Anda di halaman 1dari 16

BAB II

ADOPSI DAN HUKUMNYA DALAM ISLAM


2.1 Pengertian anak
Anak adalah karunia Tuhan yang sangat didambakan oleh pasangan
suami istri. Karena hadirnya anak adalah wujud dari perpaduan cinta kasih
suami isteri. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mencurahkan perhatian
dan kasih sayang pada mereka.

2.2 Pengertian Adopsi Secara Umum


1)

Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh

perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti
anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya
2)

Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung

sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta
peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua

2.3 Fatwa MUI Tahun 1984 yang berlangsung pada bulan Jumaidil Akhir
1405H/Maret Mengenai Hukum Adopsi:

Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang


lahir dari perkawinan (pernikahan)

Mengangkat (adopsi)

dengan pengertian anak tersebut putus

hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya


adalah bertentangan dengan syariah islam.

Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab


dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk
memelihara, mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh
kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji
dan termasuk amal saleh yang di anjurkan oleh agama islam.

Pengangkatan anak indonesia oleh Warga Negara Asing selain


bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga merendahkan
martabat bangsa.

2.4 BID'AH ADOPSI


Islam sangat berusaha keras untuk menjaga harga diri dan keturunan dari
kerancuan. Diantara aturan yang ditetapkan oleh syari'at Islam dalam hal ini
ialah larangan mengadopsi anak.
Adopsi ini dilarang oleh syari'at Islam yang hanif, karena akan menimbulkan
kerancuan dalam keturunan dan nasab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

ud'uuhum li-aabaa-ihim huwa aqsathu 'inda allaahi fa-in lam ta'lamuu


aabaa-ahum fa-ikhwaanukum fii alddiini wamawaaliikum walaysa 'alaykum
junaahun fiimaa akhtha/tum bihi walaakin maa ta'ammadat quluubukum
wakaana allaahu ghafuuran rahiimaan
"Artinya : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang" [Al-Ahzab : 5]
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsirnya, III/466 mengatakan
"Inilah hukum yang menasakh atau menghapuskan diperbolehkannya mengadopsi
anak seperti yang terjadi pada zaman permulaan Islam. Allah menyuruh untuk
mengembalikan nasab anak-anak yang diadopsi tersebut kepada bapak-bapak
mereka yang sebenarnya. Dan itulah yang namanya keadilan dan kebaktian".
Terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berisi ancaman keras
terhadap orang yang mengaku-ngaku nasab keturunan. Beliau bersabda.
Adalah kafir seseorang yang mendakwakan (mengaku-ngaku) nasab keturunan
yang tidak ia kenal, atau yang mengingkarinya, walaupun secara halus" [Hadits
Hasan ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Qath Than dalam tambahannya terhadap
kitab Al-Sunan Ibn Majah (2744) dengan sanad yang hasan dari hadits Abdullah
bin Amr bin Al-Ash]
2.5 Efek Buruk Adopsi
1. yang diadopsi mungkin akan melihat apa yang tidak boleh dilihat pada
isteri dan puteri-puteri orang yang mengadopsinya, karena statusnya

adalah orang lain, sehingga mereka tidak boleh memperlakukan anak yang
diadopsi tersebut sebagai mahram.
2. Anak-anak yang diadopsi ikut bersama dalam hak pusaka dan hak-hak
lain yang bersifat syar'iyah. Jadi kesannya seolah-olah ia adalah salah
seorang anak kandung orang yang mengadopsinya sehingga bisa ikut
memakan hak anak-anak kandungannya sendiri.
3. Mengharamkan sesuatu yang tidak ada dalam aturan syari'at Islam, yakni
pernikahan anak yang diadopsi dengan puteri-puteri orang yang
mengadopsinya.
4. Kemungkinan terjadinya pernikahan anak yang diadopsi dengan saudarasaudara perempuannya dari ibunya yang asli, karena nasab anak yang
diadopsi berbeda nasab dengan sauadara-saudara perempuannya tersebut
yang sesungguhnya adalah nasab yang sebenarnya.
[Disalin dari kitab 30 Bid'ah Wanita oleh Amru Abdul Mun'im, hal 122125,Pustaka Al-Kautsar]

2.6 Kisah Anak Adopsi di Zaman Nabi


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada
ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta
istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara
umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah
mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi
Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut

dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.


Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak
mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak
yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas mereka bagi
pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada
pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab
kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam
pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang
mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga
nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak
memilikinya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

maa ja'ala allaahu lirajulin min qalbayni fii jawfihi wamaa ja'ala
azwaajakumu allaa-ii tuzhaahiruuna minhunna ummahaatikum wamaa
ja'ala ad'iyaa-akum abnaa-akum dzaalikum qawlukum bi-afwaahikum

waallaahu yaquulu alhaqqa wahuwa yahdii alssabiila ud'uuhum li-aabaaihim huwa aqsathu 'inda allaahi fa-in lam ta'lamuu aabaa-ahum faikhwaanukum fii alddiini wamawaaliikum walaysa 'alaykum junaahun
fiimaa akhtha/tum bihi walaakin maa ta'ammadat quluubukum wakaana
allaahu ghafuuran rahiimaan
"Artinya : Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak
mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
[Al-Ahzab : 4-5]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
"Artinya : Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi
bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan" [Hadits
Riwayat Abu Daud]
Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu
pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan
keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah
hingga awal Islam berupa:
[1]. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat)
dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali.
Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap

wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak
lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang
berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari'at Islam.
Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya.
Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma'ruf dalam
bertindak.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

alnnabiyyu awlaa bialmu/miniina min anfusihim wa-azwaajuhu


ummahaatuhum wauluu al-arhaami ba'dhuhum awlaa biba'dhin fii kitaabi
allaahi mina almu/miniina waalmuhaajiriina illaa an taf'aluu ilaa awliyaaikum ma'ruufan kaana dzaalika fii alkitaabi masthuuraan

"Artinya : Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudarasaudaramu (seagama)" [Al-Ahzab : 6]
[2]. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak
angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal

tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus


sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

wa-idz taquulu lilladzii an'ama allaahu 'alayhi wa-an'amta 'alayhi amsik


'alayka zawjaka waittaqi allaaha watukhfii fii nafsika maa allaahu mubdiihi
watakhsyaa alnnaasa waallaahu ahaqqu an takhsyaahu falammaa qadaa
zaydun minhaa watharan zawwajnaakahaa likay laa yakuuna 'alaa
almu/miniina harajun fii azwaaji ad'iyaa-ihim idzaa qadhaw minhunna
watharan wakaana amru allaahi maf'uulaan
"Artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi" [Al-Ahzab : 37]

Ayat ini merupakan rangkaian ayat-ayat Al-Quran yang menceriterakan tentang


kasus rumah tangga Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy. Zaid adalah
bekas budak yang dimerdekakan oleh Nabi, kemudian dikawinkan dengan Zainab,
saudara sepupu Nabi sendiri. Suami istri ini adalah orang-orang baik dan taat

kepada agama. Namun rumah tangganya tidak bahagia, karena perbedaan status
sosialnya yang jauh berbeda. Sebab Zainab dari kalangan bangsawan, sedangkan
Zaid adalah bekas budak, meskipun
Islam tidak mengenal diskriminasi berdasarkan ras, bangsa/suku bangsa, bahasa,
dan sebagainya. Zaid menyadari hal itu (ketidakharmonisan rumah tangganya)
dan tepa sehra, maka ia mohon izin kepada Nabi untuk menceraikan istrinya,
tetapi Nabi menyuruh ia agar tetap mempertahankan rumah tangganya. Dan ia pun
mentaatinya. Namun, setelah ternyata rumah tangga Zaid tetap tidak harmonis,
dan semua Sahabat dan masyarakat tahu, maka akhirnya perceraian Zaid dengan
Zainab diizinkan, dan bahkan setelah habis idahnya, Nabi diperintahkan oleh
Allah untuk mengawini Zainab, bekas istri anak angkatnya.
Surat Al-Ahzab ayat 37 yang menerangkan kasus Zaid dengan Zainab di atas
adalah untuk menegaskan, bahwa:

1)

Adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman Jahiliyah yang memberi status

kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang)
dan tidak diakui oleh Islam.
2)

Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap

seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan,


baik anak angkat itu iambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa,
kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun, diambil
dan luar lingkungan kerabat.

Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin
Haritsah menceraikannya.

Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi
bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa
persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal
berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
Beberapa perbuatan yang dapat dilakukan seseorang, untuk menghindari praktek
Adopsi:
[a]. Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan
"wahai anakku" sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta
kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan
nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang
usianya lebih tua dengan panggilan, "wahai ayahku" sebagai penghormatan
terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong
baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul
antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling
merasakan persaudaraan seagama yang sejati.
[b]. Syari'at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka
kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan
menebarkan kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan

(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan


jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka) .Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaijkan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran" [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Peumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih
sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu
organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur"
[Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]
Dan sabda beliau yang lainya
"Artinya : Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu
bangunan sebagiannya menopang sebagian yang lain" [Hadits Riwayat Bukhari,
Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i]
Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan
anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat
baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan
tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya
pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap
acuh dari masyarakat.
Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi oran tidak mampu,
anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu.

Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada
orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
"Artinya : Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika
meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku
walinya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa
dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.
[Komisi Tetap Untuk Fatwa, Fatawa Islamiyah 4/497]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar
Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim,
Penerbit Griya Ilmu]

2.7 DALIL-DALIL TENTANG ADOPSI


1. Quran Surat al-Ahzab : 4
Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
yang benar.
2. Al-Quran Surat al-Ahzab : 5
Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapakbapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).

3. Surat al-Ahzab : 40
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
diantara, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutub nabi-nabi. Dan Allah Maha
Mengetahui Segala sesuatu.
4. Sabda Nabi Muhammad S.A.W.
Dan Abu Zar Ra. Sesungguhnya ia dengar Rasul bersabda: Tidak
seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang
sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah
kufur (HR Bukhari dan Muslim).
5. Sabda Nabi
Dari Saad bin Abi Waqqas Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda.
Barang siapa yang mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayahnya
padahal ia tahu bahwa bukan ayah kandungnya, haram baginya surga. (HR
Bukhari dan Muslim).
6. Sabda Nabi
Dari Abdullah bin Umar bin Khathab Ra. Sesungguhnya ia berkata :
Kami tidak memanggil (Laid bin Hariaah) melainkan (kami panggil) Zaid
bin Muhammad, sehingga turun ayat al-Quran : Panggilah mereka dengan
nama ayah (kandung mereka, itulah yang lebih adil di siai Allah. (HR
Bukhari).
7. Sabda Nabi
Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah mula Rasulullah SAW dan
kami memanggilnya dengan : Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat :
Panggilah mereka dengan nama ayah (kandung) mereka, mereka itulah
yang lebih adil di sisi Allha,Lalu Nabi bersabda : Engkau adalah Zaid bin
Harisah (HR Bukhari dan Muslim).
8. Dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, halaman 263, jilid 2, oleh Muhammad

Ali as Sabuni, dijelaskan sebagai berikut :


Sebagaimana Islam telah membatalkan Zihar; demikianpula halnya
dengan tabanni (mengangkat anak), Syariat Islam telah mengharamkannya,
karena tabanni itu meniabahkan seorang anak kepada yang bukan bapaknya,
dan itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka
dan kutukan Tuhan.
Sesungguhnya Imam Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan hadia dart
Sad bin Abi Waqqas Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa
yang mengakui (membanggakan) diri kepada yang bukan ayahnya, maka
wajiblah ia mendapat kutukan Allah, Malaikat-Malaikat, dan sekalian
manusia, serta Allah tidak menerima dari padanya tasarruf dan
kesaksiannya.
9. Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Fatwa, halaman 292 menulia :
Terjemahan bebas :
Untuk mengetahui hukum Islam dalam masalah tabanni perlu
difahami bahwa tabanni itu 2 (dua) bentuk. Salah satu diantaranya bahwa
seseorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak
kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang, pendidikan dan
keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya. Tabanni
seperti ini adalah perbuatan yang pantas dikerjakan oleh mereka orangorang yang leas rejekinya, namun ia tidak dikaruniai anak baik sekali jika
mengambil anak orang lain yang memang kekayaannya perlu, mendapat
rasa kasih saying ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan
memberikan kesempatan belajar kepadanya. Karena orang tua kandung anak
yang bersangkutan tidak mampu (Fakir miskin). Tidak diragukan lagi bahwa
usaha semacam merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh
agama serta diberi pahala.
Bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk
anak angkarnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia merasakan

ketenangan hidup.
http://www.halalguide.info/content/view/93/55/
2.8 Pengasuhan Anak Yatim
1. Keutamaan Mengasuh Anak Yatim
Yatim secara etimologis berarti sendiri, contohya adalah kalimat
bahasa Arab durrah yatimah (biji tunggal) yang artinya tak ada duanya.
Anak anak yatim adalah anak yang ditinggal mati ayah-ayah meraka.

Ada yang mengatakan bahwa yatim bagi manusia berarti anak


yang kehilangan ayahnya. Sedangkan bagi hewan adalah anak yang
kehilanagan induknya. Rasulullah SAW telah mendeklarasikan bahwa
mereka yang mau mengasuh dan merawat anak yatim akan dekat dengan
beliau di surga.
2. Pengasuhan Anak Yatim Laki-Laki
Seorang anak yatim yang ada dalam asuhan walinya berkedudukan
sama dengan anak wali tersebut. Seorang wali tak semestinya melakukan
diskriminasi antara anak kandungnya dengan anak yatim yang diasuhnya.
Jika anak yatim itu adalah orang yang tak berharta, hendaknya
sangat meperhitungkan segala tindakan yang akan ia ambil terhadap anak
asuhya itu. Ia harus yakin bahwa anak yatim adalah satu pintu dari sekian
banyak pintu menuju surga yang sudah terbuka untuknya.
Sedangkan jika anak yatim itu adalah oarang berharta, maka
walinya harus bersikap lebih cermat. Ia harus memantau dan menjaga
investasi itu agar tumbuh dan menjadi berlipat ganda. Allah SWT telah

melarang keras memakan harta anak yatim dengan semena-mena atau


melenyapkan harta tersebut.

3. Pengasuhan Anak Yatim Perempuan


Jika ada anak yatim perempuan yang diasuh seseorang maka
ia harus diasuh hingga siap menikah. Walinya tidak boleh menghalangi
atau mempersulit pernikahannya hanya agar anak asuhnya bisa
melayaninya atau menguasai harta anak yatim itu jka ia memang mewarisi
harta. Perbuatan seperti itu adalah dosa besar.

Anda mungkin juga menyukai