Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sufadiazin dapat digunakan sebagai antibiotik, dengan nama
dagang mikrosulfon, merupakan golongan obat sulfonamide dan umum digunakan
untuk infeksi saluran urin (terkecuali sulfasetamida) juga digunakan untuk infeksi
mata. Akan tetapi, memiliki potensi efek samping berupa mual, muntah, murus,
alergi (termasuk kulit), batu ginjal, gagal ginjal, penurunan jumlah sel darah putih,
dan sensitivitas terhadap matahari (Awad, dkk, 2012).
Sulfadiazin dapat dianalisis konsentrasinya dengan menggunakan
spektrofotometer

Ultra-Violet.

Spektrofotometer

UV-Visibel

merupakan

instrumen yang sederhana dan tidak mahal. Di sisi lain, hubungan antara
kesederhanaan dan kerendahan biaya, metode ini dapat dianggap lebih unggul jika
dibandingkan dengan metode-metode sebelumnya. Lebih dari itu, metode ini
bebas dari gangguan dari bahan aditif dan bahan tambahan lainnya
(Khopkar, 2010).
Analisis simultan sejumlah

komponen di dalam larutan dengan

metoda spektrofotometri, di mungkinkan dengan adanya sifat aditif dari


absorbansi masing-masing komponen yang bersangkutan (Khopkar, 2010).
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan
panjang gelombang tertentu yang digunakan untuk mengukur energi secara
relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai
fungsi dari panjang

gelombang. Panjang

gelombang

yang

benar-benar

terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti


prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang
kontinu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blanko
dengan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan
blanko ataupun pembanding. Monokromator pada spektrofotometer digunakan
untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis dengan alat berupa
prisma

yang

mengarahkan sinar monokromatis yang dinginkan dari hasil

penguraian melalui celah, sehingga prisma yang dirotasikan dapat memperoleh


panjang gelombang yang diinginkan (Khopkar, 2010).
1.2 Tujuan Percobaan

- Untuk mengetahui pengaruh variasi dari bentuk sediaan (formulasi)


terhadap laju disolusi sulfadiazin bentuk tablet dan kapsul.
- Untuk mengetahui laju disolusi furosemid generik.
- Untuk mengetahui laju disolusi furosemid merek dagang (lasik)
1.3 Manfaat Percobaan
- Agar praktikan dapat mengetahui perbedaan dari pengaruh variasi bentuk
sediaan tablet sulfadiazin dan kapsul sulfadiazin.
- Agar praktikan dapat membandingkan bioavailabilitas antara furosemid
generik dengan furosemid merek dagang.
- Agar praktikan dapat mengetahui hasil uji disolusi sediaan sulfadiazin dan
furosemid.
- Agar praktikan dapat mengetahui pengaruh uji disolusi terhadap bentuk
sediaan yang digunakan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biofarmasetika

Fase biofarmasetika melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait


mulai saat pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Kerumitan
peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan, yang
secara keseluruhan berperan pada proses presdiposisi zat aktif suatu obat di dalam
tubuh. Dengan demikian fase biofarmasetik merupakan salah satu kunci penting
untuk memperbaiki aktivitas terapeutik. Penyerapan zat aktif obat dipengaruhi
oleh berbagai parameter terutama sifat fisika kimia molekul obat, dengan
demikian penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat (Aiache dan Guyot,
1993).
Pada pemberian obat pada lambung terjadi penyerapan obat dilambung
tergantung pada keadaan lambung yang penuh atau kosong. Saat saluran cerna
berada dalam keadaan istirahat maka spincter pylorus agak membuka dan
senyawa yang diberikan per oral dapat melintasi celah tersebut dengan mudah dan
akan diserap diusus halus. Jika zat aktif terdapat dalam lambung yang kosong,
maka penyerapan secara filtrasi atau difusi pasif terjadi cepat. Demikian juga
karena ph lambung, bahan elektrolit yang bersifat asam lemah dapat mencapai
darah dengan cepat sedangkan alkaloida tidak diserap sama sekali (Aiache dan
Guyot, 1993).
Pada saat lambung berisi makanan maka senyawa yang lama berada di
lambungakan berdifusi lebih lambat. Hal ini disebabkan oleh adanya pengenceran
zat aktif dalam lambung dan kontak dengan permukaan penyerap yang terbatas
akibatnya penembusan kedalam peredaran darah lebih sedikit. Namun, keadaan
tersebut juga menguntungkan pada pemberian obat yang dapat mengiritasi
mukosa lambung (Aiache dan Goyot, 1993).
Cairan lambung adalah merupakan cairan yang ada di dalam lambung.
Komponen getah lambung terdari dari air, asam klorida dan enzim. Sekresi dari
getah lambung diatur oleh mekanisme syaraf dan hormonal. Impuls parasimpatis
yang terdapat pada medula dihantarkan melalui syaraf vagus dan merangsang
gastrik glands untuk mensekresikan pepsinogen, asam klorida, mukus, dan
hormon gastrin. Ada tiga faktor yang merangsang sekresi lambung, yaitu : fase
sefalik, fase gastrik, dan fase intestinal (Clowes and sons, 1973).

2.2 Sulfadiazin
Rumus Bangun

Gambar 1 Rumus Bangun Sulfadiazin


Nama kimia

: N-2-piridinil sulfanilamida

Nama lazim

: Sulfadiazinum/sulfadiazine

Rumus kimia

: C10H10N4O2S

BM

: 250,27

Pamerian

: Putih sampai agak kekuningan, tidak berbau atau


hampir tidak berbau, stabil di udara tetapi pada
pemaparan terhadap cahaya perlahan-lahan menjadi
hitam.

Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam asam


mineral encer, dalam larutan kalium hidroksida, dalam
larutan natrium hidroksida dan dalam ammonium
hidroksida; agak sukar larut dalam etanol dan dalam
aseton; sukar larut dalam serum manusia pada suhu
370C (Ditjen POM, 1995).
Sulfadiazin

dapat

juga

ditentukan

dengan

menggunakan

spektrofotometri ultraviolet dalam larutan asam (HCL 0,1 N) spektrumnya pada


panjang gelombang 215 nm dan 242 nm, pada larutan basa (NaOH 0,1 N)
spektrumnya pada 242 nm dan 254 nm, dan dalam pelarut metanol spektrum
maksimumnya pada 270 nm (Ditjen POM, 1995).
Sufadiazin obat ini menghambat pertumbuhan in vitro bakteri hampir
semua patogen dan jamur, termasuk beberapa spesies yang resisten terhadap
sulfonamid. Senyawa ini digunakan secara topikal untuk mengurangi kolonisasi
mikrobial dan kejadian infeksi luka dari luka bakar (Gilman and Goodman, 1991).

Sulfadiazin efektif pada pengobatan infeksi haemolitik yang


disebabkan

oleh

streptococcus, pneumococcus, gonococcus, E.coli, dan

pengobatan oleh karena paparan laser, gangrain karena gas yang ditimbulkan oleh
staphylococcus.Pemberian sulfadiazine menjadi penting pada saat fase infeksi
bakteri akut (Clowes and sons, 1973).
Sulfadiazin atau disebut juga sulfapirimidin (triacef) yang merupakan
derivat pirimidin bersama dengan sulfametoksazol dan sulfafurazol memiliki
kegiatan atas dasar mg yang terkuat dari semua sulfa. Resorpsinya dari usus agak
lambat sehingga sebagian obat bisa mencapai usus besar. Oleh karena itu
sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler, bahkan lebih efektif dibandingkan
dengan kloramfenikol dan tertrasiklin. PP paling rendah, rata-rata 40%, maka
kadar obat dalam cairan tubuh paling tinggi dan sering kali digunakan pada
meningitis.

Kombinasi

dengan

pirimetamin

digunakan

terhadap

infeksi

Toxoplasma gondii (toxoplasmosis). Plasma waktu paruhnya 10 jam. Sulfadiazin


merupakan obat pilihan kedua untuk infeksi saluran kemih. Daya larutnya dalam
kemih agak buruk (sering menyebabkan kristaluria) sehingga perlu diberikan
natriumkarbonat 3 kali sehari 3-4 gram dan minum air kurang lebih 1,5 liter
sehari. Dosis penggunaan untuk permulaan 2-4 gram kemudian 4-6 dd 1 gram
(Tjay dan Raharja, 2007).
Absorbsi di usus terjadi cepat, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam
waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Kirakira 15-40% dari obat yang
diberikan diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah untk diekskresikan.
Hampir 70 % obat ini mengalami reabsorbsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali
memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi reabsorbsi tubuli. Sulfa sukar
larut dalam urin yang asam, maka sering timbul kristal uria dan komplikasi ginjal
lainnya (Tjay dan Raharja, 2007).
2.3 Spektofotometri UV-Visible
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik
yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380
nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer.
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada

molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai


untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Mukti K, 2013).
Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis
yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif
dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya.
Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer.
Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah,
sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan
adalah elektron valensi (Mukti K, 2013).
Spektrum UV-Vis merupakan korelasi antara absorbansi (sebagai
ordinat) dan panjang gelombang bukan merupakan garis spektrum akan tetapi
merupakan suatu pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV-Vis tersebut
disebabkan oleh terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus
molekul yang sangat kompleks. Terjadinya dua atau lebih pita spektrum UV-Vis
diberikan oleh molekul dengan struktur yang lebih kompleks karena terjadi
beberapa transisi sehingga mempunyai lebih dari satu panjang gelombang
maksimum (Rohman, 2007).
Sinar atau cahaya yang berasal dari sumber tertentu disebut juga
sebagai radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik yang dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari adalah cahaya matahari. Dalam interaksi materi dengan
cahaya atau radiasi elektromagnetik, radiasi elektromagnetik kemungkinanan
dihamburkan, diabsorbsi atau dihamburkan sehingga dikenal adanya spektroskopi
hamburan, spektroskopi absorbsi ataupun spektroskopi emisi (Mukti K, 2013)
Jika suatu molekul bergerak dari suatu tingkat energi ke tingkat energi
yang lebih rendah maka beberapa energi akan dilepaskan. Energi ini dapat hilang
sebagai radiasi dan dapat dikatakan telah terjadi emisi radiasi. Jika suatu molekul
dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga energi
molekul tersebut ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, maka terjadi peristiwa
penyerapan (absorpsi) energi oleh molekul. Secara eksperimental, sangat mudah
untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul sebagi fungsi
frekuensi radiasi. Suatu grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang

diserap dengan frekuensi (panjang gelombang) sinar merupakan spectrum absopsi


(Rohman, 2007).
Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan
sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
1.

Aspek kualitatif
Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang

gelombang maksimal, intensitas, efek PH, dan plarut; yang kesemuanya itu dapat
diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (publissed data). Dari
spektra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya :
Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH. Jika berubah,
bagaimana perubahannya apakah dari batokromik ke hipsokromik dan

sebaliknya atau dari hipokromik ke hiperkromik, dan sebagainya.


Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol, atau obat-obat yang
berisi auksukrom yang tidak terkonjugasi seperti amfetamin, siklizin dan

pensiklidin.
2. Aspek kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan
(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya.
Analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis dapat
digolongkan atas tiga macam pelaksanaan pekerjaan, yaitu :
Analisis zat tunggal atau analisis suatu komponen
Analisis campuran dua macam zat atau analisis dua komponen

Anlalisis kuantitatif campuran tiga macam zat atau lebih (analisis multi
komponen) (Rohman, 2007).

2.4 Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat
melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan
pelarut (Aiache dan Goyot, 1993).
Uji disolusi ( in vitro) yang diterapkan pada sediaan obat padat bertujuan
untuk mengukur dan mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dalam media cair
yang diketahui volumenya pada suatu waktu tertentu, pada suhu konstan tertentu,
menggunakan alat tertentu yang didesain untuk menguji parameter disolusi.
Jumlah zat aktif yang terlarut dapat ditentukan atau diukur pada satu waktu

tertentu atau berbagai rentang waktu secara berturut-turut yang tergantung pada
jenis informasi yang diperlukan (Sinko, 2010).
Ketika suatu tablet atau sediaan padat lain dimasukkan ke dalam gelas
piala berisi air atau ke dalam saluran cerna, obat tersebut mulai bergerak dari
padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut merupakan bahan polimerik
yang bergandengan, matriks padat juga berdisintegrasi menjadi granul-granul.
Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdegredasi menjadi partikel-partikel
halus. Disintegrasi, dan disolusi dapat terjadi bersamaan dengan pelepasan obat
dari bentuk penghantarannya (Sinko, 2006).
Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi
sistemik sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan
dan granul. Namun biasanya lebih berpengaruh adalah kecepatan disolusi sediaan
padat tersebut. Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau pengendali
kecepatan pada absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusikan kerap kali
menjadi tahap paling lambat di antara berbagai tahap yang terlibat dalam
pelepasan obat dari bentuk sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi sistemik.
Karena disolusi merupakan proses kinetik, kecepatan disolusi mencerminkan
jumlah obat yang terlarut dalam periode waktu tertentu (Sinko, 2006).
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera pada masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan
disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali dinyatakan dalam
masing-masing monografi. Bila pada etiket dinyatakan bahwa tablet bersalut
enterik, uji disolusi dan waktu hancur tidak secara langsung dinyatakan untuk
sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara pengujian untuk sediaan lepas
lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat. Uji disolusi dapat dilakukan
dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu metode basket, metode dayung (Depkes
RI, 1995).
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada saat praktikum antara lain: beaker glass
1000 ml (Iwaki Pyrex), bola penghisap, dissolution tester (Erweka), labu tentukur
10 ml (Iwaki Pyrex), spektrofotometer (Shimadzu), termometer, kuvet, spuit 3 ml,
tissu lensa, vial, dan beaker glass 250 ml (Iwaki pyrex).
3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada saat praktikum antara lain: sulfadiazin
tablet, sulfadiazin kapsul, medium lambung buatan pH 1,2 dan air.
3.3 Prosedur kerja
3.3.1 Prosedur Uji Disolusi Sulfadiazin Tablet dan Kapsul
Dipanaskan 900 ml medium cairan lambung pH 1,2 sampai suhu 37
0,5oC. Dimasukkan ke dalam tabung Dissolution Tester. Diatur putaran 100 rpm.
Sediaan uji dimasukkan ke dalam tabung disolusi. Pada interval waktu 5, 10, 15,
20, 30, 45, 60 menit dipipet cuplikan sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam
labu tentukur 25 ml. Diencerkan sampai garis tanda. Setiap pengambilan cuplikan
diganti dengan medium disolusi dalam jumlah yang sama. Larutan diukur serapan
dengan alat spektrofotometer uv pada panjang gelombang maksimum 242 nm.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Tabel 4.1.1 Tabel Disolusi Sulfadiazin Tablet I


No.

Waktu (menit)

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

1.

0,0175

1,2085

2.

10

0,0475

3,454

3.

20

0,1034

4,9345

4.

30

0,1584

4,957

5.

45

0,2507

4,973

6.

60

0, 3041

4,9775

No
.

CxFP

(men

it)

(ppm)

FP

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)
0

1.

0,0175

0,2417

1,2085

(ppm)
1087,65

2.

10

0,0475

0,6908

3,454

3.

20

0,1034

0.9869

4.

30

0,1584

0,9914

5.

45

0,2507

6.

60

0, 3041

%
CL

kumul
atif

1087,65

1,08

3108,6

1,2085 3109,808

31,08

4,9345

4441,05

4,6625 4445,712

4,44

4,957

4461,3

9,597

4470,897

4,46

0,9946

4,973

4475,7

14,554 4490,254

4,47

0,9955

4,9775

4479,75

19,527 4499,277

4,5

Tabel 4.1.2 Tabel Disolusi Sulfadiazin Tablet II


No.

Waktu (menit)

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

1.

0,0193

1,3435

2.

10

0,0433

3,1395

3.

20

0,0792

5,827

4.

30

0,1123

8,3445

5.

45

0,1648

12,234

6.

60

0,2186

16,261

No
.
1.

CxFP

t
(men
it)
5

C
A
0,0193

(ppm)
0,2687

FP

5
10

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)

1,3435

(ppm)
1289,15

%
CL

kumul
atif

1209,15

1,209

2.

10

0,0433

0,6279

3,1395

5244,3

4,483

3248,178

5,248

3.

20

0,0792

1,1654

5,827

7510,05

10,31

7520,36

7,520

4.

30

0,1123

1,6689

8,3445

11010,6

18,654

11029,25

11,03

5.

45

0,1648

2,4468

12,234

2825,55

1,3435 2826,193

2,826

6.

60

0,2186

3,2522

16,261

14634,9

30,888 14665,31

14,66

Tabel 4.1.3 Tabel Disolusi Sulfadiazin Kapsul


No.

Waktu (menit)

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

1.

0,0073

0,0445

2.

10

0,0082

0,5125

3.

20

0,0129

0,8645

4.

30

0,0182

1,2615

5.

45

0,0210

1,4705

6.

60

0,0269

1,912

11

CxFP

No

(men

it)

1.
2.
3.
4.
5.
6.

5
10
20
30
45
60

(ppm)

0,0073
0,0082
0,0129
0,0182
0,0210
0,0269

FP

0,0890
0,1025
0,1729
0,2522
0,2941
0,3824

5
5
5
5
5
5

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)

0,0445
0,5125
0,8645
1,2615
1,4705
1,912

(ppm)
400,5
461,25
773,05
1134,9
4323,45
1720,8

%
CL

kumul
atif

0
400,5
0,0445 461,695
0,975 77,0075
1,822 1136,722
3,083 1326,533
4,5535 1720,8

0,401
0,462
0,779
1,307
1,327
1,721

Tabel 4.1.4 Furosemid Generik 1


No.

Waktu (menit)

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

1.

0,1327

8,2425

2.

10

0,392

10,054

3.

20

0,5760

36,323

4.

30

0,6613

41,7195

5.

45

0,6713

42,353

6.

60

0,5870

37,014

No
.

CxFP

t
(men
it)

C
A

(ppm)

FP

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)
0

1.

0,1327

1,6485

8,2425

(ppm)
7418,25

2.

10

0,392

4,0108

10,054

3.

20

0,5760

7,2646

4.

30

0,6613

8,3439

5.

45

0,6713

6.

60

0,5870

%
CL

atif
7418,25

18,5

18048,6

8,2425 32718,99

45,14

36,323

32690,7

28,297 188,7225

81,79

41,7195

37547,5

64,619 37612,12

94,03

8,4706

42,353

38117,7

106,34 38224,04

95,56

7,4028

37,014

33312,6

148,69 33461,29

83,65

Tabel 4.1.5 Furosemid Generik 1I


No.

kumul

Waktu (menit)

Absorbansi

12

Konsentrasi (ppm)

1.

0,4412

27,78

2.

10

0,5876

37,052

3.

20

0,6316

39,8385

4.

30

0,6438

40,661

5.

45

0,6260

39,611

6.

60

0,6273

39,556

No
.

CxFP

t
(men
it)

C
A

(ppm)

FP

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)
0

25002

62,5

CL

kumul
atif

1.

0,4412

5,560

27,78

(ppm)
25002

2.

10

0,5876

7,4104

37,052

33346,8

27,78

33374,50

83,44

3.

20

0,6316

7,9677

39,8385

35854,6

64,832 35919,48

89,8

4.

30

0,6438

8,1222

40,661

36549,9

104,67 36654,57

91,64

5.

45

0,6260

7,8986

39,611

35535,6

145,28 35686,88

89,2

6.

60

0,6273

7,9132

39,556

35609,4

184,76 35794,17

89,48

Tabel 4.1.6 Furosemid (Lasix) I


No.

Waktu (menit)

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

1.

0,5049

31,83

2.

10

0,5865

36,995

3.

20

0,5586

35,225

4.

30

0,6013

37,91

5.

45

0,6376

40,225

6.

60

0,6344

40,025

No
.

CxFP

t
(men
it)

C
A

(ppm)

FP

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)

(ppm)

13

%
CL

kumul
atif

1.

0,5049

6,366

31,83

28647

28647

71,62

2.

10

0,5865

7,399

36,995

33295,7

51,83

33327,33

83,24

3.

20

0,5586

7,045

35,225

31702,5

68,825 31771,33

79,26

4.

30

0,6013

7,582

37,91

34119

104,05 34223,03

85,99

5.

45

0,6376

8,045

40,225

36202,5

141,96 36344,46

90,51

6.

60

0,6344

8,005

40,025

36022,5

182,19 36204,68

90,06

Tabel 4.1.7 Furosemid (Lasix) II


No.

Waktu (menit)

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

1.

0,4893

30,8175

2.

10

0,5476

34,5185

3.

20

0,6035

38,059

4.

30

0,5527

34,8415

5.

45

0,5840

36,824

6.

60

0,5525

34,829

No
.

CxFP

(men

it)

(ppm)

FP

CxFP

dlm 900

Faktor

(ppm)

ml

Pe(+)
0

1.

0,4893

6,1653

30,8175

(ppm)
27735,8

2.

10

0,5476

6,9037

34,5185

3.

20

0,6035

7,6118

4.

30

0,5527

6,9683

5.

45

0,5840

6.

60

0,5525

: waktu (menit)

: absorbansi

: konsentrasi

FP

: faktor pengenceran

CL

kumul
atif

27735,75

69,34

31066,7

30,818 31097,47

77,74

38,059

34253,1

65,336 34318,44

85,79

34,8415

31357,4

103,39 31460,75

78,65

7,3648

36,824

33141,6

138,24 33279,84

83,19

6,9658

34,829

31346,1

173,07 31519,17

78,79

Keterangan:
t

CL : konsentrasi obat yang dilepas

14

%K : persentase kumulatif
4.2 Perhitungan
Terlampir
4.3 Pembahasan
Menurut Sinko (2006), yang menyatakan bahwa pengaruh bentuk
sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang
terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut
urutan sebagai berikut: kapsul, tablet dan sustained release. Cangkang kapsul
yang terbuat dari gelatin merupakan suatu senyawa yang mudah larut dalam air
sehingga kapsul dapat dengan mudah melepaskan bahan obat (zat aktif) untuk
diabsorpsi oleh tubuh.
Dari percobaan yang dilakukan, uji disolusi tablet sulfadiazin II dan
kapsul sulfadiazin diperoleh konsentrasi yang meningkat di dalam medium
lambung buatan yang berarti bahwa obat telah larut sedikit demi sedikit. Pada
sulfadiazin tablet, diperoleh konsentrasi obat yang dilepas 14665,31 ppm pada
waktu 60 menit. Sedangkan pada sulfadiazin kapsul diperoleh konsentrasi obat
yang dilepas 1720,8 ppm pada waktu 60 menit. Ini menunjukkan bahwa sediaan
kapsul lebih mudah terdisolusi dibandingkan sediaan tablet.
Pada sulfadiazin tablet I, diperoleh konsentrasi obat yang dilepas
4499,277 ppm pada waktu 60 menit. Sedangkan pada sulfadiazin kapsul diperoleh
konsentrasi obat yang dilepas 1720,8 ppm pada waktu 60 menit. Ini menunjukkan
bahwa sediaan tablet lebih mudah terdisolusi dibandingkan sediaan kapsul. Hal ini
tidak sesuai dengan teori.
Pada tablet furosemid generik I dan furosemid generik II masingmasing diperoleh konsentrasi obat yang dilepas 33461,29 ppm dan 35794,17 ppm
pada waktu 60 menit sedangkan pada tablet furosemid merek dagang (Lasik) I dan
II masing-masing diperoleh konsentrasi obat yang dilepas 36204,68 ppm dan
31519,17 ppm pada waktu 60 menit. Ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara furosemid generik dengan furosemid merek dagang.
Furosemid generik I lebih lambat mengalami disolusi dari furosemid merk dagang
I sedangkan furosemid generik II lebih cepat mengalami disolusi dari furosemid
merk dagang II. Kedua obat ini tidak bioekivalen. Dua produk disebut bioekivalen

15

jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif


farmaseutik pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan
ketersediaan hayati (bioavailabilitas) yang sebanding sehingga efeknya akan sama
dalam hal efikasi maupun keamanan.
Menurut Shargel (1988), ada korelasi antara pengukuran kadar obat in
vivo (dalam plasma) dengan pengukuran kadar obat secara in vitro. Uji pelarutan
juga merupakan suatu bagian dari prosedur pengendalian kualitas baku produk.
Oleh karena itu, uji disolusi ini dapat menjadi parameter dalam mengukur
bioekivalensi dari produk obat. Dimana menurut Tjay dan Raharja (2007), uji
disolusi dikorelasikan dengan absorpsi karena ini disebut pharmaceutical
availability (kecepatan larut dan jumlah obat yang in vitro dibebaskan dari bentuk
pemberiannya dan tersedia untuk proses absorpsi). Sehingga bila absorpsi cepat
maka akan cepat juga memberikan efek teraupetik seperti uji bioavabilitas.

16

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
- Pada sulfadiazin kapsul kadar obat yang terlarut pada uji disolusi lebih tinggi
dibandingkan dengan sulfadiazin tablet pada waktu dan medium yang sama.
- Pada furosemid generik I kadar obat yang terlarut pada uji disolusi adalah
33461,29 ppm dan furosemid generik II kadar obat yang terlarut adalah
35794,17 ppm.
- Furosemid merek dagang (Lasik) I kadar obat terlarut pada uji disolusi adalah
36204,68 ppm dan Furosemid merek dagang (Lasik) I kadar obat terlarut
adalah 31519,17 ppm.
5.2 Saran
- Sebaiknya pada praktikum selanjutnya digunakan furosemid merek dagang
lain seperti Farsik untuk membandingkan hasil disolusi yang diperoleh
dengan furosemid generik.
- Sebaiknya pada praktikum selanjutnya digunakan bentuk sediaan lain seperti
sustained release, kaplet untuk membandingkan uji disolusi dari sediaansediaan tersebut..

17

DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J.M. dan Guyot A.M. (1993). Farmasetika 2 : Biofarmasi. Edisi Kedua.
Penerjemah: Dr. Widji Soeratri. Surabaya : Penerbit Airlangga University
Press. Halaman : 3-15, 41
Awad, H.M., dan Shahed K.Y. (2012). Antibiotics as Microbial Secondary
Metabolites: Production and Application, Jurnal Teknologi, 2012, Vol.1,
No. 59, eISSN 2180-3722, ISSN 0127-9696.
Clowes dan Sons. (1973). British Pharmaceutical Codex. London : The
Pharmaceutical Press. Pages 476 and 477
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia.Edisi keempat. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Halaman: 4, 6, 765
Gilman and Goodman. (1991). The Pharmacological Basis of Therapeutics. Eight
Edition. New York : Mc Graw Hill, INC. Page : 1051
Khopkar, S. M. (2010). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Halaman : 225-226
Multi, K. (2013). Analisis Spektroskopi UV Vis Penentuan Konsentrasi
Permanganat. [http://kusnantomukti.blog.uns.ac.id/files/2012/06/laporanUV-Vis.pdf] Diakses 25 November 2014
Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Halaman : 220-228
Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Press. Hal. 31-34, 43 dan 48-51
Syukri, Y dan Sukmawati. (2004). Desintegrasi dan Disolusi Tablet Furosemida
Dari Berbagai Produk Generik dan Produk Paten yang Beredar.
Yogyakarta: Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas MIPA Universitas
Islam Indonesia. Diakses pada tanggal 2 Desember 2014.
www.data.dppm.uii.ac.id/uploads/101017
Tjay, T.H., & Raharja, K. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta : Elex
Media Komputindo. Halaman : 13, 14, 136, 333.

18

Lampiran 1. Gambar Alat dan Bahan Percobaan

Kapsul sulfadiazin

Furosemid merek dagang (Lasix)

Tablet sulfadiazin

Furosemid generik

19

Wadah kaca

Spuit

Dissolution tester

Spektrofotometer Uv-Vis

20

Anda mungkin juga menyukai