Anda di halaman 1dari 4

Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Laut

Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu diperlukan mengingat 140 juta penduduk atau 60% penduduk
Indonesia tinggal di wilayah pesisir dalam radius 50 Km dari pantai, sampai dengan tahun 2000, terdapat
42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pesisir yng menjadi tempat pusat pertumbuhan
ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten terdapat kurang lebih 80% industri
di Indonesia beroperasi dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir.
Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversity laut dan tropis dunia, dimana 30% hutan
mangrove dunia berada di Indonesia; 30% terumbu karang dunia beraada di Indonesia, khususnya
Indonesia bagian timur; 60% konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan dimana 90% ikan yang
ditangkap adalah ikan perairan pesisir dan sisanya dari perairan dalam.
Kurang lebih terdapat 14 sektor pembangunan yang didukung oleh 20 undang-undang dan 5 konvensi
internasional yang melakukan regulasi terhadap wilayah pesisir, yang umumnya bersifat sektoral, dengan
berlakunya UU No.22/1999 terdapat kecenderungan bahwa pelakaksanaan otonomi daerah merupakan
replikasi dari pendekatan sektoral, muncul ego baru yaitu ego daerah, disamping itu kurang dihargainya
hak masyarakat dan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut serta terbatasnya ruang
untuk partisipasi masyarakat dan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Sebagai upaya untuk pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, telah dilaksanakan
beberapa kegiatan dari berbagai instansi, seperti :
1. BAPPENAS dengan proyek CRMP-USAID (Coastal Resources Management Planning) yang dimulai
pada tahun 1997 dan akan berakhir pada bulan September 2003; merupakan salah satu
komponen penting dari Program Pengelolaabn Sumberdaya Alam II (Natural Resources
Management NRM II) dengan tujuan utama untuk membantu proses penguatan kelembagaan
dan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia.
CRMP-USAID dilaksanakan di tingkat nasional dan di 4 propinsi, yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur, Lampung dan Papua.
2. Ditjen. Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dep. Kelautan dan Perikanan dengan proyek Marine and
Coastal Resources Management Project (MCRMP-ADB) Loan ADB No.1770/SF/INO sebagai
kelanjutan dari proyek MREP (Marine Resources Evaluation Program) dimulai pada bulan
September 2002 sampai dengan 31 Desember 2006, akan dilaksanakan di 43 kabupaten dari 15
propinsi, dengan tujuan utama : pengelolaan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut serta
keanekaragaman hayati dan perlindungan terhadap lingkungan, dengan empat komponen pokok
yaitu : perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut; pengelolaan data dan
informasi spasial; evaluasi kerangka hukum pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut serta upaya
penegakannya; skema pengelolaan sumberdaya alam skala kecil.
3. Kementerian Lingkungan Hidup melalui Program Pantai dan Laut Lestari, dengan tujuan utama
Pengendalian pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 1999, dilaksanakan sejak Desember 2000, dilaksanakan di tingkat
propinsi seperti Bali, Sulawesi Tenggara, Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah,
Jawa Barat, Lampung, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Jawa Timur, Banten dan DKI Jakarta; Tingkat kabupaten seperti Sukabumi, Lampung Selatan,
Bantul, Pasir Panajam, Kutai Kartanegara, Kepulauan Riau, Badung, Gianyar, Klungkung,
Karangasem dan Pontianak; Tingkat Kota seperti : Kendari, Denpasar, Semarang, Batam, Cilacap,
Padang, Surabaya, Makasar, Cilegon, Balikapapan dan Tarakan.
Mengingat kondisi lingkungan pesisir dan laut di beberapa daerah di Indonesia terus menerus mengalami
kerusakan dan pencemaran, maka diperlukan adanya tindakan yang nyata dan konkrit di lapangan, dalam
suatu bentuk program kegiatan yang terfokus, terukur dan dapat dilaksanakan, untuk mengurangi atau
mencegah terjadinya degradasi ekosistem pesisir dan laut.
Program Pantai dan Laut Lestari merupakan kegiatan aksi pengendalian pencemaran dan perusakan
terhadap ekosistem pesisir dan lautan, yang sebenarnya sudah pernah dicanangkan pada tanggal 19
Nopember 1996. Dengan perkembangan situasi penyelenggaraan pemerintahan khususnya dalam
penyelenggarakan Otonomi Daerah yang dituangkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka berdasarkan hal tersebut, dirasa perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap pelaksanaan Program Pantai dan Laut Lestari, yaitu dengan titik berat
pelaksanaan berada di daerah, dimana pemerintah kabupaten damn kota akan mempunyai peran sangat
penting dan menentukan, sehingga dalam hal ini peran Kementerian Lingkungan Hidup lebih kepada
fasilitator dan asistensi secara makro.
Program Pantai dan Laut Lestari adalah nama atau label dari program kerja pengendalian pencemaran
dan perusakan lingkungan wilayah pantai dan laut berskala nasional dan dilaksanakan secara mandiri oleh
masing-masing Daerah Otonom. Program Pantai dan Laut Lestari terdiri atas tiga paket program kerja,
yaitu : Pantai Wisata Bersih, Bandar Indah dan Teman (Terumbu Karang dan Mangrove) Lestari.
Pantai Wisata Bersih adalah program kerja pengendalian pencemaran, kerusakan dan kebersihan
wilayah pantai dan laut yang merupakan tujuan wisata; Bandar Indah adalah program kerja pengendalian
pencemaran di wilayah pelabuhan laut sedangkan Teman (Terumbu Karang dan Mangrove) Lestari
adalah program kerja pengendalian kerusakan dan pemulihan kerusakan terumbu karang dan mangrove.
Dalam pelaksanaan Program Pantai dan Laut Lestari, diterapkan strategi yang dapat dilaksanakan atau
diterapkan. Strategi terpenting dalam pelaksanaan adalah "komitmen bersama" antara para pengambil
keputusan, baik di lingkungan pemerintahan, dewan perwakilan rakyat, dunia usaha, lembaga swadaya

masyarakat, ilmuwan, kalangan pers/mass media dan semua unsur yang terkait, dalam pemanfaatan
wilayah pesisir dan laut, untuk selalu menjaga dan melestarikan fungsi ekosistemnya.
Prinsip dasar pelaksanaan Program Pantai dan Laut Lestari, adalah "SAFE" yaitu : Simple (sederhana),
Accountability (terukur), Focus (terfokus) dan Enforcement, yang harus didukung dengan KOMITMEN
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat setempat
Pengelompokan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut melalui Program Pantai dan Laut Lestari
akan dilakukan di Teluk Bone, meliputi 8 kabupaten (Sulawesi Selatan : Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo,
Luwu, Luwu Utara; Sulawesi Tenggara : Kolaka dan Buton); Teluk Benoa ( Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar); Teluk Tomini (Sulawesi Tengah dan Gorontalo).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Pada tanggal 30 Oktober 2002, telah dilaksanakan pertemuan membahas data dasar mengenai luasan dan
luas kerusakan mangrove. Rapat yang diselenggarakan di ruang Mangrove, Kementerian Lingkungan
Hidup dihadiri oleh berbagai instansi terkait, diantaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Yayasan Mangrove, Wetland International-Indonesia Program, Lembaga Antariksa dan Penerbangan
Nasional (LAPAN), serta Bakorsurtanal.
Pertemuan kali ini membahas perbedaan data mengenai luas hutan mangrove dan membahas langkahlangkah yang diperlukan untuk mengantisipasi adanya perbedaan data tersebut. Beberapa ahli yang
menghadiri rapat ini, mengemukakan bahwa perbedaan data mengenai luas mangrove ini dikarenakan
perbedaan definisi hutan mangrove yang dipakai untuk pengukuran, ada yang menggunakan patokan
existing mangrove, ada yang menggunakan ekosistem sebagai acuan dalam pengukuran luas mangrove
dan penggunaan status kawasan hutan. Menurut para ahli angka yang ditampilkan adalah benar adanya,
karena disesuikan dengan maksud pengukurannya, yang menjadi masalah adalah pihak lain yang
menginginkan data tersebut sama angkanya, hal tersebut tidak mungkin, karena perbedaan kegunaan
pengukuran.
Menyikapi hal tersebut, maka dalam pertemuan kali ini disepakati untuk dilakukan penelusuran dan
pengumpulan informasi tentang kepentingan pengukuran luas mangrove di Indonesia melalui Komite
Nasional Mangrove. Tugas komite ini, selain hal tersebut diatas, juga merumuskan definisi yang akan
dipakai dalam pengukuran mangrove di Indonesia.
Kegiatan eksploitasi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup telah
mengakibatkan kerusakan baik fisik maupun ekologi pada ekosistem mangrove. Berbagai data
menunjukkan bahwa luas hutan mangrove yang ada kondisinya semakin menyusut.
Penyebab menyusutnya luas hutan mangrove tidak diketahui dengan pasti. Apakah karena government
policy seperti program pengembangan tambak ekstensifikasi, kebijakan perluasan kawasan industri,
pembukaan lahan untuk pembukaan persawahan pasang surut, pemukiman dll. Beberapa alternatif
penyebabnya dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain belum adanya satu persepsi dalam pengelolaan
mangrove dan kurang koordinasi dalam tata ruang daerah. Untuk itu suatu identifikasi pemecahan
permasalahan kerusakan ekosistem mangrove, antara lain diajukan sebagai berikut :
1. Peran aktif Pemerintah Daerah dalam rehabilitasi kerusakan mangrove, diantaranya melalui
komitmen ditingkat eksekutif maupun legislative didaerah.
2.
Adanya kepastian hukum, terutama dalam hal zonasi area mangrove.
3.
Perlunya pemahaman ditingkat eksekutif dan legislative terhadap pentingnya ekosistem
mangrove.
4. Adanya Wise Use Technic dalam pengelolaan mangrove sehingga didapatkan Sustainable
Utilization.

JUDUL : EVALUASI AMDAL DALAM MENUNJANG PENGELOLAAN PANTAI TERPADU PENGARANG


: Dwi Abad Tiwi
Abstract
Recently, Indonesia has approved several laws on the decentralisation of the Environmental
Impact Assessment (EIA) process to district governments, a process considered as an
important tool of integrated coastal zone management (ICZM). Objective of this research is to
assess the quality of EIAs in the Banten Bay area, in particular with respect to the use of
environmental information in order to give suggestion on how the EIA process, the ICZM as
well as the role of district government can be improved. Analysis of quality of environmental
information as stated in the Indonesian guidelines and used in the EIA has been used as the
method. Three EIA guidelines have been analysed, review of 10 EIA reports (EIS), interview of
respondents on the use of sources of information to compose and to review the EIS,
observation of 4 EIS-review meetings, and interview of local operators on environmental
monitoring have been conducted. Some results have been identified, modules have been
developed to support the implementation of the recommendation.
Kata kunci: Amdal, kawasan pantai, informasi lingkungan, pemerintah daerah, pengelolaan
terpadu kawasan pantai.
SUMBER :
Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. IV, hal. 29 - 31 /HUMAS-BPPT/ANY
PENDAHULUAN
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dikenal di Indonesia sebagai salah satu
perangkat penting dalam pencegahan dampak suatu rencana pembangunan, salah satunya
pada kawasan pantai. Beberapa tahun terakhir ini telah disahkan peraturan penting yang
terkait dengan desentralisasi Amdal dan pengelolaan pantai. UU no. 23/1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup memberikan pemahaman akan kesatuan pengelolaan
lingkungan daratan, perairan dan udara oleh pemerintah daerah. UU no. 22/1999 tentang
otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada pemda tk. II untuk mengelola kawasan darat
dan laut. Kepmen LH no. 08/2000 tentang keterlibatan masyarakat dan akses ke informasi
dalam proses Amdal dan no. 41/2000 tentang pembentukan komisi Amdal daerah
memperkuat kewenangan pemda tk II dalam persetujuan Amdal. Studi pendahuluan tentang
prosedur dan persetujuan perijinan pembangunan di Teluk Banten menunjukkan indikasi ada
keterbatasan pemakaian informasi lingkungan dan partisipasi pemda dalam pengelolaan
kawasan pantai. Dengan melihat pentingnya peran pemda dalam pengelolaan terpadu
kawasan pantai dan dalam persetujuan Amdal, maka dianggap perlu mengetahui kesiapan
pemda tk II terutama dalam penyediaan informasi lingkungan. Penelitian ini dilakukan atas
kerjasama Indonesia-Belanda untuk penelitian pengelolaan terpadu kawasan pantai Teluk
Banten, pendanaan oleh NWO/WOTRO dan pemerintah Indonesia.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Keterbatasan informasi di daerah
Sistim pemerintahan di Indonesia dimana sektor teknis di tingkat pusat mendominasi sektor di
tingkat bawahnya, memungkinkan kegiatan pengambilan data terkait dengan sektor teknis
beserta kepemilikannya dilakukan oleh tingkat pusat. Pengambilan data atau informasi terkait
sektor lain meskipun merupakan data penting tidak dilakukan. Laporan Amdal yang disetujui
seharusnya dapat menyediakan informasi lingkungan pada kenyataannya sangat jauh dari
yang diharapkan. Berkas laporan Amdal cenderung dijadikan dokumen pengesahan perijinan
saja. Selain itu, kegiatan penelitian yang terkait dengan lingkungan pantai dan laut yang
biasanya memerlukan dana besar hanya dilakukan oleh departmen, lembaga penelitian atau
universitas yang berada di Jakarta atau kota besar lainnya. Sehingga data penelitian yang
didapat juga hanya berada di Jakarta atau di kota tersebut. Untuk mendapatkan informasi
tersebut banyak proses dan prosedur yang harus dilakukan oleh daerah dimana data tersebut
berasal. Selain itu data tersebut hanya terkait dengan sektor tertentu atau hanya dalam
lingkup kegiatan penelitian saja, tidak meliputi komponen lingkungan secara menyeluruh

seperti yang dibutuhkan untuk proses Amdal. Selain itu institusi pelaku kegiatan monitoring
lingkungan tidak disebutkan secara jelas dalam pedoman umum maupun pedoman teknis
Amdal termasuk bagaimana pendanaannya. Dengan demikian wajarlah kalau kegiatan
monitoring sangat sedikit dilakukan oleh pemda tk II yang mempunyai keterbatasan dalam hal
pendanaan, peralatan dan SDM. Hal inilah yang menyebabkan sumber informasi lingkungan
yang seharusnya dimiliki oleh daerah menjadi sangat terbatas.
2. Keterbatasan pemanfaatan informasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pertukaran informasi hanya terjadi didalam satu
instansi saja. Sedang pertukaran informasi antar instansi baik ditingkat pusat ataupun
didaerah maupun antara pusat dan daerah tidak pernah dilakukan. Aliran dan pertukaran
informasi yang sangat penting dalam pengadaan informasi tidak berjalan. Keberadaan data
yang dimiliki oleh instansi ditingkat pusat juga jarang dapat dimanfaatkan oleh daerah salah
satu penyebab terjadinya pengangguran informasi, dimana salah satunya disebabkan tidak
tersedianya peraturan daerah pendukung. Kurangnya kerjasama antara daerah dan lembaga
penelitian/universitas juga menyebabkan tidak dapat dimanfaatkannya sejumlah informasi di
lembaga penelitian tersebut. Dengan keberadaan informasi yang sangat terbatas di tingkat
daerah dengan tingkat pemanfaatan yang rendah, maka hal ini dapat dikatakan sebagai
penyebab mengapa dokumen Amdal yang dihasilkan mempunyai kualitas yang di bawah
kualitas untuk dapat disetujui.
3. Kesiapan pemda dalam penyediaan informasi untuk persetujuan Amdal dan pengelolaan
pantai terpadu
Amdal dapat secara efektif dimanfaatkan sebagai salah satu cara pengelolaan terpadu
kawasan pantai, dimana dapat dicapai antara lain dengan kontribusi penggunaan informasi
lingkungan yang memadai dalam menunjang pelaksanaan suatu proses Amdal, mulai dari
pembuatan laporan sampai dengan persetujuan dan pemanfaatan laporan untuk monitoring
lingkungan setelah laporan tersebut disetujui. Penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan
informasi lingkungan di tk II dalam hal ini kawasan Teluk Banten untuk menyusun dan menilai
laporan Amdal maupun dari hasil pemantauan lingkungan adalah sangat terbatas, terutama
informasi tentang biologi laut, informasi penting dalam pengelolaan pantai terpadu. Penelitian
penunjang keberadaan informasi tersebut juga masih terbatas, kalaupun ada informasinya
berada di instansi tingkat pusat. Pertukaran informasi lingkungan yang tersebar di beberapa
instansi juga belum terjadi, sementara pemda sendiri belum dilengkapi dengan peraturan yang
mendukung aksesibilitas mereka terhadap informasi lingkungan tentang daerahnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kapasitas pemda tk II pada kasus Teluk Banten masih
membutuhkan suatu perbaikan dalam penyediaan informasi lingkungan baik untuk proses
Amdal maupun untuk pengelolaan terpadu kawasan pantainya.
4. Rekomendasi
Diusulkan suatu rekomendasi kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan
kualitas Amdal untuk pengelolaan terpadu kawasan pantai, meliputi perbaikan pedoman
teknis, integrasi kebutuhan dan ketersediaan informasi data lingkungan, integrasi strategi
untuk pengelolaan pantai, pengembangan dan peningkatan kapasitas daerah untuk
pemantauan lingkungan pantai dan laut. Rekomendasi juga diusulkan untuk hal-hal diluar
proses Amdal agar pemerintah daerah dapat mengoptimalkan perannya dalam proses Amdal.
Rekomendasi kepada pemerintah pusat untuk pengelolaan terpadu kawasan pantai meliputi
pemisahan dan pendelegasian perijian kegiatan di kawasan pantai yang bersifat tidak merusak
lingkungan, pemberian sarana untuk koordinasi pertukaran informasi antar daerah tk II,
koordinasi dalam program pengelolaan kawasan pantai. Juga diusulkan agar pemerintah pusat
memberikan lebih banyak kemudahan bagi daerah dalam mempercepat proses desentralisasi

Anda mungkin juga menyukai