Saka tiba-tiba bangkit dari tidurnya, dia kaget bukan kepalang, pusing
kepala dibuatnya, mimpi itu kembali datang menghampirinya, dia lihat
jam di hape
“sial baru jam dua pagi” dia menggerutu tapi tak urung bangun juga,
mula-mula dia ke kamar mandi cuci muka, lalu meyeduh kopi pahit, di
raba-raba saku celananya
“ah sialan Cuma setengah bungkus lagi, jam segini mana ada warung
buka” kembali dia menggerutu sambil menyalakan sebatang rokok
kreteknya, dicapit disela antara telunjuk dan jari tengah lalu diisapnya
rokok itu dalam-dalam, dihembuskannya perlahan-lahan, kepulan asap
menggumpal keluar dari mulutnya seperti kawah gunung berapi, nikmat
sekali tampaknya, rokok kretek dengan kopi pahit memang pasangan
yang serasi.
Dinihari musim penghujan ini cukup hangat dan bersahabat, saka hanya
mengenakan kaos oblong dan celana bokser, dia duduk di sofa ruang
tamu memandang langit-langit rumah, sesekali diperhatikannya cicak
yang mengendap-ngendap mengintai dan menunggu nyamuk mendekat,
di sudut sebelah sana malah dia lihat cicak lain yang sedang asik bercinta,
“kalau ada program pendonoran otak, maka otak orang Indonesia akan
sangat laku, dan harganya paling mahal” joko temannya berkata
***_***
***_***
devina sri eka mulyana, begitulah nama lengkapmu, putih mulus kulitmu,
dengan wajah opal seperti jeruk sunkis di belah dua, tubuhmu padat dan
berisi, sorot matamu tajam menantang seperti elang melihat anak ayam,
akh aku tak cukup pandai memberi gambaran tentang kecantikanmu,
biarlah tetap tak tergambar aku takut malah memudarkannya,
“tentu, kau juga boleh mengambil bunga-bunga yang kau suka, dengan
senang hati mereka ikut dengan bidadari secantik kau” tanpa sadar aku
memujimu, kulirik sekilas wajahmu, kau merona merah, aku menunduk
takut ucapanku salah
“terima kasih, kau sangat baik” terdengar tulus, dan sangat merdu di
telingaku, aku jadi tersipu,
Dan kitapun lupa sedang berada di ruangan yang penuh dengan orang-
orang, kita asyik saja membicarakan bunga-bunga, tentang spesies
mawar yang kutemukan sendiri setelah beberapa kali melakukan
percobaan mengawinsilangkan mawar liar dengan beberapa spesies
mawar import, dan kau begitu asyik mendengarkan ceritaku tentang
bunga-bunga itu, akupun semakin bersemangat, meskipun tak pernah
berani kutatap matamu,
Dan akhirnya aku harus merelakan keindahan itu menguap begitu saja
sebelum dapat benar-benar kusadari, mungkin kaupun merasakan hal
yang sama,
Tanpa alamat dan nomor kontak, kemanakah akan kucari engkau, devina
sri eka mulyana, di daftar hadir seminar tak ada nama seperti itu, adakah
kau memberikan nama samaran padaku, atau kau menyamarkan
namamu pada daftar hadir itu, akh…entahlah, kau membuatku berharap
tanpa mengetahui harapan itu,
jika tak dapat dicari, maka kau layak untuk ditunggu, dan akhirnya aku
menunggu, meski menunggu bukan hal yang menyenangkan bagi
siapapun, termasuk aku
di satu sudut dekat rumah plastik, kubuat kolam kecil tempat ikan-ikan koi
berwarna-warni bermain-main di bawah naungan bunga teratai, sebelum
menikmati warna-warni mawar kau bisa memanjakan matamu melihat
mahluk imut berwarna-warni itu bergurau
tapi kau pandai menguasai suasana, sebelum aku bertanya lebih jauh,
kau jelaskan lebih dulu segalanya, tentang perjodohanmu, tentang rumah
kering tanpa bunga-bunga, tentang anak-anakmu yang lahir tanpa
rencana, aku mendengarkan tanpa sela, hanya dadaku terasa agak sesak,
***_***
saat ini pagi hari musim kemarau, bunga-bunga aneka warna semerbak
menyambut sinar matahari, yang hangat memeluk setiap kelopaknya,
menyerap tetes-tetes air sisa embun yang tadi malam menggigilkannya,
dari sebelah atas di dahan pohon nangka yang menjorok keatap rumah,
pada ranting-ranting rapuh sepasang burung beton bernyanyi riang
sambil menari-nari, sesekali terdengar saling berbalas pantun cinta, tak
sedikitpun takut jatuh atau terpelanting,
***_***
ketika matahari semakin menanjak, aku belum juga beranjak, tiba-tiba
saja pikiranku bergerak mengenang suatu pagi bersamamu menyusuri
pasar becek, bergerak dari satu lapak ke lapak lainnya, kau dengan
cekatan memilih sayur-sayur segar, aneka lauk pauk dan segala
keperluan lainnya,
dari lapak sebelah, terlihat seorang pedagang ikan asin sedang menjemur
ikan-ikan asinnya yang mungkin semalam tadi terembesi air hujan,
lapaknya terlihat bocor disana-sini, diatasnya lalat hijau seolah
menemukan tempat pesta, merubung dan berjingkrak-jingkrak kegiragan,
meskipun si pedagang dengan sengit mengibas-ngibaskan seikat lidi,
mereka tetap kembali lagi, kelakuan si pedagang malah menguarkan
aroma yang menyengat karena ikan-ikan asin yang hampir membusuk itu,
seperti dikipasi dan baunya menyebar kemana-mana
sedikitpun aku tak hirau pada sekeliling, dan terus saja mengekor di
belakangmu menenteng keranjang belanjaan yang semakin sarat muatan,
matahari semakin meninggi, keringat mengalir deras pada setiap selokan
dalam tubuhku mencari muaranya, semua tak juga kuhiraukan
“mengapa kau mau melakukan semua ini, bahkan suamiku paling benci
jika kuajak ke tempat seperti ini” kau bertanya datar saja, ketika kita
sudah berada di mobil dan siap berangkat pulang, aku kebingungan
mencari kata-kata, maka kujawab saja sekenanya
Aku diam saja karena sudah kehabisan kata-kata, supaya tidak kelihatan
gugup maka kumain-mainkan saja gagang stir mobil, seperti anak-anak
kecil memainkan game ketangkasan yang banyak tersebar di pusat-pusat
perbelanjaan, tapi itu tidak membantu sedikitpun, dadaku lebih jujur
dengan debarnya, jantungku tak bisa kuajak kompromi utuk tidak
berdegup lebih kencang dari biasanya,
***_***
Aku baru tersadar dari lamunan, ketika senja mulai meremang, kulihat
sekeliling, semuanya tetap seperti kemarin, dan aku tetap berharap, kau
datang ke kebunku tak usah untukku, untuk bunga-bunga saja.
***_***
“sial, kukira tadi masih ada satu lagi” dia lihat gelas kopi tinggal dedaknya
saja, pergi ke warung dia malas
“baguslah, tak ada rokok, tak ada kopi, berarti waktunya istirahat”
Dia lupa mematikan komputer, begitu saja merebahkan diri, dan melipat
tubuhnya diatas kasur yang spreinya masih acak-acakan, dia berharap
mimpi itu tak lagi menghampiri dan mengganggu tidurnya.