PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transportasi merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga
subsistem, yaitu sistem aktivitas, sistem pergerakan dan sistem jaringan.
Sistem aktivitas di dalam kota terdiri dari berbagai aktivitas seperti:
industri, perumahan, perdagangan, jasa, dan lain-lain. Aktivitas tersebut
berlokasi pada sebidang lahan dan saling berintraksi satu sama lain
membentuk tata guna lahan. Interaksi tersebut mengakibatkan timbulnya
pergerakan manusia antar tata
guna lahan (Tamin, 2000). Pemenuhan kebutuhan pergerakan manusia
tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem jaringan transportasi.
Adanya permasalahan transportasi di dalam kota, berarti terdapat
kesalahan pada sistemnya sehingga harus diteliti lebih lanjut.
Surabaya Metropolitan Area (SMA) merupakan wilayah metropolitan
terbesar ke dua setelah Jakarta Bogor Tangerang Bekasi (Jabotabek).
Wilayah SMA terdiri dari Kota Surabaya sebagai kota intinya serta
Kabupaten Sidoarjo, Bangkalan, dan Gresik sebagai wilayah pinggirannya.
Perkembangan yang terjadi hingga saat ini adalah munculnya ekspansi
kegiatan perkotaan (urban sprawl) dari kota intinya (LPPM ITS, 2007).
Kawasan Waru berada di perbatasan antara kota Surabaya dan Kabupaten
Sidoarjo. Waru sebagai kawasan pinggiran kabupaten Sidoarjo telah
menerima imbas perluasan aktivitas kehidupan kota Surabaya, berupa
perluasan kawasan pemukiman dan industri. Di satu sisi, urban sprawl
akan meningkatkan tingkat urbanisasi suatu wilayah, dan berdampak pada
peningkatan produktifitas wilayah tersebut akibat perubahan penggunaan
lahan baik di pusat maupun di pinggiran. Akan tetapi di sisi lain, fenomena
ini juga menimbulkan peningkatan mobilitas penduduk, terutama pekerja
ulang-alik.
Pergerakan penduduk dari Kecamatan Waru ke pusat Kota Surabaya
menjadi cerminan dampak perubahan guna lahan tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Tamin (2000) bahwa interaksi mengakibatkan timbulnya
1
pergerakan manusia antar tata guna lahan. Jumlah pergerakan dari daerah
pinggiran yang masuk ke Kota Surabaya melalui Jalan Ahmad Yani ( 1 pada pagi
hari peak hour sebesar 6.053 smp ( 2/jam, sedangkan yang keluar Kota Surabaya
sebesar 4.149 smp/jam (Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya,
2005). Terdapat perbedaan yang
signifikan antara volume lalu lintas di jalan-jalan yang menghubungkan kota
dengan sub-urban dan volume lalu lintas di jalan-jalan dalam kota. Jalan Ahmad
Yani sebagai koridor utama dilalui 1.481.344 smp setiap harinya, sedangkan Jalan
Pemuda (jalan dalam kota) hanya dilalui sebanyak 79.936 smp (Badan
Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, 2005). Kendaraan bermotor yang
melalui jalan-jalan di Surabaya tersebut didominasi oleh kendaraan pribadi.
Adapun perbandingan antara kendaraan pribadi dengan kendaraan umum adalah
sebesar 63,7 % kendaraan pribadi dan 36,3 % kendaraan umum (SITNP dalam
Setiawan, 2004). Hal tersebut membuktikan bahwa angkutan umum masih belum
banyak menjadi pilihan pemakai jalan. Padahal, penggunaan kendaraan pribadi
sebesar 63,7 % berpotensi untuk dialihkan ke angkutan umum, khususnya bus
kota. Hal ini diperkuat oleh data proporsi jumlah penumpang tiap jam dengan
kapasitas angkut bus kota (load factor) untuk trayek Purabaya-Semut atau A2
saat peak hour masih rendah, yaitu sebesar 32,6% (Dinas Perhubungan Kota
Surabaya, 2006). Keadaan inilah yang mengakibatkan timbulnya masalah
transportasi perkotaan berupa kemacetan lalu lintas. Tingkat kejenuhan ( 3
(degree
of
saturation)
di
segmen
Jalan
Ahmad
Yani
(1
Koridor
yang
pada saat peak hour dan hari kerja mencapai 1,216. Tingkat kejenuhan sebesar
itu tergolong tingkat pelayanan jalan F (Dinas
Perhubungan Kota Surabaya, 2007). Pada kondisi tersebut akan
terjadi kemacetan dalam waktu yang lama (traffic congestion).
Jika penggunaan kendaraan pribadi tersebut dialihkan ke bus kota,
maka akan mengurangi beban kapasitas jalan dan meningkatkan
pelayanan jalan.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
memecahkan masalah transportasi perkotaan, baik dengan
meningkatkan kapasitas jaringan jalan yang ada, maupun
pembangunan jalan baru (Tamin dalam Nurlaela, 2006). Akan
tetapi, hal tersebut belum mampu mengatasi persoalan karena
pertumbuhan jalan-jalan baru tidak mampu mengejar pesatnya
pertumbuhan
kendaraan,
terutama
kendaraan
pribadi.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Surabaya (2005), total
kendaraan roda dua dan empat tahun 2004 berjumlah 1.097.900
unit, dan tahun 2005 mencapai 1.190.000 unit (tumbuh 8,3%
dalam 1 tahun), sedangkan pertumbuhan jalan dalam 5 tahun
terakhir 0%. Salah satu cara dalam mengatasi permasalahan yang
kompleks ini adalah dengan penggunaan transportasi masal jalan
raya, yaitu dengan penyediaan bus kota. Penggunaan bus kota
sebagai angkutan umum masal dapat dilihat dari sisi daya angkut
yang besar, sehingga beban jalan akan berkurang.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pola
perjalanan penduduk di pinggiran kota terhadap alternatif pilihan
moda transportasi massal. Sunardi (2006) mengidentifikasi
perilaku perjalanan penduduk pinggiran kota dan asosiasinya
dengan pilihan moda transportasi di Kota Bandung bagian Barat.
Hasil studi tersebut hanya sampai pada identifikasi modal split
(4
maupun kesediaan penduduk untuk berpindah moda, namun
belum sampai pada karakteristik moda yang disesuaikan dengan
karakteristik masyarakat pengguna moda. Berkenaan dengan hal
bebas, B kondisi arus lalu lintas stabil, C dalam batas stabil, D
mendekati tidak stabil, E terhambat, F arus lalu lintas dipaksakan.
(4
Pemilihan moda atau penggunaan moda (dalam proporsi atau jumlah).
pada saat peak hour dan hari kerja mencapai 1,216. Tingkat
kejenuhan sebesar itu tergolong tingkat pelayanan jalan F (Dinas
Perhubungan Kota Surabaya, 2007). Pada kondisi tersebut akan
terjadi kemacetan dalam waktu yang lama (traffic congestion).
Jika penggunaan kendaraan pribadi tersebut dialihkan ke bus kota,
maka akan mengurangi beban kapasitas jalan dan meningkatkan
pelayanan jalan.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
memecahkan masalah transportasi perkotaan, baik dengan
meningkatkan kapasitas jaringan jalan yang ada, maupun
pembangunan jalan baru (Tamin dalam Nurlaela, 2006). Akan
tetapi, hal tersebut belum mampu mengatasi persoalan karena
pertumbuhan jalan-jalan baru tidak mampu mengejar pesatnya
pertumbuhan
kendaraan,
terutama
kendaraan
pribadi.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Surabaya (2005), total
kendaraan roda dua dan empat tahun 2004 berjumlah 1.097.900
unit, dan tahun 2005 mencapai 1.190.000 unit (tumbuh 8,3%
dalam 1 tahun), sedangkan pertumbuhan jalan dalam 5 tahun
terakhir 0%. Salah satu cara dalam mengatasi permasalahan yang
kompleks ini adalah dengan penggunaan transportasi masal jalan
raya, yaitu dengan penyediaan bus kota. Penggunaan bus kota
sebagai angkutan umum masal dapat dilihat dari sisi daya angkut
yang besar, sehingga beban jalan akan berkurang.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pola
perjalanan penduduk di pinggiran kota terhadap alternatif pilihan
moda transportasi massal. Sunardi (2006) mengidentifikasi
perilaku perjalanan penduduk pinggiran kota dan asosiasinya
dengan pilihan moda transportasi di Kota Bandung bagian Barat.
Hasil studi tersebut hanya sampai pada identifikasi modal split
(4
maupun kesediaan penduduk untuk berpindah moda, namun
belum sampai pada karakteristik moda yang disesuaikan dengan
karakteristik masyarakat pengguna moda. Berkenaan dengan hal
bebas, B kondisi arus lalu lintas stabil, C dalam batas stabil, D
mendekati tidak stabil, E terhambat, F arus lalu lintas dipaksakan.
(4
Pemilihan moda atau penggunaan moda (dalam proporsi atau jumlah).
itu, dalam penelitian ini akan dibahas parameter yang sensitif dan
arahan kebijakan modal shift ( 5 kendaraan pribadi ke bus kota
untuk pekerja ulang-alik Sidoarjo-Surabaya. Dengan demikian,
dapat dirumuskan arahan pengalihan penggunaan kendaraan
pribadi ke bus kota oleh pekerja ulang-alik Sidoarjo-Surabaya.
1.2 Rumusan Permasalahan
Peningkatan pergerakan pekerja ulang-alik Sidoarjo-Surabaya
didominasi oleh kendaraan pribadi dan menimbulkan kemacetan
lalu lintas di Surabaya. Permasalahan tersebut dapat diatasi
dengan penyediaan angkutan umum massal, dalam hal ini bus
kota. Namun, penggunaan moda bus kota masih kurang diminati.
Oleh karena itu, perlu adanya modal shift dari kendaraan pribadi
ke bus kota sebagai alternatif dalam mengatasi kemacetan
mengingat penggunaan bus kota saat ini masih sangat rendah.
Berdasarkan permasalahan di atas dirumuskan pertanyaan
penelitian, sebagai berikut:
Arahan kebijakan modal shift kendaraan pribadi ke bus kota
seperti apa yang sesuai dengan karakteristik, pola modal split
eksisting, dan sensitivitas parameter moda untuk pekerja ulangalik Sidoarjo-Surabaya di Kecamatan Waru?
1.3 Tujuan dan Sasaran
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan
modal shift kendaraan pribadi ke bus kota untuk pekerja ulangalik Sidoarjo-Surabaya di Kecamatan Waru. Adapun lima sasaran
yang ingin dicapai antara lain:
1. Mengidentifikasi karakteristik pekerja ulang-alik SidoarjoSurabaya di Kecamatan Waru.
2. Mengidentifikasi pola pergerakan berdasarkan karakteristik
pekerja ulang-alik Sidoarjo-Surabaya di Kecamatan Waru.
3. Merumuskan pola modal split antara kendaraan pribadi
(sepeda motor dan mobil) dan bus kota untuk pekerja ulangalik Sidoarjo-Surabaya di Kecamatan Waru.
(5
Perpindahan proporsi penggunaan dari moda satu ke moda yang lain.
5
4. Mencari sensitivitas parameter dalam modal shift kendaraan
pribadi ke bus kota untuk pekerja ulang-alik SidoarjoSurabaya di Kecamatan Waru.
5. Merumuskan arahan kebijakan modal shift kendaraan pribadi
ke bus kota untuk pekerja ulang-alik Sidoarjo-Surabaya di
Kecamatan Waru.
1.4 Ruang Lingkup
1.4.1 Ruang lingkup wilayah
Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini hanya difokuskan
pada satu wilayah studi, yaitu Kecamatan Waru. Kecamatan Waru
merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yang
berbatasan langsung dengan Kota Surabaya. Lokasi studi tersebut
dipilih karena interaksi yang lebih tinggi dan memiliki
kecenderungan perembetan kenampakan fisik ke Kota Surabaya
yang lebih luas dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain
di Kabupaten Sidoarjo. Kecamatan tersebut merupakan kawasan
di Kabupaten Sidoarjo yang berdekatan langsung dengan Kota
Surabaya sebagai pusat perdagangan regional dan internasional,
serta pusat kegiatan industri bersama (Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo, 2003). Hal tersebut mengindikasikan adanya pengalihan
kegiatan dari Kota Surabaya atau dengan kata lain, kawasan
tersebut merupakan area perluasan Kota Surabaya.
Penulis memilih 17 desa yang berada di wilayah Kecamatan
Waru, yaitu: Desa Bungurasih (A), Desa Medaeng (B), Desa
Pepelegi (C), Desa Waru (D), Desa Kedungrejo (E), Desa
Kureksari (F), Desa Janti (G), Desa Ngingas (H), Desa Wedoro
(I), Desa Kepuhkiriman (J), Desa Berbek (K), Desa
Tambaksumur (L), Desa Tropodo (M), Desa Tambaksawah (N),
Desa Wadungasri (O), Desa Tambakrejo (P), dan Desa
Tambakoso (Q). Wilayah tersebut diasumsikan sebagai wilayah
asal perjalanan (origin). Sedangkan wilayah yang diasumsikan
sebagai tujuan (destination) adalah 31 kecamatan di Surabaya.
Pemilihan wilayah asal-tujuan dalam penelitian ini tidak
mempertimbangkan perbedaan rute, namun yang digunakan
adalah pertimbangan jarak tempuh dari zona asal ke zona tujuan.
10
Pergeseran guna lahan perkotaan ke daerah pinggiran (fenomena
urban sprawl), terutama Kecamatan Waru, Sidoarjo. Fenomena
tersebut mengakibatkan tingginya mobilitas komuter.
Telah diupayakan beberapa moda angkutan umum
untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, contohnya Bus
Kota. Namun, penyediaannya masih kurang diminati.
Angkutan jalan raya didominasi kendaraan pribadi.
Komuter cenderung memilih menggunakan kendaraan
10
11
12
13
14