Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

Perbedaan Tekanan Darah Pasca Anestesi Spinal dengan Pemberian


Preload dan Tanpa Pemberian Preload RL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anestesi spinal merupakan anestesi regional yang didapatkan dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal secara langsung ke dalam cairan serebrospinal di dalam
ruang subaraknoid di daerah vertebra L2 - L3 atau L3 - L4. Tujuan tindakan anestesi
spinaladalah mendapatkan efek anelgesik (memblok) dermatom tertentu dan relaksasi otot
rangka. Meskipun anestesi spinal sudah lama dikenal sebagai teknik yang aman, bukan
berarti tanpa resiko atau efek samping.
Hipotensi adalah salah satu efek samping paling sering dialami pada anestesi spinal.
Hal tersebut diakibatkan oleh blokade preganglion serabut simpatis oleh obat anestesi spinal.
Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah rendah yang abnormal, yang ditandai dengan
tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah 90 mmHg, atau dapat juga ditandai dengan
penurunan sistolik mencapai dibawah 25 % dari baseline.Hipotensi dapat dicegah dengan
pemberian preload cairan tepat sebelum dilakukan anestesi spinal atau dengan pemberian
vasopresor contohnya efedrin. Pada beberapa penelitian prehidrasi dengan larutan kristaloid
10 - 20 ml/kg berat badan efektif mengkompensasi pooling darah di pembuluh darah vena
akibat blok simpatis atau pemberian cairan Ringer Laktat 500 - 1000 ml secara intravena
sebelum anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1 - 5 L
cairan elektrolit atau koloid digunakan secara

luas untuk mencegah hipotensi karena

berpengaruh dalam meningkatkan cardiac output. Dasarnya adalah peningkatan volume


sirkulasi untuk mengkompensasi penurunan resistensi perifer.
Pada beberapa penelitian sebelumnya dikatakan bahwa cairan koloid lebih efektif
dalam mengatasi hipotensi akibat anestesi spinal, karena didistribusikan di dalam ruang
intravaskuler dan berat molekul yang relatif besar mempunyai keunggulan dapat
mempertahankan tekanan onkotik dan cairan lebih lama berada dalam ruang intravaskuler
dibandingkan dengan cairan kristaloid. Tetapi koloid jarang dipakai sebagai cairan profilaksis
karena pertimbangan biaya dan bisa menyebabkan anafilaksis walaupun sedikit kejadiannya.
Pada penelitian lain menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai preload pada
tindakan anestesi spinal.
Pasien yang mengalami operasi elektif akan dipuasakan minimal 6 jam. Puasa ini
akan menyebabkan pasien mengalami defisit cairan. Preload yang kita berikan seharusnya
melebihi defisit cairan tersebut sehingga apabila terjadi vasodilatasi karena blok simpatis obat

anestesi, diharapkan cairan yang diberikan dapat mengkompensasinya sehingga hipotensi


tidak terjadi. Pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal lebih efektif dalam
menurunkan insidensi terjadinya hipotensi karena dengan cara ini kristaloid masih dapat
memberikan volume

intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan

venous return dan curah jantung.

B. Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui mekanisme kerja anestesi spinal
2. Mengetahui efek anestesi spinal terhadap sistem kardiovaskuler
3. Mengeahui efek pemberian preload RL terhadap sistem kardiovaskuler
4. Mengetahui proses homeostasis yang terjadi dengan pemberian preload Ringer Laktat
terlebih dahulu sebelum pemberian anestesi spinal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani yang berarti keadaan tanpa rasa
sakit. An tidak atau tanpa dan Aesthesos, persepsi atau kemampuan untuk merasa.
Secara umum Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell
Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum
biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan
pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung,
pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008).
Adapun cara pemberian anestesi umum, yaitu secara parenteral (intramuscular/
intravena), perektal, dan inhalasi.

2. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara lokal (setempat)
tanpa disertai hilangnya kesadaran (Bachsinar, 1992). Anestesi lokal bersifat ringan
dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat (Joomla,
2008). Adapaun cara pemberian anestesi lokal, yaitu anestesi permukaan dengan cara
pengolesan atau penyemprotan, anestesi infiltrasi dengan cara penyuntikan obat
langsung diarahkan di sekitar lesi, luka, atau insisi dan anestesi blok dengan cara
menyuntikkan obat langsung ke saraf utama atau pleksus saraf misalnya anestesi
spinal, anestesi epidural, dll.

2.2 Anestesi Spinal


Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan
obat anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid pada tindakan bedah yang memerlukan
waktu yang cepat. Dimana teknik pemberian obat dilakukan dengan cara menyuntikkan
anestetik lokal secara langsung ke dalam cairan serebrospinal di dalam ruang
subaraknoid di daerah vertebra L2 - L3, L3 - L4 atau L4-L5 (Watsone et al., 2004)
dengan tujuan mendapatkan efek anelgesik (memblok) dermatom tertentu dan relaksasi
otot rangka. Adapun hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis
obat, berat jenis obat, posisi tubuh, bentuk tulang belakang, efek vasokonstriksi, tekanan
intraabdomen, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
1. Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
pangul, dan perineum. Anestesi spinal juga banyak digunakan pada keadaan
khusus,seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang
panggul, dan bedah obstetri.

2. Kontraindikasi
-

Absolut
o Kelainan pembekuan
Bahayanya adalah bila jarum spinal menembus pembuluh darah besar,
perdarahan dapat berakibat penekanan pada medula spinalis.
o Koagulopati atau mendapat terapi koagulan.
o Tekanan intrakranial yang tinggi
o Menyebabkan turunnya atau hilangnya liquor sehingga terjadi penarikan otak.
o Pasien menolak persetujuan.
o Infeksi kulit pada daerah pungsi
o Fasilitas resusitasi minim
o Kurang pengalaman atau / tanpa didampingi consult
o Hipotensi, sistolik di bawah 80 90 mmHg, syok hipovolemik
o Blok simpatis menyebabkan hilangnya mekanisme kompensasi utama

Relatif
o Infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
o Infeksi sekitar tempat suntikan

o Nyeri punggung kronis


o Kelainan neurologis
o Penyakit saluran nafas
Blok spinal medium atau tinggi dapat menurunkan fungsi pernafasan.
o Penderita psikotik, sangat gelisah, dan tidak kooperatif (kelainan psikis).
o Distensi abdomen
Anestesi spinal menaikkan tonus dan kontraktilitas usus yang dikhawatirkan
dapat mengakibatkan perforasi usus.
o Bedah lama
o Penyakit jantung

3. Teknik
-

Posisi pasien duduk di meja operasi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang
di depan. Pada posisi decubitus lateral, pasien tidur berbaring dengan salah satu
sisi tubuh berada di meja operasi.

Menentukan kembali posisi penusukan jarum spinal, yaitu di daerah antara


vertebra lumbalis (interlumbal).

Melakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.

Melakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial


dengan sudut 100-300 terhadap bidang horizontal kea rah kranial.

Cabut stilet dan cairan serebrospinal akan keluar.

Suntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid.

4. Obat Anestesi
-

Lidokaine 2%: dosis 20-100 mg (2-5ml).

Lidokaine 5%: dosis 20-50 mg (1-2 ml).

Bupivakaine 0.5% : dosis 5-20 mg.

Bupivakaine 0.5% : dosis 5-15 mg (1-3 ml).

5. Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal


-

Volume obat analgetik lokal : makin besar makin tinggi daerah analgesia.

Konsentrasi obat : makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia.

Barbotase : penyuntikan dan aspirasi berulang - ulang meninggikan batas daerah


analgetik.

Kecepatan :penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.


Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.

Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan


akibat batas analgesia bertambah tinggi.

Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4 - 5 obat hiperbarik cenderung


berkumpul ke kaudal ( saddle block ) pungsi L2 - 3 atau L3 - 4 obat cenderung
menyebar ke cranial.

Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.

Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.

Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan ( berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis obat ).

Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

6. Komplikasi Anestesi Spinal


-

Komplikasi tindakan
o Hipotensi berat
o Bradikardi
o Hipoventilasi
o Trauma saraf
o Mual - muntah
o Gangguan pendengaran
o Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan


o Nyeri tempat suntikan
o Nyeri punggung
o Nyeri kepala karena kebocoran liquor
o Retensio urine
o Meningitis

2.3 Tekanan Darah


Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh sirkulasi darah pada dinding
pembuluh darah, dan merupakan salah satu tanda-tanda vital utama. Pada setiap detak
jantung, tekanan darah bervariasi antara tekanan maksimum (sistolik) dan minimum
(diastolik). Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong darah ke
jaringan. Tekanan ini harus diatur secara ketat karena dua alasan. Pertama, tekanan
tersebut harus tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup; tanpa tekanan ini,
otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat seberapapun
penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-organ tersebut yang dilakukan.
Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan beban kerja tambahan
bagi jantung dan meningkatkan resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya
pembuluh-pembuluh halus (Sherwood L, 2011).
Mekanisme-mekanisme yang melibatkan integrasi berbagai komponen sistem
sirkulasi dan sistem tubuh lain penting untuk mengatur tekanan darah arteri rata-rata ini.
Dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi
perifer total. Curah jantung merupakan volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel
per menit dan dipengaruhi oleh volume sekuncup (volume darah yang dipompa oleh
setiap ventrikel per detik) dan frekuensi jantung. Resistensi merupakan ukuran hambatan
terhadap aliran darah melalui suatu pembuluh yang ditimbulkan oleh friksi antara cairan
yang mengalir dan dinding pembuluh darah yang stasioner. Resistensi bergantung pada
tiga faktor yaitu, viskositas (kekentalan), darah, panjang pembuluh, dan jari-jari
pembuluh.

Tabel 1.1 Tekanan Darah Arteri Rata-rata (TDR)


Tekanan arteri rata-rata =
curah jantungx resistensi perifer total
Sumber : Sherwood L, 2011

Tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau oleh baroreseptor yang diperantarai
secara otonom dan mempengaruhi jantung serta pembuluh darah untuk menyesuaikan
curah jantung dan resistensi perifer total sebagai usaha memulihkan tekanan darah ke
normal. Reseptor terpenting yang berperan dalam pengaturan terus menerus yaitu sinus
karotikus dan baroreseptor lengkung aorta (Sherwood L, 2011).

Gambar 1. Lokasi Baroreseptor Arteri

Sumber : Sherwood L, 2011

2.3 Perubahan Tekanan Darah Pasca Anestesi Spinal

Gambar 2. Tekanan Darah Arteri

Sumber : Sherwood L, 2011


Faktor Faktor Yang Berpengaruh Pada Tekanan Darah
1) Tahanan Vaskuler Perifer
Blok simpatis yang terbatas pada daerah thorax bagian bawah dan tengah
menyebabkan vasodilatasi dari anggota badan di bawahnya dengan kompensasi
vasokontriksi anggota badan atasnya. Bila blokade meluas lebih tinggi, vasodilatasi
akan meningkat, dan beberapa saat kemudian kemampuan untuk vasokontriksi
sebagai kompensasi akan menurun.

2) Curah Jantung
Anestesi spinal yang meluas sampai ke level torakal bagian atas atau servikal,
menyebabkan pengurangan yang nyata pada curah jantung karena adanya perubahan
pada laju nadi, venous return dan kontraktilitas.

3) Laju Nadi
Serabut simpatis dari T1 - T5 mengontrol laju nadi. Anestesi spinal yang memblokade
serabut tersebut menyebabkan denervasi yang nyata dari persyarafan simpatis jantung.
Sebagaimana normalnya derajat tonus simpatis terhadap jantung, denervasi tersebut
menyebabkan penurunan laju nadi.

4) Stroke volume
Stroke volume dapat berkurang selama spinal anestesi tinggi dengan pengurangan
pada venous return dan penurunan kontraktilitas jantung.

5) Venous Return
Pada pasien yang tonus simpatisnya sudah dihilangkan, venous return akan tergantung
pada gaya berat dan posisi tubuh. Kontrol simpatis pada sistem pembuluh darah
sesungguhnya untuk mempertahankan venous return dan kardiovaskuler homeostasis
selama perubahan postural. Pembuluh darah vena membentuk sistem tekanan darah
dan merupakan proporsi yang besar dalam darah sirkulasi ( mendekati 70% ). Ketika
anestesi spinal menghasilkan blokade simpatis, kontrol tersebut hilang dan venous
return tergantung gravitasi. Pada anggota badan yang berada dibawah atrium kanan,
pembuluh darah yang didenervasi akan dilatasi, sehingga menyimpan sejumlah besar
volume darah. Gabungan dari penurunan venous return dan curah jantung serta
dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang hebat.

6) Kontraktilitas
Blokade persyarafan simpatis jantung dapat menyebabkan penurunan inotropism atau
sifat inotropiknya yang mengakibatkan penurunan pada cardiac output ( 5% ).

2.5 Efek Hipotensi Terhadap Fungsi Organ


1. Susunan Saraf Pusat
Hipotensi menyebabkan penurunan aliran darah ke otak (CBF) sehingga dapat
menyebabkan iskemi serebral yang berefek pada terjadinya gejala sisa neurologi.
Autoregulasi serebral adalah kemampuan otak untuk memper-tahankan CBF tetap
konstan, baik pada keadaan dimana terjadi perubahan pada tekanan darah sistemik
ataupun tekanan perfusi serebral (CPP) yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon
terhadap berkurangnya aliran darah atau iskemia. Autoregulasi ini berlangsung jika
tekanan arteri rerata (MAP) berada pada 60-150 mmHg. Batas bawah tekanan darah
sistolik adalah 85 mmHg dan 113 mmHg pada pasien dengan hipertensi. Jika MAP
lebih rendah dari batas bawah autoregulasi (60mmHg), aliran darah ke otak akan
menurun.

2. Sistem Kardiovaskular
Ketika curah jantung menurun, baroreseptor yang berada di jantung, aorta dan arteri
karotid terangsang untuk meningkatkan laju jantung dan pelepasan katekolamin
menyebabkan vasokonstriksi di perifer dan meningkatkan kontraktilitas untuk
menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Meskipun mekanisme
protektif ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteri darah dan perfusi
jaringan, namun efeknya terhadap miokardium justru buruk karena meningkatkan
beban kerja jantung dan kebutuhan miokardium akan oksigen. Karena aliran darah
koroner tidak memadai, maka ketidak-seimbangan antara kebutuhan dan suplai
oksigen terhadap miokardium semakin meningkat, menimbulkan suatu infark di
jantung.
Pada pasien dengan gagal jantung, penurunan kontraktilitas jantung mengurangi
curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri,
hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema. Dengan bertambah buruknya
kinerja ventrikel kiri, keadaan hipotensi berkembang dengan cepat sampai akhirnya
terjadi gangguan sirkulasi yang menggangu sistem organ-organ penting.

3. Ginjal dan Hati


Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan volume urine kurang dari
20 cc/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, terjadi respon
kompensatorik, aliran darah ke ginjal berkurang, retensi natrium dan air sehinga

kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus, terjadi peningkatan ureum kreatinin. Bila hipotensi berat dan
berkepanjanganan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul gagal
ginjal akut. Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati
dan bermanifetasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati.

4. Saluran Cerna
Iskemik saluran

cerna berkepanjangan umumnya mengakibatkan

nekrosis

hemoragik dari usus besar. Penurunan motilitas saluran cerna ditemukan pada
keadaan hipotensi. Oleh karena itu keadaan hipotensi tidak dapat dibiarkan dan
harus dicegah jangan sampai terjadi, khususnya pada pasien-pasien dengan penyakit
kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, arteriosklerosis, gagal jantung,
penyakit serebrovaskular, pasien-pasien dengan kelainan hepar, penyakit ginjal,
pada geriatri, gangguan volume darah seperti pada anemia, perdarahan dan keaadan
syok hipovolemik.

2.6 Ringer Laktat


Cairan yang digunakan pada resusitasi pasien biasanya diawali dengan cairan
kristaloid. Adabeberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan
tergantung dariderajat dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air,
penggantiannya dengan cairan hipotonik dan disebut juga maintenance type solution.Jika
hehilangan cairannya air dan elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonicdan
disebut

juga

replacement

type

solution.

Dalam

cairan,

glukosa

berfungsi

menjagatonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan cepat.
Anak-anak cenderung akan menjadi hipoglikemia(< 50 mg/dL) 4-8 jam puasa. Wanita
mungkin lebih cepat hipoglikemia jika puasa (> 24 h) dibanding pria. Kebanyakan jenis
kehilangan cairan perioperative adalah isotonik, maka yangbiasa digunakan adalah
replacement type solution yang dimana cairan yang tersering dipakai adalah Ringer
Laktat.
Walaupun sedikit hipotonik, kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum
130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai komposisi yang mirip dengan cairan extraselular
dan paling sering dipakai sebagai larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini
dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika larutan salin diberikan dalam jumlah besar,
dapat menyebabkan dilutional acidosis hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang

tinggi (154 mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi klorida
meningkat.RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan pada
kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai replacement
therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar.
Laktat, sebagai agen pengalkali, yang terdapat di dalam larutan RL akan
dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan
seperti asidosis metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk
pemeliharaan sehari-hari dalam jangka panjang, apalagi untuk kasus defisit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan
rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya ketosis.
Walaupun pH cairan ini 6,5; RL merupakan cairan pengalkali karena hail metabolitnya
yang berupa bikarbonat.
Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran memiliki komposisi:

130 mEq ion natrium = 130 mmol/L

109 mEq ion klorida = 109 mmol/L

28 mEq laktat = 28 mmol/L

4 mEq ion kalium = 4 mmol/L

3 mEq ion calcium = 1.5 mmol/L


Ringer Laktat memiliki osmolaritas sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml

dan 1.000 ml.

Tekanan osmotik terdiri dari osmolalitas dan osmolaritas cairan.Osmolalitas dan


osmolaritas menampilkan

konsentrasi molar dari zat terlarut. Karena cairan tubuh

memiliki tekanan osmotik yang sama dengan plasma, infus larutan hipotonik dapat
menyebabkan perpindahan cairan dari ruang extracelluler ke ruang intracelluler lebih
mudah. Larutan infus hypotonic banyak digunakan dalam praktek klinis sehari - hari,
termasuk Ringer Laktat, Ringer Asetat dan larutan elektrolit lengkap seperti Normosolratau Plasmalyte.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Ringer Laktat:


1. Edema serebri: pada keadaan dimana pasien mengalami peningkatan tekanan
intrakranial, penggunaan RL perlu dihindari karena sifatnya yang cenderung hipotonis
dapat memperburuk keadaan peningkatan tekanan intrakranial tersebut.

2. Asidosis laktat dan asidosis metabolik berat: bila pasien dalam keadaan tersebut perlu
diperhatikan penggunaan RL karena kandungan laktatnya dapat memperburuk
keadaan pasien yang sudah asidosis karena laktat, terlebih lagi jika pasien juga
memiliki gangguan fungsi hati terkait metabolisme laktat yang terjadi di hati.

3. Overhidrasi, edema paru, keadaan kongesti cairan: pemberian RL perlu diperhatikan


dosis dan jumlah tetesannya karena jika berlebihan dapat meningkatkan tekanan
hidrostatik plasma darah dan menurunkan osmolaritas darah yang dapat
mempermudah terjadinya perpindahan cairan ke ruang interstisial sehingga
menyebabkan terjadinya keadaan pasien yang terhidrasi berlebihan (overhydrated).

4. Alkalosis atau pasien denganresiko alkalosis: hasil metabolit laktat yang dihasilkan
oleh hati adalah bikarbonat yang brsifat basa sehingga perlu diperhatikan jika terdapat
keadaan yang memungkinkan pasien akan mengalami alkalosis atau sedang dalam
keadaan alkalosis.

5. Gangguan fungsi hati berat: laktat yang terkandung dalam cairan RL akan
dimetabolisme oleh hati. Jika fungsi hati terganggu, metabolisme laktat akan menurun
sehingga terjadinya penumpukan laktat dalam tubuh.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hipotensi pada Anestesi Spinal


Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah rendah yang abnormal, yang ditandai
dengan tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah 90 mmHg, atau dapat juga
ditandai dengan penurunan sistolik mencapai dibawah 25 % dari baseline. Insiden
terjadinya hipotensi pada anestesi spinal cukup signifikan. Pada beberapa penelitian
menyebutkan insidensinya mencapai 8 33 %.
Hipotensi didiagnosa sebagai adanya penurunan darah arteri disertai laju nadi yang
menurun atau normal. Pada kepentingan klinis dan eksperimental, diagnosa hipotensi
ditegakkan bila ada penurunan tekanan arteri rerata (MAP) lebih dari 40% atau MAP<60
mmHg, atau penurunan tekanan darah sistolik lebih besar 20% dari tekanan darah
sistolik semula atau tekanan darah sistolik lebih kecil dari 90 mmHg.
Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari perubahan tahanan
pembuluh darah. Bila tekanan darah terus turun di bawah kritis, hipotensi paling sering
disebabkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk penderita normal
akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg.
Hipotensi bila berlangsung lama dan tidak diterapi akan menyebabkan hipoksia
jaringan. Bila keadaan ini berlanjut terus akan mengakibatkan keadaan syok hingga
kematian.
Respon kompensasi terhadap hipotensi adalah mekanisme yang menurunkan
kapasitas vena (untuk menjaga pengisian jantung), mekanisme yang meningkatkan
kontraksi jantung dan denyut jantung (untuk mengoptimalisasi curah jantung pada
keadaan menurunnya isi jantung) dan mekanisme yang meningkatkan tahanan vaskular
(untuk menurunkan kapasitas vena), yang meredistribusi curah jantung pada berbagai
keadaan vaskular untuk menjamin perfusi ke organ-organ kritis, dan yang meningkatkan
tekanan di sistem arteri proksimal.
Faktor - faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :
1) Ketinggian blok simpatis
Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade simpatis
dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Blokade simpatis
yang terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi
anggota gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau

dengan kata lain vasokonstriksi yang terjadi di atas level dari blok, diharapkan dapat
mengkompensasi terjadinya vasodilatasi yang terjadi di bawah level blok.

2) Posisi pasien
Vena - vena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah sirkulasi
(70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol
dan venous return menjadi tergantung pada gravitasi. Jika anggota gerak bawah lebih
rendah dari atrium kanan, vena - vena dilatasi, terjadi sequestering volume darah yang
banyak (pooling vena). Penurunan venous return dan curah jantung bersama - sama
dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang berat. Hipotensi
pada anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pasien dengan posisi headup akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan oleh venous pooling. Oleh karena itu
pasien sebaiknya pada posisi slight head-down selama anestesi spinal untuk
mempertahankan venous return.

3) Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien


Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang serius pada sistem kardiovaskuler
selama anestesi spinal. Pada hipovolemia, tekanan darah dipertahankan dengan
peningkatan tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer. Blok simpatis
oleh karena anestesi spinal mungkin mencetuskan hipotensi yang dalam. Karenanya
hipovolemia merupakan kontraindikasi relatif pada anestesi spinal. Tetapi, anestesi
spinal dapat dilakukan jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume
cairan. Pasien hamil, sensitif terhadap blokade simpatis dan hipotensi. Hal ini
dikarenakan obstruksi mekanis venous return oleh uterus gravid. Pasien hamil harus
ditempatkan dengan posisi miring lateral, segera setelah induksi anestesi spinal untuk
mencegah kompresi vena cava. Demikian juga pada pasien pasien tua dengan
hipertensi dan iskemi jantung sering menjadi hipotensi selama anestesi spinal
dibanding dengan pasien pasien muda sehat.

4) Faktor agent anestesi spinal


Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level anestesi yang
sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan tetracaine.
Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut - serabut simpatis yang lebih
besar dengan tetracain di banding bupivacaine. Barisitas agent anestesi juga dapat

berpengaruh terhadap hipotensi selama anestesi spinal. Agent tetracaine maupun


bupivacaine yang hiperbarik dapat lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan
agent yang isobarik ataupun hipobarik. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan level
blok sensoris dan simpatis. Dimana agent hiperbarik menyebar lebih jauh daripada
agent isobarik maupun hipobarik sehingga menyebabkan blokade simpatis yang lebih
tinggi. Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat
menyebabkan hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu sendiri. Obat
anestesi lokal tersebut mempunyai efek langsung terhadap miokardium maupun otot
polos vaskuler perifer. Semua obat anestesi mempunyai efek inotropik negatif
terhadap otot jantung. Obat anestesi lokal tetracaine maupun bupivacaine mempunyai
efek depresi miokard yang lebih besar dibandingkan dengan lidocaine ataupun
mepivacaine.

3.2 Efek Preload RL terhadap Hipotensi Karena Anestesi Spinal dalam Operasi
Tindakan anestesi spinal paling sering diikuti oleh hipotensi pada pasien yang dapat
didefinisikan sebagai tekanan sistolik antara 90-100 mmHg atau dalam persentase
penurunan relatif sebesar20%. Respon ini terjadi akibat terjadinya blokade simpatis yang
mengakibatkan ketidakseimbangan otonom dimana parasimpatis menjadi lebih dominan.
Apabila terjadi pemblokan simpatis maka otot polos pada arteri akan berdilatasi dan
mengakibatkan hipotensi, penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Terjadinya
efek simpatektomi dari anestesi spinal tersebut dapat dicegah dengan pemberian preload
kristaloid ataupun koloid dan pemberian vasopresor. Pemberian preload kristaloid pada
anestesi spinal lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena
dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan
(additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah jantung sehingga dapat
digunakan untuk mengkompensasi pooling darah di pembuluh darah vena akibat blok
simpatis.
Pada penelitian oleh Shienny T., pada tahun 2012 menunjukkan hasil dimana secara
statistik tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, kelompok yang tidak
mendapatkan preload, didapatkan penurunan yang signifikan ( p< 0,05 ) pada tekanan
darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan tekanan arteri rerata pada menit menit awal
setelah anestesi spinal dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak adanya volume intravaskuler
tambahan yang mengkompensasi efek dari anestesi spinal. Namun, pada menit ke 15
ditemukan penurunan kembali dari TDS dan TDD karena cairan dalam intravaskular

sudah berpindah ke dalam interstisial sehingga perlu dibantu dengan pemberian efedrin
untuk meningkatkan kembali tekanan darah. Hasil penelitian tersebut juga mendukung
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh C. C. Rout F.F.A.R.C.S., et al (1993) dimana
hipotensi lebih banyak terjadi pada pasien yang tidak mendapat preload dibandingkan
yang mendapat preload.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Makin berkembangnya ilmu anestesi, makin berkembang pula manejemen tindakan


pada prosedur anestesi.
2. Anestesi spinal merupakan prosedur anestesi yang relatif aman, tetapi terdapat
berbagai efek samping, dimana efek samping yang paling sering terjadi adalah
hipotensi.
3. Efek obat yang digunakan dalam anestesi spinal adalah analgesik, relaksasi otot
rangka, dan blokade sistem saraf simpatis.
4. Blokade sistem saraf simpatis pada anestesi spinal dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi.
5. Kasus hipotensi pada anestesi spinal dengan pemberian preload dapat membantu
meningkatakan tekanan darah, dengan meningkatkan venous return dan curah
jantung.
6. Perpindahan cairan dari intravaskular ke intertisial menyebabkan efek peningkatan
tekanan darah perlu dibantu dengan pemberian efedrin.

Anda mungkin juga menyukai