Anda di halaman 1dari 20

1

POLEMIK KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA


Suatu Kajian Historis dan Kajian Konstitusionalitas Terhadap
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta
Oleh:
Rusdianto S., S.H., M.H.1
A. Latar Belakang
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Kasultanan Yogyakarta memiliki status
sebagai Kerajaan vasal/Negara bagian (Dependent state) dalam pemerintahan penjajahan
mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC
(Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan
Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini
membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan
mengurus wilayah (negaranya) sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan
tentunya.2
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, meskipun Yogyakarta dapat saja menjadi negara
yang merdeka, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memutuskan untuk
menjadi bagian istimewa dari Indonesia.3 Masing-masing tokoh ini, secara terpisah tetapi
dengan format dan isi yang sama, mengeluarkan Maklumat tertanggal 5 September 1945
yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia
tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan.4
Dengan dikeluarkannya maklumat pada tanggal 5 September 1945 tersebut maka
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman resmi menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman
1

Penulis adalah dosen tetap bagian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Narotama Surabaya
2 Saafroedin Bahar et. al., ed. 1933. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi
kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI, hlm. 58
3
Lihat Dictum 1 Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Dictum 1 Amanat Kadipaten
Paku Alaman
4
Ibid.

berintegrasi menjadi satu kesatuan pemerintahan bersama dengan dikeluarknnya Dekrit


Kerajaan Bersama yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1950 yang isinya menyerahkan
kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa
kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah
terpisah selama lebih dari 100 tahun.5 Kemudian Yogyakarta menjadi sebuah daerah
Provinsi Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 dan berlaku pada
tanggal 15 Agustus 1950.
Berdasarkan sejarah kenegaraan tersebut maka memang sudah tepat jika Yogyakarta
menyandang status sebagai sebuah daerah istimewa. Keistimewaan Yogyakarta sebenarnya
dapat dilihat secara sepintas pada proses pngisian jabtan Gubernur dan Wakil Gubernur. Jika
kita melihat Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Amanat Kadipaten Paku
Alaman Dictum 2 maka jabatan Kepala Daerah tetap beradadi tangan Sultan atau Adipati.
Itulah yang kemudian menjadi polemik ketika Sri Paduka Paku Alam VIII pada tahun 1998.
Polemik mengenai status keistimewaan Yogyakarta tersebut kembali terjadi ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan statemen dalam rapat terbatas kabinet
untuk membahas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada hari Jumat
tanggal 26 November 2010 yang menyatakan bahwa tidk boleh ada suatu sistem monarki
yang bisa bertabrakan dengan demokrasi.6 Kontan setelah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan statemen tentang Yogyakarta tersebut beragam reaksi muncul
dari berbagai kalangan, baik yang mendukung keistimewaan Yogyakarta maupun yang
mendukung statemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kelompok yang mendukung statemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut
beralasan bahwa Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan
bahwa Gubernur dipilih secara demokratis, bukan dengan cara pengangkatan seperti yang
selama ini terjadi di Yogyakarta.7 Kelompok yang menentang statemen Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono juga memiliki argumentasi yang berbeda dan tidak kalah kuatnya,
yaitu memegang ketentuan Pasal 18B ayat (1) ) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu
5

Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit.


http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picu-polemik
7
http://www.jpnn.com/read/2010/12/01/78528/Setelah-Merapi,-Jogja-Dihantam-Monarki6

bahwa negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa. Pertentangan ini penting kiranya untuk dikaji secara mendalam baik
dari persfektif historis maupun persfektif konstiusi.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
apakah Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta sudah sesuai dengan
Konstitusi dan sejarah keitimewaan Yogyakarta.
C. Tinjauan Pustaka
1. Prinsip Demokrasi
Perjalanan demokrasi sudah tumbuh sejak jaman Yunani Kuno, yang kemudian
berkembang hingga saat ini. Sejarah pertumbuhan demokrasi ini ditulis oleh Mahfud MD
sebagai berikut:
Secara historis, demokrasi telah tumbuh sejak zaman Yunani Kuno. Demokrasi
tumbuh pada mulanya, di sebuah Negara Kota Athena sekitar abad ke-4 sampai abad
ke-6 Sebelum Masehi. Negara kota Athena Kuno, merupakan Negara demokrasi
pertama di dunia yang mampu menjalankan demokrasi secara langsung dengan
majelis sekitar 5.000 sampai 6.000 orang. Ketika itu, rakyat secara langsung menjadi
penentu kebijakan pemerintahan. Mereka, dapat berkumpul di suatu tempat dalam
waktu yang sama, berbicara dan memberikan suara secara langsung di dalam dewan
sebagai forum penentu kebijakan. Namun, semua itu dapat terlaksana karena jumlah
penduduk Negara Kota di Athena ketika itu, baru sedikit. 8
Dalam demokrasi, semestinya, hak-hak rakyat dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam
demokrasi tidak dibenarkan adanya keputusan politik dari pejabat yang dapat merugikan
hak-hak rakyat, apalagi kebijakan yang bertujuan untuk menindas rakyat demi
kepentingan penguasa. Demokrasi sesungguhnya bukan hanya seperangkat gagasan dan
prinsip tentang kebebasan. Tetapi, demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan
prosedur yang terbentuk dalam sejarah panjang dan berliku. Demokrasi, seringkali
disebut pelembagaan dari kebebasan. 9
Dalam perkembangannya, demokrasi telah mengalami pasang surut sebagaimana
yang dikemukan oleh Abdullah Yazid berikut ini:
8

Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet 2 (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2003),hlm. 20

http://www.cidesonline.org

Pasang surut demokrasi ini ditandai antara lain dengan adanya istilah atau nama dari
demokrasi yang menunjukkan bentuk pelaksanaan sistem pemerintahan demokrasi di
suatu Negara dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga
Negara Dalam demokrasi seringkali terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai
instrumental, dengan konteks alam, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan
agama serta kualitas psikososial para penyelenggara negara.10
Sebaliknya, demokrasi akan tumbuh kokoh bila di kalangan masyarakat tumbuh
kultur dan nilai-nilai demokrasi, seperti toleransi, bebas mengemukakan pendapat,
menghormati perbedaan pendapat,

memahami keanekaragaman dalam masyarakat;

terbuka dalam berkomunikasi, serta menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan.


Demokrasi juga harus memiliki nilai percaya diri atau tidak tergantung pada orang lain
dan saling menghargai.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan oleh BPUPKI pada tanggal 18
Agustus 1945 pun telah memuat berbagai hak dan kewajiban warga negara serta
pemerintah agar terwujud hubungan politik yang demokratis. Dewasa ini, di saat gagasan
demokrasi semakin mendunia, bangsa Indonesia didorong oleh semangat reformasi
berusaha mewujudkan suatu sistem pemerintah yang demokratis pula.11
Karena kedaulatan berada di tangan rakyat, maka segala proses penyelenggaraan
negara, termasuk pemilu, harus diserahkan kepada pemiliknya. Kalau pun terjadi
perbedaan antara Undang-Undang Dasar Tahun 1945 asli dengan yang telah
diamandemen, terletak pada peran MPR. Di masa lalu, lembaga ini dianggap sebagai
lembaga tertinggi dan merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Selain daripada itu,
demokrasi merupakan bentuk perwujudan menuju suatu tatanan yang demokratis
terhadap perwujudan suatu bangsa dan negara dimana tugas penyelenggara negara
bertugas untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.12

10

David Held, Demokrasi dan Tatanan Global, dari Negara Modern hingga Pemerintahan
Kosmopolitan, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2006),hlm.14
11
Abdullah Yazid et.all, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Malang:Avveroes Press, 2007),
hlm.32
12
Redi Penuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2009) hal 7

2. Konsep Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah


Konsep susunan negara yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara modern saat
ini dapat ditijau dari segi susunannya. Negara, apabila ditinjau dari segi susunan atau
bentuk negara, maka akan ditemukan dua jenis bentuk negara, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soehino berikut ini:13
a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara Kesatuan
b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi.
Selanjutnya, Soehino memberikan defenisi atau penjelasan mengenai negara
kesatuan sebagai berikut:
Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam
negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu
pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam
bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan
melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.14
Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad XVIII masih bersifat
absolut dan masih dilaksanakannya azas sentralisi (urusan pemerintah milik pemerintah
pusat) dan azas konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan pemerintahan dilaksanakan
sendiri

oleh

pemerintah

pusat).

Dalam

perkembangannya

yang

dikarenakan

perkembangan pesat yang terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin luasnya wilayah,
urusan pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya semakin banyak dan
heterogen, maka di berbagai negara telah dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam rangka
penyelenggaraan pemeintahan di daerah.15
Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara telah dilaksanakan
azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk
menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang
melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya

13
14

15

Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224
Ibid, hlm.224
Ibid, hlm.224-225

sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.16 Penjelasan lebih


lanjut mengenai negara kesatuan yang didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari
uraian yang dikemukakan oleh Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad
dalam Nimatul Huda berikut ini:
Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan
tertinggi atas segenapurusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu
delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government).
Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak
dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (lical
government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap
merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah
pemerintah pusat. 17
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa
kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak
dibagi-bagi.

Dalam

negara

kesatuan,

tanggungawab

pelaksanaan

tugas-tugas

pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun hubungan
antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh
Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan kemudian
disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut:
Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein
adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu
kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah
pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di
pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di
dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut
Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi
merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk
diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi uga
merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan
yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah
tertentu.18

16
17

Ibid, hlm.225-226
Huda, Nimatul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm.

92
18

Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 13

Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi daerah di
Indonesia:
Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas
negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu
yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan
adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. 19
Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno diserupai
dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya
pemberi hak dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas desentralisasi dan
sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara gamblang berikut ini:
Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan,
yakni penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan
objek hak tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan pemerintah, dan hak
pemerintahan tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak
berupa kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan
pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini,
senantiasa harus dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini
Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai kekuatan representatif
rakyat di daerah. 20
Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil
yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat
pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan
secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum yang
tidak diabaikan.21
D. Pembahasan
1. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta Ditinjau Dari Persfektif
Sejarah
Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pernyataan
mengenai status keistimewaan Yogyakarta yaitu bahwa tidak boleh adanya suatu
sistem monarki yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi,
beragam reaksi muncul dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Ada pandangan
19
20
21

Huda, Nimatul, Op.cit, hlm.93


Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm. 7
H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 2

yang membenarkan pernyataan Presiden tersebut dan bahkan tidak sedikit pula yang
menentang pernyataan itu serta menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah melupakan sejarah masa lalu.22
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pernyataan Presiden
tersebut diungkapkan pada saat sidang kabinet terbatas untuk membahas Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada tanggal 26 November 2010.
Tanggapan yang menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
melupakan sejarah masa lalu sangat penting bagi setiap orang untuk melihat
kembali sejarah masa lalu itu untuk menjernihkan dan mengingatkan kita kembali
tentang sejarah asal mula terjadinya dan terbentuknya status keistimewaan
Yogyakarta. Dengan demikian, maka kritikan serta masukan terhadap Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dapat diberikan secara proporsional dan
profesional.
Sejarah keistimewaan Yogyakarta berawal dari zaman sebelum kemerdekaan,
dimana Kasultanan Yogyakarta merupakan wilayah negara tersendiri yang
dikendalikan dan bertanggungjawab secara langsung kepada pemerintahan HindiaBelanda.23 Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 maka Pada
Tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri
Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada SoekarnoHatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada
KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang
Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19
Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil
keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia,
akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar
Indonesia kokoh dan abadi.24
22
23

24

http://www.jpnn.com/read/2010/11/30/78438
Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit.

P.J. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974:
sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius, hlm.7

Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang


PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah
dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran
Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti
dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan
diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena
bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya.
Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada
Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.25
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian
Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang
sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya
lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan
Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti
ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan
kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi
dari para penguasa monarki dikeluarkan yang dikenal dengan amanat 5 September
1945.26
Itulah sejarah singkat perjalanan keistimewaan Yogyakarta yang sampai saat
ini masih dalam polemik terutama setelah meninggalnya Sri Paduka Paku Alam VIII
pada tahun 1998. Polemik yang sangat krusial adalah terkait dengan pengisian jabatan
Gubernur. Ada yang menghendaki bahwa jabatan Gubernur DIY hendaknya
dipisahkan dengan Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman. Kasultanan dan
Kadipaten Paku Alaman dijadikan sebagai sebuah lembaga budaya untuk
mempertahankan tradisi dan budaya di Yogyakarta.

25

26

Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit. Lihat juga Huda, Nimatul, Op.Cit.,hlm.286
Saafroedin Bahar et. al., Loc.Cit.

10

Perdebatan mengenai hal tersebut dapat dilihat dari draf RUU Keistimewaan
Yogyakarta, dimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) yakni untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang demokratis sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 3 ayat (1)
huruf a. Adapun bunyi ketentuan Pasal 3 ayat (2) draft RUU Keistimewaan
Yogyakarta tersebut yakni:
Tata pemerintahan yang demokratis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, diwujudkan melalui:
a. pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung;
b. pengisian anggota DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui
Pemilihan Umum;
c. pemisahan kekuasaan antara lembaga penyelenggara politik dan
pemerintahan dengan Kesultanan dan Pakualaman;
d. mekanisme checks and balances antara Pemerintah Daerah Provinsi dan
DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; dan
e. membuka ruang partisipasi dan kontrol warga masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan media kultural.
Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf a draft RUUK di atas dapat diketahui
bahwa pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta dipilih secara
langsung oleh rakyat. Begitu pula halnya dengan DPRD Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta tersebut juga dipilih melalui pemulihan umum secara langsung oleh
rakyat. Menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah sultan Hamengkubuwono dan
Paku Alam nantinya dapat dipilih dan mencalonkan diri sebagai calon gubernur
dan/atau calon wakil gubernur DIY?. Hal ini dapat kita jawab dengan ketentuan
rumusan Bab IV Draft RUUK tentang bentuk dan susunan pemerintahan DIY pada
Pasal 11 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta terdiri atas Parardhya, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang dimaksud dengan Parardya dapat
dilihat dari rumusan pasal 1 angka 8 draft RUUK yaitu:
Parardhya Keistimewaan Yogyakarta, selanjutnya disebut Parardhya, adalah
lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku
Alam sebagai satu-kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung
dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah
Istimewa Yogyakarta.

11

Salah satu kewenangan parardhya adalah Memberikan rekomendasi untuk


penindakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang melakukan penyimpangan.27
Kewenangan lainnya adalah mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan
kewajibannya, tidak lagi memenuhi syarat, dan/atau melanggar larangan sebagai
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.28Kemudian yang menjadi kewenangan parardhya
dalam keterkaitannya dengan pengisian jabatan gubernur DIY, parardhya memiliki
kewenangan untuk menerima atau menolak perorangan bakal calon atau bakal-bakal
calon Gubernur dan Wakil Gubernur.29Selain kewenangan tersebut parardhya juga
dilarang untuk menjadi pengurus dan anggota partai politik.30
Walaupun secara implisit tidak ditentukan bahwa Sultan Hamengkubuwono
dan Sri Paduka Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan/atau
Wakil Gubernur maka dengan adanya kewenangan tersebut di atas dapat dipahami
bahwa jabatan Gubernur dan Parardhya merupakan suatu lembaga yang terpisah atau
dengan kata lain bahwa Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Paku Alam
nantinya tidak boleh mecalonkan diri sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur
DIY.
Terkait dengan pembahasan kita tentang tinjauan RUUK DIY dari sudut
pandang sejarah, maka kita kembali melihat terhadap konsep Naskah Amanat 5
September 1945 yang menjadi landasan awal berintegrasinya Kasultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Paku Alaman ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia.
Selain itu pula, sejarah pemerintahan Yogyakarta setelah berintegrasinya Yogyakarta
ke dalam NKRI juga telah menempatkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi
Gubernur hingga tahun 1988 dan kemudian digantikan oleh Sri Paduka Paku Alama
VIII hingga tahun 1998. Baru setelah wafatnya Sri Paduka Paku Alama VIIIpada

27

Pasal 13 huruf c Draft RUUK DIY

28

Pasal 17 ayat (1) huruf d Draft RUUK DIY

29

Pasal 39 ayat (2) huruf d draft RUUK DIY


30
Pasal 19 a Draft RUUK DIY

12

tahun 1998 itulah muncul polemik mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY.
Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 5 September 1945 diktum 2
berbunyi sebagai berikut:
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam
Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan
keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaankekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya
Begitu pula halnya bunyi diktum 2 amanat Sri Paduka Paku Alam VIII yakni:
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam
Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada
dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat
ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang
seluruhnja.
Dari bunyi diktum 2 amanat 5 September 1945 tersebut maka penulis
berpendapat bahwa sudah memang seharusnya yang menjadi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adalah Sulltan Kasultanan Yogyakarta dan Adipati Kadipaten
Paku Alaman. Hal inilah yang menjadi ciri khas keistimewaan yang dimiliki oleh
Yogyakarta. Sehingga alasan yang membenturkan antara prinsip demokrasi dan
sejarah

keistimewaan

Yogyakarta

sangatlh

tidak

tepat.

Apalagi

yang

mengungkapakan statemen tersebut adalah seorang Kepala Negara sekaligus Kepala


Pemerintahan di Indonesia. Hal ini akan mengancam integrasi bangsa, apalagi dengan
adanya hembusan referendum oleh masyarakat Yogyakarta. Tentunya hal ini akan
berdampak buruk bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kalimat kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam
diktum 2 amanat 5 September 1945 tersebut harus dipahami sebagai bentuk kerelaan
Sultan dan Adipati untuk bergabung dengan NKRI akan tetapi tetap memegang
jabatan sebagai kepala daerah dan bertnggungjawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia sebagaimana yang terdapat pada diktum 3 amanat 5 September
1945 yang penggalannya berbunyi Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami
langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

13

Dengan demikian, penulis sangat tidak sependapat dengan Draft RUUK DIY
yang hendak memisahkan institusi keraton dan kepatian menjadi sebuah lembaga
yang disebut parardhya dengan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Penulis
beranggapan hal ini bertentangan dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia dan
sejarah pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta.
2. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta Ditinjau Dari Persfektif
Konstitusi (UUD 1945)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang
diberikan otonomi khusus.
Sebagai sebuah Provinsi dalm wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia,
pelaksanaan pemerintahan daerah di Daerah Istimewa Yoyakarta juga harus tunduk
kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Selain Daerah Istimewa
Yogyakarta, terdapat juga daerah lainnya yang diakui secara khusus dalam konsep
otonomi khusus yaitu Provinsi Daerah Khusu Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Provinsi Papua serta Provinsi Papua Barat. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 berlaku bagi semua daerah tersebut selamatidak diatur
tersendiri dalam Undang-Undang lain.31
Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Daerah Istimewa
Yogyakarta selama ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini undang-undang
keistimewaan Yogyakarta belum ditetapkan. Padahal daerah lainnya sebagimana
yang disebutkan pada Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut
sudah diatur dalam Undang-Undang tersendiri. DKI Jakarta diatur dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No.
93; TLN 4744), kekhususan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam
31

Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

14

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006


No.62; TLN 4633). Sementara itu, kekhususan Provinsi Papua diatur dalam Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
(Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151)
yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN
No. 4843).
Dengan demikian, maka praktis hanya DIY saja yang tidak diatur dalam
Undang-undang tersendiri, sehingga pada tahun 2007 terjadi tuntutan untuk segera
dibentuknya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta agar memiliki kejelasan
dalam tata pemerintahannya sebagaimana yang terjadi pada daerah otonomi khusus
lainnya.32Hingga saat ini RUUK DIY tersebut belum dibahasdi DPR untuk
mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Puncaknya polemik
terjadi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan statemen tentang
keistimewaan Yogyakarta yang tidak boleh bertentangan dengan demokrasi mendapat
kecaman dari berbagai pihak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpandangan
bahwa Gubernur DIY harus dipilih secara demokratis sesuai dengan amanat Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal ini juga seperti yang dikemukakan
oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam wawancara dengan JPNN berikut
ini:
Keistimewaan jogja ini, kalau definisi monarki yang sederhana itu kan,
goverment by the one, jadi dari raja secara turun temurun, kan seperti itu. Di
satu pihak ada demokrasi, ada tuntutan dari UUD pasal 18, mengatakan
gubernur dipilih secara demokratis. Itu bukan kata presiden, tapi UUD. Jadi
presiden mempertimbangkan kondisi monarki dengan amanat UUD itu, itu
yang akan dibahas dan belum disimpulkan.33
Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi
sebagai berikut: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan dipilih secara demokratis. Rumusan
pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut memang

32

http://dyanuardy.wordpress.com diakses pada tanggal 1 Desember 2010

33

http://www.jpnn.com/read/2010/12/01/78528

15

memerintahkan agar kepala daerah dipilih secara demokratis. Hal inilah yang
kemudian dianut dalam draft RUUK DIY Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa
Gubernur DIY dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana Gubernur Provinsi
lainnya yang juga dipilih secaralangsung oleh rakyat bedasarkan ketentuan Pasal 56
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Argumentasi yang menyatakan bahwa Gubernur harus dipilih secara
demokratis beradasarkan amanat konstitusi pasal 18 ayat (4) juga tidak salah. Akan
tetapi penulis juga berpendapat bahwa penyimpangan dari ketentuan ini juga dapat
terjadi jika kita juga memperhatikan ketentuan pasal 18B ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang. Pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga didasarkan
pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ini, misalnya Daerah
Khusus Ibukota Jakarta yang menurut ketentuan Pasal 227 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa DKI Jakarta berstatus sebagai daerah otonom
dan dibagi kedalam wilayah administrasi setingkat kota yang dipimpin oleh Walikota
yang tidak dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bersifat otonom. Ketentuan Pasal
227 ayat (2) tersebut berbunyi :Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah administrasi
tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom.
Jika kita mengacu pada pola yang diterapkan di DKI Jakarta yang tidak
menganut konsep pembagian wilayah Provinsi ke dalam wilayah kabupaten/kota
yang otonom sebagaimana yang disebutkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar
tahun 1945. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.

16

Penulis berpendapat bahwa tidak dibentuknya daerah otonom dalam wilayah


Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikarenakan kekhususan yang melekat pada
DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Kekhususan tersebut tentunya juga berdasarkan
pengakuan oleh Pasal 18B ayat (1) undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kekhususan
DKI Jakarta juga dapat dilihat dari pengisian jabatan Walikota wilayah administratif
yang tidak dipilih langsung sebagaimana yang berlaku pada Walikota-Walikota
lainnya di Indonesia.
Jika kita membandingkan konsep kekhususan DKI Jakarta dengan konsep
keistimewaan Yogyakarta pada masa sebelumnya merupakan suatu hal yang juga
sama-sama konstitusional. Hal ini dikarenakan kekhususan yang dimiliki oleh DKI
Jakarta selaku Ibukota Negara dan Keistimewaan Yogyakarta berdasarkan aspek
historis. Kedua-duanya merupakan sistem pemerintahan daerah yang konstitusional,
yaitu sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1).
Penulis berpendapat bahwa Pasal 18B ayat (1) tersebut merupakan pengeculian
terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mana
satu samalain berdiri sendiri.
Dengan demikian, penulis tidak sependapat terhadap draf RUUK DIY yang
hendak memisahkan institusi Keraton Jogja dan Kadipaten Paku Alaman dengan
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan mempertahankan argumentasi
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Padahal ketentuan Pasal 18B
ayat (1) dapat dijadikan landasan konstitusioanl bagi pemerintah untuk menetapkan
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dalam draft RUUK DIY tersebut dari Sultan
Kasultanan Yogyakarta dan dari Adipati Kadipaten Paku Alaman sebagaimana yang
telah berlaku selama ini.
Terkait dengan nilai-nilai demokrasi, Yogyakarta juga bukan merupakan suatu
bentuk pemerintahan yang monarki absolut yang tidak dapat dikontrol oleh rakyat.
Gubernur juga tetap dapat dikontrol oleh rakyat melalui DPRD DIY dan tetap
bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden sebagaimana yang terdapat
dalam Amanat 5 September 1945. Hal yang berbeda hanyalah mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang menjadi ciri keistimewaan yang

17

dimiliki oleh Yogyakarta, yaitu berasal dari Sultan Kasultanan Yogyakarta dan
Adipati Kadipaten Paku Alaman.
E. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Bedasarkan uraian singkat di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.

Bahwa Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta khususnya bagian


pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang akan dipilih langsung
oleh rakyat serta akan dipisahkan dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman ke dalam lembaga/institusi yang berbeda adalah bertentangan dengan
sejarah, terutama Amanat 5 September 1945.

2.

Bahwa adanya kekhawatiran tentang konsep pengisian jabatan Gubernur Yogyakarta


dengan sistem penetapan secara otomatis terhadap Sultan Kasultanan Yogyakarta
dan Adipati Kadipaten Paku Alaman bertentangan dengan konsep demokrasi dan
bertentangan dengan konstitusi adalah tidak benar. Hal ini karena keistimewaan dan
kekhususan daerah diakui oleh konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945) serta
nilai-nilai demokrasi di Yogyakarta juga tetap hidup melalui peran DPRD DIY dan
mekanisme pertanggungjawaban Gubernur DIY kepada Presiden.

2. Saran
Dengan demikian maka penulis menyarankan agar draft RUUK DIY yang berkaitan
dengan ketentuan pengisian jabatan Gubernur secara langsung yang terdapat dalam Pasal
ayat (2) hutuf a RUUK DIY dihilangkan dan tetap menggunakan mekanisme penetapan
sebagaimana yang berlaku sebelumnya, serta tidak perlu mempermasalahkan ketentuan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menghendaki Gubernur dipilih
secara langsung dikarenakan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 juga mengakui
keistimewaan Yogyakarta.
F. Daftar Bacaan
Abdullah Yazid et.all. 2007. Demokrasi dan Hak Asasi ManusiaMalang:Avveroes Press
David Held. 2006. Demokrasi dan Tatanan Global, dari Negara Modern hingga
Pemerintahan Kosmopolitan. Yogjakarta, Pustaka Pelajar

18

Huda, Nimatul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Joeniarto, 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cet.5. Jakarta: Bumi Aksara
Moh. Mahfud. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet 2 .Jakarta:PT Rineka Cipta
___________. 2010. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Demokrasi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada
P.J. Suwarno. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta
1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius
Redi Penuju. 2009. Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan I. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher
Saafroedin Bahar et. al., ed. 1933. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus
1945. Edisi kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty
Sunarno, Siswanto. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet.3. Jakarta: Sinar
Grafika
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undan-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta
Naskah Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alaman VIII, 5
September 1945
http://news.okezone.com/read/2010/11/29/337/398252/statement-sby-soal-yogya-picupolemik diakses pada tanggal 1 Desember 2010
http://www.jpnn.com/read/2010/12/01/78528/Setelah-Merapi,-Jogja-Dihantam-Monarkidiakses pada tanggal 1 Desember 2010
http://www.cidesonline.org diakses pada tanggal1 Desember 2010
http://dyanuardy.wordpress.com diakses pada tanggal 1 Desember 2010

19

LAMPIRAN
NASKAH AMANAT KASULTANAN YOGYAKARTA 5 SEPTEMBER 1945

AMANAT SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN


Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa
dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa
ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini
berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat
Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri
Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat
mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

HAMENGKU BUWONO IX

20

NASKAH AMANAT KADIPATEN PAKU ALAMAN 5 SEPTEMBER 1945

AMANAT SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN


ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat
menjatakan:
1. Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri
Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini
segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada
ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara
Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri
Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan
Amanat Kami ini.
Paku Alaman VIII, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

20

Anda mungkin juga menyukai