Anda di halaman 1dari 43

UJIAN AKHIR SEMESTER

METODE PENELITIAN
Dosen :

Dr. Kokom Komalasari, M.Pd

Oleh :
I GEDE BUDIAWAN
1303052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014

Soal
1. Penelitian PKn dapat dilakukan dalam setting sekolah, individu, organisasi, dan
masyarakat umum dengan menggunakan beragam desain penelitian.
a. Identifikasi contoh judul penelitian PKn dan/atau disiplin ilmu serumpun dari
skripsi/tesis/disertasi di UPI atau institusi lain yang menggunakan desain penelitian
survey, ethnography, grounded theory, narrative/historiography, dan experiment.
b. Pilih 2 contoh penelitian bersumber dari skripsi/tesis/disertasi yang menggunakan
desain penelitian tersebut (pilih dua dari lima jenis desain penelitian di atas).
Uraikan isi penelitian tersebut berdasarkan: latar belakang masalah, rumusan
masalah, hipotesis, kajian teori, pendekatan dan langkah-langkah penelitian,
teknik pengumpulan data, teknik analisis data, hasil penelitian, dan kesimpulan.
2. Proposal penelitian berperan sangat penting dalam sebuah penelitian. Kejelasan,
ketepatan, dan kesesuaian proposal penelitian menentukan kelayakan dan prediksi
keberhasilan sebuah penelitian. Institusi pendidikan dan lembaga donor (sponsor)
penelitian menjadikan proposal penelitian sebagai bahan seleksi untuk meloloskan
penelitian/mendanai penelitian.
a. Apa fungsi peran proposal penelitian dalam sebuah penelitian?
b. Apa saja aspek/komponen kelayakan yang harus terpenuhi dalam sebuah proposal
penelitian PKn?
3. Laporan penelitian adalah bukti secara tertulis seorang peneliti telah melakukan
penelitian Pembuatan laporan penelitian merupakan bagian final dalam sebuah
penelitian?
a. Bagaimana peran laporan penelitian dalam sebuah penelitian dan bagaimana
menyusun laporan penelitian yang baik?
b. Bagaimana mempublikasikan hasil penelitian sehingga diketahui publik secara luas
dan bermanfaat untuk khalayak peminat nasional dan internasional?
Jawaban
1a. Contoh judul penelitian yang termasuk jenis penelitian:
survey: Pengaruh Pengembangan Budaya Kewarganegaraan (Civic Culture) Melalui
Kegiatan Ekstrakurikuler Terhadap Pengembangan Sikap Patriotisme (Studi Deskriptif
Kegiatan Ekstrakurikuler Dalam Rangka Pengembangan Budaya Kewarganegaraan di
SMA Negeri Di Kota Pontianak)
ethnography: Faktor Determinan Eksisnya Tajen di Bali (Studi Kasus di Desa
Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung)
grounded theory: Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan
Multikultural dalam Membangun Warga Negara Demokratis (Penelitian Grounded
Theory di Universitas Negeri Jakarta)
narrative/historiography: Implementasi Pembelajaran Nilai Kejuangan Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682) dalam Membangun Semangat Kebangsaan (Penelitian Naturalistik
Inkuiri di SMA Negeri 1 Baros Kabupaten Serang)
experiment: Pengaruh Model Project Citizen dalam Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan terhadap Penanaman Nilai-nilai Anti Korupsi Siswa SMA Pada
Konsep Sistem Hukum dan Peradilan Nasional (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas X
SMA 1 Cimahi)
1b. Contoh desain penelitian ethnography dan survey yang bersumber dari skripsi dan tesis.
Adapun uraian isi dari contoh penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Judul Penelitian etnogtaphy


Faktor Determinan Eksisnya Tajen di Bali (Studi Kasus di Desa Paksebali, Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung)
Latar belakang masalah
Eksistensi judi dalam kehidupan sudah menjadi polemik dari zaman pemerintahan
Belanda sampai dengan dewasa ini. Berdasarkan fenomena sosial yang dilahirkan
membawa segala bentuk perjudian berada dalam ranah kontroversi, disatu sisi terdapat
beberapa masyarakat yang mendukung akan keberadaannya karena adanya manfaat yang
dirasakan, sedangkan disisi lain cendrung untuk menghapus karena banyak dampak yang
ditimbulkan. Bentuk dan jenis judi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat sangatlah
majemuk, oleh sebab itu penulis membatasi dengan memfokuskan terhadap salah satu
judi yang sedang eksis pada dewasa ini atas fenomena kontroversi yang dilahirkan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali, adapun judi yang dimaksud adalah tajen.
Tajen
adalah suatu permainan adu ayam atau sabungan ayam dengan
mengikatkan taji pada kaki ayam itu serta mengadunya, sebagai salah satu bentuk
hiburan yang disertai taruhan uang (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1981:5). Apabila
mengkaji lebih dalam dengan mengacu pada ajaran Agama Hindu, tajen yang merupakan
judi adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana
tercantum dalam Menawa Dhamasastra, buku IX, sloka 221, sloka 222, sloka 223 dan
sloka 227.
Dalam perspektif yuridis, tajen merupakan suatu tindakan yang bertentangan
dengan hukum. Seperti yang tersurat dan tersirat dalam pasal 303 dan pasal 303 bis,
secara umum menegaskan bahwa segala bentuk perjudian merupakan suatu tindakan
melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau pidana denda.
Dengan ditingkatkannya interval ancaman hukuman yang sekarang tertuang dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, menunjukan komitmen
pemerintah untuk menghapus perjudian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Terlebih lagi pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 menyatakan bahwa semua
tindakan pidana perjudian sebagai kejahatan. Terselenggaranya tajen di tengah-tengah
kehidupan masyarakat secara tidak langsung bertentangan dengan konstitusi tertulis yang
dimiliki oleh Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 1 ayat 3,
karena tajen bertolak belakang dalam upaya mewujudkan supremasi hukum. Indonesia
yang merupakan negara hukum seyogyanya dalam kehidupan selalu didasari dan
berpedoman terhadap hukum. Dalam ruang lingkup lebih luas, penyelengaraan tajen
berdampak terhadap memudarnya eksistensi nilai-nilai esensial yang terkandung dalam
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
Berbicara tentang tajen memang tidak dapat dipisahkan dengan tabuh rah, karena
berdasarkan konsep yang terkandung di dalamnya terdapat beberapa persamaan, namun
pada hakikatnya merupakan dua hal yang berbeda. Tabuh rah merupakan runtutan atau
rangkaian dari upacara keagamaan yang memiliki dasar legitimasi hukum adat, hukum
nasional dan ajaran agama. Karena merupakan rangkaian upacara keagamaan, tabuh rah
bukan merupakan suatu hal yang dilarang atau bertentangan dengan hukum dan konsep
dasar, melainkan dibutuhkan dalam masyarakat sebagai perwujudan yadnya yang
mengacu terhadap kedudukan dan susunan kodrat manusia sebagai makhluk
monopluralis.
Unsur-unsur pidana yang terkandung dalam judi digunakan sebagai pedoman untuk
membedakan tajen dengan tabuh rah, karena pelaksanaan tabuh rah secara eksplisit tidak
bermotif judi sedangkan tajen merupakan perjudian serta berdasarkan kronologis tajen
dipandang sebagai suatu bentuk pergeseran dari konsep tabuh rah.

Secara eksplisit tajen merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum
dan tidak dibenarkan menurut ajaran agama, bahkan tajen merupakan suatu tindak
kejahatan yang sedang genjar diberantas. Karena dapat melahirkan berbagai macam
dampak, seyogyanya tajen dalam ranah idealitas tidak terselenggara lagi dalam
kehidupan masyarakat. Namun menapak pada tatanan realitas justru berbanding terbalik
dengan idealitas, di mana pelaksanaan tajen semakin marak diselenggarakan dalam
masyarakat ditengah upaya penertiban dan penghapusan oleh pemerintah, seperti yang
terjadi pada dewasa ini di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.
Berdasarkan hasil observasi awal dan pendapat dari masyarakat sekitar, bahwa
tajen tersebut diselenggarakan setiap hari. Apabila menelusuri pada tempat
diselenggarakannya tajen, maka dapat dikategorikan bahwa tempat tersebut bukan
merupakan tempat terpencil atau sulit untuk dijangkau melainkan tempat strategis yang
terletak pada Lapangan Umum Desa Paksebali. Oknum-oknum yang terlibat dalam
penyelenggaraan tajen tersebut sudah mempunyai tingkat pemahaman terhadap
keberadaan peraturan yang melarang judi dan mengetahui sanksi-sanksi yang akan
ditimbulkan, terlebih lagi aparat penegak hukum beberapa kali juga sempat melakukan
penggerebekan.
Walaupun merupakan fenomena dilematis, tajen tetap eksis disetiap harinya
sebagai suatu bentuk kebiasaan. Beranjak dari fenomena tersebut, tentunya ada hal-hal
yang mendasari pelaksanaan tajen di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten
Klungkung sehingga sampai saat ini masih tetap eksis terselenggara di tengah-tengah
upaya penertiban dan penghapusan judi oleh pemerintah. Oleh sebab itu peneliti ingin
meneliti lebih jauh terhadap faktor determinan atau faktor yang menentukan eksisnya
tajen hingga saat ini dalam kehidupan masyarakat di Bali dengan mempergunakan acuan
terhadap maraknya kasus penyelenggaraan tajen di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan,
Kabupaten Klungkung.
Rumusan masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Mengapa tajen tetap eksis di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten
Klungkung di tengah-tengah upaya penertiban dan pengapusan judi oleh pemerintah?
2. Bagaimana upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam penertiban
tajen di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung?
3. Bagaimana peranan desa dalam menertibkan keberadaan tajen di Desa Paksebali,
Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung?
Kajian teori
1. Eksistensi Tajen di Bali
Tajen bukan merupakan suatu hal yang tabu lagi dalam kehidupan masyarakat di
Bali. Sebelum penjajahan Belanda tajen sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat
hingga saat ini hidup sebagai suatu tradisi yang membudaya. Tajen merupakan suatu
bentuk judi tradisional masyarakat Bali yang keberadaannya sudah meregenerasi.
Berbicara tentang tajen tidak dapat dipisahkan dengan tabuh rah, terlebih lagi masyarakat
sering mengkaitkan kedua istilah tersebut bahkan dalam konteks pelaksanaannya
dipandang sebagai suatu hal yang sama. Oleh sebab itu dibutuhkan pembahasan lebih
lanjut akan kedua istilah tersebut untuk dapat memberikan pemahaman secara
mendalam.
a. Tabuh Rah
Pada Prasasti Sukawana A.I yang berangka tahun caka 804 mencantumkan
Blindarah, yang lebih lanjut diartikan oleh Dr. R. Goris sebagai korban darah untuk
aktivitas keagamaan (blod ofter voor velerlei gods dienst verrichtingen), sehingga dapat
disimpulkan bahwa Blindarah merupakan konsepsi dasar dari Tabuh Rah. Secara

etimologis kata tabuh rah berasal dari kata tawur yang berarti bayar sedangkan rah
berarti darah. Maka tabuh rah berarti pembayaran dengan darah yang dilakukan
dengan cara menaburkan darah pada tempat-tempat tertentu misalnya di pura (Purwita
dalam Ketut Mertha,2010:13). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa tabuh rah merupakan
rangkaian atau runtutan upacara keagamaan dengan menaburkan darah binatang sebagai
bentuk yadnya (korban suci yang tulus ikhlas).
Tabuh rah memiliki bermacam-macam bentuk dalam tahap pelaksanaannya, antara
lain dengan cara (Widnyana dalam Suprapta, 2006:5);
1. Menaburkan darah binatang kurban
2. Menyembelih ayam dengan memotong lehernya
3. Mepade dengan menikam binatang kurban
4. Pada sesajen dihidangkan darah binatang kurban
5. Tetabuhan dengan menaburkan arak dan brem sebagai pengganti darah, dan
6. Gocekan atau tajen dengan mengadu ayam yang belum dikurung
Setiap cara memiliki suatu keterkaitan dengan tingkat upacara yang
diselenggarakan, namun poin keenam merupakan cara pelaksanaan tabuh rah yang sering
dijumpai dalam kehidupan masyarakat di Bali. Dengan mempergunakan ayam sebagai
binatang pokok dan lazim sebagai sarana dalam pelaksanaan tabuh rah. Ayam tersebut
kemudian diadu yang lebih lanjut disebut dengan sabungan ayam sehingga dari
pertarungan tersebut meneteskan darah.
Tabuh rah atau Perangsata dalam masyarakat Hindu di Bali mengisyaratkan
adanya darah yang menetes sebagai simbol ayau syarat mensucikan umat manusia dari
ketamakan, keserakahan, atau kelobaan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi
(Ketut Mertha,2010:13). Taburan darah disimbolisasikan sebagai bentuk perwujudan
dalam upaya menciptakan harmonisasi dengan menselaraskan unsur Panca Maha Butha
pada makro kosmos (bhuana agung) dengan mikro kosmos (bhuana alit) yang
bersaranakan zat cair sebagai unsur dominan. Sehingga tabuh rah merupakan unsur
fundamen dalam pelaksanaan Butha Yadnya (korban suci yang tulus ikhlas kepada butha
kala) seperti mecaru.
Kniten dan Gunanta (2005:5) menyatakan:
Manusia dengan bhuta kala mempunyai hubungan, dalam rontal kanda pat
menyebutkan bahwa manusia lahir tidaklah sendirian melainkan disertai dengan
empat saudaranya yang disebut sang Catur Sanak. Keempat saudaranya itu apabila
diketahui dan dipelihara akan memberikan kekuatan yang membantu kehidupan
manusia dan apabila tidak dihiraukan akan menimbulkan kekuatan negatif yang
mengganggu kehidupan manusia.
Sebagai mahkluk monopluralis, masyarakat Hindu di Bali memiliki hasrat untuk
menciptakan keharmonisan dalam kehidupan. Suatu kepercayaan berkembang dalam
masyarakat, bahwa dengan melaksanakan tabuh rah dapat menciptakan keharmonisan,
kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan.
Tabuh rah yang merupakan kebudayaan masyarakat Bali, memiliki konsep dasar
yang bersifat general dan objektif sehingga tidak ada kekaburan dalam tahap pemahaman
dan pelaksanaannya. Berdasarkan Seminar Kesatuan Tafsir Tentang Tabuh Rah yang
diselanggarakan pada tahun 1976 dengan diprakarsai oleh pemerintah Daerah Propinsi
Bali bersama Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali serta dibantu oleh
Institut Hindu Dharma dan Parisada Hindu Dharma Pusat, menghasilkan beberapa
kesimpulan yang dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan tabuh rah dalam
kehidupan masyarakat, adapun diantaranya:
1. Tabuh Rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam
rangkaian Upacara Agama (yadnya)

2. Sumber penggunaan Tabuh Rah terdapat pada Panca Yadnya


3. Dasar penggunaan Tabuh Rah tercantum dalam Prasasti Sukawana A.I 804 saka,
Prasasti Batur Abang A.933 saka, Prasasti Batuan 944 saka Lontar Siwa Tattwa
Purana dan Yadnya Prakerti.
4. Fungsi Tabuh Rah adalah runtutan/ rangkaian dari upacara/ upakara agama
(yadnya).
5. Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban
6. Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban yaitu ayam, babi, itik, kerbau dan lainlainnya.
7. Penaburan darah dilaksanakan dengan Nyambeleh, Perang Satha, telung
perahatan dilengkapi dengan adu-aduan kemiri, telor, kelapa, andel-andel beserta
upakaranya.
8. Diadakan pada tempat dan saat-saat upacara berlangsung oleh Sang Yajamana.
9. Pada waktu perang sata disertakan toh dedamping yang maksudnya sebagai
pernyataan atau perwujudan dari keihklasan Sang Yajamana beryadnya dan bukan
bermotif judi.
10. Adu ayam yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidaklah
perang sata dan bukan pula runtutan Upacara Yadnya.
11. Di dalam prasasti-prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan Tabuh Rah tidak minta
izin kepada yang berwenang.
Selanjutnya dengan dasar kesimpulan ini dapat ditentukan bahwa aduan ayam yang
memenuhi kesebelas unsur tersebut di atas adalah Tabuh Rah sedang yang lainnya atau
melebihi ketentuan itu bukanlah tabuh rah (Parisada Hindu Dharma Pusat,1981:4).
Unsur keagamaan memiliki kedudukan paling kuat dan mendasari legitimasi dalam
penyelenggaraan tabuh rah, sehingga adanya relevansi terhadap berbagai hukum yang
berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat baik hukum adat ataupun hukum
nasional. Unsur keagamaan ini mengacu dari beberapa prasasti yang mengisyaratkan
untuk menyelenggarakan tabuh rah serta menjadi legalitas dalam penyelenggaraannya.
Kniten dan Gunanta dalam bukunya yang berjudul Tinjauan Tabuh Rah dan Judi
mencantumkan prasasti yang dimaksud, diantaranya:
1. Prasasti Sukawana A.I yang berangka tahun saka 804 terdapat kata Blindarah.
Dr. R. Goris mengartikan kata Blindarah yakni korban darah untuk berbagai
tindakan keagamaan.
2. Prasasti Batur Abang A. yang berangka tahun caka 933 menyebutkan:
..Mwang yan pakarya karya, masanga kunang wgila ya manawunga
makantang tlung parahatan I thaninya tan pamwita, tan pawwata ring nayaka
saksi yang artinya: lagi pula mengadakan upacara-upacara misalnya
Tawur Kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam tiga angkatan (saet) di
desanya, tidaklah meninta izin, tidaklah memberitahukan kepada pengawas;
pemerintah
3. Prasasti Batuan yang berangka tahun caka 944 menyebutkan:
Kunang yang menawung ing pengudwan makatang tlung marahatan tan
pamwinta ring nayaka sanksi mwang sawung tungur, tan knana minta pamli
yang artinya: adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan tiga
angkatan (saet) tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada
pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak.
4. Lontar Ciwa Tatwa Purana, menyebutkan:
Mwang ri tileming kesanga, hulun magawe yoga, teka wenang wang ing
Madhya magawe tawur kasowang an den hana prangaing sata wenang nyepi
sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang wang ing

Madhya pada yang artinya: lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Siwa)
mengadakan yoga, berkewajiban orang di bumi ini membuat persembahan
masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu beri
hidangan Sang Kala Dasa Bhumi, jika tidak rusaklah manusia di Bumi
5. Dalam rontal Sundari Gama disebutkan bahwa dalam rangkaian melakukan
tawur atau bhuta yadnya disertai dengan tetabuhan.
Sebagai suatu rangkaian upacara keagamaan, tabuh rah melekat keberadaannya
dalam masyarakat Hindu di Bali dan dapat dikategorikan sebagai kebudayaan. Dalam
tujuh unsur pokok kebudayaan universal, tabuh rah dapat dikategorikan masuk pada
unsur utama yaitu sistem religi, sehingga paling sulit mengalami perubahan. Sebagai
suatu kebudayaan yang prinsipil dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, pasal 18B
ayat 2, pasal 28I ayat 3 dan pasal 32 ayat 1 UUD 1945 dapat dijadikan sebagai kekuatan
hukum dalam pelaksanaan tabuh rah.
b. Konsep Tajen
Secara etimologis istilah tajen berasal dari kata taji yang berarti susuk pada kaki
ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian tajam dalam Bahasa Indonesia
dan tajip dalam Bahasa Bali yang bermakna sesuai yang runcing. Pengertian tajam
mungkin ditekankan pada taji atau senjata yang digunakan oleh ayam dalam beradu,
sebab hanya ayam yang diadu sajalah yang memakai taji (Mileh dalam Ketut
Mertha,2010:12). Ada beberapa difinisi yang dikemukakan tentang tajen, diantaranya:
a. Dalam hasil seminar ke III kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama hindu yang
diselenggarakan di Denpasar pada tanggal 7 Pebruari 1976, tajen didifiniskan
sebagai suatu bentuk mengadu untung rugi dengan mengadu ayam disertai taruhan.
b. Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa tajen adalah suatu permainan adu
ayam atau sabungan ayam dengan mengikatkan taji pada kaki ayam itu serta
mengadunya, sebagai salah satu bentuk hiburan yang disertai taruhan uang.
Beranjak terhadap difinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tajen merupakan
suatu permainan adu ayam yang bermotif judi. Judi ditekankan oleh penulis dalam
mendifinisikan tajen, dengan rasional bahwa masih ada bentuk dan jenis adu ayam yang
diselenggarakan oleh masyarakat tanpa bermotif judi melainkan sebagai bentuk ritual
upacara agama yang dikenal dengan istilah tabuh rah dan aduan ayam yang hanya
bersifat menghibur, lazim disebut dengan istilah mebombong. Adapun fenomena yang
sering terlihat di lapangan yaitu tabuh rah disertai dengan unsur judi, hal tersebut
merupakan suatu bentuk penyimpangan yang pada hakekatnya bukan merupakan
ketentuan dalam pelaksanaan tabuh rah.
c. Antara Tajen dan Tabuh Rah
Tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabungan ayam yang berada dalam
masyarakat di Bali. Pada tahap pelaksanaannya tabuh rah dan tajen merupakan dua hal
yang sulit untuk dibedakan. Sehingga masyarakat di Bali sampai saat ini masih kalang
kabut akan pemaham terhadap kedua istilah tersebut dan cenderung dipandang sebagai
hal yang sama. Dalam konsep yang mendasar tabuh rah merupakan bentuk rangkaian
dari upacara keagamaan sedangkan tajen sepenuhnya bermotif judi yang lebih lanjut
dilarang dalam ajaran agama hindu. Didalam Atha Nawanodhyayah (Buku kesembilan)
Pustaka Suci Manusmrti atau Manawa Dharmaastra Judi ini disebutkan dengan istilah
DYUTA, yaitu dalam beberapa sloka sebagai berikut:
a. Sloka 221: Dyutam samahwayam caiwa, raja ratranni warayet, rajanta karana
wetau, dwau dosau pritiwiksitam yang artinya: perjudian dan bertaruh supaya
benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, kedua hal itu menyebabkan
kehancuran kerajaan putera mahkota.

b.

Sloka 222: Prakacam etattaskaryam, yad dewanasama hwayau, tayornityam


pratighate, nripatir yatna wanbhawet yang artinya: perjudian dan pertaruhan
menimbulkan pencurian, karena itu raja harus menekan keduanya itu.
c. Sloka 223: Apranibhiryat kriyate, talloke dyutamusyate, pranibih kriyate yastu, na
wijneyah samah wayah yang artinya: kalau barang-barang tak berjiwa yang dipakai
pertaruhan sebagai uang, hal itu disebut perjudian, sedangkan kalau yang dipakai
adalah benda-benda berjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal itu disebut pertaruhan.
d. Sloka 227: Dyutam etat pura kalpe, drestam wairakaram mahat, tasmad dyutam
na seweta, hasyarthamapi bhuddhiman yang artinya: didalam jaman itu keburukan
judi telah tampak dan menyebabkan timbulnya permusuhan, karena itu orang yang
baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini, walaupun untuk kesenangan
Apabila mengacu pada kitab suci agama hindu, larangan judi juga terdapat dalam Weda,
adapun diantaranya sebagai berikut:
a. Rgweda X.34.13: Aksair ma divyah simit krsasva, vitte ramasva bahu
manyamanah, tatra gavah kitava tatra jaya, tan me vicaste savitayamaryah yang
artinya: wahai para penjudi, janganlah bermain judi, bajaklah tanah itu, selalu puas
dengan penghasilan sendiri, pikirkan bahwa itu cukup. Pertanian menyediakan sapisapi betina dan dengan itu istrimu tetap bahagia. desa Savita dewata alam semesta
telah menasehatimu untuk berbuat begitu.
b. Rgweda.X.34.10: Jaya tapyate kitavasya hina, mata putrasya caratah kva svit,
mava bibhyad dhanam icchamanah, anyesam astam upa naktam eti yang artinya:
Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami penderitaan yang mendalam
dalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi itu tetap dirundung derita, dia
yang dalam lilitan utang dan kekurangan uang, memasuki rumah orang-orang
lainnya dengan diam-diam dimalam hari.
c. Rgweda X.34.3: Dvesti sva rur apa jaya runaddhi, na nathito vindate marditaram,
asvasyeva jarato vasnvasya, naham vindami katavasya bhogam yang artinya: Ibu
mertua membenci, istrinya menghindari dia, sementara pada waktu mengemis dia
tidak menemukan seorangpun yang merasa belas kasihan. Istri penjudi itu berkata
sebagai seekor kuda yang berharga tetapi tidak bermanfaat, dengan cara sama kami
tidak menikmati apapun sebagai istri seorang penjudi.
Suatu pandangan muncul bahwa tajen merupakan pergeseran dari konsep tabuh
rah, akan tetapi menelaah lebih dalam sabungan ayam yang bermotif judi atau sama
seperti tajen tidak hanya ada di Bali melainkan di daerah-daerah lain seperti di Madura,
Jawa, Sulawesi, Pillipina dan Thailand. Berdasarkan pada hal tersebut lebih tepat kiranya
tajen dipandang sebagai bentuk judi yang bersifat tradisional, berkembang dan
membudaya hingga saat ini dalam kehidupan masyarakat di Bali.
Dalam upaya membedakan antara tabuh rah dengan tajen, dapat mengacu kepada
kesebelas unsur tabuh rah yang merupakan hasil Seminar Kesatuan Tafsir Tentang Tabuh
Rah yang diselanggarakan pada tahun 1976. Dengan dasar kesimpulan tersebut dapat
ditentukan bahwa aduan ayam yang memenuhi kesebelas unsur tersebut di atas adalah
Tabuh Rah sedang yang lainnya atau melebihi ketentuan itu bukanlah tabuh rah
(Parisada Hindu Dharma Pusat,1981:4).
2. Tinjauan Yuridis Tentang Tajen
Tajen merupakan suatu fenomena yang dilematis dalam ranah yuridis. Eksistensi
tajen di Bali menuai kontroversi atas ketidak konsistenan antara aturan hukum yang satu
dengan yang lainnya sehingga mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan
supremasi hukum. Pada masa pemerintahan Belanda tajen di Bali memperoleh legalitas
dalam pelaksanaannya atas dasar pertimbangan penyelenggaraan tabuh rah yang

merupakan suatu bentuk kebudayaan masyarakat Bali dan bersinergi sebagai runtutan
upacara keagamaan.
Larangan penyelenggaraan tajen dalam kehidupan sosial masyarakat juga
berlangsung setelah Indonesia merdeka. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
digunakan sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan penindakan terhadap tajen.
Dasar diberlakukannya KUHP tersebut adalah Undang-Undang No.1 Tahun 1946 yang
menegaskan diberlakukannya peraturan-peraturan hukum pidana warisan pemerintah
Hindia Belanda.
Namun tajen kembali dilegalkan dalam upaya pembangunan dengan dasar hukum
Instruksi bersama Gubenur Kepala Daerah Provinsi Bali dan PANGDAK XV Bali No:
Pem 348/I/C/69, No: Pol 13/I/1242/971/res/69 tentang pemberian izin sabungan ayam
dalam rangka pembangunan. Akan tetapi sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 Tahun 1981 tentang Larangan Mengadakan Perjudian legalitas
penyelenggaraan tajen dalam rangka pembangunan dicabut dengan Surat Keputusan
Bersama Gubenur Kepala Daerah Provinsi Bali dan Kapolda Bali Nomor:
20/KESRA.I/A/20/1981, Nomor Pol: SKEP/08/II/1981 (Ketut Mertha,2010:28). Sampai
saat ini tajen tetap dilarang dengan berpedoman terhadap KUHP dan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dengan Peraturan Pelaksana No. 9 Tahun
1981 tentang Larangan Mengadakan Perjudian.
Mengacu pada tatanan idealitas dengan mendasar terhadap ulasan di atas, tampak
bahwa dalam kaca mata yuridis tajen merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan
secara hukum. Kedudukan hukum nasional seharusnya dijadikan sebagai acuan atau
pedoman terhadap aturan hukum yang berada di bawahnya sebagaimana dalam hirarki
peraturan perundang-undangan.
3. Tajen Dalam Perspektif Budaya
Budi dan daya merupakan dua suku kata yang membangun kata budaya. Mengacu
dari suku kata tersebut, budaya didefinisikan sebagai cipta, rasa dan karsa manusia.
Berbeda dengan kebudayaan yang dititik beratkan terhadap hasil dari cipta, rasa dan karsa
itu (Koentjaraningrat,2002:181). Banyak para ahli yang memberikan definisi terhadap
kebudayaan, namun definisi di atas dapat dijadikan sebagai acuan secara general dalam
memaknai konsep kebudayaan tersebut.
Manusia merupakan sumbu utama dalam etos kebudayaan karena sebagai pencipta
dan pengembang kebudayaan tersebut yang diperoleh dari adaptasi dalam kehidupan
sosial. Manusia, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang bekaitan
erat dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Kebudayaan tak mungkin
timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu dapat dimungkinkan oleh
adanya kebudayaan (Prasetya,2004:36). Kebudayaan memiliki wujud yang sangat
konpleks dalam kehidupan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
Koentjaraningrat yang dikutip oleh Drs. Joko Tri Prasetya, dkk dalam bukunya yang
berjudul Ilmu Budaya Dasar, menguraikan wujud kebudayaan menjadi 3 macam, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat, memberikan penekanan terhadap tajen bahwa merupakan
salah satu kebudayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Bali. Tajen
diwariskan secara meregenerasi dan sudah menjadi suatu kebiasaan masyarakat sehingga
keberadaanya melekat dalam kehidupan. Eksistensi terhadap kebudayaan, terwujud

dalam harapan manusia itu sendiri. Ketika suatu kebudayaan diharapkan oleh khalayak
umum maka eksistensinya sebagai suatu kebudayaan yang bersifat positif, namun begitu
juga sebaliknya apabila tidak diharapkan maka eksistensinya sebagai suatu kebudayaan
yang bersifat negatif.
Konteks tajen sebagai kebudayaan dapat dipadukan terhadap keberadaannya dari
zaman dahulu hingga dewasa ini. Pada zaman kerajaan tajen tumbuh dan berkembang
sebagai kebudayaan positif, hingga pemanfaatan tajen sebagai aspek penunjang dalam
pembangunan. Namun pada dewasa ini tajen secara mendalam dikaji dari berbagai aspek
yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis memberikan kedudukan terhadap tajen sebagai
suatu kebudayaan negatif karena masyarakat secara umum tidak mengharapkan
eksistensinya di tengah-tengah kehidupan serta menyebut orang-orang yang
mempertahankan keberadaanya sebagai oknum.
4. Upaya Penanggulangan Tajen
Judi dalam kaca mata filosofis dan yuridis merupakan suatu perbuatan yang
dilarang, namun dalam sosiologis masih menuai pro dan kontra. Dengan berlandaskan
terhadap dua komponen sebagai dasar dalam menata kehidupan masyarakat, menjadikan
eksistensi judi sebagai suatu perbuatan/tindakan yang bertentangan sehingga harus
ditanggulangi. Dalam tatanan normatif beragama upaya tertuang untuk menertibkan dan
menghapus judi dari kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil Seminar III Kesatuan
Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang tertuang dalam buku Pedoman
Penanggulangan Judi di Bali, terdapat beberapa upaya-upaya dalam menertibkan dan
penghapusan judi khususnya tajen, adapun diantaranya:
a. Tindakan Preventip
1. Dengan menggunakan sosial uproach, yaitu:
a. Mengadakan penyuluhan-penyuluhan baik kepada masyarakat, pamong desa,
dan aparatur pemerintah.
b. Mengadakan penerangan-penerangan kepada khalayak umum megenai
kebijakan pemerintah tentang penghapusan segala bentuk judian di Bumi
Indonesia.
2. Dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial budaya seperti:
a. Melakukan kegiatan olah raga/pertandingan-pertandingan pada saat-saat hari
libur/hari raya bagi generasi muda.
b. Mengadakan pembinaan terhadap permainan rakyat seperti main tajog,
megala-galaan, lomba layang-layang dan sebagainya bagi generasi muda.
c. Mengaktifkan sekehe-sekehe yang ada di masyarakat baik tradisional maupun
bersifat modern, seperti: sekehe teruna di banjar-banjar di pupuk dengan
kegiatan berorganisasi seperti mengadakan amal-amal di banjar, sekehe janger,
sekehe drama, sekehe pesantian dan lain-lain.
3. Kegiatan sosial ekonomi seperti:
Intensifikasi pertanian
Karang kitri
Home industri/ kerajinan tangan
4. Kegiatan sosial religious. Mengungkapkan nilai-nilai filsafat keagamaan yang ada
pada saat sangkepan banjar, pada waktu piodalan dengan jalan memberi upanisad.
5. Peniadakan alat judi dan segala media yang bisa menimbulkan perjudian (berupa
benda-benda mati) seperti: kelesan, troi, mongmongan ditiadakan. Pemeliharaan
ayam kurungan diarahkan kepada pembentukan bibit unggul atau kepada
kesenangan/kegemaran.
b. Tindakan Represip
1. Mengetatkan pengawasan di masyarakat oleh aparatur pemerintah terhadap judi

2. Semua lembaga sosial dalam masyarakat termasuk pimpinan tidak resmi diminta
ikut berpartisipasi dalam penanggulangan judi.
3. Mendisiplinkan aparatur negara yang melibatkan diri dalam perjudian.
4. Dalam pelaksanaan penanggulangan tabuh rah dalam rangka upacara keagamaan
diawasi pelaksanaanya oleh Bendesa Adat, LKMD dan Tripida Kecamatan.
5. Para Bendesa Adat mengadakan inventarisasi tentang pura-pura dalam wilayahnya
yang mengadakan tabuh rah dalam bentuk sabungan ayam.
Kehadiran institusi hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat dapat
memberikan andil dalam upaya menciptakan keadilan dan upaya mewujudkan supremasi
hukum. Pada awal tahun 2003 Kapolda Irjen Pol I Made Mangku Pastika mengeluarkan
suatu pernyataan sebagai bentuk komitmen untuk menanggulangi keberadaan judi di Bali
karena kemajemukan dampak yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kebijakan dan beberapa langkah yang bersifat preventif, represif dan kuratif dengan
pendekatan persuasif dan edukatif serta tegas dalam penegakan hukum (Ketut
Mertha,2010:30) ditempuh untuk menanggulangi keberadaan judi termasuk tajen di
dalamnya. Dengan upaya tersebut, eksistensi tajen dalam kehidupan masyarakat dapat
ditekan walaupun belum optimal.
Seiring dengan berjalannya waktu, pada dewasa ini tajen terus berkembang dan
kembali menjadi suatu rutinitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Upaya
penanggulangan yang sudah efektif semestinya dijadikan sebagai suatu cerminan untuk
menanggulangi tajen. Kekonsistenan dan pola berkelanjutan dengan mengacu terhadap
upaya yang relevan dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat dapat dijadikan sebagai
landasan yang kokoh dalam penanggulangan tajen (Ketut Mertha,2010:31).
Walaupun beragam upaya sudah ditempuh namun masih terdapat kelemahan
karena faktor pendukung eksistensi tajen di Bali lebih majemuk sifatnya. Dalam bukunya
I Ketut Ketut Mertha yang berjudul Politik Kriminal dalam Penanggulangan Tajen
(Sabungan Ayam) di Bali mencantumkan upaya yang lebih konprehensif dalam
penanggulangi keberadaan tajen berupa Politik Kriminal. Sudarto (dalam Ketut
Mertha,2010:33) mendifiniskan secara singkat bahwa politik kriminal merupakan suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Terdapat
keterpaduan dalam penanggulangan tajen dengan politik kriminal. Karena tujuan
utamanya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
(Ketut Mertha,2010:34).
Menurut Muladi (dalam Ketut Mertha,2010:37) parameter yang digunakan untuk
mengukur efektivitasnya politik kriminal dalam penanggulangan kejahatan adalah
sebagai berikut:
a. Tingkat kejahatan (crime clerence) yang berhasil ditangani oleh polisi
b. Conviction clearance (tingkat keberhasilan jaksa dalam menangani suatu perkara)
c. Reconvition (residive) atau penuntutan kembali terutama melihat sebab musebab
terjadinya residive itu.
d. Peran serta masyarakat
e. Pendidikan dan profesionalisme penegak hukum
f. Kecepatan penanganan perkara (speedy process) dalam sistem peradilan pidana oleh
aparat penegak hukum.
Dalam menanggulangi dan melakukan pencegahan terhadap tajen yang
dikategorikan sebagai tindak kejahatan, membutuhkan suatu strategi yang sesuai dengan
perkembangan yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi faktor yang
mendukung eksistensi tajen sangat kompleks yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Muladi (dalam Ketut Mertha,2010:73) mengatakan pada hakekatnya dengan meminjam

terminology yang berlaku di dunia media, dapat dibedakan berbagai tipologi tindakan
pencegahan. Tipologi-tipologi tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Pencegahan primer (primary prevention) yang diarahkan baik pada masyarakat
sebagai korban potensial maupun pelaku potensial kegiatan dalam hal ini dapat
penyehatan mental masyarakat dan dapat pula bersifat fisik dan teknologis, misalnya
dalam bentuk perencanaan kota yang mantap.
b. Pencegahan sekunder (secondary prevention) berbeda dengan yang pertama, pada
bentuk pencegahan sekunder ini, tindakan diarahkan pada kelompok pelaku atau
pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu.
c. Pencegahan tertier (tertiary prevention) dalam hal ini langkah pencegahan diarahkan
pada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu,
misalnya recidivis offender maupun recidivis victim.
Beranjak dari parameter tersebut dalam menanggulangi keberadaan tajen di Bali,
dibutuhkan suatu keterpaduan di antara seluruh komponen dan sektor dalam kehidupan
yang meliputi masyarakat, aparat penegak hukum dan tokoh-tokoh masyarakat, tingkat
pendidikan serta ekonomi. Sehingga terjalin upaya yang terintegral dalam upaya
mengatasi kemajemukan faktor pendukung eksisnya tajen di Bali.
Pendekatan dan langkah-langkah penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data,
menyajikan data, menganalisis dan menginterprestasi (Narbuko dan Achmadi,2005:44).
Deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan suatu
variabel secara mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan atau
menghubungkan variabel dengan variabel lainnya.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk memecahkan masalah secara sistematis dan
faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi sehingga dalam hal ini dapat
dilakukan analisis dan menjelaskan faktor-faktor apa yang mendasari eksisnya tajen di
Desa Paksebali yang dewasa ini masih marak diselenggarakan ditengah upaya penertiban
dari pemerintah. Pendekatan fenomenologis digunakan untuk menguraikan persoalan
subyek manusia yang umumnya tidak taat asas, berubah-rubah dan sebagainya (Burhan
Bungi, 2001:66). Dan untuk berusaha memahami arti peristiwa serta kaitan-kaitannya
terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu (Moleong dalam Swandewi,
2008:25)
Teknik pengumpulan data
Dalam proses penelitian ini, mengunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan
mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko dan
Achmadi,2005;70). Metode observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
data-data yang berkaitan dengan pelaksanaan tajen di Desa Paksebali, Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung. Teknik pengumpulan data dengan observasi bila
penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila
responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono,2008:145).
Pengamatan secara langsung ditujukan pada tempat diselenggarakannya tajen
untuk lebih lanjut memperoleh data yang berkaitan dengan proses pelaksanaan tajen,
kehidupan para bebotoh tajen sekaligus kondisi sosial di lingkungan sekitar dan hal-hal
lain yang sifatnya memberikan kontribusi dalam penelitian ini. Dalam pengumpulan
data, penelitian ini dilaksanakan dengan observasi nonpartisipan, sehingga peneliti hanya

melakukan pengamatan, mencatat, menganalisis dan menarik suatu kesimpulan atas


suatu data yang diperoleh.
b. Metode Wawancara
Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara
lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Narbuko dan Achmadi,2005;83).
Wawancara merupakan metode yang ditonjolkan dalam upaya memperoleh data pada
penelitian ini. Dengan wawancara diharapkan dapat mengulas secara mendalam faktorfaktor yang mendasari eksisnya tajen di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten
Klungkung. Proses wawancara berlangsung antara pewawancara dengan responden.
Responden dalam penelitian ini adalah para pelaku judi (bebotoh), aparatur desa, tokoh
masyarakat, pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum yaitu Polsek Dawan dan
pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dalam pelaksanaan tajen di Desa Paksebali,
Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.
Penelitian ini mempergunakan model wawancara tidak terstruktur untuk dapat
menggali data secara mendalam terhadap komponen-komponen yang diteliti. Wawancara
tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan
ditanyakan (Sugiyono,2008:140). Dalam wawancara tidak terstrukutur, cara yang
diterapkan oleh peneliti dalam upaya memperoleh data yang valid yaitu dengan berputarputar baru menukik atau menukik secara langsung dengan menyesuaikan terhadap
keadaan dan situasi dari responden.
c. Metode Pencatatan Dokumen
Metode pencatatan dokumen adalah suatu cara untuk memperoleh data yang
dilakukan dengan cara pengumpulan segala macam dokumen serta mengadakan
pencatatan sistematis (Netra,1974:73). Dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini
adalah data-data kasus penanggulangan judi oleh penegak hukum dalam hal ini Polsek
Dawan, awig-awig Desa Adat Sampalan, profil Desa Paksebali dan dokumen-dokumen
lain yang dapat dijadikan sebagai reprensi dalam penelitian ini.
Teknik analisis data
Dalam penelitian ini, peneliti berpedoman terhadap alur kegiatan pengolahan data
yang dikemukakan oleh Sugiyono. Adapun alur kegiatan pengolahan data yang
dimaksud, tersaji dalam bagan dibawah ini:
Pengumpulan
Penyajian
Data

Data

Reduksi

Penyimpulan

Data

Data / Verifikasi

(Sumber : Sugiyono,2010:246)
Berpedoman terhadap bagan tersebut, proses pengolahan dan analisis data dalam
penelitian ini dirangkum ke dalam beberapa tahap, yaitu:
(a). Pengumpulan data merupakan suatu proses yang ditempuh untuk memperoleh
informasi berkaitan dengan penelitian melalui berbagai metode pengumpulan data.
Dengan menerapkan metode wawancara, observasi dan pencatatan dokumen
diharapkan mampu memperoleh data-data yang akurat dan akan dikumpulkan
sebagai kesatuan data yang masih mentah. Namun dalam tahapan ini sudah
dilakukan analisis awal terhadap data-data yang diperoleh untuk mempermudah
ketika memasuki tahap selanjutnya dalam kegiatan pengolahan data.
(b). Reduksi data. Data yang telah terkumpul akan dilakukan reduksi, dirangkum dan
akan dipilih hal-hal yang paling penting dan berkaitan degan kajian penelitian.
Karena sebagai peneliti pemula, dalam pengumpulan data tidak terlepas dari
pembiasan terhadap data-data yang diperoleh, oleh sebab itu segala data yang
diperoleh dikumpulkan dan dijaring atas dasar pikiran, pendapat atau kreteria
tertentu dengan mengelompokan ke dalam bagian-bagian isi yang secara jelas
berkaitan.
(c). Penyajian data, karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif seluruh hasil
penelitian yang diperoleh dari penerapan beberapa metode pengumpulan data,
disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif (Sugiyono,2010).
(d). Penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Pada tahap ini dilakukan penyimpulan
terhadap hasil penelitian namun simpulan tersebut dapat bersifat sementara dan akan
dilakukan verifikasi sampai sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil penelitian
Berikut ini merupakan hasil penelitian yang diperoleh dari penerapan beberapa
metode dalam pengumpulan data mengenai faktor yang menentukan (determinan)
eksisnya tajen di Desa Paksebali, upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam
menertibkan dan menghapus tajen dalam kehidupan masyarakat serta upaya desa dalam
menanggulangi tajen tersebut.
Secara umum Desa Paksebali merupakan salah satu dari 12 desa di Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung yang memiliki luas wilayah 26,8 Ha. Berdasarkan
sejarah, Desa Paksebali sudah berdiri kurang lebih pada abad 15 waktu bertakhtanya
Dalem Watu Renggong di Gelgel. Paksebali berasal dari kata Pakse yang berarti
Pendapat dan Bali yang artinya Utama sehingga Paksebali berarti Pendapat Utama.
Nama tersebut diberikan berdasarkan pada kedudukan dan fungsi desa yang sangat
penting dalam upaya mempertahankan Kerajaan Klungkung dari gangguan dan serangan
pihak luar, sehingga diperlukan orang-orang yang baik dan setia dalam kata maupun
tindakan.
Keberadaan desa yang sangat strategis, tidak jauh dari pusat kota dan keramaian,
mudah untuk diakses, penduduk yang hetrogen dari tarap ekonomi dan jenjang
pendidikan mejadi sorot utama peneliti dalam mengunggulkan Desa Paksebali untuk
dijadikan sebagai objek penelitian. Lapangan Umum Desa Paksebali yang dibangun pada
tahun 2006 merupakan objek spesifik dalam melakukan penelitian. Karena pada tempat
tersebut rutin diselenggarakannya tajen oleh beberapa orang dari warga Desa Paksebali.
a. Faktor determinan eksisnya tajen di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan,
Kabupaten Klungkung
Tajen merupakan fenomena sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
di Bali. Hampir setiap daerah di Bali tidak terlepas dari pelaksanaan tajen yang mewarnai
kehidupan sosial masyarakat, begitu pula halnya di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung. Sebagaimana pada daerah lain, tajen yang terselenggara di Desa
Paksebali dipandang sebagai suatu bentuk pergeseran dari konsep Tabuh Rah dan sampai
saat ini membudaya dalam kehidupan masyarakat. Menurut I Wayan Soma yang
merupakan Kepala Desa Paksebali, tajen yang merupakan suatu kebudayaan akan sulit
untuk dihapuskan karena sudah menyatu dengan aspek-aspek kehidupan sosial
masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun.
Tajen sangat erat kaitannya dengan tabuh rah yang merupakan runtutan dari
upacara keagamaan dan memperoleh suatu legalitas secara melembaga, sehingga dapat
disimpulkan dalam hal ini bahwa Tabuh Rah sifatnya melembaga. Menurut I Made
Wira selaku tokoh masyarakat yang juga pernah menjabat sebagai Bendesa Adat serta
merupakan Purna Bakti Kepolisian Negara memandang bahwa, tajen berawal dari
konsep tabuh rah yang kemudian mengalami suatu pergeseran dan berkembang hingga
dewasa ini sebagai fenomena kontroversi.
Pergeseran konsep tabuh rah meluas yaitu dari hakekat pelaksanaanya hanya tiga
seet (telung perahatan) menjadi lebih dari itu, hal ini dipandang lahir dari sistem uran
yang diterapkan pada waktu itu. Karena dalam sistem uran ini, mewajibkan setiap krama
banjar (anggota banjar) agar mengeluarkan satu ayam aduan untuk dijadikan sebagai
sarana dalam pelaksanaan tabuh rah sehingga menyebabkan jumlah sarana lebih banyak
dari yang dibutuhkan. Dengan dukungan unsur judi menumbuhkan inisiatif masyarakat
untuk melaksanakan aduan ayam lebih dari tiga seet namun dipandang sebagai suatu
kesatuan dalam penyelenggaraan ritual tabuh rah.
Seiring perkembangan dalam masyarakat dan dukungan dari beberapa faktor, tajen
terselenggara dengan berdiri sendiri tanpa adanya unsur tabuh rah dan mutlak sebagai
bentuk perjudian. Namun pada saat ini masih terdapat tajen yang diruntutkan dalam
tabuh rah dengan dasar legitimasi pelaksanaan upacara keagamaan. Masyarakat
mengistilahkan hal tersebut dengan tajen yang berkedok tabuh rah.
Berdasarkan hasil observasi, tajen yang terselengara di Desa Paksebali, Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung dapat dipilah ke dalam dua jenis yaitu:
1. Tajen dalam ritual tabuh rah
2. Tajen mutlak sebagai perjudian
Beranjak dari fenomena yang terjadi, tentunya ada faktor determinan yang
mempengaruhi atas eksisnya tajen di Desa Paksebali. Berdasarkan data yang diperoleh
dari keseluruhan informan/responden dengan menerapkan metode wawancaran dan
observasi, yang menjadi faktor determinan eksisnya tajen adalah membudayanya tajen
dalam kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa faktor yang menunjang terhadap
membudayanya tajen di Desa Paksebali, adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Faktor Ekonomi
2) Rendahnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat
3) Kurangnya pengawasan dari aparat penegak hukum
4) Tajen mengandung unsur hiburan
b. Upaya pemerintah dalam menertibkan tajen di Desa Paksebali, Kecamatan
Dawan, Kabupaten Klungkung
Dalam upaya menertibkan dan menghapuskan judi dalam kehidupan masyarakat,
pemerintah melalui aparat penegak hukum dalam hal ini Polsek Dawan berpedoman
terhadap pasal 303 KUHP dan Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian yang digunakan sebagai dasar hukum dalam menindak tindak pidana perjudian
di lingkup kecamatan Dawan. Pihak Polsek Dawan yang dipimpin oleh Ida Bagus Jata
memprogramkan operasi judi dua kali selama setahun.

Tindakan represif merupakan upaya yang ditempuh Polsek Dawan dalam


menanggulangi keberadaan tajen di Desa Paksebali. Beberapa kali penggrebekan pernah
dilakukan terhadap tajen yang terselenggara di Lapangan Umum Desa Paksebali, namun
tidak memperoleh hasil yang memuaskan. Tidak ada oknum yang ditangkap dalam
penggrebekan tersebut, hanya diperoleh sarana yang dipergunakan karena ditinggal lari
oleh para pelaku. Menurut pengakuan dari para bebotoh, ketika penggrebekan
berlangsung mereka memilih untuk melarikan diri atau bergabung dengan masyarakat
lain yang sedang berolahraga di lapangan tersebut. Hal tersebut mempersulit pihak
kepolisian dalam menciduk oknum-oknum yang terlibat dalam tajen di Desa Paksebali.
Seolah-olah adanya suatu bentuk dukungan dan perlindungan dari masyarakat terhadap
para pelaku tajen. Sehingga upaya yang dilakukan belum dapat berjalan secara efektif.
Dalam kaitan tajen sebagai penunjang pembangunan, pihak Polsek Dawan tidak
memberikan izin atau legalitas dalam penyelenggaraannya. Tidak halnya seperti tahun
sebelumnya yang melegalkan penyelenggaraan tajen untuk menunjang pembangunan.
Pada dewasa ini, tidak ada ketentuan yuridis yang dapat dipergunakan untuk melegalkan
hal tersebut. Sebagai supra struktur hukum yang akan menegakkan hukum, secara lugas
menyatakan bahwa tidak setuju dengan adanya tajen di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Komitmen dan kekonsistenan dinyatakan, karena pada hakekatnya segala
jenis dan bentuk perjudian bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan pernyataan dari Ida Bagus Jata selaku Kapolsek Dawan, kendala
utama dalam penanggulangan tajen adalah adanya keterkaitan antara tajen dengan suatu
tradisi dalam kehidupan masyarakat yaitu tabuh rah. Penyelanggaraan tajen kerap
diruntutkan dalam ritual tabuh rah. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan tabuh rah,
pihak kepolisian hanya memberikan legalitas dengan perihal permakluman karena
sebagai wujud penghormatan terhadap kebudayaan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Di samping itu, pihak kepolisian sudah menyadari bahwa dalam pelaksanaan
ritual tabuh rah akan terjadi suatu penyimpangan. Namun apabila tabuh rah tidak
diberikan permakluman dalam pelaksanaannya maka akan menimbulkan benturan
dengan tokoh-tokoh masyarakat. Sehingga hal ini dipandang sebagai suatu dilema untuk
menghapus tajen dengan berlatar belakang tabuh rah.
Ritual tabuh rah dengan proses sabungan ayam diselenggarakan dibawah tanggung
jawab aparatur desa dan disertai pengawasan oleh pihak kepolisian. Secara tegas Ida
Bagus Jata menyatakan apabila terjadi pergeseran dari konsep tabuh rah menjadi tajen
atau penyimpangan terhadap hakekat tabuh rah, maka pihaknya akan mengambil suatu
tindakan dengan membubarkan pelaksanaannya. Namun berdasarkan hasil observasi,
ketika penyimpangan tersebut terjadi pihak kepolisian tidak berani mengambil tindakan
untuk membubarkan pelaksanaan tabuh rah yang secara jelas sudah menyimpang
menjadi tajen. Seluruh pihak yang hadir pada saat itu mengambil sikap yang sama,
seolah-olah memberikan dukungan atas penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa
oknum.
c. Peranan desa dalam menertibkan keberadaan tajen di Desa Paksebali,
Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung
Sampai saat ini tidak ada suatu bentuk upaya yang ditempuh oleh aparatur Desa
Paksebali dalam menanggulangi keberadaan tajen yang termasuk dalam ruang lingkup
tanggung jawab desa. Menurut I Wayan Soma selaku Kepala Desa Paksebali, tajen yang
merupakan fenomena kontroversi dan dalam penanggulangannya merupakan suatu
dilema. Besar konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial apabila
pihak aparatur desa menempuh suatu upaya untuk menghapus keberadaan tajen secara
terang-menerang atau langsung mengambil tindakan terhadap pelaku tajen seperti
bebotoh atau yang lainnya.

Walapun aparatur dan seluruh tokoh masyarakat tidak setuju dengan keberadaan
tajen, namun mereka tidak berani untuk mengambil tindakan karena besarnya
konsekuensi. Konsekuensi yang ditimbulkan dapat berupa mengucilan dari para oknum
yang mendukung keberadaan tajen. Minimnya dukungan masyarakat juga menjadi
kendala aparatur desa dalam menyikapi permasalahan tersebut. Masyarakat lebih
memilih untuk apatis dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada.
Disamping itu dalam awig-awig Desa Adat Sampalan yang luas berlakunya
mencakup Desa Paksebali, tidak terdapat ketentuan yang melarangan menyelenggarakan
tajen. Sehingga pihak desa tidak memiliki dasar dan landasan yang dapat digunakan
dalam upaya menanggulangi keberadaan tajen tersebut. Menurut I Wayan Soma,
ketentuan tertulis sangat penting keberadaanya dalam suatu organisasi apalagi yang
disifatkan untuk mengatur kehidupan orang banyak.
Pihak desa memiliki suatu komitmen untuk berusaha menempuh berbagai macam
upaya dalam menanggulangi keberadaan tajen yang masuk dalam tanggung jawab desa.
Upaya preventip akan berusaha ditempuh untuk mengurangi intensitas pelaksanaan tajen
hingga berujung terhadap hilangnya tajen sebagai suatu kebiasaan dari beberapa
masyarakat Desa Paksebali. Adapun bentuk konkrit dari upaya preventip yang bersifat
pemula dan baru direncanakan adalah mengadakan Porseni Desa (Pordes) sebagaimana
penuturan dari Kepala Desa Paksebali.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik beberapa garis besar
sebagai suatu bentuk kesimpulan, adapun diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Eksisnya tajen hingga dewasa ini di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali
dipengaruhi oleh faktor yang mendasari keberadaanya. Faktor tersebut merupakan
faktor determinan (faktor yang menentukan) terhadap perkembangannya dari dahulu
hingga saat ini. Yang menjadi faktor determinan terhadap eksisnya tajen adalah
membudayanya tajen dalam kehidupan masyarakat. Membudayanya tajen
ditunjang oleh beberapa faktor, diantaranya:
(a). Faktor ekonomi
(b). Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat
(c). Kurangnya pengawasan dari aparat penegak hukum, dan
(d). Tajen mengandung unsur hiburan
Faktor-faktor yang mempengaruhi eksisnya tajen memiliki suatu keterkaitan, saling
menunjang dan merupakan satu kesatuan sehingga keberadaan tajen sulit untuk
dihapuskan dari kehidupan masyarakat Bali.
2. Tajen pada dasarnya bukan merupakan suatu pergeseran dari konsep tabuh rah,
melainkan keberadaan tajen di Bali sebagai suatu judi yang bersifat tradisional dan
membudaya hingga dewasa ini. Tabuh rah dan tajen memiliki konsep tersendiri,
namun terdapat persamaan di antara konsep tersebut yaitu sama-sama berisikan
proses adu ayam yang disebut dengan istilah sabungan ayam. Perbedaan yang
tampak secara jelas di antara kedua istilah tersebut yaitu tabuh rah pada dasarnya
tidak mengandung unsur judi dan dilaksanakan maksimal tiga seet, sedangkan tajen
mengandung unsur judi dan proses adu ayam yang dilaksanakan lebih dari tiga seet.
Fenomena pelaksanaan tabuh rah dan tajen sebagai suatu kesatuan pada dasarnya
merupakan suatu bentuk penyimpangan dari konsep tabuh rah menjadi tajen yang
dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki kepentingan akan hal tersebut,
namun masih dalam konteks dasar legitimasi dalam penyelenggaraan tabuh rah.
Segala bentuk penyimpangan yang terjadi tidak terlepas dari faktor kepribadian
yang dimiliki setiap individu yang timbul dari dorong naluri disertai pengaruh
lingkungan sekitar. Tabuh rah merupakan runtutan dari upacara keagamaan sehingga

kedudukannya sebagai kebudayaan positif kerena keberadaanya diharapkan oleh


masyarakat dan menjadi suatu kebutuhan sebagai bentuk upaya mewujudkan
harmonisasi dalam kehidupan. Sedangkan tajen dewasa ini berkedudukan sebagai
kebudayaan negatif karena tidak diharapkan oleh masyarakat dan dipandang
bertentangan dengan dasar filosofis, yuridis serta menuai kontroversi dalam
kehidupan masyarakat.
3. Upaya pemerintah dalam menertibkan tajen berpedoman terhadap pasal 303 dan
pasal 303 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Upaya represif lebih
diutamakan oleh aparat penegak hukum dalam upaya menanggulangi keberadaan
tajen di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti melakukan operasi dua kali
dalam setahun, melarang tajen yang dikaitkan dengan aspek pembangunan,
menertibkan pelaksanaan tabuh rah dan menindak tegas para pelaku tajen dengan
ketentuan pidana. Berdasarkan data dari pihak Polsek Dawan pada tahun 2011
hingga Pebruari 2012, tidak terdapat kasus tajen yang terusut melainkan hanya
terdapat judi dalam bentuk lain yaitu judi togel. Tajen mengalami proses
kriminalisasi karena lahirnya ketentuan hukum, namun ketidakteraturan hukum
(The Disorder Law) memberikan ruang kebebasan dalam perkembangannya.
Pengaruh sosial, ekonomi, dan budaya juga menopang akan hal tersebut, sehingga
pihak aparat penegak hukum mengalami suatu kendala dalam upaya
menanggulanginya. Disamping itu kekonsistenan dan kurang profesionalitas dalam
tubuh aparat penegak hukum menimbulkan celah untuk maraknya tajen dalam
kehidupan masyarakat.
4. Peranan desa sangat menunjang dalam menertibkan keberadaan tajen, karena lebih
mengetahui kondisi sosial kehidupan masyarakatnya. Karena tajen sarat
menimbulkan konflik sosial maka masyarakat dan pihak aparatur desa, tidak berani
untuk mengambil tindakan secara tegas dan terang menerang dalam upaya
menanggulanginya. Sehingga pihak desa lebih memilih upaya preventif, untuk
menghindari benturan dengan oknum-oknum yang mendukung keberadaan tajen.
Pihak desa tidak memiliki landasan yang kokoh sebagai dasar dalam mengambil
suatu tindakan, karena dalam awig-awig tidak terdapat ketentuan yang mengatur hal
tersebut. Akan tetapi pihak desa dapat berpedoman pada Perda Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pekraman, yang memberikan tugas dan wewenang untuk mengatur
kehidupan masyarakat guna menuju ke hal yang lebih baik. Masyarakat juga
memiliki kedudukan dalam upaya mewujudkan supremasi hukum. Dalam ketentuan
pasal 5 dan pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
masyarakat umum diberikan kewenangan untuk melaporkan suatu tindak pidana
yang telah terjadi.
Judul Penelitian survey
Pengaruh Pengembangan Budaya Kewarganegaraan (Civic Culture) Melalui Kegiatan
Ekstrakurikuler Terhadap Pengembangan Sikap Patriotisme (Studi Deskriptif Kegiatan
Ekstrakurikuler Dalam Rangka Pengembangan Budaya Kewarganegaraan di SMA
Negeri Di Kota Pontianak)
Latar belakang masalah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki karakteristik tersendiri dimana
lembaga ini berfungsi sebagai wahana pengembangan potensi anak menjadi dewasa,
anak sebagai warganegara. Dimana fungsi sekolah yang utama adalah pendidikan
intelektuar, yakni mengisi otak anak dengan berbagai macam pengetahuan (Nasution
2004:14)

Dan di sisi lain sekolah juga dapat dipandang sebagai suatu masyarakat yang utuh
dan bulat yang memiliki kepribadian sendiri, dimana menjadi tempat untuk menanamkan
berbagai macam nilai, pengetahuan, keterampilan dan wawasan. Dengan kata lain,
sekolah sebagai masyarakat belajar, berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dalam arti menumbuhkan, memotivasi dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang
mencakup etika, logika, estetika dan praktika, sehingga tercipta manusia Indonesia yang
utuh dan berakar pada budaya bangsa.
Budaya kewarganegaraan atau civic culture merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dan suatu proses pembudayaan proses pembinaan watak dan karakteristik.
Berkaitan dengan hal itu Almond (1999:410) menyimpulkan bahwa Budaya
kewarganegaraan atau civic culture merupakan bagian suatu proses dan budaya politik.
Menurut Winataputra menilai budaya kewarganegaraan sebagai sikap dan perilaku
edukatif individu dalam konteks komunitas nasional yang berkewarganegaraan dalam
membentuk karakler warga negara yang baik dan cerdas untuk meningkatkan sikap
patriotisme siswa. Lebih lanjut budaya kewarganegaraan diartikan sebagai:
Budaya
kewarganegaraan
mengandung
konsepsi
nilai-nilai
kebajikan
kewarganegaraan (civic virtue) yang didalamnya rnencakup pengetahuan
kewarganegaraan (civic lcnowledge), perilaku kewarganegaraan (civic disposition),
kemampuan kewarganegaraan (civic skill), kepercayaan diri kewarganegaraan (civic
confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment) dan kompetensi
kewargane gar aan (civic competence) (CCE:1998).
Secara spesifik bahwa civic culture merupakan budaya yang menopang budaya
kewarganegaran secara utuh yang berisikan .. a set of ideas that can be embodied
effictively in cultural representation for the perpose of shoping civic identities artinya
seperangkat ide-ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam repersentasi kebudayaan
untuk pembentukan identitas warga negara. (Winataputra dan Budimansyah : 2007 ; 219)
Budaya kewarganegaraan (civic culture) yang ideal dalam pengembangan sikap
patriotisme siswa dapat kita serap serta memaknainya dan konsepsi komitmen siswa
dapat mewujudkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia, makna baru di sekolah dapat
mengembangkan nilai-nilai itu pada siswa dengan memaknai Sumpah Pemuda,
Proklamasi, pancasila, undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan Wawasan Nusantara untuk mewujudkan
karakleristik warga negara melalui pembelajaran. yang lebih dipopulerkan oleh Cogan
(1998) sebagai warga negara yang cerdas dan baik atau smart and good citizenship.
Agar dapat berpartisipasi secara langsung dalam pengembangan sikap patriotisme
pada diri siswa maka civic culure yang ideal, perlu dikembangkannya iklim atau suasana
civic culture terlebih dahulu dengan melalui lingkungan Pendidikan Kewarganegaraan
persekolahan yang kondusif.
Pendidikan Kewarganegaraen (PKn) persekolahan (school civics) yang bercirikan
civic culture Indonesia yang ideal, dapat dikembangkan melalui PKn yang diperkaya
dengan muatan lainnya yang benafaskan pandidikan agama dengan pengembangan
budaya secara bersamaan.
Dimana misi substantif-akademis dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah
mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn),
termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan
dengan civic virtue atau kebajikan Kewarganegaraan dan civic culture atau budaya
kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis)
dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan
pengembangannya itu (fungsi aksiologis).

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) persekolah an (school civics), berada pada


jalur pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal
yang menurut Penjelasan Pasal 37 UU No. 20 tahun 2003 dikembangkan sebagai muatan
kurikulum yang berfungsi mengembangkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dalam
konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kehidupan peserta didik
dalam dunia persekolahan pada dasarnya merupakan prakondisi untuk menyiapkan diri
sebagai warga sekolah atau school citizen (Winataputra; 2001). Untuk itu seyogyanya
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan harus mampu
mengembangkan civic culture atau budaya kewarganegaraan. Dengan demikian sekolah
dapat menjadi wahana pemgemban gan civic culture atau budaya kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan akademik (academic civics), sebagaimana
dirumuskan oleh winataputra (2001) merupakan khasanah pemikiran, penjabaran
pemikiran ke dalam berbagai kegiatan, dan praksis kehidupan tentang bagaimana
individu sebagai anggota masyarakat, anak bangsa dan warga negara yang
dikristalisasikan sebagai konsep dai atau teori Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan
konsep teori itu diharapkan komunitas keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan secara
konsisten mampu membangun Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bidang keilmuan
yang handal. Khasanah pemikiran ini secara konseptual mencakup civic culture sebagai
bidang telaah atau ontology dan bidang penerapan keilmuan atau aksiologi dan
Pendidikan Kewarganegaraan seperti sebagaimana lazimnya suatu mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah, materi keilmuan Kewarganegaraan mencakup dimensi
pengetahuan, keterampilan dan nilai. Tiga komponen utama Civic Education menurut
Branson (Wantoro: 217) adalah Civic Knowledge, Civic Skill, dan Civic Dispositions.
Dalam penjabaran ketiga domain tersebut peneliti mencoba untuk lebih fokus pada
Pendidikan Kewarganegaraan persekolahan (school civics), melalui konteks sistem
pendidikan nasional, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kedudukan sebagai salah
satu unsur dan peran penting dalam memberi sumbangan terhadap terwujudnya fungsi
dan tujuan pendidikan nasional. Hal tersebut secara yuridis formal tersurat dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 pada
Bab 2 Pasal 3, sebagai berikut.
Pendidikan nasional berftngsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Kesemua itu dapat direkonseptualisasi bahwa aspek kepribadian warga negara yang perlu
dikembangkan adalah menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Visi Pendidikan Nasional menurut UU
No. 2012003). Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas berhasrat
untuk pada tahun 2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas Komprehensif dan
Kompetitif (Insan Kamilllnsan Paripuma).
Fenomena saat ini pendidikan dalam masyarakat seperti dalam keluarga bagi
sebagian orang tua zaman sekarang, seolah-olah tidak lagi mernpunyai waktu untuk
mendidik anak-anaknya karena sebagian waktunya dihabiskan di luar rumah. Tuntutan
pekerjaan telah menguras waktu dan tenaga yang pada akhirnya tanggung jawab untuk
mengasuh dan membina anak diserahkan kepada sekolah. Pihak keluarga nemiliki
harapan atau anggapan bahwa seluruh pendidikan anak, akan berjalan dengan baik
sepenuhnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang dapat membentuk watak
yang dapat sesuai dengan harapan para orang tua, padahal keutuhan watak yang

terbentuk di sekolah belum menjadi proses pembentukan watak yang sepenuhnya, karena
siswa masih harus berhadapan langsung dengan keadaan kehidupan yang sesungguhnya
sebagai masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas manusia yang
berbangsa dan bernegara.
Dalam suatu penelitian tentang jati diri citizenship education yang melaporkan
temuan David Ken (1999: 5-7) bahrva Pendidikan Kewarganegaraan minimal,
didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran
Kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan.
Menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur. Sedangkan Pendidikan
Kewarganegaraan maksimal, didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan
melibatkan berbagai unsur masyarakat. Kombinasi pendekatan formal dan informal,
dilabeli citizenship education, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian
isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas.
Sejalan dengan itu maka Mahoney (Soemantri 2001 :295) merumuskan bahwa
batasan darl Civic Education adalah memasukkan seluruh kegiatan sekolah, termasuk
kegiatan ekstrakurikulernya dalam kerangka Civic Education: kegiatan di dalam dan di
luar kelas, diskusi, dan organisasi siswa (Student Govemment). Pendeknya, seluruh
kegiatan sekolah yang menjadi tanggung jawab sekolah untuk dimasukkan kedalam
Civic Education.
Yang dimaksud kegiatan ekstrakurikuler dalam kerangka Civic Education yang
diselenggarakan di luar jam pelajaran, selain membantu siswa dalam pengembangan
minatnya, juga membantu siswa agar mempunyai semangat baru untuk lebih giat belajar
serta menanamkan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang mandiri. Bahkan
pengertian civic education ini diperluas oleh National Council for Social Studies (NCSS)
yang dikutip Wuryan dan Syaifullah (2008: 6) sebagai berikut:
Citizenship Education is a process comprissing all the positive influence which are
intended to shape a citizens view to this role in society. It comes powerly from formal
schooling psrtly from parental influence and partly from learning outside the
classroom and the home. Through citizenship education, our youth are helped to
again understonding of our national ideals, the common good and the process of self
government. (NCSS, 1970 2A)
Berdasarkan definisi ini bahrva Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
memperoleh pengaruh-pengaruh positif dari :
Pendidikan di sekolah;
Pendidikan di rumah;
Pendidikan di luar kelas dan sekolah.
Hal-hal tersebut harus mendapatkan pertimbangan dalam menyusun pelajaran
Pendidikan Kewargenegaraan civic education agar siswa dapat memahami dan
mengapresiasikan cita-citanya.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) persekolahan (school civics) yang bercirikan
civic culture Indonesia yang dapat dikembangkan sekolah, melaui PKn tetapi juga dapat
melalui kegiatan ekstrakurikuler yang diperkaya dengan muatan lainnya yang
bernafaskan Pendidikan Kewarganegaraan dengan pengembangan budaya secara
bersamaan yang diarahkan untuk nation and character building.
Didalam lingkungan sekolah yang ingin diciptakan meialui kegiatan
ekstrakurikuler adalah setidaknya sekolah memiliki upaya-upaya sadar untuk
memberikan kontribusi dalam pembangang sikap patriotisme siswa. Dalam hal ini
kurikulum pembelajaran PKn dan kontribusi kegiatan ekstrakurikuler, dalam
pembangunan karakter bangsa, dapat diwujudkan dalam bentuk tranformasi civic

knowledge, civic disposition, dan civic skills untuk menciptaan budaya kewarganegaraan
(civic culture) yang ideal.
Terkait dengan uraian tersebut di atas, alangkan lebih idealnya jika pengembangan
sikap patriotisme yang bersumber pada nilai patriotisme yang merupakan salah satu
bagian dari aspek pembentukan warga negara bertanggung jawab. Johnson (dalam
Nurdin 2008: 82) merumuskan its central purpose is helping student became
participating citizens and well adjusted individuals, Pembentukan seorang warga negara
yang baik, yang bertanggung jawab, pada dasarnya merupakan aktualiasasi dari nilainilai patriotisme. Sebagai wujud kecintaan terhadap tanah air dan rasa memiliki terhadap
bangsa dan negara patriotisme merupakan nilai yang sangat penting dimilih oleh setiap
orang untuk membentuk warga negara yang bertanggung jawab. Karena itu,
pembentukan kesadaran patriotisme adalah bagian nilai kewarganegaraan yang relevan
dan sangat penting dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Pengembangan budaya kewarganegaruan yang merupakan domain Pendidikan
Kewarganegaraan, dimana Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran
belumlah dirasa cukup untuk mengakomodasikannya maka dirasa perlu suatu yang
kegiatan yang berkualitas dan mendorong partisipasi warga negara (civic participation)
salah satunya adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler yang memuat kegiatan-kegiatan
yang dapat diselenggrakan di sekolah untuk memantapkan pembentukan kepribadian
yang mengedepankan aspek-aspek pengembangan budaya kewarganegaraan (civic
culture) di sekolah.
Dalam penelitian ini penulis meyakini bahwa pengembangan sikap patriotisme
siswa yang dipengaruhi oleh pengembangan budaya kewarganegaran (civic culture)
melalui kegiatan ekstrakurikuler selain melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Rumusan masalah
Rumusan masalah secara umum dari penelitian ini adalah Bagaimanakah Civic Culture
melalui kegiatann ekstrakurikuler dapat membina sikap patriotism. Dan secara khusus
mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh pengembangan budaya kewarganegaraan (Civic Culture)
terhadap pngembangan sikap patriotisme?
2. Bagaimanakah pengaruh kegiatan ekstrakurikuler terhadap pengembangan sikap
patriotisme?
3. Bagaimanakah pengaruh Civic Culture dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap
pengembangan sikap patriotisme?
Hipotesis
Hipotesis yang diambil dari penelitian ini bahwa sikap patriotism pada diri siswa dapat
ditingkatkan dengan mengembangkan budaya kewarganegaraan melalui kegiatan
ekstrakurikuler disekolah, yang secara khususnya sebagai berikut:
1. Pengembangan budaya kewarganegaraan memiliki pengaruh positif terhadap
pengembangan sikap patriotime siswa.
2. Kegiatan ekstrakurikuler berpengaruh positif terhadap pengembangan sikap
patriotisme siswa.
3. Pengembangan budaya kewarganegarann (civic culture) dan kegiatan ekstrakurikuler
secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap pengembangan sikap patriotisme
siswa.
Kajian teori
1. Budaya Kewarganegaraan (Civic Culture)
a. Makna Budaya Kewarganegaraan (civic culture)
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, memiliki ciri khas bentuk
yang disebut sebagai bangsa yang pluralistik. Aspek sosial-etnisitas kulturalnya dalam

bangsa ini telah mewujudkan integritas bangsa yang beragam dan bermacam-macam,
diantaranya terdiri dari budaya-budaya etnisitas nasional. Dengan demikian hal itu akan
dapat berubah menjadi budaya yang dapat merekatkan perbedaan sebagai salah satu
alternatif untuk rnembangun aspek pendidikan, perekonomian, dan kesejahteraan
masyarakat, untuk mewujudkan persatuan kebangsaan negara Indonesia.
Aspek sosial-kultural yang beranekaragam itu perlu didasari dan diwarnai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi negara Indonesia yakni Pancasila, agar dapat
diupayakan menjadi budaya nasional. Konsep inilah yang lebih dikenal sebagai budaya
kewarganegaraan (civic culture). Substansi budaya kewarganegaraan yang berlandaskan
Pancasila itulah, yang dalam penelitian ini disebut sebagai budaya kewarganegaraan
(civic culture).
Budaya kewarganegaraan atau civic calture dapat ditegaskan sebagai totalitas atau
keseluruhan pola dan perwujudan perilaku masyarakat demokratis yang tercermin dalam
partisipasi masyarakat sebagai pelaku demokrasi dalam masyarakat yang berbentuk
sebagai sikap dan perilaku warga negara yang demokratis. Ralph Nader dalam
Alrakhman (2008:49) From the magazine "Edges" published by the Canadian Institute
of Cultural Affairs. Perilaku ini merupakan perwujudan dari potensi manusia yang
memiliki rasa, karsa, dan karya secara sadar dan saling menghormati diantara pribadi
masyarakat satu sama lain didalam lingkungan masyarakat. Dalam konteks ini budaya
masyarakat yang diharapkan secara sadar siap terlibat secara aktif dan sesuai dengan
kedudukan dan peranannya di masyarakat dengan berlandaskan ideologi kebangsaan.
b. Ciri-ciri Budaya Kewarganegaraan (Civic Culture)
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda
namun, setiap kebudayaan mempunyai sifat dan hahekat sendiri yang berlaku umum bagi
semua kebudayaan dimanapun berada hal itu senada dengan Soekanto dalam Basrowi
(2005:76) mengatakan:
a) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari prilaku manusia.
b) Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan
tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
c) Kebudayaan diperlukan oleh manusia oleh manusia dan diwujudkan dalarn
tingkahlakunya.
d) Kebudayaan mencakup aturan-aturan yangn berisikan kewajiban-kewajiban, tindakantindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakantindakan yang diizinkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di lingkungan lainnya, kita
tentu suka memperhatikan berbagai perilaku masayarakat sebagai budaya warga negara.
Ada warga masyarakat yang menunjukkan sifat dan perilaku yang baik, ada pula yang
menunjukkan sifat dan perilaku yang buruk.
Dengan demikian PKn tidak hanya merupakan program pendidikan semata, tetapi
merupakan gerakan pembudayaan 'Civic culture' local, national and global communities
and their concerns Cogan dalam Danial (2009:4) kemudian Cogan (1998:2-3)
mengatakan sebagai warga negara yang secara konseptual, seorang warga negara
seyogyanya memiliki lima ciri utama, yaitu: 1) jati diri, 2) kebebasan untuk menikmati
hak tertentu, 3) memenuhi kewajiban-kewajiban terkait, tingkat minat dan, 4)
keterlibatan dalam urusan publik, 5) tingkat dan pemilikan nilai-nilai dasar
kemasyarakatan. Kesemuanya disampaikan melalui bermacam institusi, baik
pemerintahan maupun non pemerintahan, termasuk media, tetapi hal tersebut biasanya
dilihat sebagai bagian dan tanggung jawab sekolah. Pendidikan Kewarganegaraan, dalam
pengertian yang luas, adalah tugas yang penting di dalam semua masyarakat masa ini.

Secara umum Effendi dan Sapriya (2004:76) mengatakan sifat dan perilaku warga
negara yang baik dan bertanggung jawab ditandai oleh beberapa ciri, yakni:
a) Menyadari akan kedudukannya sebagai warga negara.
b) Memahami aturan atau hukum yang berlaku terhadap dirinya di setiap lingkungan
kehidupan.
c) Memahami dan menyadari kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara.
d) Melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara dengan penuh keikhlasan dan rasa
tanggung jawab.
e) Menghindari sikap dan perilaku yang menimbulkan konflik antar sesame.
f) Menumbuhkan sikap mau bekerjasama dengan sesama warga negara untuk
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sifat dan perilaku warga negara yang baik dan bertanggung jawab menimbulkan
akibat positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, sifat
dan perilaku warga negara yang buruk dan tidak bertanggung jawab dapat menimbulkan
kerugian bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Beberapa manfaat dari sifat dan perilaku warga negara yang baik dan bertanggung
jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diantaranya:
a) Menciptakan keamanan dan kedamaian hidup.
b) Memperlancar proses pembangunan nasional.
c) Memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
d) Menciptakan ketertiban hidup dalam masyarakat.
e) Menciptakan ketenangan dan kebahagiaan hidup dalam bermasyarakat.
(Effendi dan Sapriya(2004:76)
Sebaliknya, sifat dan perilaku warga negara yang buruk dan tidak bertanggung
jawab bisa mengakibatkan beberapa situasi yang sangat merugikan kehidupan kita dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, diantaranya:
a) Menciptakan suasana kehidupan yang penuh dengan konflik dan kerusuhan.
b) Teciptanya kehidupan yang tidak teratur (anarkis).
c) Terhambatnya pelaksanaan pembangunan bangsa dan negara.
d) Rusaknya rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
e) Sulit tercapainya kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Di Indonesia saat ini, sifat dan perilaku warga negaranya masih sangat bervariasi.
Ada warga negara yang sudah memiliki sifat dan perilaku baik. Ada pula warga negara
yang masih memiliki sifat dan perilaku buruk.
Dalam kehidupan di lingkungan masyarakat juga demikian. Ada warga masyarakat
yang taat pada aturan hidup bermasyarakat, ada pula warga masyarakat yang suka
melanggar aturan hidup bermasyarakat. Akibatnya, suasana kehidupan bermasyarakat
tidak tenteram, resah, dan kadang-kadang anarkis. Berbagai kejahatan, seperti
penganiayaan, pelanggaran hak azasi manusia, pembunuhan, penipuan, pemerkosaan
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja suasana seperti ini tidak diinginkan oleh
sebagian besar warga masyarakat.
c. Pengembangan Civic Culture di Sekolah
Pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional adalah sebuah proses
pendidikan yang mampu merefleksikan nilai-nilai baik lokal maupun nasional kepada
peserta didik dengan tujuan untuk menumbuh kembangkan rasa kebanggaan terhadap
tanah airnya yang akan menimbulkan rasa cinta pada tanah airnya. (Palupi, 2007: 8)
Rasa bangga yang akan melandasi rasa cinta tanah air dapat ditumbuhkan rnelalui
proses pendidikan yang melibatkan dua aklivitas penting yaitu, aktivitas membagi dan
berbagi ilmu pengetahuan atau yang biasa disebut dengan proses belajar mengajar

(transfer of learning) dan proses membagi dan berbagi nilai bersama (transfer of value).
Ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam proses pendidikan yang berbasis nilai-nilai
budaya lokal dan nasional adalah mengenai adat istiadat lokal yang ada didaerah tersebut
dan adat istiadat yang diakui dan dijadikan identitas bangsa. Mengingat Indonssia adalah
negara yang multi-budaya maka muatan pendidikan budaya lokal yang terimplementasi
dalam bentuk kurikulum budaya lokal akan berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya dalam model pendidikan ini. Sedangkan kurikulum yang bermuatan budaya
nasional akan sama antara sdaerah yang satu dengan daerah yang lain. Selain membagi
dan berbagi pengetahuan mengenai adat isti adat lokal dan nasional, nilai-nilai budaya
bersama juga harus disampaikan dalam proses pendidikan yang berbasis nilai-nilai
budaya lokal dan nasional.
Pengetahuan mengenai adat istiadat lokal maupun nasional dan pemahaman
mengenai nilai-nilai bersama sebagai hasil dari proses pendidikan berbasis nilai-nilai
budaya lokal dan nasional akan membentuk manusia Indonesia yang bangga terhadap
tanah airnya. Rasa kebanggaan ini akan menimbulkan rasa cinta pada tanah airnya yang
kemudian akan mengejawantah dalam perilaku melindungi, menjaga kedaulatan,
kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya.
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai
suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Generasi-generasi
selanjutnya terkondisikan unfuk menerirna "kebenaran-kebenaran" tersebut mengenai
kehidupan yang telah berlaku disekitarnya sehingga terjadi budaya mempengaruhi dan
dipengaruhi dalam aktivitas kehidupan di dalam lingkungannya. Budaya merupakan gaya
hidup dalam suatu kelompok manusia karena pada dasarnya budaya merupakan karya
cipta dari hubungan manusia dengan manusia yang lainnya dan hal ini disepakati
bersama-sama.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan bangsa yang
multikultural sehingga menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang multietnis. Pluralitas
bangsa ini memberikan dorongan besar untuk menciptakan budaya nasionalisme yang
tangguh. Realitas masyarakat indonesia secara sosiologis berjumlah kurang lebih 500
etnis. Realitas ini pada dasarnya member petunjuk bahwa masing-masing etnis tersebut
secara kultural akan mempertahankan masing-masing identitas dan budayanya. Hal
tersebut dapat menimbulkan adanya kecenderungan yang sangat kuat untuk mengklaim
wilayahnya kedalam tataran komunitas etnis yang homogen.
Setiap negara disinyalir memiliki budaya negara atau budaya nasional. Hal ini
berbeda dengan negara Indonesia karena negara ini dikatakan memiliki budaya nasional
apablla masing-masing budaya etnisitasnya masih dipertahankan dan dilestarikan, oleh
karena itu banyaknya budaya lokal rnerupakan bagian dari budaya nasional.
Salah satu dari pengembangan budaya kewarganegaraan adalah budaya yang di
kembangkan disekolah, dalam hal ini keunikan dan keunggulan sebuah sekolah adalah
memiliki budaya sekolah (school culture) yang kokoh, dan tetap eksis. Perpaduan semua
unsur (three in one) baik siswa, guru, dan orang tua yang bekerjasama dalam
menciptakan komunitas yang lebih baik melalui pendidikan yang berkualitas, serta
bertranggung jawab dalam meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, menjadikan
sebuah sekolah unggul dan favorit di masyarakat.
Menurut Deal dan Peterson dalam Kusuma (2008), budaya sekolah adalah
sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbolsimbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan
masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak,
dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.

Sebuah sekolah harus mempunyai misi menciptakan budaya sekolah yang


menantang dan menyenangkan, adil, kreatif, terintegratif, dan dedikatif terhadap
pencapaian visi, menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi dalam perkembangan
intelektualnya dan mempunyai karakter takrva, jujur, kreatif, mampu menjadi teladan,
bekerja keras, toleran dan cakap dalam memimpin, serta menjawab tantangan akan
kebutuhan pengembangan sumber daya manusia yang dapat berperan dalam
perkembangan iptek dan berlandaskan imtak.
Budaya sekolah yang harus diciptakan agar tetap eksis dalam mengembangkan
budaya kewarganegaraan disekolah adalah : budaya keagamaan (Religi), Budaya
kerjasama (Team work), Budaya Kepemimpinan (Leadhership).
d. Pengembangan Civic Culture di Masyarakat
Semua unsur kebajikan kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk
dengan kehidupan "civic community" atatu "civil society" atau masyarakat madani untuk
Indonesia. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani bersifat
interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya kebajikan kewarganegaraan (civic virtue)
yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan (civic culture). Oleh karena
itu diperlukan adanya dan berperannya Pendidikan Kewarganegaraan yang mampu
mengembangkan kebajikan kewarganegaraan. Dalam waktu bersamaan mampu memberi
kontribusi terhadap berkembangnya budaya kewarganegaraan yang menjadi inti dari
masyarakat madani. Budaya kewarganegaraan (civic culture) harus ditumbuhkan sebagai
proses Nasionalisasi/Indonesiasi. Yang merupakan unsur pokok dan budaya
kewarganegaraan adalah kebajikan kewarganeganan atau civic virtue yang mencakup
keterlibatan aklif warga negara, hubungan kesejajaran atau egaliter, saling percaya dan
toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan.
Kebajikan kewarganegaraan merupakan inti dari keyakinan moral tradisi seseorang
dalam berperilaku sebagai masyarakat demokrasi, dan harus ada campur tangan
pemerintah melalui suatu Pendidikan Kewarganegaraan. Hal itu diperlukan karena jika
dalam usia muda mereka sudah belajar toleran maka kelak dewasa pemerintah tidak
perlu lagi memaksa orang dewasa untuk berperilaku bijak. Keyakinannya akan kebajikan
kewarganegaraan (civic virtue) ini dinyatakan lebih jauh sebagai berikut:
If they get the messoge that schools are sorting them out based on what they bring
into school, and not according to their effort and perseverance, this tends to
undermine the development of the sense of responsibility and empoweftnent that is at
the heart of good civic character.
Dengan kata lain jika mereka mendapat pemahaman bahwa sekolah
mengelompokkan mereka berdasarkan apa yang mereka bawa ke sekolah, dan bukan
berdasarkan usaha dan ketekunan mereka, maka hal ini cenderung melemahkan
pertumbuhan rasa tanggung jawab dan peduangan yang merupakan inti dari sikap
kewarganegaraan. Kutipan tersebut mengandung makna bahwa jika para siswa
menganggap bahwa sekolah melarang nilai dasar yang mereka bawa ke sekolah, dan
tidak mengikuti usaha dan persepsi mereka. Hal ini akan membawa pada rendahnya
perkembangan rasa tanggung jawab dan kesetiaan yang merupakan jantung dari karakter
warga negara yang baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebajikan kewarganegaraan
(civic virtue) merupakan karakter bangsa dengan memiliki potensi kepribadian manusia
yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dan diwujudkan dalam bentuk sikap
dan perilaku yang konsisten. Semua unsur kebajikan kewarganegaraan itu diyakini akan
menjadi modal dasar dari terwujudnya kehidupan sosial-etnisitas dari komunitas
kelvarganegaraan (civic community) yang ada di Indonesia
2. Kegiatan Ekstrakurikuler
a. Tinjauan Analisis Terhadap Kegiatan Ekstrakurikuler

Dalam pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai minat dan bakat yang dimiliki tanpa
memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pemerataan kesempatan dan
pencapaian mutu pendidikan akan membuat warga Negara Indonesia memiliki
keterampilan hidup (life skill) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal dan
mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan
modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Pengembangan kegiatan ekstrakurikuler merupakan bagian dari pengembangan
institusi sekolah. Berbeda dari pengaturan kegiatan intrakurikuler yang secara jelas
disiapkan dalam perangkat kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler lebih mengandalkan
inisiatif sekolah. Secara yuridis, pengembangan kegiatan ekstrakurikuler memiliki
landasan hukum yang kuat, karena diatur dalam Surat Keputusan Menteri yang harus
dilaksanakan oleh sekolah. Salah satu Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI no
125N12002 tentang Kalender pendidikan dan Jumlah Jam BelajarEfeklif di Sekolah.
Pada umumnya pendidikan bertujuan untuk menyediakan lingkungan yang
memungkinkan siswa didik untuk mengembangkan potensi, bakat dan kemampuannya
secara optimal, sehingga mereka mampu mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya
sesuai dengan kebutuhan pribadinya maupun kebutuhan masyarakat. (Munandar, 2002:
4). Setiap orang mempunyai potensi yang berbeda-beda dan oleh karenanya
membutuhkan layanan pendidikan yang berbeda pula. Pendidikan bertanggung jawab
untuk memandu (artinya mengidentifikasi dan membina) dan memupuk (artinya
mengembangkan dan meningkatkan) potensi-potensi tersobut secara utuh.
Proses pembelajaran di sekolah seharusnya memperhatikan kebermaknaan dalam
belajar, artinya apa yang bermakna bagi siswa menunjuk pada dunia minatnya (center of
interest). Pelaksanaan pembelajaran di sekolah saat ini harus bertujuan mengembangkan
potensi siswa melalui : (l) Olah hati, untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan,
meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral, membentuk kepribadian unggul,
membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun
kompetensi dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk
meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan
budaya; dan (4) Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan
kesiapan fisik serta keterampilan kinestetis. (Renstra Depdiknas Tahun 2005 - 2009 : l5).
Kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan di luar jam pelajaran, selain
membantu siswa dalam pengembangan minatnya" juga membantu siswa agar
mempunyai semangat baru untuk lebih giat belajar serta menanamkan tanggung
jawabnya sebagai warga negara yang mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Miller
Mayeer yang dikutip oleh Tim Dosen IKIP Malang dalam Negoro (2A07: 5) yang
mengatakan bahwa:
Keikutsertaan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler akan memberikan sumbangan
yang berarti bagi siswa untuk mengembangkan mina-tminat baru, menanamkan
tanggung jawab sebagai warga negara, melalui pengalaman-pengalaman dan
pandangan-pandangan kerja sama, dan terbiasa dengan kegiatan-kegiatan mandiri
(1988 ; lza).
Kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang diminati
siswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman terhadap berbagai mata pelajaran
yang pada suatu saat nanti bermanfaat bagi siswa dalarn kehidupan sehari-hari. Dalam
kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan pengalaman pengalaman yang bersifat nyata

yang dapat membawa siswa pada kesadaran atas pribadi, sesama, lingkungan dan Tuhannya, dengan kata lain bahwa kegiatan ektrakurikuler dapat meningkatkan Emotional
Qoutient (EQ) siswa yang di dalamnya terdapat aspek kecerdasan sosial/kompetensi
sosial.
b. Dasar Yuridis Ekstrakurikuler di Sekolah
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2008 Tentang
Pembinaan Kesiswaan. Pada Pasal 1 Menyatakan Bahwa Tujuan Pembinaan Kesiswaan:
a. Mengembangkan potensi siswa secara optimal dan terpadu yang meliputi bakat,
minat, dan kreativitas;
b. Memantapkan kepribadian siswa untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai
lingkungan pendidikan sehingga terhindar dari usaha dan pengaruh negatif dan
bertentangan dengan tujuan pendidikan;
c. Mengakfualisasikan potensi siswa dalam pencapaian prestasi unggulan sesuai
bakat dan minat;
d. Menyiapkan siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia,
demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan
masyarakat madani (civil society).
Materi pembinaan kesiswaan meliputi :
a. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. Budi pekerti luhur atau akhlak mulia;
c. Kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negara;
d. Prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat;
e. Demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup,kepekaan dan
toleransi sosial dalam konteks masyarakat plwal;
f. Kreativitas, keterampilan, dankewirausahaan;
g. Kualitas jasmani, kesehatan, dan gizi berbasis sumber gizi yang terdiversifikasi;
h. Sastra dan budaya;
i. Teknologi informasi dan komunikasi; j. Komunikasi dalam bahasa Inggris;
Berdasarkan urain diatas makan dalam konteks ini akan dibahas mengenai kegiatan
ekstrakurikuler dimana Kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu kegiatan
kurikulum yang diselenggarakan disekolah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
kata ekstrakurikuler dibentuk dari dua kata dasar yaitu , "ekstra" yang berarti tambahan
dan" kurikuler" yang berarti sesuatu yang bersangkutan dengan kurikulum. Jadi istilah
ekstrakurikuler dapat diartikan sebagai kurikulum tambahan diluar kurikulum inti pada
suatu sekolah, yang ada keterkaitannya dengan pengembangan kurikulum suatu sekolah.
Dengan demikian kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan tambahan yang
dilaksanakan oleh sekolah diluar jam kurikulum inti untuk melengkapi dan
pengembangan kurikulum secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler
adalah kegiatan tambahan diluar struktur program yang dilaksanakan diluar jam
pelajaran biasa dengan tujuan untuk : (l) memperkaya dan memperluas wawasan
pengetahuan dan kemampuan siswa; (2) menyalurkan bakat dan minat siswa, (3)
memahami keterkaitan antara berbagai mata pelajaran; (4) meningkatkan kualitas
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa; (5) meningkatkan kesadaran
berbangsa dan bernegara, dan (6) membina budi pekerti.
Dengan demikian jelaslah betapa pentingnya kegiatan ekstrakurikuler untuk
dilaksanakan disekolah, karena kegiatan tersebut dapat mendukung program
eintrakurikuler dan program kokurikuler sehingga kurikulum menjadi lebih komplek.
c. Tujuan dan Ruang Lingkup Kegiatan Ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan seperangkat pengalaman belajar


memiliki nilai-nilai manfaat bagi pembentukan kepribadian siswa. Adapun tujuan dari
pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah menurut Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan (1987 : 9) adalah:
a) Kegiatan ekstrakurikuler harus dapat meningkatkan kemampuan siswa beraspek
kognitif; afektif dan psikomotor.
b) Mengembangkan bakat dan minat siswa dalam upaya pembinaan pribadi menuju
pembinaan manusia seutuhnya yang positif.
c) Dapat mengetahui, mengenal serta membedakan antara hubungan satu pelajaran
dengan mata pelajaran lainnya.
Lebih lanjut ditegaskan lagi bahwa kegiatan ekstrakurikuler harus berpangkal pada
kegiatan yang dapat menunjang serta dapat mendukung program intrakurikuler dan
progam kokurikuler (1987 : I2).
Jadi ruang lingkup kegiatan ekstrakurikuler adalah berupa kegiatan-kegiatan yang
dapat menunjang dan dapat mendukung progam intrakurikuler yaitu mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan penalaran siswa, keterampilan melalui hobi dan minatnya
serta pengembangan sikap yang ada pada program intrakurikuler dan program
kokurikuler.
d. Bentuk Kegiatan Ekstrakurikuler
1. Kegiatan Ekstrakurikuler Olah Raga
Merupakan tempat yang banyak diminati siswa. Selain sebagai upaya
mengembangkan prestasi juga sebagai tempat untuk menyalurkan hobi. Kegiatan
keolahragaan yang dikembangkan di sekolah meliputi sepak bola, bola basket, atletik,
bola voli, bulu tangkis, karate, pencak silat tae kwon do, renang, pencinta alam dan
sebagainya. Kegiatan ini banyak menyerap jumlah siswa yang besar. Banyak siswa yang
memiliki prestasi dalam bidang keolahragaan yang kemudian tidak hanya di lingkup
sekolah melainkan menjadi atlit yang belprestasi sampai di tingkat nasional.
2. Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka
Kegiatan pramuka adalah kegiatan yang sebenamya merupakan kegiatan yang
bersifat sukarela. Namun banyak sekolah menjadikan pramuka sebagai ekstrakurikuler
wajib. Tentunya memiliki pertimbangan yang kuat, karena dari kegiatan pramuka banyak
manfaat yang dapat dipetik. Seperti halnya meningkatkan daya kreasi, membentuk jiwa
sederhana, mandiri, terampil, dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri serLa
menumbuhkan jiwa kegotongroyongan. Dimana dalam kegiatan pramuka sebagai
Gerakan Pramuka sebagai lembaga pendidikan luar sekolah bertujuan untuk mendidik
generasi muda agar berwatak dan berbudi pekerti luhur, serta mampu mengembangkan
kepribadian, potensi dan jati dirinya sebagai tunas bangsa yang masih dalam
masatransisi, sehingga pada saatnya nanti dapat mencapai proses kedewasaan dalam arti
sebenamya.
3. Kegiatan Ekstrakurikuler Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra)
Secara sederhana istilah kegiatan ekstrakurikuler mengandung pengertian yang
menunjukan segala macam aktifitas di sekolah atau lembaga pendidikan yang
dilaksanakan diluar jam pelajaran. Sedangkan Paskibra merupakan Pasukan Pengibar
Bendera. Jadi kegiatan ekstrakurikuler Paskibra merupakan suatu kegiatan atau aktifitas
di sekolah atau lembaga pendidikan yang dilaksanakan diluarjam pelajaran yang bertugas
sebagai pengibar bendera (Lutan, 1986: 7).
Dalam salah satu materi pembinaan kesiswaan yang lercantum dalam Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan No. 0416/U/1984 yaitu tentang pendidikan
pendahuluan bela negara yang diselenggarakan sekolah anlara lain dengan pembentukan
Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) sekolah. Kegiatan tersebut meliputi berbagai jenis

kegiatan, diantaranya adalah: Peraturan Baris Berbaris (PBB), Tata Upacara Bendera
(TUB). serta Latihan Kepemimpinan Siswa Tingkat Perintis dan Pemula.
4. Kegiatan Ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR)
Merupakan kegiatan yang membekali siswa untuk meningkatkan rasa kepedulian
terhadap sesama. Meliputi cara memberikan pertolongan kepada teman pada saat
berlangsungnya upacara dan kegiatan lain disekolah, yang akan berimbas pada
kepedulian siswa di lingkungan lain di luar sekolah. Seperti kegiatan donor darah,
pengumpulan makanan, dana dan pakaian untuk korban bencana alam. Senada dengan
uraian diatas Karmaputra dalam Shodiq (1998 :120) menegaskan bahwa PMR ini
diadakan khusus bagi kaum remaja, yang mempunyai kesamaan dengan Palang Merah
Indonesia, hanya sedikit perbedaan penekanannya. Di dalam PMR lebih diutamakan
kegiatan latihan-latihan, yang diselenggarakan oleh anak-anak itu sendiri, guna
mengembangkan bakat dan minat dengan tiga prinsip tujuan utama yaitu : berbakti
terhadap masyarakat; mempertinggi mutu kebersihan dan kesehatan: serta persahabatan
nasional dan internasional.
5. Kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR)
Suatu kegiatan yang dapat memberikan bekal kepada siswa untuk dapat
menemukan teori-teori atau gejala-gejala baru melalui penelitian vang diadakan, yang
kemudian akan dituangkan dalam benfuk tulisan ilmiah. Manfaat yang dapat
dikembangkan dari kegiatan ini adalah siswa akan berfikiran maju dan berkembang,
tidak cepat puas terhadap teori-teori yang sudah ada, serta meningkatkan kemauan untuk
selalu bereksperimen.
6. Kegiatan Ekstrakurikuler Olah Seni
Kegiatan ekstrakurikuler olah seni berperan mengembangkan wawasan dan
keterampilan siswa di bidang seni suara, seni tari, seni rupa, seni kerajinan, seni
drama/sastra, musik dan fotografi. Manfaat yang dapat dipetik adalah siswa dapat
mengisi waktu luangnya dengan berbagai kegiatan kesenian, mempunyai wawasan dan
keterampilan, menciptakan dan melaksanakan berbagai kreasi seni serta bangga terhadap
hasil-hasil seni daerah dan nasional.
e. Fungsi dan Prinsip Pelaksanaan Kegiatan Ekstrakurikuler
1. Fungsi Kegiatan Ekstrakurikuler
1) Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan
kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat
mereka.
2) Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
3) Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana
rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang
proses perkembangan.
4) Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan
kesiapan karir peserta didik.
2. Prinsip Kegiatan Ekstrakutikuler
1) Individual, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat
dan minat peserta didik masing-masing.
2) Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan keinginan dan
diikuti secara sukarela peserta didik.
3) Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang menuntut
keikutsertaan peserta didik secara penuh.
4) Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler dalam suasana yang disukai
dan mengembirakan peserta didik.

5) Etos kerjao yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang membangun semangat


peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil.
6) Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan
untuk kepentingan masyarakat.
3. Sikap Patriotisme
a. Pengertian Patriotisme
Secara etimologi patriotisme berasal dari bahasa Latin: Patria, yang berarti tanah
air. Berdasarkan berbagai kamus dan ensiklopedia, patriotisme diartikan sebagai
kecintaan pada tanah air atau juga ketaatan pada sebuah negara.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI, 1989: 654) ditemukan definisi patriotisme
sebagai berikut, Patriotisme adalah semangat cinta Tanah air atau sikap seseorang yang
sudi mengorbankan segaia-galanya untuk kejayaan bangsa dan negara. Berdasarkan
definisi di atas terkandung makna "kecintaan" atau "patriotisme" seseorang terhadap
tanah airnya itu berwujud totalitas segalagalanya baik berupa pengorbanan jiwa, raga,
pemikiran, atau pun harta yang ditunjukan, tanpa pamrih, untuk kemajuan bangsa dan
negaranya, baik politik sosial, budaya, atau pun Hankam. Menurut Ekajati dalam Nurdin
(2008: 70) pengorbanan itu tergantung pada aneka macam masalah dalam negara,
bangsa, dan masyarakatnya, atau sesuai dengan perkembangan sejarah.
Francis W. Cooker (dalam nurdin 2008: 70) mengemukakan bahwa patriotisme
merupakan suatu atribut yang universal pada setiap manusia, atau pun sebagai
identifikasi individu terhadap kelompoknya. Cooker rupanya ingin mengatakan bahwa
ciri seorang terhadap kelompoknya atau yang mengatakan bahwa ciri seseorang terhadap
kelompoknya atau yang membedakan dengan yang lainnya terhadap kelompoknya dapat
diiihat dari loyalitas orang tersebut terhadap kelompok mana artinya, status kelompok
(kewarganegaraan) seseorang tidak bisa hanya dilihat dari ciri-ciri formal tetapi yang
lebih penting lagi adalah loyalitas orang tersebut.
Dewan Harian Nasional Angkatan Empat Lima dalam Nurdin (2008: 71) lebih
menekankan patriotisme sebagai nilai dalam kaitanya dengan pancasila. Menurut mereka
bahwa patriotisme bersumber pada jiwa dan semangat kesetiakawanan, senasib
sepenangungan, jiwa dan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebersamaan.
Lanjutnya lagi, patriotisme merupakan dasar, daya dorong, dan motivasi yang kuat dalam
tahap perjuangan untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang.
Sejalan dengan itu, dinyatakan pula dalam Britannica Wold Language (1955: 962)bahwa
patriotism dapat timbul oleh berbagai hal:
1) Kekaguman terhadap amanat dan kebiasaan suatu bangsa
2) Kebangg aan terhadap sejarah dan kebudayaannya
3) Rasa memiliki terhadap bangsanya
Sedangkan, menurut Dictionoty of Sociology and Related Science (1962: 215),
bahwa Patriotisme itu timbul berdasarkan pengalaman-pengalaman masa kecil, masa
muda, dan ikatan pertama seseorang terhadap tanah air dan lingkungan masa depannya.
Berdasarkan ketiga sumber di atas, penulis simpulkan bahwa sifat mementingkan
diri sendiri, kelompok, atau golongan, sikap hidup ekslusif, acuh tak acuh terhadap
budaya dan bangsanya, serta tanah aimya, merupakan antagonis dari esensi patriotisme.
Dengan bersemayam pada diri individul suatu kelompok maka motivasi untuk
membangun negara, bangsa, dan masyarakatnya pun akan rendah (bahkan mungkin tidak
ada). Kalaupun ia terlihat melakukan aktivitas (usaha), itu hanya untuk kepentingan
pribadi atau pun kelompoknya saja.
Merujuk pada uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa patriotisme merupakan suatu
nilai (sikap) yang dapat dibaca melalui indikator kecintaan kepada tanah air, kesadaran
berbangsa dan bernegara, keyakinan akan kebenaran Pancasila sebagai ideologi dan

pandangan hidup bangsa yang berwujud kemampuan dan kemauan untuk mengisi dan
mempertahankan kemerdekaan demi kejayaan dan kemakmuran bangsa dan negara.
b. Patriotisme Sebagai Sikap
Patriotisme sebagai sikap dapat dirumuskan bahwa sikap merupakan, ... an
enduring system of positive or negative evaluation, emotional feeling, and pro or action
teridencies with respect to sociat object. Sikap merupakan suatu sistem yang berada
dalam diri seseorang, yang berupa penilaian untuk menyatakan setuju atau tidak setuju
tentang sesuatu objek untuk kemudian mereaksi dan bertirigkah laku terhadap objek
tersebut. Konsep sikap seperti ini menggambarkan adanya tiga komponen, yaitu kognitif,
apektif, dan konatif dalam merespons suatu objek.
Dalam konteks tersebut, sikap dipandang sebagai pengarah atau penuntun suatu
perilaku individu, dalam merefleksikan tindakan terhadap sesuatu objek. Krech et.al.
dalam Nurdin (2008 :77) mengatakan, the social action of individual reflect his attitudes.
Dengan demikian dapat disimpulkan disini bahwa arah perilaku seseorang dapat
diprediksi melalui sikapnya terhadap sesuatu. Lebih lanjut, Krech menyatakan bahwa:
by knowing the attitude of people it is the possible to the something about the prediction
and control of then' behavior. Perubahan perilaku ditentukan oleh perubahan sikapnya
terhadap sesuatu. Ini artinya, untuk mengubah arah atau kecenderungan perilaku
seseorang, harus diawali dengan mengubah sikapnya. if we are to predict the behavior of
the people over extended perlods of time, and if we are to control their action, we must
also know how attitudes develop and hoe the change (Krech, dalam Nurdin (2008 :77).
Sikap didahului oleh keyakinan terhadap objek yang ditanggapi. Latry Winecoff
menyebutkan: Mans attitude are formad ashe ascribes valance (positive or negative) to
object, only a few ofthese carry o strong enough valence determine toward the obiect.
Hal ini dikarenakan sikap berkaitan dengan system nilai yang dianut oleh seseorang,
Knikker dalam Nurdin (2008: 77). Dengan keterkaitan yang kuat atas sesuatu system
nilai tertentu, seseorang akan merljadikannnya sebagai central value dalam menentukan
sikapnya terhadap sesuatu.
Dan berbagai definisi dan uraian di atas, mengutip kesimpulan dari Natawidjaya
dalam Nurdin (2008:78), dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan sikap adalah
kesiapan yang kompleks dari seorang individu untuk melakukan suatu objek; kesiapan
itu mempunyai aspek kognitif, apektif, dan kecenderungan perilaku individu yang
bersangkutan; kesiapan itu merupakan penilaian positif atau negative, dengan intensitas
yang berbeda beda, berlaku untuk kurun waktu tertentu, dan dapat berubah-ubah sesuai
dengan pergeseran waktu; penilaian sebagai sifat kesiapan tersebut, terarah kepada objek
itu sendiri, terhadap kelanjutan dan peristiwa yang menyangkut objek itu, atau terhadap
akibat dari suatu peristiwa yang menyangkut objek itu.
c. Ciri-Ciri Sikap Patriotisme
1) Cinta Kepada Tanah Air
Cinta selalu gemerlapan dengan keindahan dalam wujud fisiknya. Menurut Tom
Morris, bahwa keindahan itu membebaskan, menyegarkan, memulihkan dan mengilhami.
Keindahan membebaskan energi besar, melepaskan wawasan terdalam, dan
menghubungkan orang dengan minat tertinggi. Right or wrong my country, demikian
ungkapan dalam bahasa lnggris sebagar pernyataan cinta kepada tanah air. Tidak salah
apabila George Herbert yang hidup pada abad-l7 mengiaskan keindahan ibarat banteng
yang mampu menarik lebih banyak orang Morris dalam Budiyono (2007: 86). Semakin
ingin memperindah dan memperkaya mosaik tanah air, semakin dibutuhkan karya unggul
dan cemerlang dari setiap warga negara. Karya unggul dan cemerlang dapat dihasilkan
dengan suatu kekuatan kemampuan. Oleh karena itu, kekuatan kecintaan kepada tanah

air sangat diharapkan dimiliki oleh setiap warga negara yang ingin disebut sebagai
patriot.
Cinta akan Tanah Air danBangsa menegaskan nilai sosial dasar. Dengan ini
Wawasan Kebangsaan menempatkan penghargaan tinggi akan kebersamaan yang luas,
yang melindungi masing-masing warga dan menyediakan tempat untuk perkembangan
pribadi bagi setiap warga negara.
2) Semangat Membela Tanah Air
Semangat yang dalam kamus merupakan salah satu pengertian dari kata spirit
(Bahasa Inggris) tidak cukup hanya terkait kepada kehidupan keagamaan. Semangat atau
spirit dalam konteks pekerjaan merupakan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi.
Demikian pula, semangat dalam konteks kehidupan sebagai warga negara harus
terpenuhi. Semangat dalam konteks prekerjaan merupakan fenomena mikro, sedangkan
semangat dalam konteks warga negara merupakan fenomena makro. Pekerjaan bisa
memberikan kepuasan dan memiliki arti hanya jika pekerjaan itu memberikan
sumbangan dalam memenuhi kebutuhan spiritual kita Monis dalam Budiyono (2007 :89).
Artinya bahwa semangat itu merupakan kebutuhan untuk memperoleh kepuasan.
Pembelaan tanah air dalam berbagai bentuk pekerjaan yang mulia atau dibenarkan
oleh agama dan pandangan umum (comman sense) tidak terlepas dari kebutuhan
semangat untuk memperoleh kepuasan. Semakin terikat setiap warga negara kepada
pekerjaannya, semakin kuat semangatnya dan semakin besar kepuasan yang
diperolehnya. Semakin terikat seorang kepada pekerjaan semakin banyak ia memahami
dan mendalami pekerjaan itu. Pada gilirannya, semangatnya semakin kuat dari waktu ke
waktu, artinya semangatnya tidak pernah padam.
Semangat dapat menular dan ditularkan kepada orang lain, atau orang lain akan
ikut bersemangat dalarn pekerjaan mereka. Bukan berarti bahwa semangat itu tidak
pernah terkendala atau menghadapi tantangan. Tidak tertutup kemungkinan semangat itu
pudar atau sirna pada setiap orang karena suatu musibah tetapi semangat yang sejak dari
awal sudah menetap berakar pada jiwa orang itu akan bangkit dan menantang lagi
Kondisi demikian ini menjadikan seseorang memiliki kedayatahanan (adversity) atau
keuletan. Inti semangat adalah keterikatan, jatuh dan bangun tetap dalam keterikatan.
Semangat membela tanah air adalah keterikatan kepada kemajuan dan keutuhan
bangsa dan negara. Keterikatan kepada keutuhan bangsa dan negara adalah keterikatan
sesama warga negara, antara warga negara dan seluruh nusantara serta seluruh isinya
atau seluruh alamnya yang berada di darat, laut dan udara. Itulah makna semangat
membela tanah air, suatu keterikatan dan keutuhan yang tertinggi, tidak dapat ditawar
lagi.
Pendekatan dan langkah-langkah penelitian
Menurut jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan
menggunakan metode studi deskriptif, yaitu metode yang diarahkan untuk memecahkan
masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan apa adanya hasil penelitian.
Ketepatan penentuan metode ini didasarkan pada pendapat Winarno Surachmad
(1982:139), bahwa aplikasi metode ini dimaksudkan untuk penyelidikan yang tertuju
pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Nasution (1998:41) menjelaskan bahwa
penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang
situasi-situasi sosial dengan memusatkan pada aspek aspek tertentu dan sering
menunjukkan pengaruh antara berbagai variabel. Pemilihan metode deskriptif dalam
penelitian ini juga karena masalah yang sedang diteliti merupakan masalah yang sedang
berlangsung di lingkungan sekolah.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk penelitian survei.


Menurut Kerlinger (2002:660) penelitian survai mengkaji populasi yang besar maupun
yang kecil dengan menyeleksi serta mengkaji sampel yang dipilih dan populasi itu untuk
menemukan isidensi, distribusi dan interlelasi relatif dan variabel-variabel sosiologi dan
psikologt. Penelitian survsi pada umumnya dilakukan untuk mengambil suatu
generalisasi dan pengamatan yang tidak mendalam. Menurut tingkat ekspalansinya,
penelitian ini termasuk ke dalam penelitian asosiatif. Penelitian asosiatif adalah
penelitian yang mencari pengeruh antara satu variabel dengan variabel yang lainnya
(Sugiyono, 2006:11)
Teknik pengumpulan data
Nasir (2003: 328) mengatakan bahwa teknik pengumpulan data merupakan alatalat ukur yang diperlukan dalam melaksanakan suatu penelitian. Data yang akan
dikumpulkan dapat berupa angka-angka, keterangan tertulis, informasi lisan dan beragam
fakta yang berpengaruh dengan fokus penelitian yang diteliti. Sepengaruh dengan
pengertian teknik pengumpulan data dan wujud data yang akan dikumpulkan, maka
dalam penelitian ini digunakan tiga teknik utama pengumpulan data, yaitu studi teknik
angket, wawacara dan dokumentasi.
Digunakannya teknik anket, wawancara dan dokumentasi disebabkan adanya
seluk-beluk pengambilan data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti (atau petugas-petugasnya) dan sumber pertamanya. Di samping data primer
terdapat data sekunder, yang seringkali juga diperlukan oleh peneliti. Data sekunder itu
biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumendokumen, misalnya data mengenai
keadaan demografis suatu daerah, data mengenai produktivitas suaru pergunuan tinggi,
data mengenai persediaan pangan di suatu daerah, dan sebagainya,(Suryabrata 2003: 39)
1. Angket
Menurut Nasution (2008:128) dikatakan bahwa angket atau quisioner adalah daftar
pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat
juga di jawab di bawah pengawasan peneliti. Dimana responden ditentukan berdasarkan
teknik sampling.
Dalam penelitian ini angket disebarkan pada responden dalarn hal ini
anggota/siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, Paskibra dan PMR.
Pemilihan dengan model angket ini siswa akan dilacak tentang berbagai hal tentang
kegiatan ekstrakurikuler disekolah, angket pada dasarnya : (a) responden memiliki waktu
untuk menjawab pertanyaanpertanyaan atau pernyataan-pernyataan, (b) setiap responden
menghadapi susunan dan cara pengisian yang sama atas pertanyaan yang diajukan, (c)
responden mempunyai kebebasan memberikan jawaban, dan (d) dapat digunakan untuk
mengumpuikan data atau keterangan dan banyak responden dan dalam waktu yang cepat.
Melalui teknik model angket tertutup karena menurut Sugiyono (2008: 142 ) pertanyaan
tertutup akan membantu responden untuk menjawab dengan cepat, dan juga
memmudahkan penelifi dalam mealakukan analisis data terhadap seluruh angket yang
terkumpul. Dalam ini akan dikumpulkan data vang sempa jawaban tertulis dan responden
atas sejumlah pertanyaan yang diajukan di dalam angket tersebut. Indikator-indikator
yang merupaan penjabaran dan variabel pengembangan budaya kewarganegaraan (X 1),
dan kegiatan ekstrakurikuler (X2), terhadap pengembangan sikap patriotisme (Y).
merupakan materi pokok yang diramu menjadi sejumlah pernyataan di dalam angket.
2. Wawancara
Menurut Nasution (2008 : 113) menyatakan bahwa wawancara atau interview
adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan
memperoleh informasi.

Untuk memperoleh keterangan yang ada kaintannya dengan penelitian yang


dilaksanakan, maka dilakukan tanya jawab dengan siswa, guru PKn serta Kepala sekolah
serta staf tata usaha sebagai sumber yang dapat dipercaya atau pihak-pihak terkait yang
dapat memberikan masukan bagi penelitian. Dalam hal ini peneliti mengajukan beberapa
pertanyaan yang langsung dilontarkan pada sumber dan diperolehlah jawaban lebih
lanjut.
3. Studi dokumentasi
Studi dokumenter menurut Margono (2007: 181) menyatakan bahwa studi
dokumenter adalah cara menumpulkan data melalur peninggalan tertulis, seperti arsiparsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori dalil dan hukum-hukum, dan
lain-lain yang brehubungan dengan masalah penelitian.
Studi dokumentasi dalam pengumpulan data penelitian ini dimaksudkan sebagai
cara mengumpulkan data dengan mempelajari dan mencatat bagian-bagian yang
dianggap penting dan berbagai risalah resmi yang terdapat baik di lokasi penelitian
maupun di instansi lain yang ada pengaruhnya dengan lokasi penelitian.
Dalam penelitian ini dokumen yang diperlukan adalah berupa dokumen berupa
surat-menyurat yang terdiri dari surat izin penelitian baik dari lembaga seperti dari dinas
pendidikan dan dari sekolah dan sebagainya kemudian dokumen berupa peta lokasi
tempat penelitian
Teknik analisis data
Kegiatan yang cukup penting dalam keseluruhan proses penelitan adalah
pengolahan data. Dengan pengolahan data dapat diketahui tentang makna dan data yang
berhasil dikumpulkan. Dengan demikian hasil penelitianpun akan segera diketahui.
Dalam pelaksnaannya, pengolahan data dilakukan melalui bantuan kompuier dengan
program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 13.
Pengolahan data dimulai dari: (a) Menyeleksi data, (b) Pemberian koding, (c)
Tabulasi. (d) Uji normalitas pengujian. Umumunya analisis data dimulai dari: (1)
korelasi, (2) regresi linear berganda, dan (3) analisis jalur (path analysis). Untuk lebih
jelasnya teknik pengolahan data dan analisis data dilakukan melalui tahap-tahap berikut:
(a) Menyeleksi data. Menyeleksi data agar dapat diolah lebih lanjut, yaitu dengan
memeriksa jawaban responden sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan.
(b) Pemberian koding. Penentuan kode nilai untuk setiap jawaban pada setiap item
variabel penelitian untuk setiap responden dengan menggunakan skala penilaian
yang telah ditentukan.
(c) Tabulasi. yaitu usaha penyajian data, terutama pengolahan data yang menjurus ke
analisis kuantitatif, biasanya menggunakan tabel, baik tabel distribusi frekuensi
maupun tabel silang.
(d) Metode Successive Interval (MSI). Metode ini untuk mentransformasi data dan
merubah data yang berskala ordinal menjadi berskala interval. Analisis regresi dan
korelasi produk moment merupakan bagian dari statistika parametrik yang
mensyaratkan skala minimal interval sehingga data ordinal hasil kuesioner perlu
dinaikan atau ditransformasikan menjadi skala interval melalui Metode Successive
Interval (MSD). Transformasi data ini dilakukan pada setiap item pertanyaan.
Tahap-tahap dari Metode Successice Interval adalah sebagai berikut:
1. Menentukan frekuensi responden yang memberikan respon terhadap setiap item
kuisioner
2. Membuat proporsi untuk setiap bilangan frekuensi.
3. Menjumlahkan proporsi secara berurutan untuk setiap respon, sehingga
diperoleh nilai proporsi kumulatif.
4. Cari peluang desintasnya dari tabel normal.

5. Menentukan nilai Z untuk setiap kategori, dengan asumsi bahwa proporsi


kumulatif dianggap mengikuti distribusi normal baku.
6. Menghitung SV (scale value)
7. SV (scale value) yang nilainya terkecil (yang memiliki harga negative tersebut),
diubah menjadi sama dengan satu (=1)
8. Menstrasformasikan nilai skala dnegna menggunakan rumus y = sv + sv min
(e) Melakukan analisis secara deskriptif, untuk mengetahui kecenderungan data. Dari
analisis ini dapat diketahui rata-rata median, standar deviasi, dan varians data dari
masing-masing variabel.
(f) Pemeriksaan distribusi populasi data sampel. Pengujian normalitas distribusi data
untuk mengetahui sebaran data, apakah data berdistribusi normal atau tidak. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap pemilihan uji statistik yang dipergunakan apakah
prametrik atau nonparametric. Uji normalitas menggunakan uji Lilifors.
Hasil penelitian
Hasil analisis deskriptif ini berupa hasil uji kecendrungan terhadap data hasil
penelitian sebanyak 150 orang responden yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
Pramuka, Paskibra dan PMR. Deskripsi tentang pengembangan budaya
Kewarganegaraan (Civic Culture) terhadap siswa SMA Negeri di kota Pontianak terdiri
dari indikator Keadaban, Tanggung Jawab, kepeciulian.keterbukaan, toleransi serta Cinta
Tanah Air.
Dari indikator-indikator yang terdapat dalam budaya Kewarganegaraan (civic
culture) dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Keadaban (civility), yaitu sikap hormat kepada orang lain dan berpartisipatif dalam
kehidupan masyarakat, dengan membiasakan siswa berbicara dengan tidak
menyinggung perasaan orang lain, bersifat sabar, mau menerima pndapat orang lain
serta mau mendengar pendapat orang lain
b. Tanggung jawab (responsibility), yaitu sikap yang mengarah pada disiplin diri (self
responsibility), dengan membiasakan untuk tidak terlambat tiba disekolah, selalu
mengeksprsikan keinginannya pada tempat yang sudah disediakan, ikut kerja bakti,
membiasakan menggunakan sarana umum dengan baik dan tertib, membiasakan diri
menjaga fasilitas umum serta membiasakan diri tidak berbuat onar.
c. Kepedulian, yaitu sikap kepdulian terhadap masyarakat yang membiasakan siswa
untuk selalu memberi maaf dan selalu membela yang benar.
d. Keterbukaan, yaitu sikap yang mencakup keterbukaan, skeptisme, sikap kompromi
yang mencakup prinsip-prinsip penyelesaian konfl ik termasuk berani mengemukakan
pendapat serta dapat menghargai pendapat orang lain.
e. Toleransio, yaitu sikap yang mengakui dan menghargai perbedaan dalam pergaulan
sehari-hari demi untuk menjaga dan memelihara kebersamaan yang dijiwai oleh
persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan membiaskan Menghormati orang lain yang
berbeda agama untuk menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaannya, seperti.
Mendengarkan orang lain yang sedang berbicara; Suka merninta pendapat orang lain;
Mempertimbangkan pendapat orang lain yang lebih baik; Mau menerima pendapat
orang lain yang dinilai lebih baik, mau memberikan pendapat secara tulus;
Memberikan pendapat dengan menggunakan tatakram: dan santun bahasa yang baik;
Bersikap cermat dalam mendengarkan pendapat orang lain, Bersifat antisipatif
terhadap keputusan pemecahan masalah yang diambil, seperti. Tidak mengambil hak
orang lain dengan cara apapun; selalu menjaga agar tidak mengganggu orang lain
dengan tidak mencemoohkan orang lain karena berbeda bahasa dan budaya

f. Cinta tanah air. Sikap dan prilaku yang mencerminkan kepedulian terhadap bangsa
dan negara yang tercermin dari ketaatan, kepafuhan, ketertiban, kesetiaan dan
keteraturan prilaku terhadap norma dan aturan yang berlaku.
Dari data yang terkumpul berdasarkan jawaban pada angket yang ditujukan pada
siswa maka diperoleh hasil seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2
Variabel X1 Budaya Kewarganegaraan (Civic Cultare)
Pilihan Jawaban
Frekuensi
Presentase
Tidak Setuju
35
1,17%
Ragu-ragu
245
8,51%
Setuju
550
18,42%
Sangat setuju
2147
71,90%
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa 71,90% dari 150 orang siswa artinya
ada sekitar 109 orang siswa yang menjawab sangat setuju dan ada 18,42% atau 28 orang
menjawab setuju bahwa pengembangkan budaya kedaban, tanggung jawab, kepedulian,
keterbukaan, toleransi dan cinta tanah air dapat mengembangkan budaya
kewarganegaraan disekolah dalam rangka peningkatan sikap patriotisme. Dan ada 13
orang siswa atau 8,51% menjawab ragu bahwa budaya kedaban, tanggungjawab,
kepedulian, keterbukaan, toleransi dan cinta tanah air dapat mengembangkan budaya
kewarganegaraan di sekolah dalam rangka peningkatan sikap patriotisme. Sementar
hanya 1,l7% artinya ada 2 orang siswa yang mengatakan bahwa tidak setuju kalau unsurunsur keadaban, tanggung jawab, kepedulian, keterbukaan, toleransi dan cinta tanah air
dapat mengembangkan budaya kewarganegaraan disekolah dalam rangka peningkatan
sikap patriotism.
Dari tabel serta deskirpsi data primer yang didapatkan berdasarkan pengisian
angket yang ditujukan kepada siswa serta di tambah dengan hasil wawancara yang
dilakukan dan ditujukan kepada guru PKn, maka dapat disimpulkan bahwa
pengembangan budaya kewarganegaran dapat dimulai dengan menjadikan dan
membiasakan unsur-unsur dari kebaikan warga negara (civic virtue) yang diterjemahkan
kedalam konteks budaya kedaban (sopan santun), tanggung jawab, kepedulian,
keterbukaan, toleransi dan cinta tanah air dirasa sudah relevan untuk dapat
mengembangkan budaya kewarganegaraan disekolah dalam rangka peningkatan sikap
patriotism
Untuk variabel X2 yaitu tentang Kegiatan Ekstrakurikuler yang terdiri dari
Indikator Kegiatan Pramuka, Paskibra, PMR.
Dari indikator-indikator yang terdapat dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Pramuka
Kegiatan PRAMUKA juga sebagai sarana organisasi di sekolah dimana mereka juga
dapat mengembangkan jiwa kepemimpinan, menyelesaikan masalah dengan bekerja
sama saling menerima pendapat dan menerima pendapat dengan lapang dada,
memutuskan suatu keputusan dengan tidak terburu-buru yaitu memutuskan masalah
dengan didasari pikiran yang jernih, penuh pertimbangan dan cepat tanggap pada
suatu permasalahan yang ada di sekitarnya. Yang nantinya sikap-sikap seperti ini bisa
diterapkan di masyarakat sekitarnya dan berguna untuk kehidupannya pada masa
mendatang.
b. Paskibra
Dalam kegiatan ini siswa diarahkan untuk memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme
kebangsaan yang tinggi dan diharapkan dapat menjadi contoh dan teladan yang

nantinya akan bermanfaat bagi dirinya dimasa mendatang maupun bagi masyarakat
dengan mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan memiliki rasa bangga
terhadapnya dan terhadap bangsa Indonesia Tercinta.
c. PMR
Kegiatan PMR adalah suatu kegiatan yang positif dimana setiap siswa dapat saling
membantu untuk menghadapi masalah dalam keadaan yang sulit tetapi bisa cepat
menyelesaikannya dengan pikiran yang jernih. Dalam kegiatan ini siswa banyak
dibekali dengan pelajaran yang bermoral dan jiwa kemanusiaan yang tinggi, saling
tolong menolong, membantu sesama dalam keadaan yang sulit sekalipun dan
diharapkan bisa diterapkan di masyarakat nantinya di kehidupannya serta bermanfaat
pada kehidupan yang mendatang.
Dari data yang terkumpul berdasarkan jawaban pada angket yang ditujukan pada
siswa maka diperoleh hasil seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 4.3
Variabel X2 Kegiatan Ekstrakurikuler
Pilihan Jawaban
Frekuensi
Presentase
Tidak Setuju
43
1,44%
Ragu-ragu
256
8,64%
Setuju
1396
46,77%
Sangat setuju
1288
43,15%
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa 43,15% atau 46 dari 150 orang siswa
yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler (Pramuka, Paskibra dan PMR) yang dijadikan
sampel mengatakan sangat setuju dan 46,77% atau 70 siswa yang mengatakan setuju
artinya bahwa dengan kegiatan Pramuka, Paskibra dan PMR dapat mengembangkan
budaya kewarganegaraan disekolah dalam rangka peningkatan sikap patriotisme.
Sedangkan hanya 1,44% artinya ada sekitar 2 orang siswa yang mengatakan bahwa tidak
setuju kalau kegiaran Pramuka, Paskibra dan PMR agar dapat dijadikan sebagai
media/wadah dalam mengembangkan budaya kewarganegaraan disekolah dalam rangka
peningkatan sikap patriotisme, dan ada 8,64% atau 38 orang siswa menjawab ragu bahwa
kegiatan Pramuka, Paskibra dan PMR dapat mengembangkan budaya kewarganegaraan
disekolah dalam rangka peningkatan sikap patriotisme.
Dari tabel serta deskirpsi data primer yang didapatkan berdasarkan pengisian
angket yang ditujukan kepada siswa serta di tambah dengan hasil wawancara yang
dilakukan dan ditujukan kepada guru PKn, maka dapat disimpulkan bahwa
pengembangan kegiatan Pramuka, Paskibra dan PMR sebagai kegiatan ekstrakurikuler
yang mengarah kepada sikap dan nilai serta kebiasan warga negara yang positif (civic
disposition) yang dirasa sudah relevan dan cocok untuk di integrasikan kedalam PKn
rangka untuk dapat mengembangkan budaya kewarganegaraan di sekolah dalam rangka
peningkatan sikap patriotisme.
Untuk variabel Y yaitu tentang Sikap Patriotisme terdiri dari lndikator Cinta
kepada tanah air dan Membela tanah air:
Untuk variabel Y yaitu tentang Sikap Patriotisme terdiri dari Indikator Cinta
kepada tanah air dan Membela tanah air Dari indikator-indikator yang terdapat dalam
kegiatan sikap patriotisme dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Cinta Kepada Tanah Air
Adalah rasa mencintai ranah Air dan Bangsa yang mendorong setiap warga negara
untuk lebih mengenal dan menghayati, adat istiadat dan kehidupan Bangsa Indonesia
yang beraneka ragam coraknya dari seluruh Tanah Air.
b. Membela Tanah Air

Adalah semangat membela tanah air adalah keterkaitan kepada kemajuan dan
keutuhan bangsa dan negara. Dalam hal ini adalah keterikatan kepada keutuhan
bangsa dan negara adalah keterikatan sesama warga negara, antara warga negara dan
seluruh nusantara serta seluruh isinya atau seluruh alamnya yang berada di darat,laut
dan udara.
Dari data yang terkumpul berdasarkan jawaban pada angket yang ditujukan pada
siswa maka diperoleh hasil seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 4.4
Yariabel Y Pengembangan Sikap Patriotisme
Pilihan Jawaban
Frekuensi
Presentase
Sangat Tidak Setuju
279
6,23%
Tidak Setuju
217
4,85%
Ragu-ragu
636
14,21%
Setuju
1390
31,05%
Sangat setuju
1954
43,66%
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa 43,66% atau 65 dari 150 dan 47 atau
3l,05% orang siswa yang dijadikan sampel menjawab option sangat setuju dan setuju
bahwa dengan meningkatkan sikap cinta kepada tanah air dan rela membela tanah air
dapat meningkatan sikap patriotisme. Sedangkan ada 4,85% atau 7 orang siswa
mengatakan tidak setuju bahwa cinta kepada tanah air dan membela tanah air dapat
meningkatan sikap patriotisme, sementara ada 6,23% siswa atau sekitar 9 orang siswa
mengatakan sangat tidak setuju yang artinya mengindikasikan bahwa sikap cinta kepada
tanah air dan membela tanah air tidak dapat meningkatan sikap patriotisme dan ada juga
sekitar 14,21% atau 21 orang siswa menjawab ragu bahwa sikap cinta kepada tanah air
dan membela tanah air dapat meningkatan sikap patriotisme.
Dari tabel dan deskirpsi data primer yang didapatkan berdasarkan pengisian angket
yang ditujukan kepada siswa serta di tambah dengan hasil wawancara yang dilakukan
dan ditujukan kepada guru PKn , bahwa dengan mengembangkan sikap cinta kepada
tanah air dan rela membela tanah air, dapat dimulai dengan dengan memasukkan unsurunsur dari pengembangan budaya kewarganegaraan (civic cultrter) dan nilai serta muatan
dari kegiatan ekstrakurikuler, dirasa sudah relevan dan cocok untuk di integrasikan
menjadi suatu upaya yang kongkret dalam rangka peningkatan sikap patriotisme
dikalangan siswa.
a. Kesimpulan Umum
Berdasarkan sejumlah temuan penelitian yang telah diuraikan pada pembahasan hasil
penelitian tampak bahwa pengembangan budaya kewarganegaraan (civic culture) melalui
kegiatan ekstrakurikuler dirasa sudah mampu untuk meningkatkan sikap patriotisme, hal
itu ditunjukkan oleh diterimanya nilai dari kebajikan warga negara (civic virtue) yang
rnenjadi kebiasaan disekolah seperti sikap sopan santun, sikap tanggung jawab, sikap
kepedulian, keterbukaan, toleransi serta cinta tanah air dengan nilai-nilai
kewarganegaraan yang ada didalam kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, Paskibra dan
PMR dirasa sudah marnpu untuk mewujudkan aspek dari civic disposition, yang
tujuannya untuk mengarahkan siswa kepada kebiasan berpikir kearah peningkatan sikap
patriotisme dikalangan siswa.
b. Kesimpulan Khusus
1. Bahwa pengembangan budaya Kewarganegaraan (civic culture) berkontribusi positif
dan signifikan terhadap pengembangan sikap patriotisme. Itu menunjukkan bahwa
pengaruh dari pengembagan budaya kewarganegaraan (civic culture) terhadap
pengembangan sikap patriotisme, memberi pengaruh yang positif dan signifikan

terhadap prilaku siswa yang diyakini mampu mendorong siswa lebih taat dan patuh
(keadaban), rasa tanggung jawab, memiliki sikap kepedulian antar sesama, sikap
keterbukaan, rasa toleransi serta cinta tanah air. Dimana dimensi itu telah dapat
dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan melalui sejumlah karakteristik
kebajikan kewarganegaraan (civic virtue) yang bersumber pada budaya sehari-hari
yang diterapkan siswa di sekolah, dalam hal ini bagaimana sikap siswa menjadikan
prilaku-prilaku kesaharian siswa dalam pergaulan baik di sekolah maupun di luar
sekolah.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan juga bahwa kegiatan
ekstrakurikuler berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan sikap
patriotisme. Itu ditunjukkan dimana besar kontribusi dari kegiatan ekstrakurikuler
yang terdiri dari kegiatan Pramuka, Paskibra dan PMR terhadap pengembangan sikap
patriotisme, dimana nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing kegiatan
ekstrakurikuler dapat dikatakan telah meninggalkan nilai-nilai kewarganegaraan dan
sikap patriotisme. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam kegiatan ekstrakurikuler yang
secara global mencerminkan sikap patriotisme seperti nilai ketaqwaan, nilai kejujuran,
nilai kedisiplinan, nilai kebersamaan, nilai tanggungjawab, nilai keadilan, nilai
toleransi, nilai cinta tanah air, nilai sportifitas, nilai persaudaraan, nilai kerjasama serta
tanggung jawab sosial, nasionalisme serta patriotisme. Dari paparan tentang nilai-nilai
yang ada diatas maka pantaslah bahwa kegiatan ekstrakurikuler berkontribusi positif
terhadap peningkatan sikap patriotisme.
3. Berdasarkan hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa pengembangan budaya
kewarganegaraan (civic culture) dan kegiatan ekstrakurikuler secara bersama-sama
berkontribusi positif dan signifi kan terhadap pengembangan sikap patriotisme. Itu
menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara civic culture
dengan core atau berintikan kebajikan warga negara (civic vitue) dan kegiatan
ekstrakurikuler yang berintikan civic disposition terhadap pengembangan sikap
patriotisme.
2a. Proposal penelitian memiliki fungsi peran yang sangat penting dalam sebuah penelitian,
kita ketahui bersama sebuah penelitian memerlukan rencana yang sangat matang agar
penelitian yang dilakukan berjalan sebagaimana yang diharapakan oleh peneliti. Untuk
itulah diperlukan proposal sebagai gambaran dan rancangan awal bagaiman dan seperti
apa penelitian yang akan dilakukan oleh seorang peneliti. Sehingga disini secara umum
fungsi peran dari sebuah proposal penelitian adalah untuk memberikan gambaran
mengenai masalah yang diambil dalam sebuah penelitian tersebut. Juga untuk
mengetahui tujuan serta cara memecahkan masalah yang akan ditempuh peneliti melalui
penelitian yang akan dikalakukan. Selain fungsi peran secara umum proposal penelitian
juga memiliki fungsi peran secara khusus. Adapun fungsi peran proposal penelitian
secara khusus yaitu:
1) Meyakinkan orang lain bahwa penelitian yang akan dilakukan memilki manfaat dan
sangat penting untuk dilakukan;
2) Menunjukkan bahwa bidang yang akan diteliti oleh peneliti merupakan suatu kajian
yang dikenal baik dan secara pasti serta merupakan bidang kompetensi peneliti dalam
mekaksanakan penelitian yang akan dilakukannya;
3) Menjadi dokume kontrak informal bagi peneliti dengan penyandang dana (sponsor),
sebagai kesepakatan tentang ruang lingkup kegiatan penelitian yang akan dilakukan
oleh peneliti;
4) Menjamin semua aspek penelitian yang akan dilakukan telah dipertimbangkan dan
direncanakan secara matang;

5) Menjadi kerangka dasar acuan bagi peneliti dalam melaksanakan proyek penelitianya,
sehinga penelitiannya dapat dikendalikan dan berjalan sesuai dnegan rencana yang
telah ditetapkan.
2b. Dalam sebuah proposal harus terdapat aspek/komponen yang sistematis dan jelas agar
layak disebut sebagai sebuah proposal penelitian. Adapaun proposal penelitian memiliki
aspek/komponen sebagai berikut:
1) Judul Penelitian
Judul Penelitian perupakan identitas penelitian yang menggambarkan penelitian
seperti apa yang akan diambil oleh seorang peneliti. Dalam sebuah judul penelitian
tidak boleh melebihi 15 karekter, sehingga perlu keterampilan dari seorang peneliti
dalam merumuskan judul yang dingkat namun dapat mengakomidasi dari ini
penelitian yang akan diambil.
2) Pendahuluan (Latar Belakang Masalah)
Merupakan uraian hal-hal yang menyebabkan ata melatar belakangi perlunya
dilakukan penelitian terhadap sesuatu masalah yang muncul dapat ditulis dalam
bentuk uraian paparan, atau poin-poinnya saja.
3) Rumusan Masalah
Perumusan masalah atau research questions dan sering juga disebut juga sebagai
research problem, adalah merupakan rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena,
baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya
sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang
lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.
4) Tujuan Penelitian
Merupakan fokus yang ingin dicapai dari diadakaanya sebuah penelitian, juga
merupakan jawaban yang ingin diperoleh dari rumusan masalah.
5) Manfaat Penelitian
Melalui manfaat penelitian akan ditentukan sumbangsih apa yang bisa diberikan
nantinya dari adannya penelitan tersebut.
6) Definisi Oprasional
Merupakan konsep awal atau definisi singkat dari variabel yang akan diambil dalam
sebuah penelitian.
7) Kajian Teori
Merupakan penjelasan secara mendalam teori-teori yang digunakan di dalam
penelitian. Berisikan teori-teori yang mendukung dalam penelitian tersebut.
8) Metode Penelitian
Merupakan penjelasan akan metode, langkah, tekhnik pengumpulan data, bahkan
analisis data yang digunakan dalam penelitian. Metode-metode yang digunakan
haruslah jelas dan mendasar agar data yang diperol bisa dipertanggungjawabkan dan
terbukti kebenarannya.
9) Daftar Pustaka
Merupakan daftar rujukan dari proposal penelitian, berbagai teori-teori yang diambil
di dalam proposal penelitian bisa dilihat dari mana sumbernya melalui daftar pustaka
ini.
3a. Dalam sebuah penelitian laporan penelitian memilki peranan yang sangat penting karena
sebagai gambaran bagaimana serta hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Proposal
penelitian sendiri merupakan uraian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan
penelitian. Jadi dengan adanya laporan penelitian ini berbagai pihak yang ingin
mengetahui tentang bagaimana serta hasil dari suatu penelitian tertentu dapat mengetahui

dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan orang tersebut. Selain itu laporan
penelitian juga bisa sebagai bukti bahwa seorang peneliti telah melakukan penelitian
sehingga berbagai teori baru yang mungkin ditemukan dalam sebuah penelitian dapat
dipertanggungjawabkan oleh si peneliti melalui hasil penelitiannya.
Dalam menyusus laporan penelitian pun tidaklah bisa sembarangan, harus mengikuti
aturan yang telah ada. Karena jika menyusun laporan penelitian tidak sesuai dengan
ketentuan dan kaidah yang berlaku bisa terjadi kerancuan dalam hasil penelitian yang
dilaporkan. Makadari itu dalam menyusn laporan penelitian yang baik haruslah
menyajikan fakta-fakta dan pemikiran yasil penelitian yang sudah dilaksanakan. Laporan
penelitian yang baik harus memiliki ciri efektivitas sebuah laporan dimana harus
objektifi, lengkap, jelas, singkat, padat, dan berorintasi pada pembaca.
Ada beberapa hal yang harus diketahui oleh seorang yang akan menyusn laporan
penelitian, diantaranya:
1) Tujuan dari penyusunan laporan penelitian haruslah jelas, agar nantinya laporan
penelitian dibut tidak hanya sekedar saja, namun memilki maksud dan tujuan yang
jelas.
2) Langkah-langkah dalam penelitian harus dilaporkan dengan jelan jalam laporan
penelitian tersebut.
3) Mengemukakan dengan jelas letak dan kedudukan hasil penelitiannya dalam konteks
pengetahuan secara umum.
4) Laporan penelitian yang dibuat nantunya haruslah jelas dan meyakinkan, karena
laporan penelitian bisa menjadi elemen yang penting dalam proses kemajuan ilmu
pengetahuan.
3b. Agar sebuah hasil penelitian dapat bermanfaat dan deketahui publik secara luas baik oleh
peminak nasional maupun internasional, hasil penelitian haruslah dipulikasikan. Ada
beberapa cara dalam mempublikasikan hasil penelitian, adapun cara mempublikasikan
hasil penelitian diantaranya:
1) Mealuli skripsi, tesis maupun disertasi yang merupakan hasil penelitian yang wajib
dibuat sebagai tugas akhir bagi mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi yang
nantinya akan dipublikasikan melalui perpustakaan-perpustakaan masing-masing
perguruan tinggi sebagai referensi mahasiswa lain dalam melakukan penelitian.
2) Melalui artikel ilmiah yang merupakan salah satu bentuk karya ilmiah dari laporan
hasil penelitian yang ditulis dan nantinya akan diterbitkan oleh lembaga-lembaga
tertentu misalnya LPPM
3) Melalui jurna ilmiah, baik jurnal nasional maupun internasional. Jurnal ilmiah ini
nantinya berisikan kumpulan-kumpulan artikel ilmiah yang telah dianggap layak
untuk diterbitkan.
4) Melalui media elektronik merpua website ataupun blogger yang nantinya bisa diakses
melalui internet.
5) Makalah dalam sebuah seminar. Sama seperti artikel pada jurnal ilmiah, makalah pada
umumnya memiliki hipotesis yang nantinya harus dibuktikan kebenarannya melalui
uraian makalah yang bersangkutan.
6) Melalui nonograf, dimana disertasi dan tesis bisa diterbitkan sebagai monograf yang
mertupakan sebuah karya akademik dari sutu pengarang, yang terfokus pada topik
permasalah tertentu dan diuraikan secara rinci dan mendalam.

Daftar Pustaka
Arikunto, S, (2010), Prosedur Pendlitian, Sebuah Pendikatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, A, (2009), Pengaruh Pengembangan Budaya Kewarganegaraan (Civic Culture)
Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Terhadap Pengembangan Sikap Patriotisme
(Studi Deskriptif Kegiatan Ekstrakurikuler Dalam Rangka Pengembangan Budaya
Kewarganegaraan di SMA Negeri Di Kota Pontianak) (Tesis). Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Candra, C, (2012), Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Multikultural
dalam Membangun Warga Negara Demokratis (Penelitian Grounded Theory di
Universitas Negeri Jakarta) (Tesis). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Fadiruli, E, M, (2009) Pengaruh Model Project Citizen dalam Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan terhadap Penanaman Nilai-nilai Anti Korupsi Siswa SMA Pada
Konsep Sistem Hukum dan Peradilan Nasional (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas
X SMA 1 Cimahi) (Tesisi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Mudra, N, (2012), Faktor Determinan Eksisnya Tajen di Bali (Studi Kasus di Desa
Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung) (Skripsi). Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha
Shavab, O, A, K, (2013), Implementasi Pembelajaran Nilai Kejuangan Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682) dalam Membangun Semangat Kebangsaan (Penelitian
Naturalistik Inkuiri di SMA Negeri 1 Baros Kabupaten Serang) (Tesis). Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai