PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mati gantung sangat akrab dalam kehidupan sehari - hari. Tindakan bunuh diri
dengan cara ini sering dilakukan karena dapat dilakukan dimana dan kapan saja
dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan apa saja yang dapat melilit leher (William et
al, 1998). Hal ini mengundang perhatian penulis untuk melakukan penelitian tentang
kasus gantung diri. Gantung diri adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari
leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian
(Modi, 1988). Dengan demikian, berarti alat penjerat bersifat pasif sedangkan berat
badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Keadaan tersebut berbeda
dengan penjeratan, dimana yang aktif (kekuatan yang menyebabkan konstriksi pada
leher) adalah terletak pada penjeratnya. Kematian karena penggantungan pada
umumnya bunuh diri, pembunuhan dengan cara menggantung mayat untuk membuat
korban seolah-olah korban gantung diri jarang ditemukan. Penyebab kematian akibat
gantung diri yang terbanyak adalah asfiksia.
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Jaringan di tubuh akan terganggu fungsinya apabila kadar oksigen berkurang.
Ketika kadar oksigen dalam keadaan di bawah normal pada aliran darah yang menuju
ke otak, ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran dengan cepat. Otak merupakan
organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen dan ini merupakan alasan
bahwa otak adalah organ yang paling terlibat dalam kematian akibat asfiksia (Spitz,
1977).