadaku terasa agak sesak,

***_***

saat ini pagi hari musim kemarau, bunga-bunga aneka warna semerbak
menyambut sinar matahari, yang hangat memeluk setiap kelopaknya,
menyerap tetes-tetes air sisa embun yang tadi malam menggigilkannya,

kupu-kupu berseliweran hinggap dari satu kuncup dan beranjak pada


kuncup yang lainnya, riang sekali mereka bemain. pada kuncup yang
lainnya lagi segerombolan lebah pekerja, sedang mengisap nektar di
sekitar putik bunga, begitu asyik dan tak peduli meski di goyang-goyang
angin kemarau,

dari sebelah atas di dahan pohon nangka yang menjorok keatap rumah,
pada ranting-ranting rapuh sepasang burung beton bernyanyi riang
sambil menari-nari, sesekali terdengar saling berbalas pantun cinta, tak
sedikitpun takut jatuh atau terpelanting,

jika ranting-ranting berkeretak patah dan jatuh, mereka pindah ke ranting


lainnya, dan tertawa-tawa seolah mendapat mainan baru yang
menggenapi romantisme percintaan mereka,

di beranda aku mematung, membiarkan matahari pagi mengecup lembut


bagian kening rumahku, menyapa hangat penghuninya yang sedang asyik
menikmati kesunyian,

***_***
ketika matahari semakin menanjak, aku belum juga beranjak, tiba-tiba
saja pikiranku bergerak mengenang suatu pagi bersamamu menyusuri
pasar becek, bergerak dari satu lapak ke lapak lainnya, kau dengan
cekatan memilih sayur-sayur segar, aneka lauk pauk dan segala
keperluan lainnya,

aku mengekor saja di belakangmu menenteng keranjang belanjaan dan


menadah semua pilihanmu setelah kau dengan sengit beradu tawar
dengan para pedagang, aku hanya tersenyum saja setiap kali pedagang-
pedagang itu melirik ke arahku,

jalanan di pasar itu berlubang-lubang seperti kubangan kerbau,


menyisakan genangan air bercampur kumpulan debu, berwarna hitam
pekat, mengental seperti lumpur, ditambah bekas jejak kaki orang-orang
yang berjejal-jejal, yang mungkin di sandalnya menempel tahi kuda yang
berak sembarangan, karena sais delmannya sedang malas membawa
kloset mini khusus kuda yang biasa digunakan seluruh tukang delman,

dari lapak sebelah, terlihat seorang pedagang ikan asin sedang menjemur
ikan-ikan asinnya yang mungkin semalam tadi terembesi air hujan,
lapaknya terlihat bocor disana-sini, diatasnya lalat hijau seolah
menemukan tempat pesta, merubung dan berjingkrak-jingkrak kegiragan,
meskipun si pedagang dengan sengit mengibas-ngibaskan seikat lidi,
mereka tetap kembali lagi, kelakuan si pedagang malah menguarkan
aroma yang menyengat karena ikan-ikan asin yang hampir membusuk itu,
seperti dikipasi dan baunya menyebar kemana-mana

di sebelahnya tercium bau anyir, seorang pedagang daging ayam sedang


memotong bagian-bagian tubuh ayam menjadi beberapa bagian kecil
agar mudah di timbang, disinipun lalat hijau menemukan surganya,

sedikitpun aku tak hirau pada sekeliling, dan terus saja mengekor di
belakangmu menenteng keranjang belanjaan yang semakin sarat muatan,
matahari semakin meninggi, keringat mengalir deras pada setiap selokan
dalam tubuhku mencari muaranya, semua tak juga kuhiraukan

“mengapa kau mau melakukan semua ini, bahkan suamiku paling benci
jika kuajak ke tempat seperti ini” kau bertanya datar saja, ketika kita
sudah berada di mobil dan siap berangkat pulang, aku kebingungan
mencari kata-kata, maka kujawab saja sekenanya

“pertama karena aku bukan suamimu dan kedua karena aku


mencintaimu”

Kau menunduk, wajahmu bersemu merah, aku berpaling ke arah lain


seolah tak memperhatikan, dan kita membisu untuk waktu yang begitu
lama, tak terasa mobil yang ku kendarai sudah sampai di perempatan
menuju rumahmu, dan disana kau minta diturunkan, aku mengiyakan saja
apapun maumu, kupinggirkan mobil dan kuhentikan persis dibawah pohon
akasia yang rimbun itu,

Aku diam saja karena sudah kehabisan kata-kata, supaya tidak kelihatan
gugup maka kumain-mainkan saja gagang stir mobil, seperti anak-anak
kecil memainkan game ketangkasan yang banyak tersebar di pusat-pusat
perbelanjaan, tapi itu tidak membantu sedikitpun, dadaku lebih jujur
dengan debarnya, jantungku tak bisa kuajak kompromi utuk tidak
berdegup lebih kencang dari biasanya,

Kulirik sedikit kearahmu, akh…kau sedang menatapku begitu lekat,


rupanya sudah sejak dari tadi kau menatapku seperti itu, dari dulu aku tak
pernah kuat melawan tatapanmu, tapi kini dalam jarak yang sangat dekat
tak mungkin aku mengelak, jantungku berdegup seperti kuda jantan di
arena pacuan,

Tiba-tiba tanpa kuduga, kau mendaratkan bibirmu di bibirku, awalnya aku


kaget, tapi detik selanjutnya kurasai bibir basahmu yang hangat melumat
habis bibirku, dan aku merasakan sensasi aneh menjalar di sekujur
tubuhku, lalu kuelus rambutmu, kupegangi kepalamu dan kubalas bibirmu
tak kalah mesranya, cukup lama kita saling berpagut, lidah-lidah kita
saling berkunjung, hingga akhirnya kita sama-sama sadar, dan berhenti.

***_***

Aku baru tersadar dari lamunan, ketika senja mulai meremang, kulihat
sekeliling, semuanya tetap seperti kemarin, dan aku tetap berharap, kau
datang ke kebunku tak usah untukku, untuk bunga-bunga saja.

***_***

“akh… akhirnya selesai juga” saka menggeliat, merenggangkan badannya


yang pegal-pegal, dia mengambil bungkus rokok kreteknya yang
tergeletak berantakan di atas meja, berjejer dengan sekar dan puntung,

“sial, kukira tadi masih ada satu lagi” dia lihat gelas kopi tinggal dedaknya
saja, pergi ke warung dia malas

“baguslah, tak ada rokok, tak ada kopi, berarti waktunya istirahat”

Dia lupa mematikan komputer, begitu saja merebahkan diri, dan melipat
tubuhnya diatas kasur yang spreinya masih acak-acakan, dia berharap
mimpi itu tak lagi menghampiri dan mengganggu tidurnya.

Anda mungkin juga menyukai