Anda di halaman 1dari 18

DEMAM THYPOID

I. PENDAHULUAN
DEMAM TIFOID
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakteremia, perubahan pada system retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus Peyer di distal ileum. Penulis lain membuat kriteria
demam tifoid yaitu penyakit infeksi akut yang disebabkan Salmonella typhi, ditandai
adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan pada system
saraf pusat ( sakit kepala, kejang dan gangguan kesadaran ). Batasan serupa dikemukakan
oleh Butler ( 1991 ), yaitu suatu infeksi bakterial pada manusia yang disebabkan oleh
Salmonella typhi ditandai dengan demam berkepanjangan, nyeri perut, diare, delirium,
bercak rose, dan spelenomegali serta kadang-kadang disertai komplikasi perdarahan dan
perforasi usus.
Nama lain :
1. TYPHOID FEVER
2. TYPHUS ABDOMINALIS
3. ENTERIC FEVER
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada
manusia. Penularan penyakit ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi. Sampai saat ini Demam Tifoid masih merupakan masalah
kesehatan, hal ini disebabkan oleh karena kesehatan lingkungan yang kurang memadai,
penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, tingkat sosial ekonomi, tingkat
pendidikan masyarakat. Walaupun pengobatan Demam Tifoid tidak terlalu menjadi
masalah namun masalah diagnostik kadang-kadang menjadi masalah terutama di tempat
di

mana

tidak

laboratoriumnya.

dapat

dilakukan

pemeriksaan

kuman

maupun

pemeriksaan

Mengingat hal tersebut diatas maka pengenalan gejala-gejala klinik menjadi


sangat penting untuk membantu diagnosis.(1,2)
SEJARAH
Bretoneau (1813) melaporkan pertama kali tentang klinis dan antomis dari
Demam Tifoid, Cornwalls Hewett (1826) melaporkan perubahan patologisnya, Piere
Louis (1829) memberikan nama typhos, berasal dari bahasa yunani yang berarti
asap/kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang
ringan sampai berat.
a.

Pfeifer berhasil pertama kali menemukan kuman salmonella dari feses penderita,
kemudian dalam urine oleh hueppe dan dalam darah oleh R. Neuhauss.

b.

Pada waktu yang bersamaan Widal (1896) berhasil memperkenalkan diagnosis


serologis Demam Tifoid.(2)

II. EPIDEMIOLOGI
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat
terjadinya penyebaran Demam Tifoid di negara sedang berkembang adalah urbanisasi,
kepadatan penduduk, sumber air minum dan standar hygiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah. Menurut Pang, selain karena meningkatnya urbanisasi,
Demam Tifoid masih terus menjadi masalah karena beberapa faktor lain yaitu,
penyediaan air bersih yang tidak memadai, adanya strain yang resisten terhadap
antibiotik, masalah pada identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat
diagnosis yang pasti, patogenesis dan faktor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya
serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan murah.
Demam Tifoid disebabkan oleh Salmonella Typhi yang dapat bertahan hidup lama
di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu
63C. Organisme ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu,
sampah kering dan pakaian, mampu bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan

dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur atau produknya tanpa
merubah warna atau bentuknya.
Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi,
melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita Demam Tifoid atau
karier kronis. Transmisi kuman terutama dengan cara menelan makanan atau air yang
tercemar tinja manusia. Epidemi Demam Tifoid yang berasal dari sumber air yang
tercemar merupakan masalah yang utama. Transmisi secara kongenital dapat terjadi
secara transplasental dari seorang ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam
kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang ibu yang merupakan karier
tifoid dengan rute fekal oral. Seseorang yang telah terinfeksi Salmonella typhi dapat
menjadi karier kronis dan mengekskresikan mikro organisme selama beberapa tahun.(1)
III. ETIOLOGI
Etiologi Demam Tifoid adalah salmonella typhi yang berhasil diisolasi pertama
kali dari seorang pasien Demam Tifoid oleh Gaffkey di Jerman pada tahun 1884.
Mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negatif yang motil, bersifat aerob dan tidak
membentuk spora. Salmonella typhi dapat tumbuh dalam semua media, pada media yang
selektif bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi
laktosa.
Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu :
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup.
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella
clan bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses
aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses
fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas
vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan
lipid A. Ketiga antigen diatas di dalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.

4. Outer Membrane Protein (OMP). Antigen OMP S. typhi merupakan bagian dari
dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang memnbatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP
berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
dalam membran sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk
bakteriofag dan bakteriosin. OMP sebagian besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting
dalam mekanisme respon imun penjamu. Sedangkan protein nonpurin hingga kini
fungsinya belum diketahui secara pasti.
Salmonella typhi hanya dapat hidup pada tubuh manusia. Sumber penularan berasal dari
tinja dan urine karier, dari penderita pada fase akut dan penderita dalam fase
penyembuhan.(1)
IV. PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman setelah berada dalam usus
halus mengadakan invasi kejaringan limfoid usus halus (terutama Plak peyer) dan
jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan nekrosis setempat
kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikulo
udotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa. Ditempat ini kuman difagosit oleh sel-sel
fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi
5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia
sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu
yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga
usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini kuman
mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan somatik antigen
(lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejalagejala dari Demam Tifoid.
Pada penelitian lebih lanjut ternyata endotoksin hanya mempunyai peranan
membantu proses keradangan lokal di mana kuman ini berkembang.

Demam Tifoid disebabkan karena salmonella typhosa dan endotoksinnya yang


merangsang sintese dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang.
Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi
klinis sebagai berikut :
Macrophage pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut
monokines, selanjutnya monokines ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan
merangsang imun sistem instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh
macropag yang mengandung eritrosit, kuman, limfos yang sudah berdegenerasi yang
dikenal sebagai Tifoid sel. Bila sel-sel ini beragregasi maka terbentuklah nodul, nodul ini
sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum
tulang dan organ-organ yang terinfeksi.
Kejadian utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dimana ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Gambaran tersebut diatas tidak didapatkan pada kasus tifoid pada bayi maupun tifoid
kongenital.(2)
V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Akibatnya lebih sulit untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid pada anak terutama makin muda umur penderita seperti tifoid
kongenital maupun tifoid pada bayi bila hanya berpegang pada gejala atau tanda-tanda
klinis.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan
terlama 60 hari, dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.

Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:
-

Demam satu minggu atau lebih;

Gangguan saluran pencernaan; dan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua
maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai gangguan kesadaran dari
yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula
mendadak tinggi dan remiten (39-41C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada
bayi dan tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tandatanda antara lain, lidah nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak
lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan
terjadi desquamasi epitel, sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu modul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman dimana
didalamnya mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di pantat maupun bagian flexor dari lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid
dan menularkan kepada janin melalui darah. Pada umumnya bersifat fatal, tetapi pernah
dilaporkan tifoid kongenital dapat lahir hidup sampai beberapa hari dengan gejala tidak
khas serta menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan

dalam darah, hati, limpa serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan, hal ini
menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat
menimbulkan gejala-gejala tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia di
bawah 2 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran klinisnya dengan anak
yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntahmuntah, kejang-kejang dan tanda-tanda rangsangan meningen. Pada pemeriksaan darah
terlihat lekositosis (20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik.
Perjalanan penyakitnya lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi 2 minggu,
angka kematian yang tinggi (12,5%), diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya kuman
salmonella typhosa dalam darah, feses.(2)
VI. DIAGNOSIS
Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah lekosit normal, bisa
menurun atau meningkat, kadang-kadang didapatkan trombositopenia dan pada hitung
jenis didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif.
Butler (1991) melakukan penelitian di Bangladesh pada 552 anak yang menderita
demam tifoid dengan biakan empedu positif, lekopenia < 4000 sel/mL didapatkan pada
11% penderita umur 1-5 tahun, 9% penderita umur 6-10 tahun, dan 13% penderita umur
11-17 tahun.
Zainal (1992) dan Kaur (1992) melaporkan hasil penelitiannya di Malaysia,
lekopenia terdapat pada 4,3% - 4,6% penderita, sedangkan jumlah trombosit di bawah
50.000 didapatkan pada 39% anak-anak penderita demam tifoid. Hoffman (1991)
mengemukakan gambaran darah lengkap pada penderita demam tifoid saat masuk rumah
sakit adalah: anemia, peningkatan laju endap darah, penurunan trombosit sampai 150.000
sel/mL, hitung lekosit sekitar sekitar 5000-6000 sel/mL (bervariasi sekitar 1200-20.000
sel/mL). Hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin ada
limfositosis relatif terutama pada fase lanjut.
Khan (2000) melakukan penelitian pada penderita demam tifoid dengan biakan
empedu positif dibandingkan dengan penderita demam bukan tifoid. Gambaran darah

lengkap yang mempunyai hubungan signofikan dengan diagnosis demam tifoid adalah
lekosit normal (OR = 10,8), lekosit < 10.000 sel/mL, lekopenia dan limfositosis relatif
(OR = 11,8%). Walaupun sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal tidak dapat dipakai
membedakan demam tifoid atau bukan, tetapi adanya lekopenia dan limfositosis relatif
menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Penelitian yang dilakukan terhadap penderita demam tifoid (biakan empedu
positif) dan penderita bukan demam tifoid menyimpulkan bahwa hitung lekosit dan laju
endap darah kurang mempunyai nilai diagnostik (Haq, 1997).
Gambaran darah lengkap pada penderita demam tifoid yang mempunyai biakan
empedu positif dan 20% diantaranya kasus yang resisten antibiotika diteliti oleh Bhutta
(1991). Adanya lekopenia (lekosit < 4000 sel/mL) didapatkan pada 5% penderita
trobositopenia (5%) dan DIC (6%). Hasil penelitian Azhali (1987) mengenai gambaran
darah pada penderita demam tifoid (biakan empedu positif) yang berumur 1-14 tahun
adalah anemia (77,1%), lekopenia (54,3%), aneosinofilia (68,6%) dan limfositosis relatif
(51,4%). Asharto (1987) melakukan penelitian terhadap penderita demam tifoid yang
berumur 2-14 tahun mendapatkan: bahwa jumlah lekosit normal didapatkan pada 76,9%
penderita. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan Suparwanto dkk (1990) didapatkan
lekopenia dan jumlah lekosit normal pada 84,2% penderita.
Penelitian serupa dilakukan juga oleh Darmowandowo (1998) mendapatkan:
anemia pada 31% penderita, lekopenia (21,6%), lekositosis (12,5%) dan lekosit normal
(65,9%). Herawati (1999) melakukan penelitian serupa di RSHS Bandung dan
mendapatkan: anemia (48%), lekopenia (29%) dan lekositosis (3,5%) sedangkan
aneosinofilia dan limfositosis didapatkan pada 80% dan 91% penderita.(1)
Uji Serologis
Uji Serologis Widal mempunyai berbagai kelemahan baik sensitivitas dan
spesifisitasnya yang rendah maupun interpretasi yang sulit dilakukan. Namun demikian
hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam
tifoid.
Kaur (1992) melakukan penelitian pada 92 penderita demam tifoid yang berumur
< 12 tahun dengan biakan empedu positif, didapatkan hasil uji Widal positif (0 > 1/200)

pada sebanyak 44,6%. Terdapat hubungan yang buruk antara uji Widal dan biakan
empedu, uji Widal positif hanya didapatkan pada 52% penderita dengan biakan positif.
Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Zainal (1992) uji Widal positif (titer 0 >
1/160) pada minggu pertama didapatkan sebesar 51,4% dan pada minggu kedua sebesar
60%. Disimpulkan dari penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara
uji Widal pada minggu pertama dan kedua. Kenaikan titer 0 sebesar empat kali hanya
didapatkan pada 52,9% sedangkan pada titer H sebesar 41,1%. Bhutta (1997) melaporkan
hasil penelitian yang dilakukan di Karachi, Pakistan. Pada tersangka penderita demam
tifoid yang sebagian telah mendapat antibiotika, didapatkan titer O < 1/80 pada 44%
penderita dan hasil ini tidak terlalu bernilai diagnostik. Penelitian yang dilakukan oleh
Asharto (1997) pada penderita demam tifoid yang berumur 2-14 tahun di RS Syaiful
Anwar Malang menemukan bahwa uji aglutinasi Widal positif (1/400) pada saat masuk
rumah sakit didapatkan pada 20,76% penderita.
Tahun 1992 dilakukan penelitian di RS Hasan Sadikin Bandung terhadap anakanak yang menderita demam 5 hari atau lebih yang terbagi menjadi kelompok demam
tifoid dan kelompok demam nontifoid, serta satu kelompok anak normal. Hasil
pemeriksaan Widal awal pada ketiga kelompok tersebut adalah 1/320 dan secara statistik
tidak dapat dipakai sebagai penapisan demam tifoid pada anak. Akan tetapi dengan
adanya kenaikan titer Widal atau didapatkan titer Widal yang tetap positif pada
pemeriksaan ulang baik untuk H maupun O terdapat hubungan yang erat dengan biakan
Widal positif. Adanya kenaikan titer tersebut mempunyai sensitivitas 81,0% spesifisitas
65,2%, nilai duga positif 61,9% untuk titer H dan sensitivitas 89,1%, spesifisitas 65,2%
dan nilai duga positif 76,7% untuk titer O (Pasaribu dkk, 1993).
Suparwanto (1993) mendapatkan dalam penelitiannya di RS Sardjito Yogyakarta
bahwa uji Widal positif ( > 1/160) didapatkan pada sebanyak 33,7% dan titer > 1/90
didapatkan pada 64,2% penderita. Di Surabaya, Darmowandowo (1998) mendapatkan
hasil yang lebih tinggi, yaitu titer > 1/200 ditemukan pada 89% penderita. Sedangkan
hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh satari (1996) didapatkan hasil uji positif
hanya ditemukan pada 3,4% penderita.(1)

ISOLASI KUMAN
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi S.typhi. isolasi kuman
penyebab demam tifoid dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat
dalam tubuh.
Beberapa penelitian di berbagai center memberikan angka positivitas yang
berbeda-beda. Rathore (1996) di Pakistan melakukan penelitian mengenai gambaran
klinis demam tifoid dengan kuman yang telah resisten terhadap berbagai antibiotika,
mendapatkan hasil biakan positif S.typhi pada 64%. Bhutta (1997) melaporkan hasil
biakan empedu pada tersangka penderita demam tifoid yang telah mendapatkan hasil
biakan empedu pada tersangka penderita demam tifoid yang telah mendapat lebih dari
satu macam antibiotika selama 72 jam. Sebanyak 26% di antaranya mempunyai hasil
biakan darah negatif dan biakan sumsum tulang yang positif. Sedangkan 63% diantaranya
mempunyai hasil biakan positif S typhi baik yang berasal dari sediaan darah maupun dari
sumsum tulang.
Penelitian yang dilakukan oleh Rivai (1992) di RS Karantina Jakarta
mendapatkan hasil biakan S typhi positif pada 83% tersangka penderita demam tifoid.
Azhali (1993) mendapatkan hasil biakan empedu dari penderita tersangka demam tifoid
adalah sebanyak 46,8% penderita, 72,9% diantaranya berasal dari biakan darah. Satari
(1996) melakukan penelitian serupa di RSCM Jakarta pada 1990-1995 dengan hasil
biakan positif S typhi sebesar 20,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Darmowandowo
(1998) di RSUD Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1991-1996 mendapatkan hasil biakan
positif S typhi sebesar 31%. Hasil terendah didapatkan dari penelitian yang dilakukan
oleh Herawati (1999) di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1994-1998 yaitu sebesar
16,5%.(1)
VII. DIAGNOSIS BANDING
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid maka permulaan sakit harus dibedakan
antara lain:
-

Bronkitis

Influenza

Bronkopnemnonia

Pada stadium selanjutnya harus dibedakan:


-

Demarn paratifoid

Malaria

TBC milier Pielitis

Meningitis

Bakterial endokarditis

Rickettsia

Pada stadium toksik harus dibedakan :


-

Leukimia

Linrfoma

Penyakit Hodgkin

Dalam mengidentifikasi

penyakit

yang

menyerupai

demam

tifoid harus

berpegangan pada anamnesa, gejala dan tanda klinis, serta pemeriksaan laboratorium
meliputi bakteriologis / serologis dan pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan.(2)
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian :
- Komplikasi pada usus halus
- Komplikasi diluar usus halus
Komplikasi pada usus halus
- Perdarahan
- Perforasi
- Peritonitis
Komplikasi diluar usus halus
- Bronkitis
- Bronkopneumonia
- Ensefalopati
- Kolesistitis
- Meningitis
- Miokarditis
- Kronik karier

PERDARAHAN USUS
Pada anak lebih jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau
awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8% - 8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :
-

Penurunan tekanan darah

Denyut nadi bertambah cepat dan kecil

Kulit pucat

Penurunan suhu tubuh

Mengeluh nyeri perut

Sangat iritabel

Darah tepi : sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat.(2)

IX. THERAPY
Pengobatan
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus
dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3
bagian, yaitu :
- Perawatan
- Diet
- Obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid dimasa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan
kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda
komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu
mendapat perhatian.

Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan
tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi
selama penyakitnya berjalan.(2)
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita.
Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa
penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan
keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein,
elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas
selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran
maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti
dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit
diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi
kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.(2)
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi
sebelum adanya obat-obatan antimikroba (10-15%), sejak adanya obat antimikroba
terutama kloramfenikol maka angka kematian menurun secara drastis (1-4%).
Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain :
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin

Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman salmonella terhadap
kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap digunakan sebagai drug of choice
pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947)
sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih
cepat, disamping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain pihak
kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, reaksi toksik, Grey Syndrome,
kolaps, tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang
dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari serta untuk neonatus sebaiknya dihindarkan, bila
terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kg.bb/hari.(2)
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya
hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam
turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.(2)
Contrimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial.
Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisiten
terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya
kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%), Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboloblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama
pada penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral : 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari untuk
trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.(2)

Ampisilin dan Amoksisilin


Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan Demam Tifoid,
terutama pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan
adanya salmonella yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin
mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih
baik, sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih
sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%). Dosis yang dianjurkan :
- Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari.
- Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari.
Pengobatan Demam Tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan
keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Agar efektif membunuh kuman :
1.

Antibiotik harus dapat diserap ke dalam darah dengan jumlah yang memadai.

2.

Antibiotik perlu berada di jaringan tempat infeksi.

3.

Antibiotik harus berada dalam konsentrasi yang cukup.

4.

Antibiotik harus sanggup membunuh kuman yang patogen secara cepat dan
lengkap.

5.

Antibiotik tak boleh menimbulkan efek samping terlalu banyak, yang tentunya
bakal merugikan penderita sendiri.(2,5)

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan
perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid
secara bermakna menurunkan angka kematian.(2)
Prognosis
Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, gizi, derajat kekebalan
penderita, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang ada. Di negara maju,

dengan antimikroba yang tepat, angka mortalitas dibawah 1%. Di negara berkembang,
angka mortalitas lebih tinggi dari 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, rawat
inap di rumah sakit, dan pengobatan. Bayi umur sebelum 1 tahun dan anak-anak dengan
gangguan dasar yang melemahkan berada pada resiko yang lebih tinggi. S. typhi
menyebabkan penyakit yang lebih berat, dengan angka komplikasi dan angka kematian
yang lebih tinggi, daripada serotipe lain. Munculnya komplikasi seperti endokarditis,
perforasi saluran pencernaan, meningitis atau perdarahan berat dan pneumonia disertai
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.(2,3)
Pencegahan
Imunisasi tidaklah selalu efektif, namun dapat melindungi beberapa orang yang
kontak erat dengan penderita karier, orang asing yang berada pada area yang endemik,
dan selama ada kejadian epidemi.
Vaksin yang digunakan adalah :
- Vaksin yang dibuat dari salmonella thyposa yang dimatikan.
- Vaksin yang dibuat dari strain salmonella yang dilemahkan.
Usaha pencegahan yang lain yang tidak kalah pentingnya adalah usaha terhadap
lingkungan hidup dan usaha terhadap manusia.(2,4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan rahmatNya sehingga refrat ini dapat terselesaikan. Refrat berjudul DEMAM THYPOID ini
dibuat untuk memenuhi syarat dalam mengikuti program studi kepaniteraan Unit
Kesehatan Anak RUMKIT POLPUS RS Sukanto.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Pulung S SpA selaku dosen
pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis serta semua
pihak yang telah membantu dalam penyempurnaan penulisan refrat ini.
Penulis menyadari refrat ini masih banyak kekurangan, sehingga besar harapan
penulis untuk dapat menerima kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini.
Akhirnya semoga refrat ini berguna bagi pembaca khususnya, bagi penulis
sendiri dan berguna secara umum kepada kalangan mahasiswa kedokteran sebagai bahan
untuk kemajuan ilmu kedokteran.

Jakarta, Maret 2006

Penulis

REFERAT

DEMAM THYPOID

Pembimbing :

Disusun oleh :

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESAHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMKITPOLPUS RADEN SAID SUKANTO
JAKARTA
2006

Anda mungkin juga menyukai