Anda di halaman 1dari 15

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus mencakup informasi rinci


mengenai: frekuensi, waktu, durasi dan pola kekambuhan lesi; bentuk, ukuran,
lokasi dan distribusi lesi; potensial pemicu (misalnya, makanan, obat-obatan,
rangsangan fisik, infeksi, sengatan serangga); respon terhadap terapi yang
digunakan sebelumnya; dan riwayat atopi pada diri sendiri atau pada keluarga
[1,3].
Banyak kondisi dapat dengan mudah dirancukan dengan urtikaria,
terutama urticaria vaskulitis dan mastositosis sistemik (lihat Tabel 1 untuk kondisi
yang perlu dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis urtikaria). Pada urtikaria
vaskulitis, lesi biasanya lebih bersifat nyeri daripada gatal, berlangsung lebih dari
48 jam, dan meninggalkan memar atau perubahan warna pada kulit [1,10].
Mastositosis sistemik (juga disebut dengan penyakit sel mast sistemik) adalah
suatu kondisi langka yang melibatkan organ-organ internal, di samping pada kulit.
Pada gangguan ini, sel-sel mast atipikal berkumpul di berbagai jaringan yang
dapat mempengaruhi hati, limpa, kelenjar getah bening, sumsum tulang dan organ
lain [1,9].

UJI DIAGNOSTIK
Tes tusuk kulitSkin prick test (SPT) dan tes serum IgE spesifik dapat
membantu mengkonfirmasi diagnosis urtikaria akut akibat alergi atau reksi IgEmediated (tipe I) terhadap alergen umum seperti makanan, hipersensitivitas lateks,
hipersensitivitas sengatan serangga dan antibiotik tertentu. Tes ini paling baik
dilakukan oleh dokter ahli alergi yang berpengalaman dalam menafsirkan hasil tes
dalam konteks klinis yang sesuai.
Tes diagnostik tertentu dan penilaian dapat membantu dalam diagnosis
dan diagnosis banding urtikaria kronis, yaitu meliputi: hitung darah lengkap
(CBC), Serum Protein Electrophoresis (SPE), uji serum kulit autolog (ASST), tes

aktivasi basofil, autoantibody tiroid, H. pylori, antibodi antinuclear (ANA), dan


laju endap darah (LED). SPE dapat digunakan untuk mengidentifikasi
peningkatan IgG dan, oleh karena itu, dapat membantu memastikan diagnosis
penyakit autoimun kronis. Kehadiran autoantibodi tiroid juga sugestif untuk
urtikaria autoimun kronis. Peningkatan LED atau ANA sering menunjukkan
kondisi sistemik yang mendasarinya, seperti infeksi kronis atau vaskulitis [2].
ASST saat ini merupakan salah satu tes yang paling berguna untuk
mengkonfirmasikan diagnosis urtikaria autoimun kronis (sensitivitas: 65-81%;
spesifisitas: 71-78%) [11]. Uji ini melibatkan injeksi intradermal dari serum
pasien sendiri (dikumpulkan saat pasien bergejala) ke dalam kulit yang tidak
terkena gejala. Reaksi ruam dan wheal positif dianggap menunjukkan adanya
autoantibodi yang beredar (bersirkulasi) terhadap reseptor Ig-E afinitas tinggi
pada sel mast. Namun, perlu dicatat bahwa ASST tidak tersedia secara luas dan
sering kurang ditoleransi pada anak-anak kecil karena ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan suntikan intradermal [3]. Karena basofil juga terlibat dalam
urtikaria kronis, uji aktivasi basofil (kuantifikasi aktivasi basofil dengan sitometri)
mungkin berguna untuk skrining bentuk autoimun penyakit. Namun, diperlukan
studi konfirmasi lebih lanjut sebelum tes ini secara luas diterima sebagai alat
diagnostik [2].
Uji tantangan (challenge test), yaitu sengaja memberi paparan yang diduga
rangsangan dalam lingkungan klinis dengan pengawasan, sering dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis urtikaria fisik. Urtikaria induksi dingin biasanya dapat
dikonfirmasi dengan uji es batu (yaitu, menempatkan es batu dalam kantong
plastik tertutup pada lengan bawah selama 5-10 menit). Dermatografisme dapat
dilakukan sebagai konfirmasi dengan melakukan garukan ringan pada kulit, dan
urticaria aquagenic dapat diidentifikasi dengan pencelupan sebagian tubuh ke
dalam air hangat atau melalui kompres hangat. Tes mandi air panas dapat
membantu mengidentifikasi adanya urtikaria kolinergik, dan pemberian berat /
tekanan pada paha pasien sangat membantu dalam diagnosis urtikaria akibat
tekanan tertunda (delayed-pressure urticaria) [1,2].

PENGOBATAN
Strategi untuk pengelolaan urtikaria akut mencakup langkah-langkah
menghindari faktor pencetus, antihistamin dan kortikosteroid. Untuk urtikaria,
antihistamin adalah terapi

andalan. Kortikosteroid dan berbagai terapi

imunomodulator / imunosupresif juga dapat digunakan untuk kasus yang lebih


berat, atau untuk pasien yang mengalami respon yang buruk terhadap antihistamin
(lihat Gambar 3).
Menhindari faktor Pencetus (Avoidance)
Bagi beberapa pasien dengan urtikaria akut, pemicu tertentu dapat
diidentifikasi (misalnya, makanan, obat-obatan, lateks, racun serangga), dan
menghindari agen penyebab dapat menjadi pendekatan manajemen yang efektif.
Pasien harus diberikan instruksi tertulis strategi penghindaran yang tepat dengan
jelas, {2,3].
Antihistamin
Antihistamin

reseptor-H1

generasi

kedua,

non-sedatif

(misalnya,

fexofenadine, desloratadine, loratadine, cetirizine) adalah terapi utama untuk


urtikaria. Agen ini telah terbukti secara signifikan lebih efektif daripada plasebo
untuk pengobatan baik pada urtikaria akut dan kronis [4]. Antihistamin sedatif
generasi pertama, dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien yang
mengalami kesulitan tidur karena gejala nokturnal [1-3]. Tabel 2 memberikan
daftar umum antihistamin generasi pertama dan kedua yang biasa digunakan
beserta rejimen dosis yang direkomendasikan. Karena 15% dari reseptor histamin
di kulit adalah reseptor jenis H-2, antihistamin reseptor-H2, seperti cimetidine,
ranitidine dan nizatidine, juga dapat membantu pada beberapa pasien dengan
urtikaria. Namun, agen ini tidak boleh digunakan sebagai monoterapi karena
mereka memiliki efek terbatas pada gatal (pruritus) [2].

Khasiat antihistamin sering spesifik terhadap pasien dan, oleh karena itu,
diperlukan

lebih

dari

satu

antihistamin

yang

perlu

dicoba

sebelum

mengasumsikan kegagalan terapi dengan agen ini. Dan juga, antihistamin paling
efektif jika diminum setiap hari, bukan hanya jika saat diperlukan. Jika gejalagejala dapat terkontrol dengan dosis antihistamin standar, adalah wajar untuk
melanjutkan pengobatan selama beberapa bulan, sesekali terapi dihentikan dalam
periode singkat untuk menentukan apakah urtikaria dapat sembuh spontan. Pada
pasien yang tidak mencapai kontrol gejala pada dosis standar, umumnya
dilakukan latihan peningkatan dosis antihistamin diluar dosis yang dianjurkan.
Bahkan, pedoman Eropa saat ini merekomendasikan antihistamin hingga empat
kali dosis yang dianjurkan pada pasien yang gejalanya menetap dengan terapi
standar [12]. Sebagai contoh, dosis cetirizine hingga 40 mg, desloratadine hingga
20 mg, dan fexofenadine hingga 480 mg dapat digunakan pada orang dewasa.
Namun, efikasi dari pendekatan ini, masih memerlukan konfirmasi pada uji
randomized, double-blind controlled trial [2,3].
Kortikosteroid
Pada beberapa pasien dengan urtikaria berat yang tidak cukup responsif
terhadap antihistamin, dapat dianjurkan pemberian singkat kortikosteroid oral
(misalnya, prednisone, hingga 40 mg / hari selama 7 hari). Namun, terapi
kortikosteroid jangka panjang harus dihindari mengingat efek samping yang
sudah diketahui terkait dengan penggunaan jangka panjang kortikosteroid dan
kemungkinan peningkatan toleransi terhadap agen ini [2,3].
Terapi Imunosupresif dan Imunomodulator
Berbagai terapi imunosupresif atau imunomodulator dapat memberikan
beberapa manfaat bagi pasien dengan urtikaria kronis yang berat. Double-blind,
randomized controlled trial telah menunjukkan bahwa siklosporin (3-5 mg / kg /
hari) efektif pada pasien dengan urtikaria kronis yang tidak berespon adekuat
terhadap

antihistamin

[13,14].

Selama

pengobatan

dengan

siklosporin,

antihistamin reseptor-H1 harus dilanjutkan, dan tekanan darah, fungsi ginjal dan

kadar serum harus dipantau secara teratur terkait efek samping yang signifikan
dengan bentuk terapi ini (misalnya, hipertensi, toksisitas ginjal).
Laporan kasus dan uji klinis kecil lainnya juga telah menemukan
perawatan berikut efektif untuk pasien tertentu dengan urtikaria kronis, refrakter,
berat, yaitu dengan: sulfasalazine; antibakteri, dapson; antibodi monoklonal antiIgE, omalizumab; dan immunoglobulin G intravena (IVIG) [4]. Namun, khasiat
(efikasi) obat ini dalam pengobatan urtikaria kronis perlu dikonfirmasi dalam
suatu uji randomized controlled trial yang luas.
Terapi Lain
Antagonis reseptor leukotrien, seperti montelukast (Singulair) atau
zafirlukast (Accolate), juga telah terbukti efektif dalam pengobatan urtikaria
kronis terkontrol buruk [15-17]. Namun, agen ini seharusnya hanya digunakan
sebagai tambahan untuk terapi antihistamin karena ada sedikit bukti bahwa
mereka bermanfaat sebagai monoterapi. Epinefrin injeksi juga harus diresepkan
untuk pasien dengan riwayat urtikaria parah dan angioedema yang menyebabkan
anafilaksis (lihat artikel tentang anafilaksis pada suplemen ini) [1].

ANGIOEDEMA (TANPA URTIKARIA)


Pendahuluan
Angioedema tanpa adanya urtikaria jarang terjadi dan sebaiknya membuat
dokter waspada terhadap diagnosis alternatif, seperti angioedema herediter atau
didapat, angioedema idiopatik, atau angioedema yang berhubungan dengan
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor. Angioedema herediter (HAE)
adalah kelainan genetik autosomal dominan yang jarang terjadi akibat defisiensi
yang diwariskan atau disfungsi dari C1

inhibitor (sebuah inhibitor protease

plasma yang mengatur beberapa jalur proinflamasi). Dua jenis utama HAE telah
didefinisikan, yaitu: tipe I dan tipe II. HAE tipe I ditandai dengan rendahnya kadar
dan fungsi C1 inhibitor (85% kasus) sedangkan tipe II berhubungan dengan kadar

C1 inhibitor normal, tetapi fungsinya rendah (15% kasus). Angioedema didapat


Acquired angioedema (AAE) adalah sindrom defisiensi C1 inhibitor lain yang
langka dan paling sering dikaitkan dengan penyakit limfoproliferatif sel-B (AAE
tipe 1). Hal ini juga terkait dengan adanya antibodi yang ditujukan melawan
molekul C1 inhibitor (tipe II AAE) [18].
Secara klinis, HAE dan AAE serupa, dan ditandai dengan episode
angioedema berulang, tanpa urtikaria atau pruritus, yang paling sering menyerang
kulit atau jaringan mukosa saluran pencernaan dan saluran pernapasan bagian
atas. Walaupun kondisi umumnya jinak, keterlibatan laring cepat dapat
menyebabkan sesak napas fatal jika tidak diobati. Usia onset dan adanya riwayat
keluarga merupakan hal yang membedakan pada kedua kondisi ini (lihat Tabel 3).
HAE biasanya terjadi pada akhir masa kanak-kanak atau remaja pada subyek
sehat, dan riwayat keluarga positif di sekitar 75% kasus (dengan 25% sisanya
merupakan akibat dari mutasi spontan gen C1 inhibitor). Sebaliknya, AAE tidak
terkait dengan riwayat keluarga, dan biasanya mulai berkembang pada pasien
yang lebih tua (usia dekade keempat kehidupan) dengan adanya penyakit
limfoproliferatif atau penyakit autoimun yang mendasari [18,19].
Meskipun patogenesis pasti dari serangan HAE dan AAE masih belum
jelas, kelebihan produksi peptida vasodilatasi kuat, bradikinin (yang diatur oleh
C1 inhibitor), tampaknya memainkan peran penting [20]. Penting untuk dicatat
bahwa histamin dan mediator sel mast lain yang khas untuk urtikaria dan
angioedema tidak terlibat langsung pada HAE dan AAE, sehingga hal inilah yang
menjelaskan kurangnya respon pasien terhadap antihistamin dan kortikosteroid,
dan membedakan bentuk-bentuk angioedema terisolasi dari angioedema yang
terkait dengan urtikaria.
Angioedema terisolasi juga terjadi pada sekitar 0,1% sampai 6% dari
individu yang menggunakan ACE inhibitor. Hal ini cenderung terjadi lebih sering
pada pengguna ACE-inhibitor perempuan, perokok atau keturunan AfrikaAmerika. Seperti HAE dan AAE, angioedema akibat ACE inhibitor adalah

penyakit yang dimediasi bradikinin. Sebagian besar kasus angioedema terjadi


pada minggu pertama setelah memulai terapi ACE-inhibitor Namun, sepertiga
kasus terjadi pada beberapa bulan sampai tahun setelah memulai pengobatan
ACE-inhibitor [21]. Angioedema akibat ACE inhibitor dapat mengancam jiwa
bila melibatkan saluran nafas atas dan, oleh karena itu, ACE inhibitor harus
dihentikan pada semua pasien dengan angioedema.
Pada kebanyakan kasus angioedema terisolasi, penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi (angioedema idiopatik). Mekanisme yang tepat dari angioedema
idiopatik tidak jelas; Namun, berdasarkan respon pasien terhadap obat-obatan,
beberapa kasus diyakini memiliki mekanisme IgE-independen yang menyebabkan
aktivasi sel mast [22,23]. Pada kebanyakan orang, kondisi ini tidak menyebabkan
angioedema yang mengancam nyawa.

DIAGNOSIS
Diagnosis HAE dan AAE didasarkan pada riwayat klinis sugestif (yaitu,
angioedema episodik dengan tanpa urtikaria yang mengenai kulit, saluran
pencernaan dan saluran pernapasan atas) dan adanya kelainan pada protein
komplemen tertentu. Studi pelengkap yang harus dilakukan pada pasien yang
diduga HAE dan AAE meliputi: kadar C4 (substrat alami untuk C1), kadar C1q,
kadar antigenic C1 inhibitor, dan kadar C1 inhibitor fungsional [18]. Studi-studi
ini harus dilakukan ketika pasien tidak menerima pengobatan, karena penggunaan
intervensi terapi untuk AAE atau HAE dapat mengubah hasil laboratorium.
Pada kebanyakan pasien dengan AAE, kadar C4, C1q, dan C1 inhibitor
fungsional rendah (<50% dari normal), dan kadar antigenic C1 inhibitor dapat
rendah atau normal. Pada HAE tipe I, kadar anigenik C1 inhibitor dan fungsional
rendah (<50% dari normal); pada HAE tipe II, kadar C1 inhibitor fungsional
rendah, tetapi kadar antigen dapat normal atau meningkat (lihat Tabel 3). Tidak
seperti AAE, kadar C1q normal pada HAE. Angioedema akibat ACE-inhibitor
harus dipertimbangkan jika studi pelengkap menunjukkan hasil yang normal dan

pasien saat ini sedang menggunakan terapi ACE inhibitor. Pasien dengan AAE
juga harus dievaluasi untuk gangguan limfoproliferatif sel-B yang mendasari pada
saat diagnosis [18].

PENGOBATAN
Pengobatan angioedema idiopatik mirip dengan urtikaria. Kondisi ini
berespon baik dengan antihistamin profilaksis. Pada beberapa individu,
kortikosteroid diperlukan. Alkohol dan AINS dapat memperburuk kondisi ini dan,
oleh karena itu, disarankan untuk emnghindari obat-obatan ini.
Manajemen HAE dan AAE sama-sama melibatkan strategi profilaksis
untuk mencegah serangan angioedema serta intervensi farmakologis untuk
pengobatan serangan akut (lihat Tabel 4). Mengingat risiko sesak napas yang fatal
dengan keterlibatan laring, mengedukasi pasien terkait pengobatan serangan akut
sangat penting; pasien harus diinstruksikan untuk segera berobat ke unit gawat
darurat jika terjadi pembengkakan laring. Karena HAE dan AAE merupakan
kelainan yang jarang, beberapa petugas gawat darurat tidak familiar dengan
perawatan kondisi ini. Oleh karena itu, pasien dianjurkan untuk membawa kartu
dompetwallet card (template tersedia di:.? Php http://www.haecanada.com/m p
= edownloads) yang menjelaskan secara singkat diagnosis pasien, menguraikan
pengobatan yang diperlukan untuk serangan akut, dan memberikan informasi
kontak untuk dokter yang mengawasi [18]. Pada pasien dengan AAE, pengobatan
gangguan lymphoproliferative yang mendasari juga penting.
Pengobatan Profilaksis
Terapi profilaksis harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami
lebih dari satu serangan yang berat per bulan, atau jika pengobatan untuk episode
akut tidak cukup efektif atau tidak tersedia. Pilihan terapi meliputi: menghindari
pencetus, pelemahan androgen, asam traneksamat, dan terapi sulih C1 inhibitor
derivat plasma [18,24].

Faktor pemicu serangan akut AAE dan HAE bervariasi namun biasanya
meliputi: trauma ringan pada wajah (trauma terutama gigi), stres / kecemasan,
infeksi H. pylori, menstruasi, dan penggunaan obat-obatan yang mengandung
estrogen (misalnya, terapi sulih hormon dan kontrasepsi) dan ACE inhibitor. Bila
memungkinkan, pemicu ini harus dihindari. Pengenalan dan pengobatan yang
tepat dari infeksi gigi dan mulut, dan skrining untuk infeksi H. pylori dan
eradikasinya dapat diperlukan dalam beberapa kasus [18].
Androgen yang dilemahkan, seperti danazol dan stanozolol, meningkatkan
kadar C4 dan C1 inhibitor dan efektif untuk profilaksis jangka pendek dan jangka
panjang pada HAE dan AAE. Meskipun umumnya ditoleransi oleh kebanyakan
pasien, efek samping dengan pemberian androgen jangka panjang mungkin
meliputi virilisasi, kelainan pada serum transaminase, ketidakteraturan menstruasi,
pertumbuhan rambut, penurunan libido, berat badan, gejala vasomotor, kelainan
lipid, dan depresi. Oleh karena itu, dosis efektif terendah harus dimanfaatkan
(dosis rekomendasi jangka anjang maksimal adalah 200 mg setiap hari untuk
danazol dan 2 mg setiap hari untuk stanozolol), dan Hitung darah lengkap (CBC) ,
kadar enzim hati dan profil lipid pada pasien harus dipantau secara teratur
(misalnya, setiap 6 bulan) saat terapi. Kontraindikasi terapi androgen meliputi:
hamil, menyusui, kanker, hepatitis, dan anak-anak [18].
Agen antifibrinolytic, asam traneksamat, juga telah terbukti efektif untuk
pengobatan profilaksis HAE dan AAE. Bukti menunjukkan bahwa mungkin terapi
ini kurang efektif daripada terapi androgen pada pasien dengan HAE, tetapi lebih
efektif pada AAE [18]. Asam traneksamat ditoleransi dengan baik dan umumnya
lebih disukai untuk profilaksis jangka panjang pada wanita hamil, anak-anak, dan
pasien yang tidak mentolerir androgen. Efek samping yang paling umum adalah
dispepsia, yang dapat dikurangi dengan cara mengonsumsi obat dengan makanan
[18].
Suntikan rutin terapi sulih C1 inhibitor derivat plasma secara intravena
juga efektif baik untuk profilaksis jangka pendek dan jangka panjang. Suntikan ini

biasanya dapat diberikan di rumah oleh pasien atau perawat pasien. Dosis yang
dianjurkan saat ini adalah 20 unit / kg; pasien dengan AAE mungkin memerlukan
dosis yang lebih tinggi. Karena terapi penggantian C1 inhibitor adalah produk
darah, hemovigilansi resipien tahunan dan pelacakan (tracking) vena ke vena
sangat penting [18].
Pengobatan Serangan Akut
Terapi lini pertama untuk pengobatan serangan akut berat pada HAE dan
AAE meliputi: terapi sulih/penggantian C1 inhibitor, ecallantide dan icatibant
[18]. Terapi penggantian C1 inhibitor adalah terapi lini pertama yang paling
banyak dipelajari; terapi ini diberikan "on-demand" (sesuai permintaan) pada saat
tanda pertama serangan. Namun, beberapa pasien dengan AAE dapat menjadi
non-responsif terhadap pengobatan ini dari waktu ke waktu; pada pasien ini
penggunaan ecallantide dan icatibant harus dipertimbangkan [24].
Ecallantide

merupakan

inhibitor

kallikrein

plasma

(enzim

yang

melepaskan bradikinin, mediator utama angioedema). Baru-baru ini telah disetujui


oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk pengobatan
serangan akut angioedema pada pasien dengan HAE. Dosis yang dianjurkan
biasanya adalah 30 mg subkutan (dewasa). Meskipun efek samping ecallantide
umumnya ringan (misalnya, reaksi di tempat injeksi, sakit kepala, mual,
kelelahan, diare), namun terapi ini juga dikaitkan dengan reaksi alergi dan
anafilaksis meskipun jarang terjadi. Oleh karena itu, terapi ini seharusnya hanya
diberikan oleh seorang dokter yang dilengkapi dengan fasilitas untuk mengelola
syok anafilaksis dan angioedema berat [18].
Icatibant adalah penghambat reseptor bradikinin yang telah disetujui di
Uni Eropa untuk pengobatan serangan akut HAE. Dosis yang biasa dianjurkan
untuk orang dewasa adalah 30 mg subkutan; Pengalaman pada anak-anak dengan
agen ini masih tertunda. Efek samping yang paling umum dari icatibant adalah
reaksi di tempat suntikan bersifat ringan dan sementara. Lainnya, efek samping

yang kurang umum meliputi: mual, gangguan pencernaan, asthenia, pusing, dan
sakit kepala [18].

KESIMPULAN
Urtikaria adalah gangguan umum yang sering muncul dengan angioedema.
Penyakit ini umumnya diklasifikasikan sebagai akut (lesi terjadi pada <6 minggu),
kronis (lesi yang terjadi selama> 6 minggu) dan fisik (lesi hasil dari stimulus
fisik). Kelainan ini biasanya dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan
anamnesis, namun bagaimanapun, tes diagnostik dapat membantu untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Antihistamin non-sedatif reseptor-H1 generasi
kedua merupakan terapi andalan baik untuk urtikaria akut dan kronis; antihistamin
sedatif generasi pertama dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien
dengan gejala nokturnal. Pada urtikaria kronis refraktori berat, pemberian
kortikosteroid oral jangka pendek dan terapi imunosupresan dan imunomodulator
tertentu mungkin bermanfaat.
Angioedema dapat terjadi tanpa adanya urtikaria. Penyebab yang lebih
umum adalah Angioedema akibat ACE inhibitor dan angioedema idiopatik. HAE
atau AAE merupakan penyakit yang jarang, tetapi dapat menyebabkan ancaman
jiwa. Manajemenn dan pengelolaan HAE dan AAE bervariasi twrgantung dari
apakah angioedema terkait dengan urtikaria. Meskipun angioedema terkait dengan
gangguan ini seringkali dapat sembuh sendiri, keterlibatan laring dapat
menyebabkan sesak napas yang fatal. Pasien dengan gangguan ini menunjukkan
kelainan karakteristik kadar komplemen tertentu dan, oleh karena itu, pengujian
diagnostik pasien yang diduga HAE atau AAE harus mencakup penilaian kadar
C4, C1q dan CI inhibitor fungsional dan kadar antigenik. HAE harus
dipertimbangkan pada pasien dengan onset usia dini dan adanya riwayat keluarga;
sedangan pada pasien dengan AAE, tidak ada riwayat keluarga dan usia onset
biasanya pada dewasa. Pilihan terapi untuk profilaksis HAE dan AAE meliputi:
menghindari pencetus,

menggunakan

androgen

yang

dilemahkan, asam

traneksamat, dan terapi pengganti

C1 inhibitor derivat plasma. Terapi lini

pertama untuk pengobatan serangan akut meliputi: terapi pengganti C1 inhibitor,


ecallantide dan icatibant.

PESAN KUNCI UNTUK DIBAWA PULANG

Urtikaria adalah gangguan umum yang ditandai dengan lesi pruritus (gatal)
berulang dengan pusat pucat (bercak) yang biasanya mereda dalam waktu
48 jam; sering dikaitkan dengan angioedema.

Sel mast merupakan sel efektor utama dalam urtikaria.

Urtikaria diklasifikasikan sebagai akut (lesi <6 minggu), kronis (lesi> 6


minggu), atau fisik.

Diagnosis urtikaria, dengan atau tanpa angioedema, didasarkan terutama


pada riwayat klinis menyeluruh; Namun, tes diagnostik dapat membantu
dalam beberapa kasus.

Antihistamin non-sedatif reseptor-H1 generasi kedua merupakan terapi


andalan untuk urtikaria. Kortikosteroid oral dan berbagai terapi
imunomodulator / imunosupresif juga dapat digunakan untuk kasus kronis
dan lebih berat.

Angioedema dapat terjadi tanpa adanya urtikaria, dengan akibat induksi


ACE inhibitor dan angioedema idiopatik yang menjadi penyebab paling
umum.

ACE-inhibitor harus dihentikan pada setiap orang yang datang dengan


angioedema sebagaimana kondisi ini dikaitkan dengan angioedema saluran
nafas atas yang mengancam jiwa.

Angioedema idiopatik berespon baik dengan antihistamin profilaksis,


namun bagaimanapun, kortikosteroid oral mungkin diperlukan pada
beberapa kasus.

HAE dan AAE merupakan kelainan yang jarang dan juga ditandai dengan
angioedema tanpa adanya urtikaria; mereka terjadi karena kekurangan atau

disfungsi dari C1 inhibitor (inhibitor protease plasma yang mengatur


beberapa jalur proinflamasi), dan berkaitan dengan pembengkakan saluran
nafas atas yang mengancam nyawa.

Diagnosis HAE dan AAE harus mencakup penilaian kadar C4, C1q, C1
inhibitor fungsional dan tingkat antigenik.

Pengelolaan gangguan ini melibatkan baik strategi profilaksis untuk


mencegah serangan angioedema (menghindari pencetus, penggunaan
androgen yang dilemahkan, asam traneksamat, dan terapi penggantian C1
inhibitor derivate plasma) serta intervensi farmakologis untuk pengobatan
serangan akut (terapi pengganti C1 inhibitor, ecallantide dan icatibant).

Anda mungkin juga menyukai