DIABETES MELITUS
DISUSUN OLEH :
Elvi Yana, S.Ked
1118011057
1018011060
PEMBIMBING :
dr. Awal Bachtera Barus, Sp.PD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa didalam darah tinggi
karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Diabetes
melitus suatu kelompok penyakit metabolik dengan kadar gula darah sepanjang hari
bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam 4.
WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawai akibat dari sejumlah faktor dimana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
angka insiden dan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Berdasarkan
data badan pusat statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia
diatas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi Diabetes Mellitus pada daerah urban
sebesar 14,7% dan daerah rural 7,2% maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetes
sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta yang berusia
diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus pada urban (14,7%) dan
rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetes didaerah urban dan 8,1 juta di
daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar,dan merupakan beban yang sangat berat untuk
dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan
yang ada. Mengingat bahwa Diabetes Melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas
sumberdaya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah sebaiknya ikut serta dalam usaha penaggulangan Diabetes
Mellitus,khususnya dalam upaya pencegahan 6.
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan Western-style yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari 6 .
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005,
yaitu :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan
dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam
hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya
normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur
hidup 2 .
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan
dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun 2.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi 2 .
4. DM Gestasional
Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB
rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding bayi yang lahir dengan BB
normal.
Hipertensi
Dislipidemia
Diet tak sehat. Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko
menderita prediabetes dan DM tipe 2
2.4 Etiologi
Diabetes Tipe 2
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh
hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang
sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa 3.
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Diabetes melitus tipe 1
Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes
juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai
insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi padasel beta pankreas karena
5
mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I
terjadi lebih sering pada pembawaantigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal
ini terdapat disposisi genetik. Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris:
childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah
akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM
dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada
anak-anak 5.
2.5.2 Diabetes Melitus tipe 2
Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut
dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi.
Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin
relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin
dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang
berkurang terhadap insulin.Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan
berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak,
dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak seimbangan antara suplai dan pengeluaran
energi meningkatkan konsentrasiasam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi
insulin yang memaksa untuk meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun
pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang
penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih
penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan sensitifitas insulin.Sering kali,
pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai
gen yang menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor,
kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi
penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat
terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin
pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein
dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak 5.
peningkatan
pelepasan
hormonantagonis,
diantaranya
somatotropin
(pada
meningkatkan
manifestasi
diabetes
mellitus.
Somatostatinoma
dapat
angkakriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer 6.
2.7.1. Diagnosis diabetes melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita 2.
praktek
sangat
jarang
dilakukankarena
membutuhkan
persiapan
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus.
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untukmenentukan diagnosis
diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosadarah puasa terganggu. Berikut
adalah langkah-langkah penegakkan diagnosisdiabetes melitus, TGT, dan GDPT 2.
10
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang
diabetes.
Jangka
panjang:
mencegah
dan
menghambat
progresivitas
penyulit
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku 2.
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu
(2-4
minggu).
Apabila
kadar
glukosa
darah
belum
mencapai
sasaran,
dilakukanIntervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan 2.
a.
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
mendalam di bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus 2.
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin 2.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari 2.
12
Lemak
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Protein
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
13
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial 2.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut 2.
14
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau
analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4
inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat
penglepasan glukagon 2.
15
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
16
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Ketoasidosis diabetik
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin 2.
17
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan
puasa,
sedangkan
defisiensi
insulin
prandial
akan
menimbulkan
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan denga OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian 2.
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah
alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat
18
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain,
dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik
pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan
benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah 2.
2.8 Komplikasi
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis Diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya
insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan
meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga
meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber
energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa
benda keton yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan asam
amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.
19
A. Gejala Klinis :
Anoreksia, mual, muntah, dan nyeri perut (lebih sering pada anak-anak) dapat
dijumpai dan ini mirip dengan kegawatan abdomen. Ketonemia diperkirakan
sebagai penyebab dari sebagian besar gejala ini. Beberapa penderita diabetes
bahkan sangat peka dengan adanya keton dan menyebabkan mual dan muntah
yang berlangsung dalam beberapa jam sampai terjadi KAD.
Ileus (sekunder akibat hilangnya kalium karena diuresis osmotik) dan dilatasi
lambung dapat terjadi dan ini sebagai predisposisi terjadinya aspirasi.
B. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Glukosa
Glukosa serum biasanya > 250 mg/dl. Kadar glukosa mencerminkan derajat
kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran darah
ginjal berkurang dan menurunnya ekskresi glukosa. Diuresis osmotik akibat hiperglikemia
menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi, dan hiperosmolaritas (umumnya
sampai 340 mOsm/kg) 2.
2. Keton
Tiga benda keton utama adalah : betahidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Kadar
keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat sampai 30 mM/L (nilai normal
adalah sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat,
namun berbeda dengan keton lainnya aseton tidak berperan dalam terjadinya asidosis.
20
Betahidroksibutirat dan asetoasetat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD
ringan) sampai 15:1 (KAD berat) 2.
3. Asidosis.
Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di bawah 15 mEq/l dan
pH arteri di
bawah
oleh penumpukan
terjadi
dehidrasi
dan
hiperosmolaritas.
Hipertrigliseridemia
dapat
juga
21
KRITERIA DIAGNOSIS
Penderita dapat didiagnosis sebagai KAD bila terdapat tanda dan gejala seperti pada
kriteria berikut ini :
Klinis : riwayat diabetes melitus sebelumnya, kesadaran menurun, napas cepat dan
dalam (kussmaul), dan tanda-tanda dehidrasi.
Faktor pencetus yang biasa menyertai, misalnya : infeksi akut, infark miokard akut,
stroke, dan sebagainya.
Laboratorium :
- hiperglikemia (glukosa darah > 250 mg/dl).
- asodosis (pH < 7,3, bikarbonat < 15 mEq/l).
- ketosis (ketonuria dan ketonemia) 6.
Penatalaksanaan :
Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :
- Koreksi terhadap :
o Dehidrasi
o Hiperglikemi
o Gangguan keseimbangan elektrolit
- Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
- Follow up yang ketat
Terapi cairan :
Pasien dewasa :
Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan
ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi
jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20
ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam
berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis
(jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat
diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9%
NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya
diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil
dan dapat menerima suplemen Kalium oral 8.
22
Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi
pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ <>).
Pada pasien pediatric, diberikan infus RL berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per
jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar
glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien.
Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma turun
antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada
KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (36 UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi
Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis
pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi.
Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi.
Pengukuran langsung terhadap b hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang
lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam
asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan
pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama pengobatan, b-OHB
dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis
memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 4 jam
untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH
darah vena.
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri.
Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat
pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.
Pada
KAD
ringan,
RI
dapat
diberikan
baik
secara
subkutan
maupun
intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 0,6 UI per
kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau
i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau
intramuskuler 8.
23
18 mEq/l
Kalium :
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan
kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai
bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis.
Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap
liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas
normal (4 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat hendaklah dimulai bersamaan dengan
terapi cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l,
untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan 8.
Bikarbonat :
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin
dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian
bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas
atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara 6.9 7.1, yang diberi terapi
bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada
penderita KAD dengan pH darah.Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana
pH darah menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium
bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 7,0 diberikan 50 mmol natrium
bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi
insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi
24
kalium dalam cairan infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya,
pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu
pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih <
style=""> 155 mEq/l 8.
Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi
prospektif tidak menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat pada penderita KAD. Namun
untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan
akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai
dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan
kadar fosfat serum 8.
25
26
5.
tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang
mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada keadaan
ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedangkan pada DM tipe 2 dimana kadar insulin
darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan
hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia 2.
pH > 7,3
27
28
Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik
> 250
> 250
> 250
> 600
7,25-7,30
7,00-
<>
> 7,30
<7,24
Bikarbonat
Serum
15-18
10-<15
<>
> 15
Keton urin
Positif
Positif
Positif
Sedikit/negatif
Keton Serum
Positif
Positif
Positif
Sedikit/negatif
Bervariasi
Bervariasi
> 320
(mEq/l)
Osmolalitas
serum Bervariasi
efektif (mOsm/kg)
Anion gap
> 10
> 12
>12
<12
Sensorium
Sadar
Apatis
Stupor/Coma
Stupor/Coma
Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau
GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,
tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan
kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka,
bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik
: pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang 8.
TERAPI
Stadium permulaan ( sadar )
Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop /permen atau gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes ) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
29
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia );
1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena ,
2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf
3) Periksa GD sewaktu (GDs) ,kalau memungkinkan dengan glukometer ;
Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV
Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV
a.
Penyulit menahun
1.
Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.
Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada
minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik
dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan
kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik,
nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
berkembang menjadi chronic kidney disease 3.
Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi
distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan
kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
31
diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen
10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun 2 .
2.
Makroangiopati
dengangejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul 2.
32
DAFTAR PUSTAKA
33