Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi perah adalah ternak penghasil susu yang dengan proses pasteurisasi
dan sterilisasi maka produk susu tersebut dapat langsung di konsumsi. Jadi
permintaan akan ternak sapi perah tergantung dari permintaan produk susunya itu
sendiri. Permintaan produksi susu untuk tahun 2001 mencapai 1.200 ribu ton
sedangkan produksi susu lokal hanya mampu memproduksi 480 ribu ton dan
selebihnya didatangkan dari impor. Dengan kata lain, produksi susu dalam negeri
baru mampu memenuhi permintaan sebesar 30% dan 70% berasal dari impor.
(Firman, 2007)
Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada
dua, yaitu (1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi
yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari
Bos primigenius, yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos
Taurus. Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi
Shorhorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat
Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red
Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia). Hasil survei di PSPB
Cibinong menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok dan
menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein.
(Firman, 2007)

Perkembangan sapi perah di Indonesia mengalami berbagai kendala diantaranya


para peternak belum mempunyai pengetahuan lebih tentang usaha peternakan
yang dapat memberikan nilai tambah, seperti kurangnya informasi teknik
produksi, kurangnya pengetahuan tentang penanganan bahan baku (susu) agar
tidak rusak selama perjalanan ke industri pengolahan serta kurangnya informasi
pasar dan pesaing. Selain itu adanya ketergantungan pada pakan ternak impor
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi sektor peternakan. (Firman,
2007)
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana merencanakan peternakan sapi perah yang baik?

Bagaimana manajemen peternakan sapi perah yang baik?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui perencanaan peternakan sapi perah yang baik

Untuk mengetahui manajemen peternakan sapi perah yang baik

1.4 Manfaat

Dapat mengetahui perencanaan peternakan sapi perah yang baik

Dapat mengetahui manajemen peternakan sapi perah yang baik

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kandang dan Peralatannya
Kandang merupakan salah satu sarana pokok penting dan turut
menentukan berhasil tidaknya usaha ternak sapi perah, dimana kandang
merupakan tempat tinggal sapi, tempat perlindungan ternak, tempat pengawasan
kesehatan dan memudahkan tatalaksana (Ako, 2011).
Pembuatan kandang membutuhkan bebepapa pertimbangan antara lain;
Lokasi kandang, Tipe kandang, syarat-syarat kandang, bagian-bagian kandang
dan peralatan kandang (Ako, 2011).
Untuk memperoleh produksi susu yang baik dan sehat maka perusahaan
peternakan sapi perah membutuhkan kamar susu sebagai tempat mengelolah dan
menyimpan air susu yang diproduksinya (Ako, 2011).
2.1.1 Jenis dan Tipe Kandang yang Digunakan
A. Tipe Kandang
a. Kandang sapi dewasa (sapi laktasi)

Kandang Sapi Dewasa


Ukuran kandang 1,75 x 1,2 m, masing-masing dilengkapi tempat makan
dan tempat air minum dengan ukuran masing-masing 80 x 50 cm dan 50 x 40 cm.
Kandang sapi dewasa dapat juga dipakai untuk sapi dara (Ako, 2011).
b. Kandang pedet

Kandang Pedet Sapi Perah


Kandang pedet ada 2 macam yaitu individual dan kelompok. Untuk
kandang individual sekat kandang sebaiknya tidak terbuat dari tembok supaya
sirkulasi udara lancar, tinggi sekat + 1 m. Ukuran kandang untuk 0 4 minggu
0,75 x 1,5 m dan untuk 4 8 minggu 1 x 1,8 m. Pada kandang kelompok adalah
untuk anak sapi yang telah berumur 4 8 minggu dengan ukuran 1 m2/ekor dan
pada umur 8 12 minggu 1,5 m2/ekor dengan dinding setinggi 1 m. Dalam satu
kelompok sebaiknya tidak dari 4 ekor. Tiap individu harus dilengkapi tempat
makan dan tempat air minum (Ako, 2011).
B. Tipe Kandang
Dalam peternakan yang sedang dirancang, akan digunakan metode semiintensive dimana akan menggunakan kandang ketika sapi akan diperah namun
ketika pagi hari sapi bebas digembalakan.
Digunakan tipe kandang ganda dengan gang di tengah, dimana kepala sapi
saling berlawanan arah. Dengan model ini pandangan sapi luas dan terbuka serta
mudah dalam pengawasan. Ternak tenang di dalam, tidak mudah terganggu oleh
ternak yang lain dalam sekandang. Model ini digemari oleh peternak dan cocok
untuk pemeliharaan sapi lebih dari 20 ekor (Ako, 2011).
Dalam peternakan yang sedang dirancang, juga digunakan kandang
berhalaman. Dengan sistem ini ternak tidak diikat. Tempat makan dan tempat air
minum berada di halaman kandang. Kandang berhalaman cocok untuk
pemeliharaan sapi yang masih muda, sapi bunting, sapi kering dan pejantan yang
memerlukan banyak gerak dan membutuhkan sinar matahari yang cukup. Cara ini
dapat pula diterapkan untuk pemeliharaan sapi yang sedang laktasi.
2.1.2 Kamar Susu

Pada usaha Peternakan sapi perah harus mempunyai kamar susu, yang
digunakan untuk menyimpan dan membagi air susu untuk keperluan pemasaran.
Untuk itu diperlukan kamar susu kamar susu yang bersih. Kamar susu harus
memenuhi beberapa pensyaratan antara lain: (Ako, 2011)
1. Kamar susu tidak berhubungan langsung dengan kandang, untuk mencegah
kontaminasi kotoran dan bau dari kandang.
2. Bagian dalam pada kamar susu harus berdinding ubin porselin, berlantai beton
dan mudah dibersihkan.
3. Ventilasi kamar susu harus baik, sehingga udara segar selalu terjamin, dan
cukup terang.
6. Peralatan Susu
Peralatan yang banyak dipakai antara lain: (Ako, 2011)
1. Botol susu.
2. Takaran susu/literan dan corong
3. Ember susu.
4. Kaleng susu atau drum susu
5. Alat penyaring,
6. Perlengkapan lain, yaitu alat pasteurisasi dan sterilisasi.
2.1.3 Sanitasi Kandang
Sanitasi kandang dilakukan dengan cara membersihkan tempat pakan dan
tempat minum, feses serta sisa pakan yang tercecer pada lantai kandang.
Lingkungan kandang yang bersih dimaksudkan agar sapi tidak terserang penyakit
dan susu yang dihasilkan tidak terkontaminasi oleh kotoran. Hal ini sesuai dengan
pendapat Williamson dan Pyne (1993), bahwa lingkungan kandang sapi harus
bersih supaya saat pemerahan susu tidak terkontaminasi serta menjaga kesehatan
sapi.
2.2 Pakan dan Minum Sapi Perah
2.2.1 Pakan Sapi Perah
Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha peternakan sapi
perah. Pemberian pakan yang kurang cukup kandungan nutrisinya dapat
berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah. Kebutuhan protein sapi perah
laktasi berkisar antara 15-18% (Siregar 2003).

Bahan pakan ternak sapi pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga,
yakni pakan hijauan, pakan penguat dan pakan tambahan (Girisonta, 1995).
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman atau
tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang batang, ranting, dan bunga. Kelompok
jenis pakan hijauan adalah rumput, legume dan tumbuh tumbuhan lain, yang dapat
diberikan dalam bentuk segar dan kering (Kusnadi dkk, 1983). Hijauan segar
adalah pakan hijauan yang diberikan dalam keadaan segar, dapat berupa rumput
segar, batang jagung muda, kacang-kacangan dan lain-lain yang masih segar
(Sitorus, 1983). Hijauan kering adalah pakan yang berasal dari hijauan yang
dikeringkan misalnya jerami dan hay (Anonimus, 1996)
Hijauan dalam ransum sapi perah masih tetap menjadi yang terbesar dalam
pakan sapi sedangkan konsentrat hanya sebagai tambahan saja. Oleh karena itu
kualitas konsentrat yang diberikan harus disesuaikan dengan kualitas dari hijauan.
Apabila hijauan yang diberikan mempunyai kualitas tinggi maka tambahan
konsentrat yang diberikan bisa berkualitas sedang atau konsentrat dengan kualitas
tinggi dengan perbandingan 64%:36% sedangkan hijauan dengan kualitas rendah
membutuhkan perbandingan 55%:45% (Blakely dan Bade 1991). Menurut Siregar
(2008) perbandingan hijauan dan konsentrat untuk mutu pakan yang baik
berdasarkan bahan keringnya adalah 60%:40% akan menghasilkan koefisien cerna
yang tinggi.
Sumber pakan hijauan meliputi rumput-rumputan dan kacang-kacangan.
Rumput-rumputan yang biasanya diberikan antara lain rumput gajah (Pennisetum
purpureum), rumput benggala (Pennisetum maximum), dan rumput lapangan.
Kacang-kacangan yang biasa diberikan antara lain daun lamtoro, turi, dan gamal.
Bahan konsentrat yang umum diberikan sebagai pakan antara lain dedak, bungkil
kelapa, bungkil kacang tanah, jagung, kedelai, atau campuran dari bahan-bahan
tersebut. Limbah pertanian yang umum dimanfaatkan untuk pakan antara lain
jerami padi, jerami jagung, dan jerami kedelai.
Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin dan mineral.
Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif dan
hidupnya berada dalam kandang terus-menerus. Vitamin yang dibutuhkan ternak
sapi adalah vitamin A, vitamin C,vitamin D dan vitamin E, sedangkan mineral

sebagai bahan pakan tambahan dibutuhkan untuk berpropuksi, terutama kalsium


dan posfor (Sutardi, 1984). Sapi perah membutuhkan sejumlah serat kasar yang
sebagian besar berasal dari hijauan. Untuk memperoleh pencernaan pakan yang
akan mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan (Sutardi, 1995). Pemberian
ransum sapi perah yang sedang tumbuh maupun yang sedang berproduksi susu
sesering mungkin dilakukan, minimal dua kali dalam sehari semalam. Frekuensi
pemberian konsentrat hendaknya disesuaikan pula dengan pemerahan, yaitu
dilakukan setiap 1-2 jam sebelum pemerahan (Siregar, 1996).
Untuk induk sapi yang sedang dalam masa laktasi, kuantitas pakan dapat
ditambah selama trisemester kebuntingan pertama dan kedua supaya memenuhi
nutrisi induk dan anaknya. Lalu, diturunkan ketika trisemester ketiga untuk
mencegah obesitas. Menurut Siregar (1993) imbangan antara hijauan dan
konsentrat yang baik dalam formula ransum sapi yang sedang berproduksi susu
dengan tetap mempertahankan kadar lemak dalam batas normal adalah 60:40
2.2.3 Minum
Air minum mutlak dibutuhkan dalam usaha peternakan sapi perah,hal ini
disebabkan karena susu yang dihasilkan 87% berupa air dan sisanya berupa bahan
kering. Sebagian besar kebutuhan air bagi ternak ruminansia dipenuhi dari air dan
selebihnya berasal dari ransum dan dari proses metabolisme yang terjadi pada
tubuh ternak. Pemberian air minum sebaiknya dilakukan secara ad libitum untuk
mencukupi kebutuhan minum ternak sapi (Setiadi 2001). Seekor sapi perah
membutuhkan 3,5-4 liter air minum untuk mendapatkan 1 liter susu (Sudono et.al,
2003). Air berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai
kontrol suhu tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air minum harus
bersih, segar, jernih, dan tidak mengandung mikroorganisme berbahaya.
Kebutuhan air minum dapat berasal dari air minum khusus yang disediakan pada
bak-bak air di padang penggembalaan, di kandang atau di halaman pengelolaan.
2.3 Teknik Pemerahan
Sebelum pemerahan dilakukan, ambing dicuci terlebih dahulu agar susu
tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu
:ember, minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan. Menurut
Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin.

Menurut Blakely dan bade (1992) bahwa proses pelepasan susuakan terganggu
bila sapi merasa sakit dan ketakutan. Selain itu tangan pemerah harus bersih, dan
kuku tidak boleh panjang, karena dapat melukai puting susu dan juga untuk
menghindari terkontaminasinya susu oleh kotoran yang mengandung bakteri.
Metode pemerahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a.Whole Hand, dengan cara jari memegang puting susu pada pangkal puting
diantara ibu jari dan telunjuk dengan tekanan diawali dari atas yang diikuti jari
tengah, jari manis dan kelingking seperti memeras. Pemerahan secara Whole hand
membutuhkan waktu rata-rata 6,64 menit untuk memerah seekor sapi dan cara ini
digunakan untuk sapi yang putingnya panjang.
b.Strippen, dengan cara puting dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk yang
digeserkan pada pangkal puting bawah sambil dipijat. Pemerahan secara Strippen
rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memerah seekor sapi adalah 7,72 menit
dan cara ini digunakan untuk sapi yang ukuran putingnya pendek.
2.4 Program Reproduksi
Tata laksana program reproduksi pada sapi perah akan dilakukan kontrol
rutin tiap harinya. Pada sapi dara selalu dikontrol untuk mengamati sapi dara yang
menunjukan tanda-tanda birahi. Sapi dara adalah sapi perah betina yang sudah
dewasa kelamin sampai beranak pertama kali. Kedewasaan tubuh pada sapi
dewasa ini dicapai pada umur 15-18 bulan. Sehingga pada umur tersebut sapi
sudah bisa dikawinkan pertama kali. Sapi dara akan tumbuh terus dengan baik
sampai umur 4-5 tahun, apabila pakan yang diberikan cukup dan baik. Maka dari
itu, pakan sapi dara perlu diperhatikan baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Apabila sapi dara tidak diberi pakan yang baik ditinjau dari kualitas
maupun kuantitas, maka akan berakibat pada waktu beranak pertama kali, yaitu
besar badannya tidak mencapai ukuran normal, untuk beranak pertama kali
terlambat, dan produksi susu menurun (Utami dkk,2004)
Jika sudah menunjukan tanda-tanda birahi, maka akan segera dilakukan
insiminasi buatan (IB). Setelah dilakukan IB maka sapi dara tersebut akan
bunting. Tetapi jika sapi dara telah di-IB belum terjadi kebuntingan , IB dilakukan
sampai tiga kali berulang-ulang belum terjadi kebuntingan, dilakukan kawin alami
dengan menggunakan pejantan. Setelah dikawinkan secara alami belum juga

terjadi kebuntingan, maka sapi dara tersebut segera di-culling. Program


perkawinan ini dilaksanakan untuk mendapat nilai calving interval (CI) dan
service per conception (S/C) yang baik. Menurut, Utami, dkk (2004) standar nilai
S/C yang baik adalah kurang dari 1,85. Apabila melebihi itu maka perlu
diperlukan perbaikan masalah reproduksi.
Masa kosong (days open) adalah jarak waktu antara sapi melahirkan
(partus) sampai dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar
85 hari. Calving interval merupakan suatu kurun waktu yang sangat penting bagi
peternak karena berkaitan dengan kesinambungan produksi susu. Apabila induk
sapi memiliki calving interval 12-14 bulan artinya bahwa kondisi ini akan
diperoleh pada masa kosong (days open) 85-120 hari dengan rataan lama bunting
278 hari. Konsekuensi dari masa kosong (days open) yang diperpanjang akan
memperlambat proses kering kandang yang mengakibatkan selang beranak
(calving interval) akan menjadi lebih lama (Hadisutanto, 2008).
2.5 Vaksinasi
Untuk mencegah terjadinya penurunan produksi dan menurunkan angka
mortalitas sapi maka dilakukan pencegahan berupa vaksinasi. Vaksinasi
mempunyai peranan penting dalam pengendalian suatu penyakit karena metode
preventif lebih baik daripada metode curative karena tidak ada obat yang efektif
dalam mengatasi permasalahan penyakit viral. Vaksin akan membantu
mengurangi terjadinya kasus penyakit viral dengan cara merangsang sistem
kekebalan tubuh sapi agar memproduksi antibody terhadap virus. Dapat terjadi
kegagalan dapat vaksinasi yang perlu dihindari yaitu kesalahan diagnose,
kesalahan penggunaan vaksin dan dosisnya, penyakit yang etiologinya lebih dari
1, banyaknya strain dan ketidakmampuan merespon karena tubuh yang kurang
sehat serta stress.
2.5.1 Vaksinasi Sapi Perah Muda
Program vaksinasi pada sapi perah muda dilakukan beberapa kali. Pada
umur >2 minggu dilakukan 2 kali vaksinasi Respirasi (RSV,PI3,IBR) dua dosis
dengan interval 3-4 minggu, apabila terjadi dibantu dengan antibiotic apabila
terkena infeksi microbial dan multivitamin pada infeksi virus. Pada usia >2
diberikan vaksin ringworm untuk mengurangi gejala yang timbul apabila terkena

ringworm dua dosis interval 10-14 hari. Pada usia >3 minggu diberi vaksin
salmonella dua dosis interval 14-21 hari dan apabila ada infeksi dibantu dengan
pemberian antibiotic. Pada usia >12 minggu diberi vaksin BVD dua dosis intervak
3-4 minggu dan dikombinasi dengan multivitamin saat terjadi infeksi. Sebelum
sapi disapih dan merumput diberi vaksin lungworm dua dosis per oral dengan
interval 30 hari untuk mengurangi dampak saat terinfeksi (Sudarisman, 2008)
2.5.2 Program vaksinasi sapi primipara
Sebelum kawin diberi vaksin leptospirosis dosis awal dan dibooster 4
minggu setelahnya. Sebelum bunting diberi vaksin BVD, IBR, Anthrax, dan SE
dan dibooster tiap tahun. Dan ketika telah partus dan menjadi induk diberi
vaksinasi leptospirosis sebelum penyapihan dan dibooster tiap tahun. Sebelum
beranak lagi diberi vaksin BVD, IBR, Anthrax, SE dan dibooster tiap tahun.
Sebelum beranak dilakukan vaksin salmonelossis dan dibooster tiap tahun. Pada
induk menyuui sebelum bunting divaksin terhadap leptospirosis, BVD, IBR,
Anthrax, dan SE dan dibooster tiap tahun. Sebelum beranak diberi vaksin
terhadap salmonellosis dan dibooster tiap tahun (Sudarisman, 2008).
Tindakan pencegahan lain juga dilakukan. Pencegahan asidosis dengan
sodium bikarbonat pada saat laktasi yang meningkat dengan cara dicampurkan ke
konsentrat 1.5%. Pencegahan terhadap cacing dengan pemberian morantel tartrat,
fenbendazol 5mg/kg pada sapi yang sehat. Untuk menghindari kerugian akibat
mastitis dilakukan SCC tiap bulan pada semua sapi produksi dan diuji DHIA
setiap hari. Uji putting susu setiap kali akan dilakukan pemerahan. Dilakukan
pencelupan putting dengan obat celup putting setiap selesai memerah. Saat
memasuki masa kering dilakukan pemberian antibiotic untuk mengatasi mastitis
dan dilakukan pencegahan kembali saat memasuki masa laktasi. Uji mikroba susu
dilakukan pada sapi yang susunya atau keaadaan ambing dan putingnya
mengalami masalah. Pemotongan kuku dan perendaman kuku dilakukan 1-2 kali
dalam satu tahun. Uji uterus dan ovarium dilakukan pada sapi dengan kesulitan
bunting setelah 35-40 hari seusai kawin alam/ inseminasi. Uji kebuntingan
dilakukan pada seluruh sapi bunting. Suhu kandang diusahakan agar tidak panas
karena akan mengurangi kenyamanan sapid an hasil produksi tidak dapat menjadi
maksimal. Apabila sapi mengalami mastitis dipisahkan dari flock dan

dipersiapkan untuk treatment dan pembersihan total pada saat memasuki masa
kering (Sudarisman, 2008)
Untuk pencegahan terjadinya infeksi oleh metazoa dan protozoa dilakukan
pengecekan tinja berkala tiap 40 hari. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui apakah sapi terinfeksi oleh cacing atau protozoa. Dilakukan
pemeriksaan dan apabila menemukan dilakukan tindakan pencegahan penularan
dengan cara memutus rantai siklus hidup parasit dengan member treatment pada
hewan terinfeksi dan membersihkan hospes intermediet dari parasit tersebut.
Pembersihan dilakukan di sekitar kandang. Pembersihan juga dilakukan pada
paddock dan sumber air di sekitar peternakan. Karena banyak fase infektif parasit
yang menempati rerumputan di sekitar kandang dan halaman (Iskandar, 2008).
2.6 Replacement Program
Replacement

program

sapi

perah

ditentukan

agar

tetap

bisa

mempertahankan jumlah produksi selagi meningkatkan jumlah populasi. Afkir


dilakukan pada sapi yang yang berumur 5-6 tahun atau yang produksinya sudah
dibawah 60%. Setelah sapi betina mencapai dewasa kelamin pada 15-18 bulan
kemudian dilakukan inseminasi buatan. Masa kebuntingan selama 278 hari (9
bulan 8 hari). Setelah prosesi partus selesai maka sapi akan mulai memasuki masa
laktasi selama sekitar 9-10 bulan. 2 bulan pertama masa laktasi digunakan untuk
nutrisi oleh induk pada anak sembari menyelesaikan masa involusi uterus dan
memasuki masa estrus kembali sekitar 2 bulan. Pada minggu 4-8 usia anak
makanan mulai diberi milk replacer. Setelah 2 bulan dilakukan penyapihan dan 56 bulan masa laktasi berikutnya digunakan untuk diambil susu untuk penjualan. 2
bulan sisa masa laktasi digunakan untuk masa kering dimana sapi diistirahatkan
dari pemerahan dan diberi treatment apabila terkena suatu penyakit. Kemungkinan
setelah masa kering usai, sapi akan mengalami prosesi partus dari fertilisasi
sebelumnya sehingga ejeksi susu yang telah bersih mulai kembali. Lalu kembali
dilakukan pemberian susu kepada anak selama 2 bulan (Brinton et al., 2011).
Jika didapatkan anakan betina maka anakan tersebut dipelihara dan
diperhitungkan performansnya saat dipelihara. Disiapkan menjadi indukan dan
disiapkan agar siap untuk laktasi sebagai generasi selanjutnya dalam produksi
susu. Jika didapatkan anak jantan maka dipelihara hingga umur 12-18 bulan

kemudian dijual untuk penggemukan. Tetap diberlakukan pemberian colostrum


pada 30 -45 menit pertama setelah partus dan pemberian susu induk selama 2
bulan (Brinton et al., 2011; Karszes, 2014)

BAB III
PENUTUP
Dalam merencanakan peternakan sapi perah, harus direncakan bagaimana
bentuk dan tipe kandang yang akan digunakan, penyusunan pakan yang efektif
yang baik itu seperti bagaimana dan kapan memberinya, kemudian penyediaan air
yang ad-libitum. Selain itu, program vaksinasi dan program reproduksinya harus
dirancang supaya mendapat ternak yang sehat dan produktif.
Kandang yang akan digunakan merupakan kandang semiintensif dimana
ternak bisa bebas exercise di lapangan pada pagi hari dan kembali ke kandang
pada sore hari untuk diperah susunya. Selain itu, sanitasi kandang sangat penting
untuk dijaga supaya menghindari dari kontaminasi bakteri.
Pakan sapi perah untuk sapi yang masih muda dan sapi yang sedang dalam
masa laktasi berbeda kebutuhannya dilihat dari rasio kuantitas dan macam
pakannya. Untuk air, diberikan secara ad-libitum karena air merupakan faktor
penting pembentukan susu.
Ternak harus rutin divaksin untuk mecegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu, untuk mencapai target satu tahun satu anak harus diprogram dan
diawasi betul program reproduksinya.

DAFTAR PUSTAKA
Ako, Ambo. 2011. Produksi Ternak Perah Program Hibah Penulisan Buku Ajar
Tahun 2011. Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Anonimus. 1995. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius.
Yogyakarta.
Anonimus. 2002. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Anonimus.1996. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Blakely J, Bade DV. 1991. Ilmu Peternakan.Yogyakarta (ID): UGM press.
Brinton, A.H.; Lon, W.W. 2011. Feeding Dairy Heifers from Birth to Weaning.
Dairy Nutrition Extension Specialist.
Firman, Achmad. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah:Suatu Telaah Pustaka.
Bandung: Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Hadisutanto, B. 2008. Studi Tentang Beberapa Performan Reproduksi pada
Berbagai Paritas Induk dalam Formulasi Masa Kosong (Days Open) Sapi
Perah Fries Holland. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Iskandar, T. 2008. Parasites that Cause Diarrhea on Dairy Cattle in Bandung and
Sukabumi District of West Java. Semiloka nasional prospek industry sapi
perah menuju perdagangan bebas 2020. Balai Besar Penelitian Veteriner.
Karszes, J. 2014. Dairy Replacement Programs : Costs & Analysis 3rd Quarter
2012. PRO-DAIRY Department of Animal Science.
Kusnadi, U. 1983. "Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah yang Tergabung
dalam Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta", Proceeding Pertemuan
Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Bogor.
Siregar D.A. 1996. Usaha Ternak Sapi. Kanisius Yogyakarta.
Siregar S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak tentang Standar Makanan
Sapi Perah. Usaha Angkasa. Bandung.
Siregar SB. 2003. Peluang dan Tantangan Peningkatan Produksi Susu Nasional.
Wartazoa. 48-55.
Siregar SB. 2008. Penggemukan Sapi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Siregar, S.B. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi
melalui perbaikan pakan dan frekuensi pemberiannya. JITV, 6(2) : 76-82.
Sitorus, P.E. 1983. Perbandingan Produktivitas Sapi Perah Impor di Indonesia.
Laporan Khusus Kegiatan Penelitian Periode Tahun 1982-1983. Balai
Penelitian Ternak.Bogor
Sri Utami, Siswandi dan Abungamar Yahya. 2004. Lecture Note Manajemen
Ternak Perah. Fakultas Peternakan Unversitas Jendral Soedirman.
Purwokerto.
Sudarisman. 2008. Vaccination For Controlling Major Infectious Disease In
Dairy Cattle. Semiloka nasional prospek industry sapi perah menuju
perdagangan bebas 2020. Balai Besar Penelitian Veteriner.
Sudono, A. 1983. Perkembangan Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari Ilmu
Pemuliaan Ternak Perah di Indonesia. Proceeding Pertemuan Ilmiah
Ruminansia Besar. Puslitbangnak. Bogor.
Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah
Secara Intensif. Agromedia Pustaka.Jakarta.
Sutardi, T. 1983. Pengaruh Kelamin dan Kondisi Tubuh Terhadap Hubungan
Bobot Badan dengan Lingkat Dada pada Sapi Perah. Media Peternakan,
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sutardi, T. 1984. Konsep Pembakuan Mutu Ransum Sapi Perah. Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Peternakan. Jakarta.
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah
Tropis. Diterjemahkan oleh Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai